Kupindai sekelilingku. Sepi. Tentu saja, penghuninya sudah tidur jam segini. Kecuali mereka yang berada di balik kamar ini. Suara desahannya semakin nyaring membuat hatiku panas mendengarnya. Tanganku gemetar, gerakan membuka handle pintu terhenti. Kuseka air mata yang keluar menahan pedih di hati. Aku tidak boleh menangis, harus tegar. 'Jangan lemah, Delia. Air matamu tidak pantas untuk mereka.'
Aku berbalik dan menuju ke lantai atas. Ke kamarku. Sampai di kamar, kuambil benda penting, kecil, pipih berbentuk segi empat. Lalu segera turun ke bawah.
Di bawah, tepat di depan kamar ini, kuredam degup jantungku yang berdetak kencang karena habis berlari kecil. Aku masih terengah, napasku belum teratur.
Aktivitas di dalam masih terdengar. Itu bagus. Ada yang harus kulakukan. Tangan ini masih gemetar saat menggerakkan handle pintu. Pelan, sepelan mungkin kucoba membuka.
Klek.
Krieett ….
Aduh, berbunyi. Derit pintu ini memang terdengar keras bila dibuka. Aku harus siap andai ketahuan. Paling tidak harus menyiapkan bahan untuk bersandiwara. Posisi kuatur sedemikian rupa jika mereka tahu aku berada di depan pintu.
Kutunggu sekian detik, aman. Suara menjijikkan itu masih menggema. Mungkin terlalu menikmati, hingga tidak menyadari ada seseorang yang mengintip perbuatan mereka.
Kuintip sedikit. Mataku panas melihatnya, tapi aku harus kuat. Kumasukan benda pipih tersebut dekat dengan daun pintu, kuarahkan kamera ponsel tepat mengarah ke ranjang. Untung, sudut yang kudapat pas. Terekam dengan jelas apa yang sedang mereka lakukan ke dalam benda digital ini. Cuma sembilan belas detik. Aku tidak sanggup merekam sampai adegan ini selesai. Terlalu panas dan menjijikkan. Rasanya mual dan ingin muntah. Tega sekali mereka berbuat bermaksiat di rumahku.
Kurasa rekaman ini sudah cukup sebagai alat bukti perselingkuhan mereka. Ini juga bisa sebagai pemberat Mas Heru dalam sidang perceraian nantinya. Dia tidak akan bisa mengelak.
Pintu tidak kututup rapat, takut menimbulkan suara. Namun kalau aku pergi begitu saja dengan pintu seperti ini, mereka pasti curiga kalau tadi ada yang membukanya. Masalahnya, tadi aku masih beruntung karena mereka tidak mendengar, tapi tidak untuk kedua kali. Berpikir keras. Tetiba aku tersenyum setelah mendapatkan ide brilian. Baik Delia, kita berakting dulu sebentar. Sekalian menghentikan kemaksiatan mereka di kamar ini.
"Mas!" Pintu sengaja kubuka keras dengan memanggil namanya.
Mas Heru dan Lastri kompak tersentak kaget dan gelagapan mencoba menutupi area sensitif tubuh mereka.
"Delia! Ka--kamu?" Mas Heru bangkit dengan gerakan cepat memakai celana dalamnya lalu menghampiriku. Sedangkan Lastri segera menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Dia terdiam tidak bergerak. Mungkin takut ketahuan.
Tanganku di udara, berpura menggapai sesuatu. "Mas," seruku dengan terus berpura mencari sosoknya.
Lalu tangan ini ditangkapnya. "I--ini Mas. Ka--mu kenapa ke sini?" Tanyanya terbata.
"Mas, aku takut. Tadi aku mimpi buruk. Dalam mimpiku kamu sedang bergulat dengan wanita lain dikamar ini. Makanya aku segera turun dan masuk ke sini. Ternyata benar," jelasku dengan memaksakan mata ini meneteskan air mata.
"Be--nar?" Mak--sudnya?" Wajahnya pias mendengar ucapanku barusan.
"Kamu ada di sini. Berarti mimpiku benar kan? Kamu sama siapa di sini? Bersama Lastri 'kan? Las … Lastri, kamu dimana?" Tanganku bergerak bebas di udara mencari keberadaannya.
"Lastri?" Gumam Mas Heru panik. Dia melirik ke arah Lastri yang berada di atas ranjang. Lastri memberi isyarat dengan meletakkan jarinya di atas bibir.
"Iya Mas, dalam mimpiku kamu bersama Lastri," sahutku cepat.
"Tidak Del, tidak ada Lastri, kamu cuma mimpi" jawabnya mengelak sambil menarik tanganku paksa. Namun kutepis kasar.
Kudekati ranjang tersebut. Meraba-raba atas tempat tidur, tempat Lastri berada. Gerakan tanganku mendekati tubuhnya, hampir kena, nahasnya dia berguling hingga jatuh terjerembab ke bawah karena berusaha menghindari sentuhanku.
Terdengar keras dentaman jatuhnya.
"Suara apa itu?" tanyaku. Aku berusaha keras menahan tawa dan ekspresi wajah karena melihat langsung bagaimana keadaan Lastri terjatuh. Menggelikan. Hebatnya dia tahan tidak bersuara, padahal kulihat wajahnya meringis kesakitan.
"Suara? Oh, ini, itu Sayang, Mas yang jatuh barusan," ucap Mas Heru. Dia mencoba membantu Lastri bangun dan berhasil menuntunnya keluar dari Kamar ini tanpa sehelai pakaian. Tentu saja, selimut yang tadi melilit tubuhnya kutarik paksa saat berpura mencari sosoknya. Mana mungkin dia memaksa mengambilnya dari jangkauan tanganku.
"Mas yang jatuh, kok bisa? Suaranya dari sana Mas, sedangkan Mas ada di sini," tudingku berpura tidak percaya.
"Kamu salah dengar. Tadi Mas yang jatuh. Benar," tukasnya. Aku terdiam. Berpura sedang berpikir.
"Sudahlah Sayang, lupakan. Itu tidak mungkin. Lastri sudah pulang. Setelah selesai kerja tadi, dia langsung pulang. Mas sendirian di sini karena kamar kita kamu kunci. Mas nggak bisa masuk, ya sudah Mas tidur di sini saja."
"Benarkah? Kenapa aku mendengar suara itu nyata ada di kamar ini?"
"Mungkin saja mimpimu kebawa ke dunia nyata. Kamu salah, sudah berpikir negatif terhadap suami sendiri. Itu tidak baik lo Sayang. Apalagi menuduhku dengan Lastri berselingkuh, itu tidak akan pernah terjadi. Kalau dia tahu, dia pasti kecewa dituduh kamu begitu. Mana mungkin. Lagi pula kami hanya sebatas rekan kerja dan Lastri itu sahabat dekatmu 'kan. Mas jadi sedih dengarnya," jelasnya dengan mimik muka yang memuakkan.
"Maaf Mas, Syukurlah kalau itu cuma mimpi. Maaf ya, sudah membuat Mas terbangun. Mimpi itu terasa nyata. Delia takut Mas. Mas janji 'kan, nggak akan pernah mengkhianati atau selingkuh di belakangku? Apalagi aku yang dalam keadaan begini," ucapku menunduk dengan wajah sendu.
"Nggak Sayang, nggak akan," janjinya sambil membawaku ke dalam pelukannya.
Aku memberontak, menolak kasar pelukannya. Mas Heru terlonjak kaget.
"Tubuhmu basah Mas. Baunya juga nggak enak. Ini juga nggak pakai baju. Kamu kenapa? Keringatan begitu. Kepanasan? Bukankah disini dingin. AC-nya hidup kan Mas?" Aku sengaja mengatakan begitu karena jijik disentuh olehnya. Tidak hanya keringat saja berlumur di sana, tapi pasti ada air lainnya.
"E … ehm … anu, itu, Mas, Mas kepanasan," ujarnya beralasan sembari menggaruk kepala. Namun sayang, alasannya tidak masuk akal.
"Ya sudah, mending Mas mandi sana. Biar dinginan. Pakai sabun yang banyak Mas, bau badan Mas nggak enak."
"Iya," ucap Mas Heru pasrah.
Mas Heru telah keluar lebih dulu dari kamar ini. Aku masih berada di sini, berdiri terpaku melihat pemandangan yang ada di dalamnya. Tempat tidur berantakan dan baju yang berserakan di lantai menunjukkan betapa dahsyatnya pertempuran mereka barusan.
Dada terasa sesak. 'Sudah berapa lama kalian bermaksiat di rumah ini, Mas?'
Bruk!
Ada yang menabrakku. Mas Heru?
"Mas, ini kamu?" Tanyaku dengan berusaha menggapainya.
Namun sayangnya dia berjalan ke samping mencoba menghindariku.
"I--iya, ini Mas. Ada yang ketinggalan," sahutnya. Dia memungut pakaian Lastri di lantai.
"Ketinggalan, apa Mas?"
"Oh, itu. Nggak ada. Maksud Mas, ketinggalan ngajak kamu pergi. Mas lupa harusnya menuntun kamu ke atas," ucapnya penuh kebohongan.
"Nggak usah Mas. Itu tongkatku di depan kamar. Aku bisa jalan sendiri. Enam bulan dalam kegelapan memaksaku untuk mandiri, Mas. Telingaku juga lebih sensitif. Jadi suara apa pun, apalagi yang terdengar aneh itu sampai ke telingaku dengan jelas."
Kulihat Mas Heru menelan ludahnya. "Oh, i--iya. Kalau gitu Mas duluan ya. Ini badan Mas gerah, basah," ucapnya sambil menyembunyikan pakaian Lastri di belakang badannya. Aku cuma mengangguk sambil tersenyum semanis mungkin.
Lihat saja Mas, satu bukti sudah di tangan, bila kuekspos sekarang video menjijikkan ini, damn! Karir kalian berdua hancur. Terutama kamu, Mas.
Namun tidak. Tidak sekarang, Mas. Nanti dulu. Ada yang lebih penting yang harus kulakukan. Tunggulah Mas, perang ini baru saja dimulai.
Mataku mengerjap terbuka. Gelap. Apa mati lampu? Atau aku sudah mati? Aku ingat, rasanya aku baru saja mengalami kecelakaan. Mobilku menghantam pohon besar, yang sengaja kualihkan stirnya ke sana untuk menghindari tabrakan dengan mobil lainnya. Entah kenapa rem mobilku tidak berfungsi. Padahal baru diservis kemarin. Kutepuk pipiku pelan. Masih gelap. Aneh. Kutepuk lebih keras. "Aww," lirihku meringis kesakitan. Perih."Delia? Kamu sudah sadar Sayang. Tunggu biar kupanggilkan dokter."Itu suara suamiku. Dokter? Benar aku tidak bermimpi. Ini pasti di rumah sakit. Syukurlah aku masih hidup. Namun kenapa cahayanya gelap."Mas Heru? Kamu di mana? kenapa gelap? Aku tidak bisa melihat apapun." Kusentuh kedua mata. Aku yakin tidak sedang bermimpi. Apa di sini mati lampu? "Mas, tolong! Ada apa dengan mataku." Tanganku bergerak di udara mencoba menggapai sesuatu tapi tida
Aku senang melihat Mbok Yem masuk ke dalam kamarku. Dia membawakan sarapan seperti biasanya."Loh, Ibu gimana sih, harusnya duduk aja. Kalau mau kemana, bilang sama saya, biar Mbok bantu," ujarnya memaksaku duduk kembali ke kursi di depan meja rias. Dia juga memasangkan kacamata hitam yang ada di atas meja kepadaku. Kelakuannya sungguh aneh."Mbok, sa." Belum selesai sudah disela Mbok Yem."Ini makan dulu. Duduk yang benar, biar Mbok suapin," ucapnya lagi menyuapiku sembari mengedipkan sebelah mata. Lalu, seperti memberi tanda lewat sorot matanya, mengarah ke perempuan muda yang sedang sibuk merapikan tempat tidur.Ya, setiap hari datang dua pekerja tambahan, untuk membantu Mbok Yem membersihkan rumah ini. Mereka tidak menginap, cuma bekerja sampai pekerjaan mereka selesai.&
Baru enam bulan aku tidak dapat melihat dunia, rasanya banyak yang berubah di dalam rumah ini. Dari orang baru, hingga dekorasi di dalamnya. Kuamati setiap jengkal dari sisi rumah. Banyak dekorasi dan penempatan barang yang dirubah. Kata Mbok Yem, ini semua ulah Lastri. Heran, apa haknya di rumah ini. Dia hanya orang asing bergelar teman. Tidak seharusnya mengotak-atik isi dalam rumahku.Aku juga mengamati bagaimana Dini dan Sari bekerja. Cukup bagus. Sejauh ini mereka cekatan dalam membersihkan rumah. Bahkan sampai tugas berkebun dikerjakan oleh mereka pula. Secara bergantian.Taman belakang, yang dulu sering dikunjungi sebagai tempat favoritku, ternyata masih indah dan terawat dengan baik. Katanya Sari dan Dini yang merawatnya. Syukurlah. Tidak ada salahnya tetap mempekerjakan mereka di rumah ini.***&nbs
Kosong? Kemana perginya? Untuk apa Mas Heru mengambil semua perhiasanku?Aku terkejut, saat mendapati bagian atas dalam brankas kosong. Di bagian atas adalah tempat untuk menyimpan perhiasan. Di sana, terdapat lima kotak perhiasan full set, dan tiga kotak kecil berisi cincin berlian. Kebanyakan, perhiasan yang kumiliki adalah berlian. Terus, ada juga beberapa perhiasan emas yang memang kuletakkan begitu saja tanpa kotaknya. Itu juga raib. Padahal kalau di total, jumlah keseluruhan perhiasanku itu bernilai miliaran rupiah. Untungnya, surat menyurat di bagian bawah dalam brankas masih ada dan lengkap. Sudah kulihat isi dalamnya, tidak ada yang berubah dan surat-suratnya kuteliti masih asli.Aku duduk melantai, dan tersandar ke dinding ruangan, memikirkan ini semua. Kuambil ponsel yang tergeletak di lantai, ingin menghubungi seseorang yang penting."Halo, Pak Darwin? selamat siang. Maa
Aku menuruni tangga dengan pelan. Tongkat di tangan dan kacamata hitam tidak lupa kukenakan. Memang seperti inilah seharusnya penampilanku. Bukankah aku masih berpura buta?Saat di anak tangga terakhir, aku bisa melihat sosok laki-laki muda dengan kemeja biru langit duduk di sofa di ruang tengah. Kuhampiri dia dengan berjalan pelan. Dia menoleh ke arahku. Masih muda. Sepertinya seumuran denganku. Apa benar dia adalah dokter yang akan memeriksaku?"Selamat siang Bu Delia, saya Ryan, dokter yang akan memeriksa anda, menggantikan tugas dokter Richard," sapanya datar."Siang," jawabku."Silakan duduk," tawarku. Dia mengangguk dan segera menghempaskan bokongnya ke atas sofa."Mbok Yem, tolong
"Sudah lah Bu, jangan terlalu dipikirkan, Mbok Yakin, dokter Dian itu orangnya baik," ucap Mbok Yem sambil meletakkan sebuah cangkir berisi teh hangat ke atas meja, di samping tempat dudukku. "Ryan, Mbok. Bukan Dian," ucapku membenarkan. "Iya, salah dikit saja, Ryan," sanggah Mbok Yem, ikut duduk di sebelahku. "Tapi Bu, kalau Pak Heru nanya tentang CCTV gimana? 'kan ketahuan Bu. Wong saya lihat jelas sekali tuh alat ada dimana-mana." "Sengaja Mbok, saya mau lihat reaksinya nanti," jawabku. Aku yakin Mas Heru akan melakukan sesuatu setelah melihat banyak CCTV terpasang di rumah. Selain CCTV yang tampak terlihat, ada juga yang ukuran kecil terpasang di tempat tersembunyi, khususnya di dalam kamar baca--tempat Brankas tersimpan dan kamar tamu. Kurasa itu merupakan tempat favorit Mas Heru saat ini. &
Hari ini aku senang sekali. Rasanya malam tadi aku tertidur sangat nyenyak. Kulihat Mas Heru masih terlelap di tempat tidur, entah jam berapa dia berbaring di sampingku. Aku yakin pasti malam tadi dia susah tidur karena memikirkan kode PIN tersebut. Puas sekali menyaksikannya dalam kebingungan. Ini baru permulaan Mas, masih ada kejutan berikutnya.Aku ke bawah lebih awal. Kupinta Mbok Yem menyiapkan sarapan yang spesial pagi ini. Aku ingin menyambut tamu agung yang ingin berkunjung ke rumahku, sesuai dengan yang kudengar semalam. Lastri--dia akan datang kemari menemui suamiku, pasti untuk membahas kode PIN brankas yang tidak bisa dibuka. Lucu membayangkan mereka panik dan dalam kebingungan.Aku sudah berada di ruang makan. Duduk dengan santai sambil menikmati segelas teh hangat tanpa gula. Tidak perlu pemanis, karena hari ini bakalan menjadi hari yang manis untukku.
Aku dan Mbok Yem duduk dengan wajah tegang. Tangan kami saling menggenggam penuh kecemasan. Tidak disangka, Lastri yang kami kerjai pingsan, setelah lima kali keluar-masuk toilet. Sesekali kami saling lirik berbicara lewat tatapan mata. Aku yakin dosis yang Mbok Yem masukan ke makanan Lastri kecil, karena aku sendiri yang menakarnya. Seharusnya efeknya tidak sampai begini. Dia juga baru lima kali masuk toilet. Masa segitu saja sudah ko-it.Memang kentara sekali perubahan wajah Lastri setelah dia mengeluh sakit perut. Awalnya aku dan Mbok Yem menikmati kesakitannya, tapi lama-lama malah membuat kami cemas. Apalagi saat Lastri keluar dari toilet dengan wajah yang pucat. Warna merah wajahnya memudar.Lalu yang mengejutkan terjadi. Dia pingsan.***"Lastri, Lastri, kamu kenapa?" Mas Heru panik setelah Lastri yang
Cup! Sebuah ciuman mendarat di bibir ranum Shanum kala ia selesai berbincang puas bersama keluarga. Mata Alan mengerling menggoda dengan menaik turunkan alisnya setelah berhasil membuat istrinya tersebut melotot tajam. "Masih sore, papinya baby A." Shanum mencubit hidung menukik tajam miliknya Alan dengan terkekeh kecil. Mereka memang sudah memberi inisial huruf untuk nama anaknya kelak dengan awalan huruf A untuk mempermudah memanggilnya saat ini, meskipun sudah ada beberapa pilihan nama lengkap yang sudah dipersiapkan oleh mereka berdua. "Nggak papa. Kan di rumah cuma kita berdua. Ingat kata dokter, paling bagus begituannya sesering mungkin di bulan mendekati HPL ini, biar mempermudah jalan lahir baby A nanti." Alan beralasan untuk memuluskan kehendaknya. Bayangan Shanum yang hanya mengenakan handuk barusan tadi masih membekas di benaknya hingga memunculkan kembali hasrat kelelakiany
"Masih mencintainya?" Lagi Hanum bertanya setelah melihat Fatih hanya diam tidak menjawab pertanyaan sebelumnya."Tidak. Jangan tanyakan dia. Sekarang fokus ke hidup kita. Jangan merusak kebahagian kita dengan bertanya tentang orang lain. Wanita itu hanya masa lalu. Tidak ada hubungan apapun lagi denganku. Kita juga sudah mempunyai pasangan masing-masing. Soal aku yang mungkin pernah menyebut namanya saat tidur, akupun tidak menyadarinya tapi bukan menjadikan itu alasanku masih mencintainya." Fatih mencoba menyangkal dan memberi pengertian."Benarkah? Tapi kenapa rasanya aku sakit ya setelah melihat wanita itu secara langsung." Hanum melirik Fatih sekilas, lalu memalingkan muka kembali menghadap jendela kaca mobil."Please … Num, jangan dimulai.""Justru itu, aku mau menyelesaikan semuanya sekarang. Aku ingin kejelasan apa kamu mencintaik
Hingga sampailah Heru di sebuah tempat yang sebenarnya tidak begitu layak disebut rumah."Heru?!" Seorang wanita paruh baya berjalan tertatih mendekati Heru dengan cepat. Raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan dengan matanya yang membulat sempurna tatkala mendapati sosok yang dikenalnya dulu datang ke rumah kecilnya.Heru mengaku sebagai teman dari wanita yang diduganya adalah Lastri agar bisa mampir ke rumah remaja tersebut. Tak disangka yang ia temui adalah orang dari masa lalunya."Bu." Heru mendekat ingin mencium takzim tangan wanita sepuh itu, tapi ditepis kasar."Darimana kamu tahu rumah kami?" Matanya melotot tajam ke arah Heru saat bertanya. Sekarang Heru yakin kalau wanita yang ia kira Lastri itu benar dia orangnya dan wanita tua yang memandang sinis ini adalah mantan mertuanya. 
"Jadi dia yang namanya Shanum." Fatih tertegun seraya melirik Hanum yang membuka obrolan dalam perjalanan pulang ke hotel. Wanita yang garis wajahnya tidak beda jauh dari Shanum itu tidak berani menatap ke arah suaminya saat bertanya.Fatih hanya mengangguk pelan tanpa ingin bersuara. Bibirnya terkatup rapat malas untuk membahas nama yang sedang dipertanyakan isterinya tersebut."Cantik. Pantas masih Mas panggil di tiap tidur Mas." Fatih mendesah berat mendengar sindiran halus dari Hanum. Jujur hatinya merasa tak enak karena kedapatan sering menyebut nama wanita lain saat tidur.Shanum. Nama itu begitu membekas di hati Fatih. Bahkan setelah melewati beberapa purnama, nama itu masih bertahta kuat di hatinya. Baginya, wanita itu adalah cinta pertama yang sulit dilupakan. Kalau bukan karena permintaan ayah sambungnya, mungkin dia akan tetap memperjuangkan wanita itu agar tetap
POV authorAlan memutuskan kembali ke Inggris dengan memboyong Shanum ikut dengannya ke sana. Melanjutkan kuliah mengambil S2 dengan jangka waktu setahun. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja kerjanya nanti saat memasuki perusahaan Keluarga Atmanegara. Shanum pun demikian, ikut mengambil S2 juga memanfaatkan momentum yang ada. Ia pikir daripada berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Alan, kenapa tidak ikut menimba ilmu untuk meningkatkan kualitas ilmu yang sudah diperoleh sebelumnya. Alan pun mendukung keinginannya. Keluarga juga merestui. Mereka akhirnya memutuskan pergi setelah melengkapi segala berkas dan keperluan di sana. Kakek sudah membeli lagi satu apartemen baru untuk mereka tinggali. Yang pasti lebih besar dari apartemen Alan sebelumnya.***"Alhamdulillah, sebentar lagi kita bakal punya cucu," ucap Anya melirik Delia membuka obrolan. Tiga wanita berkumpu
POV ShanumCantik. Satu kata untuk kamar pengantin yang telah dipersiapkan untuk kami di salah satu kamar hotel berbintang lima.Taburan kelopak bunga mawar dibentuk menyerupai hati menghiasi atas tempat tidur yang didominasi warna putih. Harum semerbak menguar dari lilin beraroma terapi. Ada juga lilin-lilin kecil yang sengaja diletakkan di berbagai sudut kamar untuk menambah suasana semakin romantis."Suka?" Bisik Alan di dekat telinga. Mata masih takjub memandang keindahan kamar ini. Hati mendesir. Suaranya membuat bulu romaku berdiri. Kucoba mengendalikan rasa yang ada.Aku mengangguk. "Kamu yang buat?"Ia menggeleng lalu meraih tanganku. Menuntunku mendekati ranjang pengantin."Bukan. Orang hotel, tapi aku yang minta dibuatkan secantik mungkin. Mana ada
POV AlanTidak terasa waktu setahun telah terlewati. Masa perkuliahan akhirnya selesai juga. Wisuda sudah kujalani, tinggal pulang saja ke Indonesia. Nilai IPK-ku sangat memuaskan dan berhasil meraih cumlaude. Bahkan sudah ada tawaran kerja di perusahaan asing, tempatku magang dulu. Namun aku ingat pesan Kakek, "kita boleh menuntut ilmu di luar, tapi jangan lupa pulang dan praktekkan ilmu tersebut di negerimu sendiri." Lagipula ilmu tersebut bakalan kugunakan untuk mengembangkan perusahaan Keluarga, sesuai kemauannya.Hubunganku dengan Shanum, baik. Kami selalu berkirim pesan dan kabar agar selalu terjalin komunikasi yang erat. Tidak ada yang ditutupi, apapun itu. Sering bercerita tentang keadaan kampus masing-masing dan apa saja yang dipelajari di sana. Walau terkadang bingung dengan istilah yang terdengar asing di telinga karena perbedaan program studi yang kami ambil."Assalam
POV Shanum"Maaf, saya tidak setuju."Kaget.Ayah?Ada apa dengan Ayah? Kenapa ia tidak setuju?Kutatap wajahnya dengan khawatir. Tidak mungkin Ayah akan membatalkan pertunangan kami. Ayah bersikap biasa saja. Bahkan tidak ada pembicaraan serius di rumah mengenai hal tersebut. Malah Bunda lah yang paling nampak kesulitan menerima Alan sebelum adanya pertemuan dengan Mami Anya."Apa Alan melakukan kesalahan? Atau Delia masih marah dengan Anya?" Tebak Kakek Atma dengan Kening mengernyit. Mencoba mencari tahu.Semua mata menatap bergantian ke arah Bunda dan Mami Anya.Bunda cuma tersenyum tipis dan menggeleng cepat. Begitupun Mami Anya. Mereka saling melempar senyum meski tampak kebingungan di wajah merek
POV AlanSeharian ini aku persis seperti bodyguard. Mengikuti kemana langkah Mami pergi. Dari mengantarkannya bertemu Bunda, hingga pergi ke supermarket bagian perlengkapan kue. Ini untuk pertama kalinya kulihat Mami mengunjungi tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Aneh"Untuk apa Mami masuk ke sini?" Aku bertanya saat Mami memilih benda asing di mataku."Inih," jawabnya seraya menunjukkan salah satu benda berbahan aluminium berbentuk persegi dengan ukuran besar."Untuk?" tanyaku heran."Buat kue." Mami berjalan pelan memperhatikan benda tersusun rapi yang berada di sampingnya."Maksudnya, Mami yang akan membuat kue?" tanyaku tidak percaya.Mami menganggukkan kepala, tapi matanya terfokus pada deretan rak-rak seperti sedang