Raja berbalik dan melihat ke sudut ruangan, di sana terdapat dua orang prajurit bersandar ke dinding dengan penuh darah hitam di tubuhnya. Tidak ada rasa bersalah yang tergambar di wajahnya, ia malah terlihat sangat tenang.
"Maksudnya mereka?" tanya Dominic. "Atau mereka?" lanjutnya melihat ke arah luar jendela dan menatap para prajurit yang terkapar di salju dengan kondisi yang mengenaskan.
"SEMUANYA!" teriak Kevin.
Dominic hanya tersenyum, "Siapa yang menyangka mereka akan tumbang hanya dengan beberapa kali serangan? Kau memberontak, tapi hanya ini kemampuanmu?"
"DIAM!" teriak Kevin tidak bisa lagi menahan emosinya.
Dominic tidak merespons, ia malah berbicara pada Rena, memberikannya perintah. "Bereskan semuanya.”
Rena mengangguk dan langsung mengarahkan prajurit. Para pasukan prajurit khusus Raja kemudian mulai menerjang maju, berniat menahan semuanya. Namun mereka tiba- tiba saja terdiam, seraya memegang leher yang
Ssrrkk... Ssrrkk... Ssrrkk...Suara langkah kaki terdengar. Manusia ini—Diana terus menjejakkan kakinya ke tumpukan salju-salju yang sekarang tingginya hanya semata kaki di balik gerbang yang telah ia lewati.Sejenak ia berhenti lalu kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru arah. "Terlalu senyap...” batinnya. “Ini benar-benar senyap. Bahkan Haltz tidak sesenyap ini."Diana mengingat bahwasanya Haltz tidak memiliki suasana seperti ini, mereka memiliki penjagaan di sudut mana pun, dan juga pelayan yang terkadang hilir mudik di luar kastel.Wanita ini kemudian kembali berjalan diiring sikap waspada. Diana berjalan memutari kastel ini melalui sisi kanan. Namun, ia langsung merapatkan tubuhnya ke tembok secara tiba-tiba, bersembunyi dari bayangan seseorang yang tertangkap oleh kedua matanya.Tik. Tok. Tik. Tok.Hening…
Sementara itu, mantel Diana terus menerus ia sobek hingga akhirnya mantel ini berubah bentuk menjadi sebuah tudung. Diana terus melakukan apa yang ia bisa sampai ke pria terakhir.Diana menerawang, "Apa yang terjadi di sini? Kenapa mereka semua seperti ini? Ika... Iki... aku harap kalian baik-baik saja."BRAK...! BAM!!!Baru saja Diana menyelesaikan kata-katanya. Suara barang pecah dan barang terjatuh, cukup keras terdengar. Tepat setelah ia selesai mengobati pria yang terakhir. Refleks, Diana langsung menolehkan kepalanya ke arah sumber suara dengan ekspresi cemas. Diana kemudian langsung bangkit dan berlari ke arah suara.Larinya cukup kencang hingga tidak butuh waktu lama untuknya sampai tepat di bawah jendela tempat Kevin melemparkan kursi yang sebelumnya diduduki oleh Dominic. Namun, dibandingkan kursi ini. Diana lebih terkejut dengan apa yang dilihatnya.Di hadapannya terdapat hamparan para pria--vampir yang jumlahny
Diana yang terlihat sangat misterius ini langsung mengangkat wajahnya dan membuka tudungnya. Tanpa berkata apapun, dia langsung bangkit dan memeluk si kembar begitu saja."Ahh... Syukurlah... Kalian baik-baik saja?" tanyanya dengan wajah yang penuh kelegaan."A-a-ahh... ya... kami baik-baik saja," jawab Iki terkejut."Tapi sedang apa Kak Diana di sini?" tanya Ika bingung."Menjemput kalian, vampir bodoh itu tidak mendengarkanku. Jadi aku datang untuk menjemput kalian."Tap. Tap. Tap.Iki berdecak keras ketika telinganya menangkap suara langkah kaki para penjaga yang mendekat. "Ayo! Kita harus segera pergi dari sini!""Tunggu—" Ika menahan tangan saudaranya, "—manusia ini terluka," lanjutnya menoleh ke arah Pine yang melihat reuni mereka bertiga dalam diam.Diana menoleh ke arah yang di tunjuk, "S-si-siapa dia?" Pupil mata Diana membesar dan wajahnya tiba-tiba saja berubah menjadi pucat pasi
Tawa kencang terdengar dari mulut sang Komandan, "HAHAHAHAHAHA...!!!"Melihat Diana yang begitu berani menatap tajam anak buahnya bahkan mengabaikannya membuat dirinya tertawa terbahak-bahak, "Raltz tidak sembarangan memilih seorang manusia rupanya.”Ctak!Bunyi antara ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah terdengar beradu. Sang Komandan memberikan perintah melalui jentikan jarinya. Dalam hitungan detik, Iki dan Pine telah menjadi sandera tambahan, meninggalkan Diana seorang diri yang terbebas tanpa ada yang menyanderanya."Melihat wajahmu, sepertinya kau sangat marah. Hahaha…!" komentar sang Komandan melihat wajah Diana yang datar namun penuh guratan kemarahan yang amat besar."Lepaskan mereka!!!" seru Diana."Heee..." sang Komandan merasa geli dengan perkataannya. Baginya Diana yang seorang manusia sangat tidak mengetahui posisinya sekarang. Manusia ini terus saja memberikan perintah yang irasional.
Tap. Tap. Tap.Komandan melangkahkan kaki mendekati Diana. Lalu mengulurkan tangan, dan mengambil beberapa helai rambutnya. Diana hanya diam menatap manik mata sang Komandan intens.BAK!Komandan terhempas ke belakang akibat tendangan dadakan dari Diana. Di lain pihak Diana langsung menjatuhkan tudungnya dan mulai melawan satu per satu vampir yang menghalangi jalan Ika."Jangan menoleh! Terus berlari!" seru Diana ke Ika.Ika mengangguk. Dia juga menoleh ke arah Iki dan memberikan tatapan untuk menunggunya kembali. Ika pun mulai berlari sangat kencang tanpa sekalipun menoleh ke belakang, meninggalkan Diana dan mereka semua.Dalam pelariannya, Ika terus saja berteriak di dalam pikirannya, "Kak Rai! Kak Rai! Kak Rai!"Dia terus saja mengulang kata-kata tersebut berkali-kali di kepalanya, berharap suara yang tidak terdengar itu dapat terdengar oleh Rai. Fokusnya sangat ini hanya satu, berlari me
BAM!Sebuah tubuh melayang, itu adalah tubuh prajurit yang terhempas kencang menghantam tembok hingga tidak sadarkan diri seketika. Dari mulutnya langsung mengalir darah hitam pekat."Apa!? Kau berisik sekali!" sahut Rai yang tiba bersama dengan Al."KAK RAI!!!" tangis Ika pecah dan langsung memeluk Rai begitu saja.Di lain sisi, Al menghajar semua prajurit tersebut sendirian, membiarkan kedua vampir tersebut untuk saling berbicara. Vampir hibrida ini tidak memberikan satu celah pun untuk mereka menyerang.Rai melepaskan pelukan Ika dengan paksa dan melihat wajahnya yang penuh luka lebam. Wajahnya mengeras melihat luka-luka ini. "Al..." panggilnya.Al menoleh, "Apa!?" jawabnya masih dalam kekesalan."Bunuh mereka semua!" perintah Ria.Al tersenyum sinis, "Dengan senang hati."***Napas Diana sudah tersengal-sengal dengan tubuh yang penuh banyak luka, bahkan dar
"Kak Rai! Kak Rai!" seru Ika berulang kali. Ia merasa senang dan lega bertemu dengannya. Namun, ada hal yang lebih ia khawatirkan yaitu tentang Diana."Kau mau mulutmu aku jejal dengan salju?" respons Rai dingin."Tapi... Kak Diana—"Rai langsung memotongnya, "Aku tahu, jadi jangan berisik.”Al datang seraya mengibas-ngibaskan tangannya yang penuh darah hitam. Ia telah menghabisi semua para prajurit ini. Tubuh bagian dada mereka semua berlubang, dengan jantung yang sudah hancur, sementara tubuh lainnya tidak berkepala."Ugh... aku benci ini!" ujar Al. "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"Kau akan berada di sini dan lindungi bocah ini. Aku akan masuk dan mengambil Iki," jelas Rai."Ba-bagaimana dengan Kak Diana?" tanya Ika khawatir."Huh? Manusia itu? Salahnya sendiri pergi ke wilayah Raltz," balas Al enteng.Ika mendorong Rai menjauh, "Kenapa kalian sangat membencinya!? Kak Diana
"Kau belum menjawab pertanyaanku,” kata Dominic.Diana mengangkat tangannya yang dicekal, "Apa aku harus menjawab pertanyaan dari orang kasar sepertimu? Lepaskan tanganmu sekarang!"Dominic hanya tersenyum sinis lalu melepaskan cekalannya. Namun, ia tidak benar-benar berniat melakukannya. Apa yang dilakukannya telah membuat Diana kini benar-benar berada di ambang batas kemarahannya.Bagaimana tidak? Dominic memang melepaskan tangannya namun dia langsung beralih ke Pine dan menempatkan tangannya di leher wanita ini. Mencekiknya dengan erat secara perlahan-lahan."Sangat mudah bagiku mematahkan lehernya. Kau tahu itu bukan?" ujar Dominic dengan senyum liciknya. Diana langsung mengepalkan tangannya dengan erat."Wanita ini membawa sesuatu yang berharga, dan aku harus mengembalikan apa yang dia bawa ke pemilik yang sebenarnya," sambung Dominic.Diana berteriak marah, "Apa lagi yang akan kalian lakukan!!! Tanpa sepengetahua
Halo semuanya! Saya Selist Emerald Valley, penulis dari novel Pure Blood. -Terima kasih untuk kalian para pembaca yang sudah mencintai dan membaca Pure Blood sampai akhir! Ini adalah akhir dari Pure Blood! Saya harap kalian menyukai Pure Blood dan para tokoh di dalamnya! - Tanpa adanya dukungan dari para sahabat dekat saya, tentu saja Pure Blood tidak akan pernah ada! Terima kasih untuk HAKUJI dan Affifah, kalian memang yang terbaik!!! -Senang rasanya mempublikasikan Pure Blood di Goodnovel, selain bisa menjangkau lebih banyak pembaca, Pure Blood juga bisa diakses dengan mudah, baik menggunakan aplikasi maupun website Goodnovel.-Pure Blood merupakan novel pertama saya, sekaligus debut karya pertama saya di dunia penulis dan novelis. Dari dulu hingga sekarang, Pure Blood selalu menjadi bagian utama dan penting dari kehidupan saya dan karir saya sebagai penulis dan juga novelis.-Rencananya, Pure Blood akan menjadi novel s
Lub. Dub. Lub. Dub. Lub. Dub.Suara detak jantung terdengar saling berirama. “Apa kamu mendengarnya?” dan sosok yang sedang ditanya ini menganggukkan kepalanya.Terlihat Diana yang masih berada di tempat tidur. Ia tidak bergerak dan juga tidak bernapas. Tubuhnya sedingin es, dan wajahnya sepucat salju.Ika menatap Iki, “Jadi, apa seorang vampir yang merupakan anggota keluarga utama dapat mendengarkan bunyi detak jantung seorang vampir?”“Aku rasa begitu, Ika,” jawab Iki menjawab pertanyaan kembarannya.“Apa sejak pertama, Kak Diana juga dapat mendengarnya?”“Shhh... Ika!” seru Iki.“Ada apa?” tanya Ika tidak mengerti.“Kita tidak bisa memanggilnya dengan Kak Diana. Itu sangat tidak sopan, Ika.”“Ah... ya... Aku lupa, maaf.”Ika lalu duduk di atas tempat tidur dan menyentuh tangan Diana, “
Kevin mencari keberadaan Pine dan menemukannya. “Pine, apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Kevin.Pine berbalik dan tersenyum, “Hanya berpikir.”Kevin menghela napasnya, “Jangan terus menyalahkan dirimu, ini bukan salahmu,” dan Pine hanya menganggukkan kepalanya.Hap!Dua tangan kecil memeluk erat kaki Kevin dari belakang, “Ayah!”Kevin langsung menggendong anak ini, “Ada apa pangeran? Bukankah pangeran seharusnya bersama Julio?”Dan yang disebut namanya datang dengan tergesa-gesa, “Maafkan saya Yang Mulia, tapi pangeran berlari terlalu cepat!” ujar Julio.Pine mendekat dan menjentikkan jarinya pelan ke kening anak ini, “Regis...”Regis pun mengerutkan bibirnya, “Aku hanya bermain, Ibu. Tapi Julio sudah terlalu tua untuk mengejarku.”Julio memandang Regis dengan wajah tidak percaya, “Apa..
Dalam tidurnya, tangan dan kaki pria ini dirantai ke tempat tidur. Ia bagaikan seorang tawanan. Wajahnya terlihat pucat dan ia memiliki luka yang berada di sekujur tubuhnya.Walaupun begitu, sang kupu-kupu tetap mendekatinya, karena ia dapat mencium harum bunga Lily dari tubuhnya. Bau ini sangat kuat, membuat kupu-kupu mengira bahwa ia baru saja mendarat ke atas bunga.---“Kita harus menghentikan perjanjian ini, Christ. Kembalikan pria itu, aku tidak mau berhubungan dengan Harawaltz, apalagi dengan si pemimpin gila,” jelas Bianca.“Kau takut dengannya?”“Dengan Rai?”Christ menggeleng, “Dengan pria itu?”“Tidak.”“Lalu?”“Aku hanya tidak suka melihat pria itu ada di paviliun, apalagi Ben dan Dominic memperlakukannya bagaikan seorang tawanan.”Christ tersenyum, “Kau terlalu bermurah hati, Bianca. Mereka bisa saja men
Sebuah kastel megah yang berdiri di wilayah timur. Kastel yang terlihat sangat sepi dan hanya ada dijaga oleh beberapa vampir ini merupakan tempat tinggal bagi keluarga utama Klan Waltz serta para pengikutnya.Pada bagian belakang kastel terdapat sebuah paviliun sederhana, namun sangat tertutup. Bangunannya tampak masih kokoh, namun terlihat tidak terawat dengan tumbuhan yang menjalar di tembok, dedaunan di sekeliling bangunannya, dan tidak adanya penghuni kastel yang berkeliaran di sana.Klan Waltz sendiri terkenal sebagai klan yang kejam, memiliki persentase darah murni sebanyak sepuluh persen, dan juga mereka jarang berkomunikasi dengan vampir lainnya tanpa jalur formal dan tanpa adanya kepentingan.Christ Wilson de Waltz adalah nama vampir yang memimpin Klan Waltz. Tidak ada banyak informasi mengenai dirinya, ataupun bagaimana rupanya. Sama seperti klannya, Christ adalah vampir yang tertutup.Sama seperti pemimpinnya, mereka—par
Tiga bulan sudah berlalu. Saat ini, hujan turun dengan lebatnya. Petir menyambar hebat dan menghanguskan pohon mangga kesukaan Diana. Namun, di tengah derasnya hujan, semua orang masih berkumpul di ruang singgasana. Mereka berada di sana karena merasakan sesuatu akan terjadi, termasuk Allan dan Gail.“Kau ada di sini juga?” tanya Gail.“Kastel mendadak kosong, dan aku liat semuanya berkumpul di sini, jadi aku datang. Bagaimana denganmu?” jawab Allan.“Sama sepertimu.”Perlahan, dua vampir yang menempati tempat tidur yang ada di sana membuka matanya. Dengan manik mata yang berwarna merah darah, mereka melihat ke arah langit-langit, mencoba mengumpulkan kesadaran mereka."Pine!!!" seru Kevin langsung memeluk tubuhnya.Pine hanya terdiam, ia lalu terduduk, begitu pun dengan Rai. Mereka masih berusaha beradaptasi dengan hal yang terjadi. Sementara itu, Al berdiri di sebelah Rai dan melihatnya
Sebulan sudah berlalu sejak kejadian yang mengguncang Kastel Haltz terjadi. Rai dan Pine masih berada di tempat tidur yang ada di tengah-tengah ruang singgasana. Semua vampir baik Haltz dan Raltz berkumpul tanpa tahu harus melakukan apa.Walaupun Diana telah memberikan seluruh darahnya untuk mereka, mereka tidak langsung pulih. Butuh waktu untuk mengadaptasi semuanya, terlebih darah yang mereka terima adalah darah vampir yang memiliki kemurnian seratus persen.Tidak ada satu pun vampir yang pernah mengalami kejadian ini. Mereke menunggu tanpa batas waktu dan hanya bisa berharap keadaan bisa lebih baik.Sementara itu, Kevin dan Al setia berada di samping orang yang paling berharga untuk mereka. Kevin berdiri di sebelah tempat tidur Pine, dan Al berdiri di sebelah tempat tidur Rai.Sedangkan Julio berada tidak jauh di sana untuk melindungi tuannya. Allan dan Gail pun masih ada di kastel, meski mereka manusia, tidak ada satu pun vampir
Kevin dan Al langsung terdorong mundur karena atmosfer kuat tiba-tiba menerjang mereka. Sementara itu, para vampir di sana tidak dapat berbuat apapun. Mereka tertahan dan hanya bisa terdiam merunduk.Bersama dengan air mata yang terus mengalir, Diana melukai kedua telapak tangannya secara bergantian. Kemudian ia mengarahkan tetesan darah dari tangannya ke luka di dada Pine dan Rai yang baru saja ia buat.Diana terus saja mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Membuat darah miliknya dengan deras keluar dan jatuh ke luka tersebut. "Jika harus ada yang mati. Maka itu adalah aku," batin Diana berbicara.Vero melihatnya dengan cemas, "Dia akan mati! Yang Mulia akan mati jika terus mengeluarkan darahnya!!!" paniknya.Vero mencoba menghentikannya. Namun sia-sia karena kekuatan Diana tidak membiarkan siapa pun untuk mengganggunya. Diana terus mengepalkan tangannya, membuat setiap darah dalam tubuhnya keluar."Kau melakukann
Dengan rambut yang berantakan, wajah kusam, dan tanpa alas kaki. Diana berjalan mendekati Pine dan Rai berada. Ekspresinya terlihat kosong. Pikirannya terus memutar kejadian-kejadian yang ia lewati bersama mereka. Perlahan air mata membasahi pipinya. Semakin lama semakin deras."Namaku Diana Charlotte, sekarang namamu adalah Dion Charlotte."Kenangan ketika Pine memberikannya nama untuk pertama kali kembali terputar di pikiran Diana, membuatnya langsung jatuh ke lantai. Kenangan ketika Rai mengajaknya untuk menjadi bagian dari hidupnya juga terputar."Hiduplah sekarang dalam duniaku. Jadikan hidupmu menjadi bagian dari hidupku.”Diana sama sekali tidak bisa membendung tangisannya. Ia tertunduk dan menangis dalam diam. Kesedihannya sangat terasa, membuat semua orang yang ada di sana ikut merasakannya.Diana memegangi dadanya. Rasa sesak langsung menyerangnya. "Kenapa ini selalu terjadi? Ini seharusnya tidak terjadi!" serunya d