Bab 19 "Api Dalam Sekam"Pak Alex berdiri gelisah di depan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), menggenggam erat ponselnya seolah benda itu mampu memberinya jawaban. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kerut kekhawatiran. Sudah hampir seharian sejak Celine, kondisinya masih kritis, setelah kecelakaan fatal tadi malam.Anto dan Dion, dua pengawal setianya, berdiri tak jauh dari sana. Sesekali mereka bertukar pandang, bingung harus berkata apa untuk menenangkan pria paruh baya itu."Pak, kalau boleh saran, mungkin Arief harus diberi tahu soal ini," kata Anto hati-hati.Pak Alex menghela napas panjang, tatapannya tetap terpaku pada pintu IGD yang sesekali terbuka oleh perawat yang lalu lalang. "Arief?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. "Apa dia pantas tahu?""Bagaimanapun dia suami Bu Celine, Pak," Dion menambahkan, suara beratnya terdengar tegas.Pak Alex terdiam, lalu mengangguk pelan. "Baik. Anto, pergi temui dia. Beritahu dia tentang kondisi Celine."Anto segera melangk
Bab 20 "Dua Kutub Yang Berbeda"Arief mendorong kursi rodanya dengan kasar, kembali ke depan IGD di mana Pak Alex berdiri dengan ekspresi penuh tekanan. Kekesalan yang ia rasakan sudah tidak bisa lagi ditahan. Begitu sampai di dekat Pak Alex, ia langsung berbicara tanpa basa-basi."Pak Alex, aku tidak akan diam saja menerima ancamanmu," kata Arief tajam. "Kalau kau terus seperti ini, aku juga akan melawan!"Pak Alex memutar tubuhnya perlahan, wajahnya dingin seperti es. "Melawan?" katanya mengejek. "Itulah masalahmu, Arief. Kau selalu pendek akal. Alih-alih sadar dan memperbaiki diri, kau malah mencari pembenaran atas semua kesalahanmu!"Arief mengepalkan tangan, wajahnya merah padam. "Aku masih suami sah Celine! Itu artinya aku punya hak untuk mengatur hidup kami. Kau hanya orang luar, Pak Alex. Jangan pernah ikut campur dalam urusan rumah tangga kami!"Pak Alex melangkah maju, berdiri tepat di depan Arief, membungkuk sedikit agar bisa menatap mata Arief dengan tajam. "Aku memang ora
Tiga hari tiga malam, Pak Alex berjaga di samping tempat tidur Celine. Matanya merah, lingkar hitam tebal terlihat jelas di bawah kelopak matanya. Ia hampir tak pernah tidur. Nasi kotak yang dipesan sekretarisnya masih utuh di meja, hanya kopi yang sesekali disentuh. Kesehatannya mulai goyah, tapi ia tetap bersikeras berada di sana.Pak Made, berdiri di sudut ruangan bersama Maya dan Vina, dua sekretaris Pak Alex. Mereka saling pandang dengan wajah cemas.“Pak Made, bagaimana kalau Bapak pingsan?” bisik Maya prihatin.“Sudah saya coba membujuk, tapi beliau keras kepala,” jawab Pak Made pelan. “Biarkan saja dulu, mungkin ini cara beliau menunjukkan kasih sayangnya kepada Celine.”Pak Alex duduk, tangannya menggenggam jemari Celine yang dingin. Pandangannya kosong menatap monitor jantung di samping ranjang. Ia menghela napas panjang, lalu menatap wajah yang separuhnya tertutup perban itu, suaranya hampir serak.“Celine... kalau kamu sadar,
Teman, sahabat dan koleganya Pak Alex nampak tumpah ruah berdatangan dan mengucapkan belasungkawa. Pak Alex hanya terdiam, matanya terus tertuju pada prosesi pemakaman.Setelah jasad Celine ditimbun tanah, kemudian dibacakan doa. Kemudian tak lama setelah itu, yang hadir mulai bubar satu persatu, mereka banyak yang berlarian karena hujan mulai turun dengan derasnya. Tapi Pak Alex tak perduli tubuhnya basah kuyup, ia masih bersimpuh disamping pusara Celine. Pusara Celine tampak tenang, bertolak belakang dengan gejolak hati CEO itu. Air matanya tampak bercampur dengan air hujan, di wajahnya yang penuh kepedihan.“Kenapa bukan aku saja? Kenapa bukan aku?” suara Pak Alex parau, hampir tenggelam oleh gemuruh petir di langit. Tangannya meremas tanah kuburan Celine seolah ingin menggali kembali apa yang telah terkubur.Pak Made, yang berdiri di belakangnya sambil memayungi, mencoba mendekat. “Pak, mari kita pergi. Hari sudah hampir malam dan hujan semak
Bab 24 "Dunia Gelap Gulita"Pak Alex masih di dalam makam dan terkubur hidup-hidup. Ia masih berusaha mencari cara agar bisa keluar, namun sia-sia. Tiba-tiba saja Pak Alex tersentak bangun dari tidurnya. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat dingin, napasnya terengah-engah, Mimpi buruk itu demikian seram. Ia memegang dadanya yang terasa berat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang memburu.Pandangannya beralih ke lorong rumah sakit yang sunyi. Lampu-lampu neon memancarkan cahaya putih yang dingin, menciptakan bayangan panjang di sepanjang lantai. Kursi-kursi kosong berjajar rapi, menemani kesunyian malam yang terasa begitu mencekam.Di dekatnya, Arief tampak tertidur pulas di kursi roda. Pak Alex melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul dua dini hari. Tiga hari tiga malam ia di sini, menanti kabar baik tentang kondisi Celine. Namun, setiap detik yang berlalu terasa seperti seabad.Ia menghela napas panjang, tubuhnya terasa lelah, pikirannya kusut. "Kenapa ini terasa lebih ber
Bab 24: "Jejak di Pusaran Cinta"Dengan tatapan kosong, Arief memutar roda kursi yang menopangnya perlahan. Udara di lorong rumah sakit terasa berat, seolah tiap langkah kecilnya menggema dengan deru mesin ICU yang baru saja ditinggalkan. Ia menunduk, menyembunyikan mata yang merah sembab.Dokter dan Pak Alex masih berdiri di dekat ranjang pasien.Celine, yang terbaring lemah berkata dengan suara lemah, ia meminta, "Pak Alex.. bisakah saya sendiri dulu?"Pak Alexo ragu sejenak, tetapi mengangguk. "Baiklah. Kami di luar kalau kamu butuh sesuatu."Ketika mereka keluar, Celine memejamkan mata. Air matanya mengalir diam-diam, mengingat detik-detik kecelakaan itu. Apa ini pertanda semuanya harus berakhir? pikirnya, mencoba meraba garis takdir yang kini terasa samar.Di lobby rumah sakit, Arief memegang ponselnya dengan tangan gemetar. Ia menarik napas panjang sebelum menekan nama X-GF College di daftar kontak. Setelah beberapa nada sambung, suara Vera yang dingin menjawab."Ada apa, Arief?
Bab 26 "Jalan Semakin Gelap"Arief turun dari taksi dengan langkah berat, matanya sembab dan wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Ia melirik arloji di pergelangan tangannya. Hari semakin siang dan langit mulai terang. Ketika ia mengangkat kepala, matanya menangkap sosok Pak Made, Ketua RT sekaligus tetangganya, yang sedang masuk ke dalam mobil.Arief mengangkat tangannya, mencoba menyapa. "Pak Made, mau ke mana?"Pak Made hanya memandang sekilas tanpa ekspresi. Ia tak menjawab, hanya melambaikan tangan sekenanya sambil masuk ke mobil. Dalam hitungan detik, mobil itu melaju menjauh meninggalkan Arief yang berdiri termangu.Arief menghela napas panjang. "Cih, sombong sekali," gumamnya kesal.Tanpa membuang waktu lagi, Arief melangkah menuju rumahnya. Rasa jengkelnya pada sikap dingin Pak Made mulai tergeser oleh lelah yang menghantui. Pikirannya berkecamuk, membayangkan segala hal yang harus ia hadapi.Saat ia membuka pintu kamarnya, telepon genggamnya berbunyi nyaring. Layar menunj
Bab 26 "Motivasi dan Nasehat"Celine duduk bersandar di tempat tidurnya. Pandangannya gelap, karena masih diperban. Celine merasa seakan dunia di sekelilingnya tidak lagi berarti. Sejak kecelakaan yang merenggut penglihatannya, ia merasa hidupnya berakhir. Suara lembut Pak Alex memecah lamunannya."Celine," ujar Pak Alex sambil duduk di kursi dekat ranjangnya. "Aku tahu ini berat untukmu. Tapi aku berjanji, aku akan melakukan segalanya untuk mengembalikan penglihatanmu."Celine tetap diam, tidak menunjukkan respons sedikit pun. Pak Alex melanjutkan, mencoba menawarkan secercah harapan."Aku kenal seorang dokter di Korea Selatan. Ahli bedah yang sangat terkenal. Aku akan membawamu ke sana, Celine. Operasi ini bisa menjadi jalan keluar."Celine menghela napas pelan, namun tidak menoleh. Pak Alex hanya bisa menatapnya dengan tatapan prihatin, berharap kata-katanya bisa menembus dinding dingin yang kini membatasi mereka.Beberapa saat kemudian, suara ketukan di pintu memecah keheningan. P
Bab 55 "Akhir Yang Menyakitkan"Celine yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan langsung mendekat, tak bisa lagi menahan dirinya. "Daniel, apa-apaan kamu bicara seperti itu pada Bi Minah? Dia sudah tua dan perlu istirahat!"Daniel menoleh ke arah Celine dengan tatapan santai. "Kenapa, Tante? Dia itu kan pembantu, tugasnya melayani. Kalau nggak becus, ya sudah, cari yang lain. Simple kan?""Dia bukan robot yang bisa kamu suruh sesukamu! Ini jam dua pagi, Daniel! Tidak sopan menyuruh seseorang bangun tengah malam hanya untuk memenuhi permintaan sepele!" suara Celine meninggi, emosi mulai menguasainya.Daniel menyeringai. "Kalau Tante mau bantuin, Tante juga boleh bikin nasi goreng buat saya. Tapi saya nggak yakin Tante bisa masak enak."Celine terkejut dengan ucapannya. "Kamu sudah keterlaluan, Daniel!"Daniel mendekat dengan sikap santai. "Santai aja, Tante. Ini rumah Om Alex, kan? Saya cuma menikmati fasilitas keluarga. Lagipula, Tante cuma istri barunya. Jadi, jangan sok mengatur,
Bab 54 "Daniel Berulah"Daniel menyeringai lebar, matanya memandanginya dengan nafsu yang menjijikan, membuat Celine merasa tidak nyaman. "Santai saja, Tante."Celine langsung menegakkan tubuhnya, menahan kimono yang terikat di pinggangnya. "Apa-apaan ini? Kenapa kamu di kamar saya?"Daniel bangun melangkah maju, senyumnya tetap lebar. "Ah, Tante Celine... saya hanya ingin bilang kalau Tante itu cantik sekali. Om Alex benar-benar beruntung punya istri seperti Tante."Wajah Celine memerah, bukan karena tersanjung, tapi karena amarah dan merasa terhina. "Keluar sekarang juga, Daniel! Sebelum saya memanggil Hera!"Daniel tidak bergerak. "Kenapa marah? Saya hanya memuji. Lagian mama tidak pernah marah, ketika saya bergaul dengan wanita manapun.""Keluar!" Celine menghardik dengan nada tinggi, matanya membara. "Saya tantemu sendiri, bukan wanita manapun!"Daniel tertawa kecil, tapi akhirnya melangkah mundur. "Baiklah, baiklah. Jangan terlalu tegang, Tante. Saya pergi sekarang. Tapi lain ka
Bab 53 "Keluarga Arogan"Malam itu, kamar pengantin dihiasi cahaya lampu temaram. Celine duduk di atas ranjang, mengenakan gaun tidur sutra berwarna putih gading. Ia memandang Alex yang tampak sibuk melepaskan dasinya, lalu duduk di kursi di dekatnya.Alex menghela napas, seakan sedang mempersiapkan sesuatu yang berat untuk dibicarakan."Sayang," ucapnya, memecah keheningan. "Ada yang perlu kamu tahu soal Hera."Celine menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Apa itu?" tanyanya lembut, meski hatinya berdebar.Alex menarik napas dalam-dalam. "Hera adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Saat dia melahirkan Daniel, ayah kami meninggal dunia. Lalu, ketika Daniel berusia sepuluh tahun, ibu kami juga pergi."Celine menyentuh tangan Alex, merasakan kesedihannya yang tersirat dalam suara. "Aku tidak tahu kamu melalui semua itu sendiri," katanya pelan.Alex melanjutkan, "Setelah Daniel berusia tiga tahun, Latif membawa mereka ke Kanada karena pekerjaannya di sana. Hera hanya sempat dua kali
Bab 52 "Lembaran Baru"Pesta pernikahan Alex dan Celine berlangsung megah di sebuah aula yang dihiasi bunga putih dan lilin mewah. Hari itu, kebahagiaan pasangan pengantin terpancar dari wajah keduanya. Walaupun sudah berjam-jam berdiri menyambut 3000 tamu undangan, tapi Alex dan Celine tetap tersenyum cerah, menyalami tamu undangan yang datang dari berbagai kalangan."Selamat ya, Alex! Akhirnya kau menemukan pasangan hidup yang tepat," ujar seorang kolega Alex sambil tertawa ringan."Terima kasih," jawab Alex hangat.Tak jauh dari pelaminan, antrean panjang masih terlihat mengular. Namun, perhatian Alex tiba-tiba tertuju pada sekelompok tamu yang baru saja tiba, seorang wanita paruh baya yang anggun dengan aura tegas, seorang pria berkacamata dan dua anaknya.Alex membelalakkan mata. "Hera?" bisiknya tak percaya.Ketika wanita itu sudah dekat, Alex tak bisa menahan diri. Ia langsung memeluk wanita yang wajahnya tak asing baginya."Mbak Hera!" seru Alex penuh keharuan, mencium pipi
Bab 51 "Vonis Untuk Vera"Ruang sidang sore itu penuh sesak. Suasana tegang sangat terasa. Banyak pengunjung yang berbisik-bisik karena penasaran.Di kursi pesakitan, Vera duduk dengan wajah penuh amarah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Di sebelahnya ada Arman, Evi, Arief, dan Ario Bayu, masing-masing menunduk menanti vonis hakim.Alex duduk di bangku pengunjung, ditemani Celine yang memegang erat tangannya. Di belakang mereka, para pegawai Alex seperti Pak Made, Eva, Vina, Maya, Dion, dan Anto turut hadir untuk menyaksikan akhir dari perjuangan panjang mereka.Hakim mengetukkan palu tiga kali, menandakan sidang dimulai."Sidang putusan terdakwa Vera dimulai," ujar Hakim dengan suara tegas.Vera menatap hakim dengan tatapan dingin, sementara para pengunjung menahan napas menanti putusan.“Setelah melalui serangkaian persidangan dan mempertimbangkan semua bukti yang ada, terdakwa Vera, sebagai otak utama dalam kasus penculikan dan percobaan pembunuhan terhadap saudara Alex Subr
Bab 50 "Pertemuan"Pak Made lalu berbalik ke arah petugas polisi. “Pak, di mana tepatnya Pak Alex sekarang? Kami ingin segera ke sana.”Petugas itu membuka catatannya, lalu menjawab, “Pak Alex saat ini berada di sebuah perkampungan nelayan di Lombok. Beliau ditemukan oleh nelayan di daerah itu, lalu dibawa ke Puskesmas setempat untuk mendapatkan perawatan.”Pak Made mengangguk mantap. “Baik, kami akan segera ke sana.”Eva menatap Pak Made dengan raut cemas. “Tapi, Pak, bagaimana kita bisa sampai ke Lombok dengan cepat? Perjalanan ke sana tidak mudah.”Pak Made berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita akan cari penerbangan secepat mungkin. Ini soal hidup dan mati. Aku tidak peduli berapa biayanya, kita harus ke sana sekarang juga.”Anto ikut menyela. “Aku bisa bantu mengatur tiket pesawat. Aku punya kenalan di travel agent, mungkin dia bisa mempercepat urusannya.”“Bagus,” jawab Pak Made. “Kau urus itu. Eva dan aku akan mengabari Celine. Dia harus tahu bahwa Pak Alex masih hidup.”Dion me
Bab 49 "Kebenaran Akan Terungkap"Setelah puas, Anto menggiring Vera ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Awalnya ia menolak, tapi karena dipaksa dan Vera takut Anto berbuat macam-macam lagi, akhirnya ia mau.Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di luar rumah. Beberapa polisi masuk ke dalam kontrakan, dipimpin oleh seorang perwira yang mengenakan seragam rapi.“Dimana terduga pelakunya?” tanya sang perwira dengan nada tegas.Anto segera melangkah maju. “Ini pak. Wanita itu yang bertanggung jawab atas pembunuhan bos kami. Dia juga sedang berencana kabur ke Jambi.” Perwira polisi itu mengangguk sambil mengamati Vera. “Kami akan membawanya ke kantor untuk penyelidikan lebih lanjut.”Salah satu polisi menghampiri Vera dan mengikat tangannya. “Silakan ikut.” katanya dengan nada dingin.Vera berdiri dengan angkuh, meskipun wajahnya tetap memerah karena rasa malu. Ia berjalan keluar rumah, diikuti Polisi,
Bab 48 "Pencarian Sia-sia"Arman terbangun dari pingsannya dengan rasa pening luar biasa di kepala. Anak buah Anto yang menyadarkannya tampak dingin, sementara Pak Made berdiri di depannya dengan wajah penuh amarah."Dimana kalian membuang Pak Alex?" Pak Made bertanya dengan nada mengintimidasi.Arman hanya menyeringai lemah. "Pak Made, bahkan jika saya bilang, itu tidak akan mengubah apapun. Dia sudah mati."Pak Made mengepalkan tinjunya, tapi Eva buru-buru menahan lengannya. "Jangan! Kita butuh dia bicara," katanya sambil melirik ke arah Arman.Pak Made menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Eva lalu menyarankan. "Sebaiknya kita bawa Arman ke lokasi kejadian. Karena dia yang paling tahu tempatnya," Pak Made mengangguk setuju, lalu memberi perintah kepada anak buah Anto. "Pakaikan dia kaos dan celana pendek. Kita tidak punya waktu untuk basa-basi."Arman tertawa kecil, meski terbatuk karena efek puk
Bab 47 "Vera Tertangkap"Alex membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, dan kepalanya terasa berat seperti habis dihantam benda keras. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa lemah. Seorang perawat mendekat, membawa segelas air.“Pak, Anda sudah sadar. Alhamdulillah,” ucap perawat itu lembut.Alex menatap wajah perawat itu, bingung. “Di mana saya? Apa yang terjadi?”“Anda sedang di puskesmas, Pak. Sudah dua hari Anda tidak sadarkan diri. Tiga nelayan menolong Anda di laut. Lalu mereka membawa Anda ke sini,” Si perawat menjelaskan sambil membantu Alex duduk dan menyerahkan segelas air.Alex tersentak. Bayangan dirinya terikat besi besar dan tenggelam kembali menghantui pikirannya. Ia ingat saat-saat menegangkan itu, tubuhnya terhisap oleh gelapnya laut, udara semakin menipis, dan ketakutan akan kematian yang mengintai.“Dua hari?” gumam Alex. “Saya… saya diculik dan dibuang ke laut. Bagaimana bisa saya selamat?”“N