Pintu kukunci dari dalam, hanya ingin leluasa bergerak tanpa dilihat orang lain terutama Mas Heru. Aku tidak ingin dia tahu kalau sekarang aku sudah bisa melihat. Dia tidak boleh tahu sampai aku bisa membalaskan sakit hatiku padanya.
Cukup sudah aku dibodohinya. Aku harus segera bertindak. Selama ini, semua tanggung jawab perusahaan dan aset kekayaan, kuserahkan penuh kepada Mas Heru. Ya, aku terlalu percaya kepadanya, hingga semua yang kumiliki bebas dimiliki dan diaksesnya tanpa pernah kutanya, Untuk apa dan kemana ia pergunakan.
Namun tidak kali ini, Mas. Aku akan mengambil semua aset kekayaan keluargaku, dan akan kukelola sendiri. Tanpamu, karena itu milikku. Secepatnya, setelah semua ini beres, maka kita akan bercerai, Mas. Tidak Sudi aku hidup dengan seorang pengkhianat dan juga seorang benalu.
Namun sebelumnya, aku harus tahu dulu apa saja yang terjadi di rumah ini selama aku buta. Aku merasa ada yang janggal.
Mbok Yem pasti tahu sesuatu. Dia berada di rumah ini dua puluh empat jam bersamaku, pasti semua tindak tanduk Mas Heru diketahuinya dengan baik. Namun kenapa dia diam saja. Apa karena takut? Mungkin itu juga yang membuat sikapnya berbeda saat kedatangan Mas Heru tadi. Syukurnya Mbok Yem diam saja melihatku berpura-pura buta. Padahal dia tahu kalau aku sudah bisa melihat. Aku yakin Mbok Yem berada dipihakku. Aku harus bicara dengannya.
***
"Del, Sayang, kok pintunya dikunci?" Aku kaget karena Mas Heru berada di depan pintu kamar. Dari tadi aku mondar-mandir sibuk memikirkan semua rencanaku.
"Iya, tunggu bentar," sahutku dari dalam.
Klek.
Pintu kubuka.
Mas Heru menatapku heran. Ternyata di sampingnya ada Lastri. Mata tetap kufokuskan ke depan.
"Maaf Mas. Aku ketiduran," ucapku dengan sengaja menguap lebar di depannya.
"Tumben dikunci?"
"Masa? maaf Mas, mungkin nggak sengaja."
Dia tersenyum, lalu tanganku sengaja menyentuh dada bidangnya dan turun ke tangannya. Mas Heru menuntunku ke dalam. Anehnya Lastri juga ikutan masuk. Lagi dengan pelan dan diam-diam.
Aku yakin selama ini dia pasti sering ke rumah, dan masuk ke kamar ini tanpa sepengetahuanku. Dasar, tak tahu malu. Aku tak percaya bisa menganggapnya sahabat.
"Mas mau mandi," ucapnya tanpa kutanya. Aku sudah duduk di tepi ranjang dengan mata fokus ke depan. Sesekali kepala kugerakkan ke kiri dan ke kanan untuk melihat pergerakan mereka.
"Mau kupilihkan, Mas?" tanyaku. Intonasiku penuh penekanan. Ada yang membuatku kesal.
Gerakan tangan seseorang melepas pakaian terhenti. Ya, Mas Heru tidak melepaskan sendiri pakaiannya, tapi dibantu Lastri. Ditambah dengan kecupan-kecupan yang menjijikan. Bayangkan, aku harus melihat adegan mesra layaknya pasangan suami-istri di depan mataku sendiri.
Mata ini memanas, sengaja kutengadahkan kepala ke atas hanya untuk mencegahnya mengeluarkan air mata. Perih. Jadi begini kelakuan mereka saat aku buta.
"Tidak perlu sayang, aku bisa sendiri." Dia berjalan dengan bertelanjang dada membuka lemari pakaian, diikuti oleh Lastri.
"Mas, apa kamu mencium bau sesuatu?" Kutahan suaraku agar tidak bergetar.
"Bau?" Berpikir sejenak. "Memangnya bau apa?"
"Bau parfum wanita. Sepertinya bukan parfum aku deh, Mas. Aneh. Masa bau aroma kamar ini berbeda? Apa di dalam kamar ini ada orang lain?"
Baju yang dipilih Lastri terjatuh. Mas Heru tampak gugup. "Ti--tidak ada Sayang, di sini kan cuma kita berdua," kilahnya dengan mendorong Lastri keluar dari kamar secara pelan dan diam-diam pula. Aku tersenyum kecut melihatnya.
'Bodoh, tidak ada bau apapun di kamar kita, Mas. Baru begitu saja kau sudah kelabakan, bagaimana kalau kulabrak benaran.'
***
"Sayang, aku ke bawah dulu ya, Mbok Yem sebentar lagi juga akan naik ke atas, mengantarkan makananmu," ucap Mas Heru sambil berkaca menyugar rambutnya yang basah.
"Kamu sudah makan, Mas?" Dia menggeleng.
"Ini juga mau ke bawah, makan bareng Lastri. Nggak enak kan, masa dia kerja bantu aku lembur tapi tidak kutawari makan," selorohnya.
"Tapi, Mas--"
"Permisi." Tiba-tiba Mbok Yem datang membawakan makan malamku. Biasanya aku makan malam di kamar. Disuapi Mbok Yem.
"Temani Ibu makan malam ya," ujarnya kepada Mbok Yem yang menghampiriku. Mbok Yem mengangguk.
"Tunggu, Mas!" Mas Heru yang ingin beranjak pergi menghentikan langkahnya.
"Mbok, bawa kembali makanan itu ke bawah." Mas Heru mengernyit, heran mendengar perintahku pada Mbok Yem.
"Aku ingin makan makan bareng denganmu?"
Mas Heru terkejut mendengar ucapanku. Dia tampak gelisah.
"Ehm ... Ayo," ujarnya setuju. Masih dengan wajah keheranan.
***
Aku sudah duduk di depan meja makan bersama mereka. Suami dan sahabatku.
Lastri tampak terkejut melihatku ikut duduk di sini dengannya.
Dia mengkode Mas Heru seolah bertanya kenapa aku ada di sini. Tentu saja dia heran. Mungkin dikiranya aku akan makan malam sendiri di dalam kamar. Maaf Las, kamu salah. Tidak akan kubiarkan Mas Heru makan malam berduaan denganmu. Bukan karena kucemburu. Namun karena aku hanya tidak ingin melihat kalian bersenang-senang diatas penderitaanku.
Mbok Yem menyiapkan piringku dengan makanan yang tersaji di atas meja makan.
"Mas, sini piringmu! Biar kusiapkan," ujar Lastri dengan tersenyum sumringah.
"Jangan! Biar Mbok Yem yang mengambilkannya untuk Mas Heru," pintaku. Lastri terdiam, gerakan tangannya terhenti seketika.
"Kamu kan tamu di rumah ini Las, cuma sebatas tamu. Jadi jangan bertindak seperti penghuninya," ucapku tegas. Terserah apa anggapannya. Aku hanya menunjukan batasan dirinya di rumah ini.
Wajah Lastri seketika masam. Dia merengut menoleh ke arah Mas Heru.
"Del, kok ngomongnya gitu. Lastri kan cuma mau bantu aku ngambil makanan," bela Mas Heru.
"Kan ada Mbok Yem. Apa dia ingin menggantikan tugas Mbok Yem? Jangan sampai aku menyuruhmu mencuci piring Las, itu terdengar lucu," Kekehku.
Bertambah merahlah wajah Lastri. Sepertinya dia marah.
"Del,"
"Aku cuma bercanda Mas. Maaf Las. Ayo kita makan," ucapku sambil menyendok makanan ke dalam mulut. Cuek.
Setelahnya kami makan dalam diam. Hanya terdengar suara denting sendok dan garpu beradu di atas piring.
Namun, aku masih bisa melihat Lastri yang mencuri pandang ke arah Mas Heru. Menyebalkan.
'Dasar, pagar makan tanaman. Sebentar lagi akan kujadikan kau pagar benaran di rumah ini Las, tunggulah.'
***
Malam berlalu, pintu kamar kukunci kembali, saat Mas Heru bilang dia akan sangat sibuk dengan Lastri di ruang kerja. Ruangannya tepat di sebelah kamar ini. Aku diminta tidur duluan. Kuiyakan saja semua perkataannya, karena ada yang harus kulakukan malam ini.
Menunggu beberapa menit dan merasa aman, aku bergegas mencari sesuatu. Hal pertama yang kucari adalah berkas penting, surat menyurat mengenai aset kekayaan. Dulu kuletakkan di dalam brankas dan sudah lama tidak pernah sekalipun kubuka.
Aku masuk ke dalam ruangan yang lebih kecil di dalam kamar ini. Tempat penyimpanan barang berharga. Sayangnya Mas Heru mengetahui ruangan ini. Aku tidak pernah merahasiakan karena kupikir dia suamiku, dan dia berhak tahu apa pun yang ada di rumah ini. Di sana ada brankas yang tersembunyi di belakang lemari buku. Bila orang awam melihat kamar ini, terlihat biasa saja, seperti ruang baca dengan satu kursi santai di dalamnya.
Kutekan kode pin untuk membuka pintu brankas tapi gagal. Kode pin salah. Kok bisa? Itu artinya ada yang mengganti kode pinnya? Mas Heru kah? Sial, lagi-lagi aku terlambat. Kucoba berpikir. Angka berapa yang jadi kode pin brankas ini.
Oke, tenang Delia. Kamu pasti bisa. Kejahatan tidak pernah menang. Kusugesti diriku berulang kali agar tetap optimis.
Beberapa kali gagal hingga aku harus istirahat sejenak agar bisa mencoba lagi.
Lelah. Semua kode yang kucoba tidak ada yang tepat.
Bagaimana ini. Semua sia-sia. Brankas tetap tidak bisa dibuka. Kenapa dia mengganti kode pinnya? Haruskah kutanyakan itu padanya? Bagaimana kalau dia curiga? Tapi itu hartaku, wajar kalau aku bertanya.
Mumet. Kepalaku pusing memikirkannya. Rencanaku berantakan.
Akhirnya aku kembali ke kamar, dan berbaring di tempat tidur dengan hati nelangsa. Mata ini tidak bisa kupejamkan. Waktu sudah berlalu dengan cepat. Ini bahkan sudah tengah malam. Mas Heru juga tidak kembali ke kamar untuk tidur. Apa mereka masih sibuk. Selarut ini?
Lebih baik kuperiksa keadaan mereka.
Aku keluar dengan meraba tembok kamar dibantu tongkat di tangan kanan. Setidaknya aku harus berlagak seperti orang buta. Memang seperti itu kan yang mereka tahu.
Hening. Tidak terdengar suara atau aktivitas seseorang dari ruang kerja Mas Heru. Kucoba untuk membuka pintunya.
Kosong. Kemana mereka? Sudah selesai atau mereka kerja di ruangan lain? Hatiku jadi tidak nyaman. Aku berjalan dengan cepat menuju ke lantai bawah.
Entah kenapa fellingku mengatakan kalau mereka ada di sana.
Dengan setengah berlari akhirnya sampai di depan kamar tamu. Entah kenapa hati memaksa diri untuk ke sini. Rasa gugup seketika menyerang. Kucoba mendekatkan telingaku ke daun pintu.
Degh.
Hatiku perih, ada yang tercabik di dalam sini walau sudah kutahu ini yang pasti terjadi. Haruskah kuketuk dulu pintu ini atau kudobrak saja, saat mendengar suara desahan seseorang saling bersahutan di dalamnya?
Kupindai sekelilingku. Sepi. Tentu saja, penghuninya sudah tidur jam segini. Kecuali mereka yang berada di balik kamar ini. Suara desahannya semakin nyaring membuat hatiku panas mendengarnya. Tanganku gemetar, gerakan membuka handle pintu terhenti. Kuseka air mata yang keluar menahan pedih di hati. Aku tidak boleh menangis, harus tegar. 'Jangan lemah, Delia. Air matamu tidak pantas untuk mereka.'Aku berbalik dan menuju ke lantai atas. Ke kamarku. Sampai di kamar, kuambil benda penting, kecil, pipih berbentuk segi empat. Lalu segera turun ke bawah.Di bawah, tepat di depan kamar ini, kuredam degup jantungku yang berdetak kencang karena habis berlari kecil. Aku masih terengah, napasku belum teratur.Aktivitas di dalam masih terdengar. Itu bagus. Ada yang harus kulakukan. Tangan ini masih gemetar saat menggerakkan handle pintu. Pelan, sepelan mungkin kucoba membuka.Klek.
Mataku mengerjap terbuka. Gelap. Apa mati lampu? Atau aku sudah mati? Aku ingat, rasanya aku baru saja mengalami kecelakaan. Mobilku menghantam pohon besar, yang sengaja kualihkan stirnya ke sana untuk menghindari tabrakan dengan mobil lainnya. Entah kenapa rem mobilku tidak berfungsi. Padahal baru diservis kemarin. Kutepuk pipiku pelan. Masih gelap. Aneh. Kutepuk lebih keras. "Aww," lirihku meringis kesakitan. Perih."Delia? Kamu sudah sadar Sayang. Tunggu biar kupanggilkan dokter."Itu suara suamiku. Dokter? Benar aku tidak bermimpi. Ini pasti di rumah sakit. Syukurlah aku masih hidup. Namun kenapa cahayanya gelap."Mas Heru? Kamu di mana? kenapa gelap? Aku tidak bisa melihat apapun." Kusentuh kedua mata. Aku yakin tidak sedang bermimpi. Apa di sini mati lampu? "Mas, tolong! Ada apa dengan mataku." Tanganku bergerak di udara mencoba menggapai sesuatu tapi tida
Aku senang melihat Mbok Yem masuk ke dalam kamarku. Dia membawakan sarapan seperti biasanya."Loh, Ibu gimana sih, harusnya duduk aja. Kalau mau kemana, bilang sama saya, biar Mbok bantu," ujarnya memaksaku duduk kembali ke kursi di depan meja rias. Dia juga memasangkan kacamata hitam yang ada di atas meja kepadaku. Kelakuannya sungguh aneh."Mbok, sa." Belum selesai sudah disela Mbok Yem."Ini makan dulu. Duduk yang benar, biar Mbok suapin," ucapnya lagi menyuapiku sembari mengedipkan sebelah mata. Lalu, seperti memberi tanda lewat sorot matanya, mengarah ke perempuan muda yang sedang sibuk merapikan tempat tidur.Ya, setiap hari datang dua pekerja tambahan, untuk membantu Mbok Yem membersihkan rumah ini. Mereka tidak menginap, cuma bekerja sampai pekerjaan mereka selesai.&
Baru enam bulan aku tidak dapat melihat dunia, rasanya banyak yang berubah di dalam rumah ini. Dari orang baru, hingga dekorasi di dalamnya. Kuamati setiap jengkal dari sisi rumah. Banyak dekorasi dan penempatan barang yang dirubah. Kata Mbok Yem, ini semua ulah Lastri. Heran, apa haknya di rumah ini. Dia hanya orang asing bergelar teman. Tidak seharusnya mengotak-atik isi dalam rumahku.Aku juga mengamati bagaimana Dini dan Sari bekerja. Cukup bagus. Sejauh ini mereka cekatan dalam membersihkan rumah. Bahkan sampai tugas berkebun dikerjakan oleh mereka pula. Secara bergantian.Taman belakang, yang dulu sering dikunjungi sebagai tempat favoritku, ternyata masih indah dan terawat dengan baik. Katanya Sari dan Dini yang merawatnya. Syukurlah. Tidak ada salahnya tetap mempekerjakan mereka di rumah ini.***&nbs
Kosong? Kemana perginya? Untuk apa Mas Heru mengambil semua perhiasanku?Aku terkejut, saat mendapati bagian atas dalam brankas kosong. Di bagian atas adalah tempat untuk menyimpan perhiasan. Di sana, terdapat lima kotak perhiasan full set, dan tiga kotak kecil berisi cincin berlian. Kebanyakan, perhiasan yang kumiliki adalah berlian. Terus, ada juga beberapa perhiasan emas yang memang kuletakkan begitu saja tanpa kotaknya. Itu juga raib. Padahal kalau di total, jumlah keseluruhan perhiasanku itu bernilai miliaran rupiah. Untungnya, surat menyurat di bagian bawah dalam brankas masih ada dan lengkap. Sudah kulihat isi dalamnya, tidak ada yang berubah dan surat-suratnya kuteliti masih asli.Aku duduk melantai, dan tersandar ke dinding ruangan, memikirkan ini semua. Kuambil ponsel yang tergeletak di lantai, ingin menghubungi seseorang yang penting."Halo, Pak Darwin? selamat siang. Maa
Aku menuruni tangga dengan pelan. Tongkat di tangan dan kacamata hitam tidak lupa kukenakan. Memang seperti inilah seharusnya penampilanku. Bukankah aku masih berpura buta?Saat di anak tangga terakhir, aku bisa melihat sosok laki-laki muda dengan kemeja biru langit duduk di sofa di ruang tengah. Kuhampiri dia dengan berjalan pelan. Dia menoleh ke arahku. Masih muda. Sepertinya seumuran denganku. Apa benar dia adalah dokter yang akan memeriksaku?"Selamat siang Bu Delia, saya Ryan, dokter yang akan memeriksa anda, menggantikan tugas dokter Richard," sapanya datar."Siang," jawabku."Silakan duduk," tawarku. Dia mengangguk dan segera menghempaskan bokongnya ke atas sofa."Mbok Yem, tolong
"Sudah lah Bu, jangan terlalu dipikirkan, Mbok Yakin, dokter Dian itu orangnya baik," ucap Mbok Yem sambil meletakkan sebuah cangkir berisi teh hangat ke atas meja, di samping tempat dudukku. "Ryan, Mbok. Bukan Dian," ucapku membenarkan. "Iya, salah dikit saja, Ryan," sanggah Mbok Yem, ikut duduk di sebelahku. "Tapi Bu, kalau Pak Heru nanya tentang CCTV gimana? 'kan ketahuan Bu. Wong saya lihat jelas sekali tuh alat ada dimana-mana." "Sengaja Mbok, saya mau lihat reaksinya nanti," jawabku. Aku yakin Mas Heru akan melakukan sesuatu setelah melihat banyak CCTV terpasang di rumah. Selain CCTV yang tampak terlihat, ada juga yang ukuran kecil terpasang di tempat tersembunyi, khususnya di dalam kamar baca--tempat Brankas tersimpan dan kamar tamu. Kurasa itu merupakan tempat favorit Mas Heru saat ini. &
Hari ini aku senang sekali. Rasanya malam tadi aku tertidur sangat nyenyak. Kulihat Mas Heru masih terlelap di tempat tidur, entah jam berapa dia berbaring di sampingku. Aku yakin pasti malam tadi dia susah tidur karena memikirkan kode PIN tersebut. Puas sekali menyaksikannya dalam kebingungan. Ini baru permulaan Mas, masih ada kejutan berikutnya.Aku ke bawah lebih awal. Kupinta Mbok Yem menyiapkan sarapan yang spesial pagi ini. Aku ingin menyambut tamu agung yang ingin berkunjung ke rumahku, sesuai dengan yang kudengar semalam. Lastri--dia akan datang kemari menemui suamiku, pasti untuk membahas kode PIN brankas yang tidak bisa dibuka. Lucu membayangkan mereka panik dan dalam kebingungan.Aku sudah berada di ruang makan. Duduk dengan santai sambil menikmati segelas teh hangat tanpa gula. Tidak perlu pemanis, karena hari ini bakalan menjadi hari yang manis untukku.
Cup! Sebuah ciuman mendarat di bibir ranum Shanum kala ia selesai berbincang puas bersama keluarga. Mata Alan mengerling menggoda dengan menaik turunkan alisnya setelah berhasil membuat istrinya tersebut melotot tajam. "Masih sore, papinya baby A." Shanum mencubit hidung menukik tajam miliknya Alan dengan terkekeh kecil. Mereka memang sudah memberi inisial huruf untuk nama anaknya kelak dengan awalan huruf A untuk mempermudah memanggilnya saat ini, meskipun sudah ada beberapa pilihan nama lengkap yang sudah dipersiapkan oleh mereka berdua. "Nggak papa. Kan di rumah cuma kita berdua. Ingat kata dokter, paling bagus begituannya sesering mungkin di bulan mendekati HPL ini, biar mempermudah jalan lahir baby A nanti." Alan beralasan untuk memuluskan kehendaknya. Bayangan Shanum yang hanya mengenakan handuk barusan tadi masih membekas di benaknya hingga memunculkan kembali hasrat kelelakiany
"Masih mencintainya?" Lagi Hanum bertanya setelah melihat Fatih hanya diam tidak menjawab pertanyaan sebelumnya."Tidak. Jangan tanyakan dia. Sekarang fokus ke hidup kita. Jangan merusak kebahagian kita dengan bertanya tentang orang lain. Wanita itu hanya masa lalu. Tidak ada hubungan apapun lagi denganku. Kita juga sudah mempunyai pasangan masing-masing. Soal aku yang mungkin pernah menyebut namanya saat tidur, akupun tidak menyadarinya tapi bukan menjadikan itu alasanku masih mencintainya." Fatih mencoba menyangkal dan memberi pengertian."Benarkah? Tapi kenapa rasanya aku sakit ya setelah melihat wanita itu secara langsung." Hanum melirik Fatih sekilas, lalu memalingkan muka kembali menghadap jendela kaca mobil."Please … Num, jangan dimulai.""Justru itu, aku mau menyelesaikan semuanya sekarang. Aku ingin kejelasan apa kamu mencintaik
Hingga sampailah Heru di sebuah tempat yang sebenarnya tidak begitu layak disebut rumah."Heru?!" Seorang wanita paruh baya berjalan tertatih mendekati Heru dengan cepat. Raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan dengan matanya yang membulat sempurna tatkala mendapati sosok yang dikenalnya dulu datang ke rumah kecilnya.Heru mengaku sebagai teman dari wanita yang diduganya adalah Lastri agar bisa mampir ke rumah remaja tersebut. Tak disangka yang ia temui adalah orang dari masa lalunya."Bu." Heru mendekat ingin mencium takzim tangan wanita sepuh itu, tapi ditepis kasar."Darimana kamu tahu rumah kami?" Matanya melotot tajam ke arah Heru saat bertanya. Sekarang Heru yakin kalau wanita yang ia kira Lastri itu benar dia orangnya dan wanita tua yang memandang sinis ini adalah mantan mertuanya. 
"Jadi dia yang namanya Shanum." Fatih tertegun seraya melirik Hanum yang membuka obrolan dalam perjalanan pulang ke hotel. Wanita yang garis wajahnya tidak beda jauh dari Shanum itu tidak berani menatap ke arah suaminya saat bertanya.Fatih hanya mengangguk pelan tanpa ingin bersuara. Bibirnya terkatup rapat malas untuk membahas nama yang sedang dipertanyakan isterinya tersebut."Cantik. Pantas masih Mas panggil di tiap tidur Mas." Fatih mendesah berat mendengar sindiran halus dari Hanum. Jujur hatinya merasa tak enak karena kedapatan sering menyebut nama wanita lain saat tidur.Shanum. Nama itu begitu membekas di hati Fatih. Bahkan setelah melewati beberapa purnama, nama itu masih bertahta kuat di hatinya. Baginya, wanita itu adalah cinta pertama yang sulit dilupakan. Kalau bukan karena permintaan ayah sambungnya, mungkin dia akan tetap memperjuangkan wanita itu agar tetap
POV authorAlan memutuskan kembali ke Inggris dengan memboyong Shanum ikut dengannya ke sana. Melanjutkan kuliah mengambil S2 dengan jangka waktu setahun. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja kerjanya nanti saat memasuki perusahaan Keluarga Atmanegara. Shanum pun demikian, ikut mengambil S2 juga memanfaatkan momentum yang ada. Ia pikir daripada berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Alan, kenapa tidak ikut menimba ilmu untuk meningkatkan kualitas ilmu yang sudah diperoleh sebelumnya. Alan pun mendukung keinginannya. Keluarga juga merestui. Mereka akhirnya memutuskan pergi setelah melengkapi segala berkas dan keperluan di sana. Kakek sudah membeli lagi satu apartemen baru untuk mereka tinggali. Yang pasti lebih besar dari apartemen Alan sebelumnya.***"Alhamdulillah, sebentar lagi kita bakal punya cucu," ucap Anya melirik Delia membuka obrolan. Tiga wanita berkumpu
POV ShanumCantik. Satu kata untuk kamar pengantin yang telah dipersiapkan untuk kami di salah satu kamar hotel berbintang lima.Taburan kelopak bunga mawar dibentuk menyerupai hati menghiasi atas tempat tidur yang didominasi warna putih. Harum semerbak menguar dari lilin beraroma terapi. Ada juga lilin-lilin kecil yang sengaja diletakkan di berbagai sudut kamar untuk menambah suasana semakin romantis."Suka?" Bisik Alan di dekat telinga. Mata masih takjub memandang keindahan kamar ini. Hati mendesir. Suaranya membuat bulu romaku berdiri. Kucoba mengendalikan rasa yang ada.Aku mengangguk. "Kamu yang buat?"Ia menggeleng lalu meraih tanganku. Menuntunku mendekati ranjang pengantin."Bukan. Orang hotel, tapi aku yang minta dibuatkan secantik mungkin. Mana ada
POV AlanTidak terasa waktu setahun telah terlewati. Masa perkuliahan akhirnya selesai juga. Wisuda sudah kujalani, tinggal pulang saja ke Indonesia. Nilai IPK-ku sangat memuaskan dan berhasil meraih cumlaude. Bahkan sudah ada tawaran kerja di perusahaan asing, tempatku magang dulu. Namun aku ingat pesan Kakek, "kita boleh menuntut ilmu di luar, tapi jangan lupa pulang dan praktekkan ilmu tersebut di negerimu sendiri." Lagipula ilmu tersebut bakalan kugunakan untuk mengembangkan perusahaan Keluarga, sesuai kemauannya.Hubunganku dengan Shanum, baik. Kami selalu berkirim pesan dan kabar agar selalu terjalin komunikasi yang erat. Tidak ada yang ditutupi, apapun itu. Sering bercerita tentang keadaan kampus masing-masing dan apa saja yang dipelajari di sana. Walau terkadang bingung dengan istilah yang terdengar asing di telinga karena perbedaan program studi yang kami ambil."Assalam
POV Shanum"Maaf, saya tidak setuju."Kaget.Ayah?Ada apa dengan Ayah? Kenapa ia tidak setuju?Kutatap wajahnya dengan khawatir. Tidak mungkin Ayah akan membatalkan pertunangan kami. Ayah bersikap biasa saja. Bahkan tidak ada pembicaraan serius di rumah mengenai hal tersebut. Malah Bunda lah yang paling nampak kesulitan menerima Alan sebelum adanya pertemuan dengan Mami Anya."Apa Alan melakukan kesalahan? Atau Delia masih marah dengan Anya?" Tebak Kakek Atma dengan Kening mengernyit. Mencoba mencari tahu.Semua mata menatap bergantian ke arah Bunda dan Mami Anya.Bunda cuma tersenyum tipis dan menggeleng cepat. Begitupun Mami Anya. Mereka saling melempar senyum meski tampak kebingungan di wajah merek
POV AlanSeharian ini aku persis seperti bodyguard. Mengikuti kemana langkah Mami pergi. Dari mengantarkannya bertemu Bunda, hingga pergi ke supermarket bagian perlengkapan kue. Ini untuk pertama kalinya kulihat Mami mengunjungi tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Aneh"Untuk apa Mami masuk ke sini?" Aku bertanya saat Mami memilih benda asing di mataku."Inih," jawabnya seraya menunjukkan salah satu benda berbahan aluminium berbentuk persegi dengan ukuran besar."Untuk?" tanyaku heran."Buat kue." Mami berjalan pelan memperhatikan benda tersusun rapi yang berada di sampingnya."Maksudnya, Mami yang akan membuat kue?" tanyaku tidak percaya.Mami menganggukkan kepala, tapi matanya terfokus pada deretan rak-rak seperti sedang