Nina saat ini tengah memantau ruangan Fathan. Sekretaris baru itu sudah tidak sabar ingin mengetahui hasil dari rencananya. Sesekali ia berlari menuju ke pintu kaca mengintip suasana luar. Ia juga takut tiba-tiba Marvel masuk dan membuatnya ketehuan lagi. "Kira-kira makanannya udah dimakan belum, ya?" gumam Nina mulai gelisah. Wanita itu tak tenang hingga pekerjaannya pun masih belum disentuh.Nina terus melihat ke arah pintu ruangan Fatan. Selama waktu istirahat, Nina menatap pintu tersebut dan menanti Fatan keluar dari sana."Kenapa nggak ada tanda-tanda apa pun sih dari ruangan Tuan Fatan? Tuan Fatan juga nggak keluar," gerutu Nina. "Makanannya udah dihabisin belum, sih?"Wanita itu menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebentar lagi, waktu istirahat makan siang akan usai. Jika Fatan tidak keluar untuk menyatap makan siang di tempat lain, seharusnya Fatan sudah memakan makanan yang diletakkan oleh Nina."Apa yang sebenarnya terjadi di dalam? Apa Tuan Fatan udah m
Saat ini Nina masih berada di cafe bersama dengan Sarah. Nampaknya, wanita itu akan diomeli habis-habisan oleh Sarah yang kesal karena rencananya gagal total. Sarah melotot pada Nina hingga membuat wanita itu tak berani berkutik. "Kamu bilang gagal? Kamu ngapain aja, sih? Cuma ngerjain tugas kecil kayak gini aja nggak becus!" omel Sarah. Sorot mata Sarah menyala-nyala dengan wajah merah sempurna. Bahkan saat mengatakan hal itu pada Nina, urat-urat di lehernya yang jenjang tampak menonjol. Ia merasa kekesalannya bertambah-tambah saat dirinya gagal mengganggu Fatan di pantai, dan kini Nina pun gagal melaksanakan misi darinya. "Kamu ingat 'kan tugas utamamu di sana untuk apa?" lanjut Sarah masih dengan suara menggelegar.Keduanya pun langsung menjadi pusat perhatian di cafe tersebut. Nina tidak hanya dimarahi, tapi wanita itu juga dibuat malu di depan banyak orang. "Kenapa dia ngomel-ngomel di tempat umum kayak gini sih?" batin Nina jengkel pada Sarah, tapi tak bisa apa-apa selain dia
"Udah jam segini. Mendingan aku ke kantor Mas Fatan sekarang," gumam Aina seraya menenteng rantang makanan yang berisi hidangan makan siang yang sudah ia siapkan untuk sang suami tercinta. Seperti biasa, Aina akan mengantarkan bekal untuk Fatan dan menyantap makan siang bersama dengan suaminya di kantor. Aina nampak tergesa-gesa karena wanita itu takut waktu istirahat makan siang suaminya akan segera habis."Semoga aku nggak terlambat. Kasihan Mas Fatan pasti udah lapar," gumam Aina. Wanita bercadar itu gegas menuju ke mobilnya lantaran tak ingin suaminya lama menunggu.Tak lama kemudian, wanita itu pun akhirnya sampai di kantor Fatan. Ia pun langsung menuju ke ruang CEO, tapi sayangnya Aina tidak melihat siapapun di dalam ruangan tersebut. "Kok kosong? Bukannya sekarang jam makan siang?" gumam Aina.Aina menatap jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 siang tepat. Seharusnya saat ini semua karyawan beristirahat dan menyantap makan siang."Apa kerjaan Mas Fathan belum beres
Aina kembali ke ruangan sang suami usai ia berbincang dengan Nina. Wanita itu mengurungkan niatnya menemui Sofi, dan lebih memilih menunggu Fatan di ruang kerja CEO. Tak lama lagi rapat Fatan akan selesai. Aina duduk sendirian di ruangan Fatan sembari menatap jendela dengan tatapan kosong. Pikirannya berkecamuk. Otak dan hatinya seperti tidak sinkron, seolah tengah berperang dan mencari siapa pemenangnya.Wanita itu berulang kali menghela napas. Perkataan Nina tentang suaminya terus terngiang-ngiang di telinga."Kenapa aku jadi kepikiran mulu sama kata-kata pegawai itu?" gumam Aina dengan wajah muram. "Apa benar yang dikatakannya tentang Mas Fatan."Lagi, Aina menarik nafas panjang. Dadanya serasa sesak seperti ada beban berat yang menghimpitnya. "Aku harus percaya sama Mas Fatan. Biarpun Mas Fatan bersikap baik sama pegawai, itu cuma karena pekerjaan aja kan? Nggak mungkin Mas Fatan punya maksud lain ke pegawai wanita itu," ujar Aina mencoba memupuk kepercayaannya pada Fatan.Tiba-
Kendaraan yang ditumpangi oleh Aina mulai memasuki area yayasan tempat anaknya belajar. Sudah lama wanita itu tidak melihat kondisi kantor yayasan. Ini pertama kalinya Aina berkunjung kembali, setelah wanita itu sibuk dengan kegiatannya sebagai ibu rumah tangga."Selamat siang, Nyonya!" sambut Bu Linda pada Aina yang baru saja tiba. Beberapa guru tidak terlihat karena kedatangan Aina bertepatan dengan jam belajar.Aina melempar senyum tipis pada pegawai yang membantunya mengurus yayasan itu. "Selamat siang, Bu Linda. Bagaimana kabar Ibu? Saya nggak mengganggu, kan?" sapa Aina. "Saya baik, Nyonya. Tentu saja Nyonya tidak mengganggu. Silakan masuk, Nyonya!" Bu Linda membuka ruangan Aina yang dulu selalu menjadi tempatnya mencurahkan seluruh isi pikiran untuk memajukan yayasan ini.Bu Linda pun menemani Aina berkeliling yayasan setelah berbincang sejenak dan membahas mengenai perkembangan yayasan selama ditinggal oleh Aina. "Maaf, saya jarang menengok yayasan. Bu Linda nggak kerepotan
Fatan melajukan kendaraannya dengan kencang di jalan raya. Pria itu mulai berkeliling untuk mencari keberadaan sang istri. Tak peduli klakson dari pengendara lain terus berbunyi karena cara berkendara Fatan yang ugal-ugalan."Aina ke mana, sih? Kenapa dia nggak bilang dulu kalau mau pergi? Mana HP-nya dimatika. Lagi," gerutu Fatan. "Aku harus cari Aina ke mana dulu ini?" Fatan meminggirkan mobilnya lalu berpikir."Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa tadi Aina tampak berbeda? Apa aku sudah membuat kesalahan yang tidak kusadari? Tapi apa?" Fatan pun berencana mengunjungi tempat-tempat yang kira-kira didatangi oleh Aina. Tempat pertama yang akan ia sambangi tentunya kediaman Abi Hanif dan Umi Widuri, orang tua Aina."Semoga Aina ada di rumah Abi."Tak butuh waktu lama bagi Fatan untuk sampai di rumah sang mertua. Fatan cukup yakin kalau istrinya pasti ada di kediaman Abi Hanif."Assalamu'alaikum!" Fatan terlihat tenang saat mengetuk pintu. Fatan berharap, istrinya sendiri yang akan memb
Aina kebingungan mendengar kalimat yang terucap dari suaminya. Dia tidak ada niat untuk meninggalkan suaminya sama sekali. Justru dia yang ketakutan kalau sampai suaminya meninggalkan dirinya. Terlebih setelah mendengar pengakuan Nina di kantor yang membuatnya resah sepanjang hari hingga memilih untuk ke yayasan agar lupa dengan hal itu."Kenapa kamu bicara seperti itu, Mas?" tanya Aina curiga. "Apa suami yang melakukan kesalahan akan menutupi dengan sikap seperti ini seolah-olah dia sangat membutuhkan kita?" batin Aina berspekulasi."Kenapa HP-mu nggak aktif? Kenapa kamu nggak bilang kalau mau ke yayasan?" Fatan memberondong Aina dengan pertanyaan.Aina menghela nafas panjang sebelum menjawab. Lalu ia menarik tangan suaminya agar mau duduk di sofa. "Tadi dari kantor aku langsung ke sekolah untuk melihat kondisi sekolahan, Mas. Sudah sangat lama aku tidak berkunjung dan ternyata banyak sekali perubahan di sana. Aku memeriksa laporan selama beberapa bulan ini sampai lupa ngabarin kamu
"Hari ini ada janji temu dengan klien sebelum jam makan siang, Tuan," ucap Marvel membeberkan jadwal kerja Fatan.Fatan membolak-balikkan halaman berkas yang ada di tangannya seraya memeriksa arloji di pergelangan tangannya. "Oke. Masih ada waktu. Tolong bantu saya memeriksa semua laporan ini sebelum kita pergi.""Baik, Tuan." Marvel segera duduk di hadapan Fatan lalu ikut menyibukkan diri dengan berkas-berkas tersebut. Di sela-sela kesibukan Fatan dan Marvel, tiba-tiba Marvel teringat kembali dengan pekerjaan yang harus ia lakukan. "Maaf, Tuan. Saya baru ingat kalau hari ini kita harus pergi ke kantor cabang untuk memantau alat-alat baru yang dikirimkan hari ini."Fatan melirik sekilas ke arah Marvel. Nampaknya mereka mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sekaligus dalam satu waktu. Namun, tak mungkin Fatan bisa mengurus pekerjaan di dua tempat berbeda."Benarkah? Kenapa kamu baru bilang sekarang?" omel Fatan."Maaf, Tuan. Pihak ekspedisi menghubungi saya pagi tadi dan
"Aku nggak nyangka hubungan Kak Bintang sama Azkia bisa mulus dan lancar kaya jalan tol gini," gumam Mentari. Wanita itu cukup terkejut saat mendengar kabar dari Bintang mengenai acara pernikahan Bintang.Bintang tidak ingin menunda pernikahannya terlalu lama. Keluarga Bintang dan keluarga Azkia pun segera menyusun pesta pernikahan sederhana untuk meresmikan hubungan putra-putri mereka."Aku nggak mau buang-buang waktu. Aku takut Azkia berubah pikiran," sahut Bintang."Kak Bintang nggak maksa Azkia buat nerima Kak Bintang, kan?" tuduh Mentari."Kamu jangan sembarangan ngomong! Aku nggak maksa Azkia. Sekalipun Azkia nolak pun aku juga nggak akan marah kok," timpal Bintang.Saat ini Mentari tengah berada di rumah orang tuanya untuk membantu Bintang menyiapkan pernikahan Bintang. Wanita itu sibuk menolong Bintang membungkus barang-barang seserahan yang akan diberikan pada Azkia nanti."Apa acaranya nggak terlalu terburu-buru, Kak? Ada banyak hal yang harus kita siapin, tapi kita nggak pu
Azkia duduk termenung, memikirkan pertanyaan yang dilontarkan oleh Mentari tempo hari. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Mentari menawarkan kakaknya pada Azkia.Azkia tidak menanggapi serius pertanyaan Mentari. Wanita itu hanya menjawab asal saat dirinya diberi pertanyaan mengenai Bintang.Azkia kira, Mentari hanya bercanda saat Mentari meminta Azkia menikah dengan Bintang. Namun, ternyata perkataan Mentari bukan sekedar gurauan belaka. Mentari bersungguh-sungguh, begitu pula dengan Bintang. Hari ini, Bintang mengajak Azkia bertemu untuk membahas hal ini. Karena Azkia belum memberikan jawaban pasti, Bintang ingin kembali menanyakan kesediaan Azkia untuk menjadi istrinya."Aku datang nggak, ya?" gumam Azkia ragu.Azkia tidak mengenal Bintang. Azkia juga baru beberapa kali berjumpa dengan Bintang.Wajar saja kalau wanita itu merasa ragu. Siapa orang yang ingin menikah dengan pria yang tidak dikenal. Pastinya Azkia tak mau memilih sembarang pria untuk dijadikan suami. Ada banyak ha
Aina tertawa. Penjelasan Revan membuat wanita itu langsung membuat kesimpulan."Maaf, Ma? Apa ada yang lucu? Kenapa Mama ketawa terus?" tanya Revan.Aina kembali tergelak. Kepolosan putri dan menantunya membuat wanita itu tak bisa berhenti tertawa."Maaf, Revan. Cerita kamu lucu banget. Mama nggak tahan pengen ketawa," sahut Aina."Bagian mana yang lucu?" batin Revan dengan wajah bingung. "Revan, tolong kamu bawa Mentari ke dokter kandungan," ucap Aina kemudian. "Dokter kandungan?""Percaya aja sama Mama. Bawa Mentari ke dokter kandungan, setelah itu kasih kabar ke Mama, ya?"***"Kamu kenapa bawa aku ke sini?" tanya Mentari kesal karena sudah dibohongi oleh Revan. Wajahnya sudah tak bersahabat. Bibir mengerucut dengan tatapan ingin marah. Namun ia tak mungkin mengungkapkan kemarahannya di depan suami karena ia yakin sang suami melakukan ini karena khawatir padanya.Saat ini pasangan suami istri itu tengah berada di rumah sakit dan hendak berjumpa dengan dokter kandungan, sesuai de
"Gimana? Kalian dapat kerak telurnya?" tanya Revan cemas."Maaf, Mister. Semua penjual kerak telur sudah tutup."Mentari mengomel begitu mendengar jawaban Revan. Mentari tak mau mendengar alasan apa pun. "Pokoknya aku mau kerak telur sekarang! Kalau Huby nggak bisa dapetin kerak telur, mendingan Huby tidur di luar aja!" omel Mentari."T-tapi, Huny ...."Brak! Mentari menutup pintu kamar dengan kencang setelah mengusir suaminya keluar dari kamar. Gara-gara kerak telur, Mentari marah pada Revan hingga Mentari tak mau tidur dengan Revan."Kerak telur sialan!" umpat Revan dongkol bukan main. "Cari kerak telur lagi sampai ketemu!" teriak Revan pada anak buahnya.***"Hoam!" Pagi-pagi sekali, Revan membuka mata setelah mendengar suara adzan subuh. Pria dengan kantung mata hitam itu perlahan bangkit dari sofa empuk yang menjadi alas tidurnya. Selama semalaman, Revan tidur di sofa ruang tengah usai dirinya diusir oleh Mentari.Tragedi kerak telur sudah menghancurkan istirahat Revan. Pria itu
"Tidur aja, Huny."Revan mengusap-usap kepala Mentari hingga akhirnya wanita itu terlelap. "Cepat sembuh ya, Huny. Kamu nggak boleh sakit," gumam Revan.Revan membenarkan selimut sang istri, kemudian beranjak meninggalkan kamar. Mau tak mau, Revan harus membawa seluruh pekerjaannya ke rumah. Meskipun tak bisa pergi ke kantor, tapi Revan tetap harus bertanggungjawab pada pekerjaannya."Aldo, hari ini saya kerja dari rumah. Tolong kasih saya update laporan setiap dua jam, ya?" perintah Revan pada sang sekretaris melalui sambungan telepon."Baik, Mister."***"Gimana keadaan kamu, Huny? Masih mual nggak?" tanya Revan pada Mentari.Gurat kekhawatiran tercetak jelas di wajah tampan Revan. Lelaki itu benar-benar spot jantung kala melihat sang istri bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan seluruh isi perutnya. Belum lagi wajah pucat sang istri membuat lelaki itu tak tega.Wajah Mentari masih pucat. Mual dan muntah yang dialami oleh wanita itu juga masih terasa. Mentari sudah meminum oba
Mentari merasa usahanya akan sia-sia jika pertemuan ini sampai gagal. Terpaksa, Mentari harus mengambil langkah besar demi masa depan kakak dan juga temannya."Azkia, boleh aku tanya sesuatu?" ucap Mentari."Tanya aja?""Gimana pendapat kamu tentang Kak Bintang? Apa menurut kamu Kak Bintang bisa jadi suami yang baik?" tanya Mentari pada Azkia.Wajah Azkia langsung memerah begitu ia mendapatkan pertanyaan yang cukup mengejutkan dari sang teman. "Tuan Bintang cukup mapan dan tampan. Pasti ada banyak perempuan yang mau dijadiin istri sama Tuan Bintang," sahut Azkia."Kalau kamu? Apa kamu mau jadi istrinya Kak Bintang?" tanya Mentari pada Azkia.***Pagi-pagi sekali, Mentari sudah bangun dari ranjang, kemudian berlari menuju ke kamar mandi. Wajah wanita itu terlihat pucat dan tubuh Mentari juga agak lemas. Perutnya seperti diaduk-aduk dan ada yang berdesakan untuk minta dikeluarkan. Karena sudah tak bisa lagi menahan, ia sampai melompati suaminya hingga membuat lelaki itu kaget dan terban
"Kamu mau dukung rencana aku, kan?" tanya Mentari pada Revan.Mana mungkin Revan mampu menolak permintaan dari istri kesayangannya. Tanpa banyak tanya lagi, Revan pun akhirnya memberikan izin pada Mentari untuk pergi bersama dengan Azkia, dan ia juga akan ikut membantu istrinya untuk menjalankan rencana Mentari."Aku akan melakukan apa pun untuk kamu."Mentari memeluk sang suami dengan wajah girang. "Terima kasih, Huby!"***"Azkia!" Mentari melambaikan tangan pada Azkia yang sudah menunggu dirinya di sebuah cafe yang ada di dalam mall.Sesuai dengan rencana, hari ini Mentari akan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan bersama dengan Azkia di area pusat perbelanjaan tersebut. Sebelum pergi, Mentari sudah mengingatkan suaminya untuk segera mengajak Bintang pergi ke mall yang ia datangi bersama Azkia."Kamu udah nunggu lama?" sapa Mentari berbasa-basi. Wanita itu menatap penampilan Azkia yang sangat anggun dan menawan. Sejak zaman kuliah dulu, Azkia memang cantik. Tak sedikit pria yan
Pertemuan antara Mentari dan Pak Tohar pun berlangsung cukup lama. Mentari dan Pak Tohar dapat cepat akrab dengan adanya Azkia yang menjembatani mereka. Selama pertemuan berlangsung, Bintang terus mencuri pandang ke arah Azkia, hingga membuat Mentari keheranan. Dari sorot mata pria itu, terlihat jelas kalau Bintang tengah menunjukkan ketertarikannya pada Azkia."Kenapa Kak Bintang lihatin Azkia mulu dari tadi? Apa mungkin Kak Bintang naksir sama Azkia?" batin Mentari curiga.Mentari berkali-kali memergoki sang kakak mencuri-curi pandang ke arah Azkia sampai pertemuan mereka berakhir. Hal ini pun membuat Mentari semakin yakin kalau Bintang memang tertarik pada Azkia."Kak bintang ketahuan banget sih kalau naksir Azkia," batin Mentari. "Apa aku coba jodohin mereka aja? Kak Bintang kan masih jomblo. Sudah saatnya juga untuk membina rumah tangga agar tidak pacaran dengan pekerjaannya terus. Kalau Azkia juga jomblo ... mereka pasti bisa jadi pasangan serasi."***"Huny, besok kan hari Ming
"Itu berkas buat besok? Kayaknya besok sibuk banget, ya?" tanya Revan pada Mentari yang nampak asyik menyiapkan banyak berkas. Pria itu menatap istrinya yang sibuk dengan perasaan berkecamuk. Ada rasa kasihan melihat istrinya berjibaku dengan pekerjaan padahal dirinya sangat mampu untuk mencukupi semua kebutuhan hidup sang istri. Bahkan apapun yang diminta oleh wanita yang dicintai itu bisa dia berikan sangat mudah. Namun ia juga tak bisa melarang sang istri bekerja karena itu adalah perusahaan istrinya sendiri. Pasangan suami istri baru itu sudah kembali dari acara bulan madu mereka. Setelah puas menikmati liburan di Dubai, kini waktunya mereka kembali beraktivitas seperti sebelumnya. Sebagai pimpinan perusahaan baru, sepertinya Mentari akan mulai disibukkan dengan pekerjaan yang menumpuk. "Iya, Huby. Besok aku ada pertemuan penting.""Pasti berat ya ngurus perusahaan sendiri seperti ini," komentar Revan. "Jangan terlalu capek, Huny. Kalau butuh bantuan katakan saja, suamimu ini b