Setelah kepergian Alana, Eric langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya, mengingat apa yang dia lalui selama ini. Rasanya dia tidak bisa memercayai ucapan Alana, tapi melihat bagaimana tatapannya saat menjelaskan itu semua. Dia tidak melihat sama sekali kebohongan di sana. Hanya ada kejujuran dan ketulusan di bola mata hitam itu.“Apa yang terjadi sebenarnya, aku sungguh tidak mengerti,” gumamnya lirih.Eric lalu bangun dari duduknya, dia melangkah ke arah jendela kaca besarnya dan memandangi pemandangan senja di dalam kamarnya. Tangannya dia masukkan ke dalam saku celananya. Tatapan sayu itu, dia tunjukkan untuk pertama kalinya.“Jika benar apa yang Alana katakan, jika benar bibi Hanlah pengkhianatnya. Apa yang akan aku lakukan, bisakah aku menerimanya. Aku sungguh menyayanginya, aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri. Atau, haruskah aku pura-pura tidak tahu. Dan terus hidup seperti orang bodoh?” gumamnya.***Alana duduk sendiri di ruang keluarga, dia menangis ter
Alden keluar dari dalam kamar Eric, dan di saat bersamaan Alana juga baru saja hendak menuju ke kamar Alden dan memastikan keadaannya. Tampak raut wajah Alana yang menunjukkan keterkejutannya karena melihat Alden yang keluar dari dalam kamar Eric dalam keadaan menangis dan langsung berlari menuju kamarnya.“Alden,” gumam Alana. Tak mau membuang waktu lagi, akhirnya dia juga ikut berlari menyusul Alden yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamarnya.Alana menghentikan larinya, saat dia sudah berada di depan pintu kamar Alden yang terbuka. Dia melihat putranya itu yang duduk termenung dengan kedua tangannya yang sesekali menghapus air matanya. Melihat keadaan anaknya yang seperti itu, membuat Alana juga tak bisa menahan air matanya. Akhirnya air matanya itu pun kembali menetes, dan dengan langkah perlahan dia pun menghampiri putranya.“Alden,” ucapnya seraya duduk di samping Alden.Alden tidak menjawab, dia masih sibuk dengan tangisannya sendiri. Hingga akhirnya Alana pun memegang
Jeff dalam perjalanan pulang menuju rumahnya, saat ini hari sudah senja dan tak lama lagi akan berganti malam. Dia menyetir mobilnya dengan kecepatan yang relatif cepat. Karena hari ini dia merasa sangat lelah, dan ingin cepat sampai di apartemennya untuk istirahat. Padahal dia hanya pergi jalan-jalan dengan tuan mudanya, tapi dia tidak menyangka ternyata hal itu lebih melelahkan dari pada mengurus pekerjaannya di kantor.Saat sedang menyetir, tiba-tiba pikiran Jeff melayang mengingat hal lain, yang tak lain adalah kejadian yang baru saja terjadi antara tuan dan nonanya. Sepertinya rencana tuan mudanya untuk menyatukan orang tuanya kembali telah gagal, dan akan sulit untuk melakukannya lagi. Karena sepertinya kepercayaan Eric pada Alana sudah benar-benar hilang.Ketika sedang sibuk memikirkan hal lain, Jeff tidak menyadari bahwa ada seorang wanita yang tengah menyeberangi jalan yang di lewatinya.“Aaaaa!” teriak wanita itu saat melihat mobil Jeff yang terus melaju dan seperti henda
“Iya,” jawabnya kemudian seraya menundukkan wajah dan menutup matanya. Dia tidak tahu, apakah dengan berkata jujur seperti ini bisa mengurangi kemarahan Eric, atau justru dia sudah salah menjawab. Yang jelas, saat ini bibi Han tidak berani mengangkat kepalanya dan melihat reaksi Eric.Hening, tidak ada ucapan apa pun yang keluar dari mulut Eric setelah mendengar pengakuan dari bibi Han. Jujur, suasana diam seperti ini terasa lebih mencekam bagi bibi Han dari pada suara yang penuh amarah dari Eric.Tik ... tok! Suara jarum jam terdengar dengan jelasnya di tengah suasana hening yang sedang terjadi antara bibi Han dan Eric, dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Eric. Kenapa tidak ada reaksi apa pun setelah dia mendengar pengakuannya. Apakah dia telah salah menjawab? Pikirnya.Setelah cukup lama tidak mendapat reaksi apa pun dari Eric, bibi Han pun akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat kembali wajahnya dan melihat ekspresi Eric saat ini. Seketika matanya langsung melebar, ketika
Deg! Tangisan Eric langsung berhenti, sesaat setelah apa yang Alana katakan. Dia lalu melepaskan pelukan Alana, dan mendorong tubuhnya menjauh darinya. Eric terdiam, menatap wajah Alana yang penuh dengan air mata tengah menatap padanya.Sesaat, ingatan akan Arya langsung menari-nari di kepalanya, tubuhnya bergetar, jantungnya berdegup dengan kencangnya. Potongan-potongan ingatan akan Arya yang mengkhianatinya itu semakin menjadi-jadi dan membuat nafas Eric terasa sesak. “Bohong,” ujarnya dan membuat Alana tersentak saat mendengarnya.“Bohong, kalian semua pembohong!” ucapnya lagi dengan suara yang meninggi.“Eric, aku bersungguh-sungguh. Aku –““Pergi! Aku tidak percaya kepada siapa pun lagi, kau sama saja dengan yang lainnya, kau sama saja dengan ayahmu. Aku membencimu, pergi!” teriaknya.Alana kembali terlonjak atas apa yang Eric katakan. Matanya melebar, dia tidak percaya bahwa Eric akan bersikap seperti ini. Alana mencoba meraih Eric yang terus mundur menjauh darinya. Ayahn
Eric keluar dari ruang kerjanya, dia melihat jam tangannya yang saat ini sudah menunjukkan pukul 09. 05 pagi. Sebenarnya dia ingin menemui Alden, tapi sepertinya Alden sudah berangkat ke sekolahnya. Eric pun akhirnya hanya berjalan di dalam mansionnya tak tentu arah, untuk menghilangkan kegelisahannya.Dia turun ke lantai satu, dan mengedarkan pandangannya di sana.“Apa ada yang Anda butuhkan, Tuan?” tanya salah satu pelayan yang menghampirinya. Karena dia baru pertama kali melihat Eric yang tampak kebingungan, dia pun akhirnya berinisiatif untuk mendekatinya lebih dulu dan bertanya.“Tidak ada, aku hanya sedang mencari bibi Han,” ucapnya. Dia ingin tahu, apa setelah mengakui pengkhianatannya, dia masih berani berada di sini.“Bibi Han, beliau tidak terlihat sejak semalam Tuan. Para pelayan juga tidak tahu keberadaannya,” jawab pelayan tersebut.Mendengar itu, Eric pun hanya terdiam. Dia kembali melanjutkan langkahnya tanpa berkata apa pun lagi kepada pelayan itu. Eric terus mel
“Mama, kemarilah. Kenapa Mama malah berdiri terus di sana?” ucap Alden yang membuat Alana langsung tersadar.Tampak Eric juga yang menoleh ke arah kebelakangannya dan melihat Alana yang berada di sana. Dia terdiam, saat melihat Alana yang mulai melangkah mendekat ke arahnya dan Alden.“Pa, sebenarnya dari pada kepada Alden. Papa lebih bersalah kepada mama. Karena itu, Papa juga harus minta maaf kepada mama. Karena mamalah yang sudah Papa buat menangis,” ucap Alden.Eric masih terdiam, dia melihat ke arah rerumputan hijau yang ada di bawahnya. Terlihat tangannya juga yang saling terpaut satu sama lain.Alana yang melihat ekspresi Eric saat ini pun mengerti, bahwa Eric tidak mau mengucapkan kata maaf padanya. Karena sebenarnya, dirinyalah yang seharusnya meminta maaf, lebih tepatnya meminta maaf atas nama ayahnya.“Alden, tidak apa-apa. Papa tidak salah, jadi untuk apa papa memin –““Maaf.”Deg! Alana tersentak, dengan kata yang baru saja didengarnya. Dia lalu menolehkan wajahnya
Tangan Eric mengepal, saat ini dia tengah menekan perasaan yang memuncak di hatinya. Entah, perasaan apa ini. Rasanya dia tidak bisa menyimpulkannya, saat ini dia hanya tertarik pada bola mata hitam Alana yang terlihat bersinar ketika mengatakan seluruh ucapannya. Bola mata yang menunjukkan kejujuran dari setiap kata yang dia keluarkan. “Aku ....”Alana menunggu dengan gugup lanjutan ucapan Eric dengan dadanya yang sudah berdegup kencang. Tangannya juga sudah saling meremas satu sama lain. Dia takut, Eric tidak akan mengizinkan hal yang tadi dimintanya.“Aku ....” Eric masih menahan ucapannya, namun tiba-tiba dia bangun dari duduknya, dan menolehkan wajahnya ke arah lain seraya satu tangannya itu menutupi mulutnya. “Terserah kau saja!” jawabnya kemudian seraya berlalu pergi.Alana terkejut ketika mendengar jawaban Eric, dia juga ikut berdiri dan mengulurkan tangannya ingin menahan Eric, namun rupanya Eric sudah lumayan jauh pergi meninggalkannya. “Apa maksudnya, aku boleh melakukan
"A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan