Wulan masuk ke dalam kamarnya, diikuti oleh Fatih yang mengekor di belakangnya. Pria itu tampak acuh, ia bahkan tidak menanyakan kondisi si Mbok. Padahal dulu ia sangat perhatian pada asisten rumah tangganya itu. Namun, akhir-akhir ini sikap Fatih benar-benar berubah. "Kamu nyari apa, Mas?" tanya Wulan pada suaminya yang terlihat mondar-mandir kebingungan."Handuk, dimana handuknya?" tanya Fatih yang mulai menanggalkan pakaiannya. Seketika terlihat noda merah di leher dan dada bidang pria itu. Wulan terbelalak, matanya memanas, dadanya terasa sesak. Ada rasa nyeri di relung hati terdalamnya."Wulan! Kamu budek apa gimana sih? Mana handuknya? Aku mau mandi, cepat ambilkan!" teriak Fatih membuat Wulan terperanjat dari lamunannya. Padahal hampir saja butiran bening itu lolos dari pelupuk wanita berhidung bangir itu."Se-sebentar Wulan ambilkan," sahutnya melengos keluar dari kamar. Wulan terisak, rasanya baru kemarin suaminya bersikap manis padanya tapi sekarang sikapnya telah berubah 1
Gegas Wulan keluar dari rumahnya menghampiri mobil taxi berwarna biru muda yang sudah menunggunya di depan.Tujuan utamanya adalah bertemu dengan Joko di restoran yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Setelah menembus kemacetan ia pun tiba di restoran khas Sunda itu. Kakinya melangkah pasti menuju meja VIP yang telah ia pesan. Disana Joko sudah menunggunya dengan sebuah bungkusan yang sudah di kemas rapih."Maaf menunggu lama, dijalan cukup macet," ucap Wulan menarik kursi dan duduk di depan pria berpenampilan preman itu."Tidak apa, Buk. Kebetulan saya juga baru tiba. Oh iya, ini barangnya sudah saya kemas sesuai permintaan ibu," "Bagus!" ucap Wulan tersenyum saat melihat apa yang ia dapatkan. Sebuah dompet, dua ponsel dan beberapa perhiasan yang jika dijual nilainya bisa mencapai puluhan juta.Wulan mengambil dompet dan ponselnya, kemudian memberikan perhiasan itu pada Joko."Ini bagian kamu!" ucap Wulan. "Ya-yang bener, Buk? I-ini semua buat saya?" sahut Joko dengan mata berb
"Bu, kita sudah sampai!" ucap sopir taxi itu membangunkan lamunan Wulan."Oh iya, Pak. Ini Pak, ambil saja kembaliannya," ujar Wulan memberikan selembar uang seratus ribu pada sopir taxi itu kemudian bergegas turun dan berjalan menuju lobby rumah sakit."Bagaimana kondisi Bu Romlah, Sus?" tanya Wulan saat dirinya tiba di kamar inap si Mbok."Alhamdulilah, Buk. Kondisi Bu Romlah stabil, selang infusnya sudah saya ganti, beliau juga sudah minum obat,""Syukurlah kalau begitu, terima kasih banyak ya' Sus, telah menjaga Bu Romlah selama saya pergi,""Iya Buk, sama-sama. Kalau begitu saya permisi keluar dulu ya, Bu" ucap Suster berhijab putih itu kemudian dijawab anggukan kepala oleh Wulan.Melihat si Mbok tertidur pulas, Wulan pun tersenyum lega. Ia mulai memasukkan barang-barang yang dibawanya ke dalam nakas."Aku harus segera mengecek isi ponsel Mbak Sarah, aku harus tau … rahasia apa yang ada di dalamnya," ucap Wulan berjalan menuju sofa yang terletak di samping ranjang pasien.Wulan m
"Aku harus segera menemui Dokter Riska. Aku harus menceritakan semua ini padanya," ucap Wulan. Ia pun segera mengganti tujuan. "Maaf, Pak. Kita tidak jadi ke rumah sakit Aksara Medica, kita ke Rumah sakit Anugerah saja!" ujar Wulan dan langsung di iyakan oleh supir taxi yang ia tumpangi.Setelah menembus kemacetan Ibu kota, Wulan pun tiba di rumah sakit tempat Dokter Riskan praktek hari ini. Tanpa membuang waktu, wanita dengan rambut panjang itu pun segera masuk ke dalam ruangan Dokter Riska."Apa kabar Ibu Wulan?" sapa Dokter Riska ramah. Melihat Wulan yang tampak panik Dokter Riska pun segera mempersilahkan tamunya itu untuk duduk."Jadi–apa yang ingin Ibu sampaikan pada saya?" tanya Dokter Riska to the point."Ini Dok, coba dokter lihat sendiri catatan ini!" ucap Wulan menyerahkan ponsel milik Sarah itu pada Dokter Riska. Seketika dokter cantik itu pun menutup mulutnya tak percaya. "Astagfirullah, Bu Wulan, ini catatan milik siapa?" tanya Dokter Riska."Itu milik Kakak ipar saya,
"Bu! Ko di habisin semua sih plecingnya? Rakus amat, emang Ibu pikir cuma Ibu aja yang lapar? Sarah juga lapar Buk," ucap Sarah saat melihat Ibunya menuang semua plecing kangkung itu ke piringnya. Wulan memang sengaja menyiapkan porsi kecil untuk mereka agar makanannya tidak tersisa."Halah, badan kamu kan kecil, Sar. Tidak usah makan banyak-banyak. Beda sama Ibu, badan Ibumu ini besar, jadi kudu banyak makan. Lagian–kamu kan tau sendiri' dari pagi kita hanya sarapan roti tawar doang, jadi wajarlah kalau Ibu habisin semua makanannya," sahut Bu Ratna sambil terus mengunyah."Emang dasarnya saja ibu rakus, pake alesan badan besar segala," cetus Sarah jengkel."Terserah kamu aja Sar! Yang penting siang ini ibu mau ngenyangin perut, mumpung ada makanan enak di rumah ini. Lagipula kalau makanannya habis bukan salah Ibu, tapi salah si Wulan, kenapa dia masaknya cuma dikit?" ucap Bu Ratna kembali mengambil gulai ayam terakhir. "Ibu! Udah dong Bu! Masa semuanya di habisin? Tadi plecingnya, s
"Sepertinya tidak ada cara lain deh, Bu. Kita harus segera menelpon Fatih. Sarah tidak mau mati sia-sia karena diare," ucap Sarah yang tergolek lemah di atas sofa."Ya udah sana–kamu numpang nelpon ke tetangga!" titah Bu Ratna pada anak perempuannya itu."Aduh Bu, badan Sarah nggak kuat lagi berdiri. Ibu kan tau' Sarah baru saja keluar dari rumah sakit. Mending Ibu aja yang kesana, lagian–Sarah malu' Bu, Sarah nggak pernah tegur sapa dengan mereka," sahut Sarah lemah. Dengan terpaksa Bu Ratna pun berjalan tertatih menuju rumah tetangganya."Ini jalan satu-satunya agar Fatih segera pulang, aku harus segera menelponnya," ucap Bu Ratna melawan malu mengetuk pintu tetangganya itu."Ada apa ya, Bu?" tanya asisten rumah tangga dengan wajah tak bersahabat."Maaf, saya mau pinjam telepon untuk menelpon anak saya, soalnya telepon di rumah saya rusak," ucap Bu Ratna membuat asisten rumah tangga itu memicingkan matanya heran."Gimana? Boleh? Sebentar saja, ini penting banget, saya mohon," "Tung
Bu Ratna yang tengah panik pun berlari tunggang langgang. "Aduh, ibu. Pelan-pelan dong," ucap Sarah saat Ibunya nyelonong masuk kamar mandi disaat Sarah hendak keluar."Ibu udah nggak tahan," sahutnya tidak sempat menutup pintu, seketika terdengar suara orang sakit perut."Ieuw … jorok," ucap Sarah segera menjauh dari kamar mandi.**Terdengar bunyi mesin mobil memasuki pekarangan. Dari kejauhan terlihat Fatih berjalan menghampiri Ibu dan Kakaknya itu dengan kresek di tangan kanannya."Akhirnya kamu datang juga Fatih, mana sini obatnya!" ucap Bu Ratna. Tangannya menyambar obat yang Fatih sodorkan.Fatih mengedarkan pandangannya ke sekitar sambil menutup hidungnya. "Bau apa ini Bu? Kenapa rumah jadi berantakan?" tanya Fatih heran."Ini semua gara-gara istrimu, Fatih! Ini semua ulah si Wulan,""Maksud Ibu?""Kamu aja yang cerita, Sar. Perut ibu mules lagi,""Enggak ah, Ibu aja yang cerita. Sarah lemes, mau istirahat," sahut Sarah. Ia pun segera merebahkan tubuhnya di atas sofa setelah
Fatih menatap ponselnya, ia begitu gelisah karena dari tadi sekretarisnya terus mengirimnya pesan. "Jadi gimana? Kalian masih tetap tidak mau bayar?" tanya wanita itu membangunkan lamunan Fatih."Gimana, Fat? Kamu punya uang 5 juta untuk bayar Mak lampir ini?" bisik Bu Ratna pelan."Ibu nggak mau masuk penjara, Fatih. Ibu takut, kalau kamu punya uang cepet kamu bayar dia sekarang, biar dia segera pergi dari rumah ini," lagi Bu Ratna memaksa."Baiklah, kalau kalian tidak mau bayar, saya akan telpon pengacara saya agar menuntut kalian semua!" ancamnya, ia pun segera mengambil ponsel dan hendak menelpon seseorang. Namun Fatih segera mencegahnya."Tunggu, tunggu! Baik, kami akan bayar uangnya. Tunggu disini sebentar," ucap Fatih memijat pelipisnya. Sepertinya laki-laki berhidung bangir itu benar-benar kesal.Fatih bergegas ke kamar, mengambil uang dalam tasnya. "Sial! Ini semua gara-gara ibu, terpaksa aku harus memakai uang kantor dulu untuk membayar wanita itu," ujar Fatih geram.Denga