Bab 26 "Motivasi dan Nasehat"Celine duduk bersandar di tempat tidurnya. Pandangannya gelap, karena masih diperban. Celine merasa seakan dunia di sekelilingnya tidak lagi berarti. Sejak kecelakaan yang merenggut penglihatannya, ia merasa hidupnya berakhir. Suara lembut Pak Alex memecah lamunannya."Celine," ujar Pak Alex sambil duduk di kursi dekat ranjangnya. "Aku tahu ini berat untukmu. Tapi aku berjanji, aku akan melakukan segalanya untuk mengembalikan penglihatanmu."Celine tetap diam, tidak menunjukkan respons sedikit pun. Pak Alex melanjutkan, mencoba menawarkan secercah harapan."Aku kenal seorang dokter di Korea Selatan. Ahli bedah yang sangat terkenal. Aku akan membawamu ke sana, Celine. Operasi ini bisa menjadi jalan keluar."Celine menghela napas pelan, namun tidak menoleh. Pak Alex hanya bisa menatapnya dengan tatapan prihatin, berharap kata-katanya bisa menembus dinding dingin yang kini membatasi mereka.Beberapa saat kemudian, suara ketukan di pintu memecah keheningan. P
Bab 27 "Bayang-bayang Kebenaran"Ruangan terasa sunyi. Pak Alex masih duduk di samping tempat tidur Celine, mencoba melupakan luka lama yang kini kembali menyeruak. Namun, karena Celine penasaran, membuatnya tak bisa menolak untuk menceritakan.“Pak Alex,” ucap Celine, memecah keheningan. “Jangan ceritakan kalau itu menyakitkan?”Pak Alex menarik napas panjang, wajahnya tampak menegang. Ia menatap lantai seolah mencari kekuatan dari sana.“Tidak apa-apa, demi kamu. Istriku, Tina… dia sudah meninggal dua tahun yang lalu,” jawabnya akhirnya, suaranya berat.Celine terdiam. Hatinya terasa perih mendengar itu. “Maaf… Aku tidak tahu. Aku tidak bermaksud mengorek kenangan pahit itu.”Pak Alex menggeleng kecil, memaksakan senyum tipis. “Tidak apa-apa, Celine. Tina adalah bagian penting dari hidupku. Tidak mungkin aku melupakannya, meskipun kenangan itu terkadang menyakitkan.”Celine mengangguk pelan, namun ia masih merasa bersalah. “Bagaimana dia meninggal?” tanyanya dengan hati-hati.Pak Al
Bab 28 "Cerai"Ruangan di lembaga pemasyarakatan itu sunyi, hanya suara derit pintu dan langkah kaki yang terdengar menggema. Pak Alex duduk berhadapan dengan sopir yang dulu merenggut kebahagiaan hidupnya. Wajah sopir itu tampak penuh penyesalan, sementara Pak Alex menatapnya dengan amarah yang tertahan.“Jadi, apa yang ingin kau sampaikan?” tanya Pak Alex dingin.Sopir itu menunduk dalam-dalam. “Saya.. saya waktu itu hanya menjalankan perintah.”Pak Alex mengerutkan kening. “Perintah siapa dan kenapa baru sekarang kau mengakui, kenapa tidak waktu di pengadilan dulu!"Dengan suara bergetar, sopir itu menjawab, “Maaf pak, waktu saya takut karena mbak Vera, mengancam akan membunuh anak saya jika saya mengaku, bahwa dia yang menyuruh Pak. Saya, tidak punya pilihan."Pak Alex terperangah. Nama itu menghantamnya seperti pukulan telak. “Vera?! Vera yang mana maksudmu? di Bali ini banyak yang bernama Vera, ngomong yang jelas! Jangan ngasih saya teka-teki!""Vera.. Vera Rahmi Diany pak, yang
Bab 29 "Cinta Makin Bersemi"Langit Amsterdam tampak cerah ketika pesawat mendarat di Schiphol Airport. Celine duduk di kursi roda yang didorong oleh seorang staf bandara. Pak Alex berjalan di sampingnya, memegang tongkatnya dengan hati-hati. Celine mengenakan kacamata hitam, wajahnya tetap tenang meski hatinya sedikit gelisah.“Celine, kau siap?” tanya Pak Alex lembut.Celine mengangguk. “Aku harus siap. Ini rumah baru untukku sekarang.”Di pintu keluar, seorang pria paruh baya dengan rambut sedikit memutih melambaikan tangan. Bersamanya ada seorang gadis muda yang terlihat ceria.“Celine!” seru Peter dengan senyum yang bahagia.Pria itu adalah Peter, ayah Celine, yang segera memeluknya erat. “Celine, kau akhirnya sampai. Aku begitu khawatir!”Pak Alex tersenyum bahagia melihat pertemuan itu. Ia juga tak menyangka papanya Celine sangat fasih berbahasa Indonesia. Namun, ia mendadak canggung ketika Peter menoleh padanya.“Dan Anda ini siapa, kalau boleh tahu?” tanya Peter ramah, tapi p
Bab 30 "Rahasia Vera Terbongkar"Langit malam itu mendung, seolah mencerminkan suasana hati Vera yang sedang diliputi amarah. Ia menginjak pedal gas dengan keras, membawa mobil hitamnya menuju rumah Evi. Pikirannya kusut. Setelah mengetahui bahwa Celine sudah meninggalkan Bali, Vera merasa rencananya untuk menjebak perempuan itu berantakan. Upayanya melacak Celine ke Bandung dan Jakarta pun tidak membuahkan hasil.Di depan rumah Evi, Vera menghentikan mobilnya dengan kasar. Ia keluar tanpa memedulikan angin yang menerpa wajahnya. Pintu rumah diketuknya keras hingga menimbulkan suara gaduh."Evi! Arman! Cepat keluar!"Tak butuh waktu lama, Eva membuka pintu dengan wajah terkejut. "Vera? Ada apa sih teriak-teriak?"Tanpa menunggu undangan, Vera menerobos masuk. Di ruang tamu, ia menemukan Arman duduk santai sambil memainkan ponsel. Evi, yang baru turun dari lantai atas, ikut terpaku melihat kehadiran Vera yang tiba-tiba."Vera, kamu kenapa?" tanya Evi heran."Kamu masih tanya kenapa?"
Bab 31 "Jauh Di Mata Dekat Di Hati"Hujan deras mengguyur Amsterdam, menambah kelam suasana hati Celine yang duduk diam di tepi jendela. Tangannya menggenggam secangkir teh hangat, tapi pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Dunia yang gelap di sekitarnya seakan menjadi cermin dari luka yang terus menggerogoti hatinya.Ia mengingat hari itu. Hari ketika semuanya berubah. Suara benturan keras, dering ambulans, dan bau menyengat dari asap mobil yang terbakar masih terngiang jelas di kepalanya. "Kamu buta total, Celine," kata dokter dengan nada menyesal, seperti kilat yang membelah gelapnya langit hidupnya.Celine menarik napas dalam. Kehilangan penglihatan adalah mimpi buruk, tetapi kehilangan harapan adalah kehancuran sejati. Dalam kegelapan ini, hanya ada satu sosok yang selalu menjadi cahaya bagi Celine: Alex.Alex, sang CEO di perusahaan tempatnya bekerja sebelum kecelakaan itu, tak pernah lelah menunjukkan perhatian. Bukan sekadar empati seorang atasan, melainkan kehangatan seorang
Bab 32 "Antara Bali dan Amsterdam"Hujan di Bali telah berhenti, meninggalkan jejak aroma tanah basah yang bercampur angin laut. Alex duduk di balkon kantor mewahnya, menatap jauh ke arah cakrawala. Pikiran tentang Celine tak pernah benar-benar pergi dari benaknya. Setiap kali ia mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaan, wajahnya yang cantik, senyumnya yang tulus, dan suara lembutnya kembali menghantuinya.Celine, gadis yang menjadi alasannya bertahan di tengah kesunyian.Dia mengangkat secangkir kopi hitam, lalu meletakkannya lagi tanpa menyentuh. Kopi itu terasa pahit tanpa ada seseorang untuk berbagi cerita. Sekretaris pribadinya, Vina, mengetuk pintu kaca sebelum melangkah masuk.“Pak Alex, semua dokumen untuk rapat direksi sudah siap di meja kerja Anda.”Alex mengangguk tanpa menoleh. "Baik. Tinggalkan di sana saja. Terima kasih, Vina."Vina ragu-ragu sejenak, lalu mendekat. "Maaf, Pak, saya boleh bicara jujur?"Alex akhirnya menoleh. "Ada apa?"“Belakangan ini, Bapak ser
Bab 33 "Perubahan Fisik Alex"Hari itu, matahari musim semi di Belanda bersinar lembut, menyelimuti taman kecil di belakang rumah keluarga Celine. Angin membawa aroma bunga-bunga yang bermekaran, namun bagi Celine, semua itu hanya terasa samar. Kegelapan yang telah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecelakaan itu membuatnya kehilangan warna dunia.“Celine, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu,” suara Papanya terdengar hangat, namun ada nada antusias yang sulit disembunyikan.“Siapa, Papa?” Celine bertanya dengan penasaran.Sebelum ayahnya menjawab, langkah kaki berat terdengar mendekat. Celine mendengar langkah itu, khas, namun kali ini terasa lebih tegas.“Celine,” suara itu bergema, membuat dada Celine bergetar. Apakah... apakah itu Alex? pria yang selama ini dirindukannya.“Pak Alex?” gumamnya pelan agak ragu.“Ya, ini aku,” jawab Alex, yang saat itu mengenakan blue jeans dan kaos model crew neck yang ketat.Celine mengulurkan tangan, mencari-cari. Alex maju mendekat, membia
Bab 55 "Akhir Yang Menyakitkan"Celine yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan langsung mendekat, tak bisa lagi menahan dirinya. "Daniel, apa-apaan kamu bicara seperti itu pada Bi Minah? Dia sudah tua dan perlu istirahat!"Daniel menoleh ke arah Celine dengan tatapan santai. "Kenapa, Tante? Dia itu kan pembantu, tugasnya melayani. Kalau nggak becus, ya sudah, cari yang lain. Simple kan?""Dia bukan robot yang bisa kamu suruh sesukamu! Ini jam dua pagi, Daniel! Tidak sopan menyuruh seseorang bangun tengah malam hanya untuk memenuhi permintaan sepele!" suara Celine meninggi, emosi mulai menguasainya.Daniel menyeringai. "Kalau Tante mau bantuin, Tante juga boleh bikin nasi goreng buat saya. Tapi saya nggak yakin Tante bisa masak enak."Celine terkejut dengan ucapannya. "Kamu sudah keterlaluan, Daniel!"Daniel mendekat dengan sikap santai. "Santai aja, Tante. Ini rumah Om Alex, kan? Saya cuma menikmati fasilitas keluarga. Lagipula, Tante cuma istri barunya. Jadi, jangan sok mengatur,
Bab 54 "Daniel Berulah"Daniel menyeringai lebar, matanya memandanginya dengan nafsu yang menjijikan, membuat Celine merasa tidak nyaman. "Santai saja, Tante."Celine langsung menegakkan tubuhnya, menahan kimono yang terikat di pinggangnya. "Apa-apaan ini? Kenapa kamu di kamar saya?"Daniel bangun melangkah maju, senyumnya tetap lebar. "Ah, Tante Celine... saya hanya ingin bilang kalau Tante itu cantik sekali. Om Alex benar-benar beruntung punya istri seperti Tante."Wajah Celine memerah, bukan karena tersanjung, tapi karena amarah dan merasa terhina. "Keluar sekarang juga, Daniel! Sebelum saya memanggil Hera!"Daniel tidak bergerak. "Kenapa marah? Saya hanya memuji. Lagian mama tidak pernah marah, ketika saya bergaul dengan wanita manapun.""Keluar!" Celine menghardik dengan nada tinggi, matanya membara. "Saya tantemu sendiri, bukan wanita manapun!"Daniel tertawa kecil, tapi akhirnya melangkah mundur. "Baiklah, baiklah. Jangan terlalu tegang, Tante. Saya pergi sekarang. Tapi lain ka
Bab 53 "Keluarga Arogan"Malam itu, kamar pengantin dihiasi cahaya lampu temaram. Celine duduk di atas ranjang, mengenakan gaun tidur sutra berwarna putih gading. Ia memandang Alex yang tampak sibuk melepaskan dasinya, lalu duduk di kursi di dekatnya.Alex menghela napas, seakan sedang mempersiapkan sesuatu yang berat untuk dibicarakan."Sayang," ucapnya, memecah keheningan. "Ada yang perlu kamu tahu soal Hera."Celine menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Apa itu?" tanyanya lembut, meski hatinya berdebar.Alex menarik napas dalam-dalam. "Hera adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Saat dia melahirkan Daniel, ayah kami meninggal dunia. Lalu, ketika Daniel berusia sepuluh tahun, ibu kami juga pergi."Celine menyentuh tangan Alex, merasakan kesedihannya yang tersirat dalam suara. "Aku tidak tahu kamu melalui semua itu sendiri," katanya pelan.Alex melanjutkan, "Setelah Daniel berusia tiga tahun, Latif membawa mereka ke Kanada karena pekerjaannya di sana. Hera hanya sempat dua kali
Bab 52 "Lembaran Baru"Pesta pernikahan Alex dan Celine berlangsung megah di sebuah aula yang dihiasi bunga putih dan lilin mewah. Hari itu, kebahagiaan pasangan pengantin terpancar dari wajah keduanya. Walaupun sudah berjam-jam berdiri menyambut 3000 tamu undangan, tapi Alex dan Celine tetap tersenyum cerah, menyalami tamu undangan yang datang dari berbagai kalangan."Selamat ya, Alex! Akhirnya kau menemukan pasangan hidup yang tepat," ujar seorang kolega Alex sambil tertawa ringan."Terima kasih," jawab Alex hangat.Tak jauh dari pelaminan, antrean panjang masih terlihat mengular. Namun, perhatian Alex tiba-tiba tertuju pada sekelompok tamu yang baru saja tiba, seorang wanita paruh baya yang anggun dengan aura tegas, seorang pria berkacamata dan dua anaknya.Alex membelalakkan mata. "Hera?" bisiknya tak percaya.Ketika wanita itu sudah dekat, Alex tak bisa menahan diri. Ia langsung memeluk wanita yang wajahnya tak asing baginya."Mbak Hera!" seru Alex penuh keharuan, mencium pipi
Bab 51 "Vonis Untuk Vera"Ruang sidang sore itu penuh sesak. Suasana tegang sangat terasa. Banyak pengunjung yang berbisik-bisik karena penasaran.Di kursi pesakitan, Vera duduk dengan wajah penuh amarah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Di sebelahnya ada Arman, Evi, Arief, dan Ario Bayu, masing-masing menunduk menanti vonis hakim.Alex duduk di bangku pengunjung, ditemani Celine yang memegang erat tangannya. Di belakang mereka, para pegawai Alex seperti Pak Made, Eva, Vina, Maya, Dion, dan Anto turut hadir untuk menyaksikan akhir dari perjuangan panjang mereka.Hakim mengetukkan palu tiga kali, menandakan sidang dimulai."Sidang putusan terdakwa Vera dimulai," ujar Hakim dengan suara tegas.Vera menatap hakim dengan tatapan dingin, sementara para pengunjung menahan napas menanti putusan.“Setelah melalui serangkaian persidangan dan mempertimbangkan semua bukti yang ada, terdakwa Vera, sebagai otak utama dalam kasus penculikan dan percobaan pembunuhan terhadap saudara Alex Subr
Bab 50 "Pertemuan"Pak Made lalu berbalik ke arah petugas polisi. “Pak, di mana tepatnya Pak Alex sekarang? Kami ingin segera ke sana.”Petugas itu membuka catatannya, lalu menjawab, “Pak Alex saat ini berada di sebuah perkampungan nelayan di Lombok. Beliau ditemukan oleh nelayan di daerah itu, lalu dibawa ke Puskesmas setempat untuk mendapatkan perawatan.”Pak Made mengangguk mantap. “Baik, kami akan segera ke sana.”Eva menatap Pak Made dengan raut cemas. “Tapi, Pak, bagaimana kita bisa sampai ke Lombok dengan cepat? Perjalanan ke sana tidak mudah.”Pak Made berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita akan cari penerbangan secepat mungkin. Ini soal hidup dan mati. Aku tidak peduli berapa biayanya, kita harus ke sana sekarang juga.”Anto ikut menyela. “Aku bisa bantu mengatur tiket pesawat. Aku punya kenalan di travel agent, mungkin dia bisa mempercepat urusannya.”“Bagus,” jawab Pak Made. “Kau urus itu. Eva dan aku akan mengabari Celine. Dia harus tahu bahwa Pak Alex masih hidup.”Dion me
Bab 49 "Kebenaran Akan Terungkap"Setelah puas, Anto menggiring Vera ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Awalnya ia menolak, tapi karena dipaksa dan Vera takut Anto berbuat macam-macam lagi, akhirnya ia mau.Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di luar rumah. Beberapa polisi masuk ke dalam kontrakan, dipimpin oleh seorang perwira yang mengenakan seragam rapi.“Dimana terduga pelakunya?” tanya sang perwira dengan nada tegas.Anto segera melangkah maju. “Ini pak. Wanita itu yang bertanggung jawab atas pembunuhan bos kami. Dia juga sedang berencana kabur ke Jambi.” Perwira polisi itu mengangguk sambil mengamati Vera. “Kami akan membawanya ke kantor untuk penyelidikan lebih lanjut.”Salah satu polisi menghampiri Vera dan mengikat tangannya. “Silakan ikut.” katanya dengan nada dingin.Vera berdiri dengan angkuh, meskipun wajahnya tetap memerah karena rasa malu. Ia berjalan keluar rumah, diikuti Polisi,
Bab 48 "Pencarian Sia-sia"Arman terbangun dari pingsannya dengan rasa pening luar biasa di kepala. Anak buah Anto yang menyadarkannya tampak dingin, sementara Pak Made berdiri di depannya dengan wajah penuh amarah."Dimana kalian membuang Pak Alex?" Pak Made bertanya dengan nada mengintimidasi.Arman hanya menyeringai lemah. "Pak Made, bahkan jika saya bilang, itu tidak akan mengubah apapun. Dia sudah mati."Pak Made mengepalkan tinjunya, tapi Eva buru-buru menahan lengannya. "Jangan! Kita butuh dia bicara," katanya sambil melirik ke arah Arman.Pak Made menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Eva lalu menyarankan. "Sebaiknya kita bawa Arman ke lokasi kejadian. Karena dia yang paling tahu tempatnya," Pak Made mengangguk setuju, lalu memberi perintah kepada anak buah Anto. "Pakaikan dia kaos dan celana pendek. Kita tidak punya waktu untuk basa-basi."Arman tertawa kecil, meski terbatuk karena efek puk
Bab 47 "Vera Tertangkap"Alex membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, dan kepalanya terasa berat seperti habis dihantam benda keras. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa lemah. Seorang perawat mendekat, membawa segelas air.“Pak, Anda sudah sadar. Alhamdulillah,” ucap perawat itu lembut.Alex menatap wajah perawat itu, bingung. “Di mana saya? Apa yang terjadi?”“Anda sedang di puskesmas, Pak. Sudah dua hari Anda tidak sadarkan diri. Tiga nelayan menolong Anda di laut. Lalu mereka membawa Anda ke sini,” Si perawat menjelaskan sambil membantu Alex duduk dan menyerahkan segelas air.Alex tersentak. Bayangan dirinya terikat besi besar dan tenggelam kembali menghantui pikirannya. Ia ingat saat-saat menegangkan itu, tubuhnya terhisap oleh gelapnya laut, udara semakin menipis, dan ketakutan akan kematian yang mengintai.“Dua hari?” gumam Alex. “Saya… saya diculik dan dibuang ke laut. Bagaimana bisa saya selamat?”“N