Primadigda bersiaga sambil bersiap-siap kalau sewaktu-waktu ada kejutan. Tak lama kemudian Belzagum sudah berada di sampingnya, sedangkan Vincard ada di sebelah Primadigda. Tangan Belzagum menangkap tombak Vincard agar tak mengenai kepala Primadigda. Primadigda terkejut melihatnya.
“Kau cukup cepat, Pangeran Belzagum,” puji Vincard.
Darah menetes dari telapak tangan Belzagum. Dia menahan tombak Vincard dengan telapak tangannya. Segera Primadigda menyingkir. Dia nyaris tewas di tangan Vincard kalau tidak dilindungi oleh Belzagum.
“Lepaskan tanganmu!”
“Lho? Sudahan?” tanya Vincard. Belzagum hanya bisa menggerakkan matanya melirik Vincard. Energinya benar-benar habis untuk tehniknya tadi. Energinya terlalu banyak ia gunakan untuk menahan racun agar ia bisa bertahan. Seharusnya ia bisa mengalahkan Vincard, tapi waktu dan tenaganya yang membuatnya tak bisa melakukannya. “Ghea…,” bisik Belzagum lirih.Primadigda perlahan-lahan bisa mencabut tanduk yang menancap di tubuhnya. Tanduk itu masih ada di tangannya, dari kejauhan ia melihat Belzagum terkapar tak berdaya. Segera ia mengepakkan sayapnya u
Dunia Bawah, SekarangRaja Belzagum mengamati Bayungan yang dinaiki putrinya menghilang dari pandangan. Putrinya benar-benar sudah berubah. Kini Aprilia benar-benar menjadi ksatria tangguh yang sulit dikalahkan. Dia yakin kalau masa depan kerajaan bisa benar-benar digdaya di tangan putrinya suatu saat nanti. Meskipun sekarang ini ia tidak tahu siapa yang mengutus Vincard untuk membunuh Ghea, dia sudah cukup puas telah mendidik Aprilia sekarang ini. Ia tak ingin kehilangan putrinya, sebagaimana ia pernah kehilangan Ghea. Maka dari itulah setelah sembuh dari luka-luka pertarungannya dengan Vincard, Belzagum benar-benar berlatih keras hingga sampai ke titik terpuncak di dalam ketahanan fisik tubuh avatarnya. Ratusan pertempuran ia alami dan semua musuh yang telah berhadapa
Malam berlalu dan pagi hari tiba. Dari kejauhan Aprilia sudah bisa melihat luasnya hutan Kerajaan Peri. Sejauh mata memandang ia hanya melihat rerimbunan pohon. Tiap-tiap pulau ada hutan yang lebat. Gunung-gunung pun penuh dengan hutan, bahkan garis pantai tidak terlihat karena ada hutan tanaman-tanaman sejenis mangrove yang tumbuh subur dan lebat. Aprilia sudah bersiap, ia ingin sekali segera mendarat dan langsung saja masuk ke hutan tersebut. Namun, kalau tanpa persiapan bagaimana ia bisa masuk? Terlebih istana peri tempat Ratu Elyana tinggal pasti ada jauh di dalam sana. Aroma mistis Kerajaan Peri akan membuat siapapun yang masuk ke sana tak akan bisa keluar lagi. Bayungan kemudian mendarat di pantai. Burung-burung pantai menyambutnya. Sepertinya tempat ini cukup bersahabat. Aprilia
Aprilia menyipitkan matanya, melihat udara yang ada di sekitar tempat tersebut. Ia melihat serbuk-serbuk halus yang terbang di udara. Serbuk itu tak terlihat begitu saja, selain diperhatikan secara seksama. Buru-buru Aprilia menutup hidungnya dengan jubahnya. Namun, rasanya juga percuma. Ia telah menghirup serbuk itu dari tadi. Serbuk-serbuk ini dikeluarkan oleh setiap tanaman yang ada di Hutan Peri. Tujuannya tentu saja menjadi pelindung bagi orang luar yang ingin masuk ke Kerajaan ini. Pantas saja, tak ada satupun penjaga dari pasukan peri di garis pantai. Sebab, mereka telah memberikan pertahanan yang sangat kuat.Merasa terdesak, Aprilia mengeluarkan pedangnya. Dia tahu pasti akan ada kejutan yang akan menyergapnya. Pedang tersebut menyala begitu tercabut dari sarungnya. Pedang peri
Sebenarnya bantuan apa yang diinginkan keduanya? Aprilia benar-benar penasaran. Dan juga bagaimana dua makhluk ini bisa percaya kepadanya begitu saja. “Aku tahu kau pasti penasaran kenapa kami mudah percaya kepadamu, sebab tujuan kita sama. Kami harus bertemu dengan Ratu Elyana, kau juga. Kita satu tujuan,” ucap Ram. “Dan untuk bisa ke tempat Ratu Elyana, kita harus menempuh perjalanan yang cukup jauh kalau di darat. Aku yakin kau tak akan mau melakukannya,” kata Junrei. “Aku bisa memahami kenapa jalanan di darat sangat lama. Benua ini luas. Kerajaan Peri salah satu tempa
Aprilia setuju. Maka mereka bertiga segera bergegas untuk menuju ke salah satu stasiun pemberhentian Kepompong Raksasa tersebut. “Tutup kepalamu!” pinta Ramwock. “Kau bisa dikenali bukan dari golongan peri. Telingamu!” Aprilia buru-buru menutup kepalanya. Mereka berjalan masuk ke stasiun, setelah itu Ramwock membeli tiket yang dibayar dengan menggunakan tiga buah batu safir berwarna biru muda. Alat pembayaran di Kerajaan Peri cukup unik, karena mereka tak membayar memakai uang melainkan batu-batu berharga. Di loket tampak salah satu peri laki-laki mengamati rombongan aneh ini. Satu kelinci, satu peri dan satu orang yang tidak dikenal. Setelah tiket didapatkan mereka segera menuj
“Ada apa kau ke mari? Bukankah kau sedang dalam masa hukuman?” tanya salah satu pengawal. “Kami sudah mendapatkan Bunga Panjang Umur, jadi sesuai dengan perjanjian kami harus bertemu dengan Ratu Elyana secara langsung,” kata Junrei. “Ratu tidak bisa diganggu untuk sementara waktu,” kata salah satu penjaga. “Ayolah, kenapa tidak bisa? Kami sudah berhari-hari mencari benda ini, tapi kenapa juga masih dipersulit?” gerutu Junrei. “Kami tidak bersalah, kami sama sekali tak mencuri bahan itu. Setelah bahan itu kami cari dan ketemu pun masih tidak dianggap?”
Ramwock dan Junrei tampak termenung di dalam ruang ramuan tempat mereka biasanya bekerja. Agak aneh saja setelah lama mereka mencari benda yang dituduhkan kepada mereka, kalau mereka menghilangkannya, lalu kembali lagi ke tempat ini. Ramwock menggoyang-goyangkan kakinya. Telinga kelincinya bergerak-gerak, sambil sesekali ia menggaruk-garuk lehernya. “Menurutmu kenapa Ratu menyuruh kita berada di tempat ini?” tanya Junrei. “Entahlah, aku tak mengerti,” jawab Ramwock. “Aku makin gelisah,” ujar Junrei. “Bagaimana nasib Aprilia setelah