Aku senang melihat Mbok Yem masuk ke dalam kamarku. Dia membawakan sarapan seperti biasanya.
"Loh, Ibu gimana sih, harusnya duduk aja. Kalau mau kemana, bilang sama saya, biar Mbok bantu," ujarnya memaksaku duduk kembali ke kursi di depan meja rias. Dia juga memasangkan kacamata hitam yang ada di atas meja kepadaku. Kelakuannya sungguh aneh.
"Mbok, sa." Belum selesai sudah disela Mbok Yem.
"Ini makan dulu. Duduk yang benar, biar Mbok suapin," ucapnya lagi menyuapiku sembari mengedipkan sebelah mata. Lalu, seperti memberi tanda lewat sorot matanya, mengarah ke perempuan muda yang sedang sibuk merapikan tempat tidur.
Ya, setiap hari datang dua pekerja tambahan, untuk membantu Mbok Yem membersihkan rumah ini. Mereka tidak menginap, cuma bekerja sampai pekerjaan mereka selesai.
"Oh ya, tolong ka." Aku tidak bisa meneruskan perkataanku pada perempuan itu, karena Mbok Yem dengan cepat menyuapkan makanan ke mulutku.
"Nah, bagus. Buka mulutnya lebar-lebar," ucapnya membuatku kesal. Baru kali ini Mbok Yem selancang itu memperlakukanku. Aku tahu dia sudah lama ikut dengan keluargaku, bahkan dari aku kecil, tapi nggak begini juga seharusnya.
Aku ingin melepas kacamata yang bertengger di pangkal hidung, tapi dihalangi oleh Mbok Yem.
Mulai marah. Kudiamkan Mbok Yem, dengan muka ketus tanpa mau menerima suapan makanan lagi darinya.
"Kalau Ibu tidak makan, bagaimana mau lekas sehat. Makan itu baik lo, buat menyembuhkan mata. Jadi secepatnya mata ibu bisa melihat, di sini, sudah saya kasih banyak wortel." Perkataan Mbok Yem membuat keningku berkerut. Sejak kapan dengan makan bisa menyembuhkan mata.
Aneh, tapi apa maksud Mbok ngomong begitu? Bukankah aku sudah bisa melihat. Kulihat mata Mbok Yem seolah berbicara kepadaku. Dia selalu menunjuk ke arah perempuan yang sedang bersih-bersih di dalam kamar. Apa jangan-jangan ….
"Ehm … Mbok. Mbak di sini sudah selesai belum membersihkan kamar saya?"
""Din, sudah selesai belum?" Mbok Yem menanyai perempuan itu. Aku tidak melihatnya, karena fokus mataku ke arah Mbok Yem. Sepertinya aku mulai mengerti apa maksud dari tingkah aneh Mbok Yem sekarang.
"Ini, dikit lagi," sahut perempuan tersebut.
"Kemari! Siapa namamu?" Titahku. Penasaran.
"Nama saya Dini, Bu." Dia berjalan mendekatiku.
"Ibu mah, suka gitu. Nggak pernah nanya siapa pekerjanya. Dini ini, dari lima bulan yang lalu sudah bekerja di sini. Dimasukkan sama Pak Heru. Itu, sama Sari, kebetulan dia lagi beres-beres di lantai bawah." Mbok Yem menjelaskan kepadaku tentang dua orang tersebut.
Aku manggut-manggut, karena baru tahu siapa saja yang bekerja di rumah ini. Aku memang tidak tahu, karena tiga orang yang dulu bekerja di sini, secara serentak berhenti kerja. Kecuali Mbok Yem. Kata Mas Heru, alasannya karena mereka bosan dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibanding di sini. Padahal gaji mereka sudah cukup besar. Aku pun sering membantu keluarga mereka. Namun sepertinya, itu tidak mempengaruhi mereka untuk tetap betah bekerja di sini.
"Panggil temanmu itu, suruh kesini. Saya mau kenalan," ucapku tegas.
Dini tampak terkejut, tapi dengan cepat mengangguk dan segera berlalu dari kamarku.
Melihatnya sudah pergi, kutepuk pelan paha Mbok Yem. "Ada apa sih Mbok?" Bisikku menanyakan.
"Mereka itu mata-mata yang dikirim Pak Heru," balasnya dengan suara pelan. Aku terkejut mendengarnya.
Mata-mata? Maksud Mbok Yem apa?
Saya nggak ngerti, jelaskan!" Bisikku lagi.
"Pergerakan saya di sini tidak bebas selama ada mereka. Nanti setelah siang atau sore, baru Mbok bisa bernapas lega. Cuma sayangnya keburu Pak Heru yang datang."
Aku tambah tidak mengerti. Benarkah suamiku memata-mataiku selama ini? Kenapa?
Terdengar dua pasang langkah kaki masuk ke dalam kamarku. Dini dan temannya yang bernama Sari telah sampai. Mereka kini berdiri di hadapanku.
Aku menatap mereka dari balik kacamata yang sedang kupakai. "Nama saya Delia, saya belum pernah berkenalan dengan kalian. Jadi tolong perkenalkan diri kalian masing-masing," titahku kepada keduanya.
Keduanya saling pandang, lalu saling sikut. Seperti tidak ada yang berani memulai lebih dulu.
"Kamu dulu!" tunjukku pada perempuan yang badannya lebih berisi.
"Nama saya Sari Bu."
"Saya Dini, Bu," sahut Dini pula menimpali Ucapan Sari.
"Betah kerja disini? Berapa gaji kalian?"
Lagi, mereka saling melempar pandang.
"Ehm … siapa pun boleh menjawab." Aku mulai jengah melihat sikap mereka.
"Betah, Bu, dan gaji kami sama, delapan ratus ribu sebulan," jawab Dini.
"Ehm, membersihkan rumah sebesar ini cuma delapan ratus ribu? kecil itu. Mbok! Gaji Mbok berapa sebulan?"
"Enam juta, Bu."
Mereka berdua seperti terkejut mendengarnya.
"Saya bisa menaikan gaji kalian di sini tapi dengan satu syarat," ucapku memancing.
"Apa Bu?" Sari terlihat antusias bertanya. Matanya berbinar terang.
"Saya tanya dulu, tugas kalian di sini selain bersih-bersih, apa lagi? Jelaskan!"
"Maaf, Bu. Saya nggak ngerti," jawab Dini. Mataku menyipit melihatnya. Lalu kacamata ini kulepaskan.
"Kalau saya telepon orang suruhan saya," jedaku sambil menjentikkan tangan. "Dalam lima menit saya bisa tahu identitas kalian sampai ke kakek dan buyutmu, paham!" Jelasku penuh tekanan.
"Ibu bisa melihat?" tanya Dini kaget seraya menggerakkan tangannya ke depan wajahku.
"Din, jangan kurang ajar gitu sama Ibu," bentak Mbok Yem keras dengan menepis tangan Dini.
"Maaf, jadi Ibu sudah bisa melihat? Saya dan Sari cuma kerja di sini sebatas itu Bu, nggak ada yang lain." Terlihat gugup.
"Yakin? Jangan sampai saya marah, kalian bisa saya pecat dan saya jebloskan ke penjara, karena sudah berani memata-matai saya di rumah ini," ancamku dengan mata melotot menakuti mereka.
"Ibu tahu? Aduh, maaf, Bu. Jangan. Jangan, Bu. Saya masih mau kerja. Saya juga nggak mau dipenjara. Saya cuma dikasih tugas tambahan buat ngawasi Mbok Yem sama Ibu. Katanya jangan sampai Mbok Yem berlama-lama berduaan saja sama Ibu di rumah ini, atau ngomong kayak rahasia gitu sama Ibu," aku Sari. Kelihatan kalau Sari lebih lemah dan takut dibanding Dini.
"Benar Din?"
Dia mengangguk pasrah. "Maaf, Bu. Tolong jangan pecat kami. Itu semua perintah dari Nyonya Lastri."
"Tunggu, apa kamu bilang? NYONYA LASTRI? Sejak kapan kalian memanggilnya nyonya dan saya cuma ibu? Yang nyonya di rumah ini saya, bukan dia. Yang berhak gaji kalian itu saya, bukan dia. Ngerti!" Emosiku naik mendengarnya. Aku berdiri dengan berkacak pinggang.
Bisa-bisanya Lastri mengakui diri sebagai nyonya di rumah ini. Kurang ajar.
"Maaf, Bu. Kami tidak tahu. Katanya …" Sari menyikut lengan Dini. Mereka seperti takut bicara.
"Apa? Ngomong yang jelas sama Bu Delia. Mau dipecat sekarang?" Mbok Yem membantuku menakut-nakuti mereka.
"Katanya, nyonya besar di rumah ini Bu Lastri. Karena beliau istri Pak Heru juga. Makanya kami manut sama perintah beliau."
Aku menggeleng mendengarnya. "Benar Mbok, Lastri ngomong gitu?"
"Saya tidak tahu Bu. Cuma memang Bu Lastri, semenjak Bu Del nggak bisa lihat, suka sok gitu ngatur rumah ini. Berasa jadi nyonya."
"Ya sudah, saya perjelas sama kalian semua. Saya, Delia Anggun Wardani, adalah pemilik SAH rumah ini. Saya juga istri SAH dari Pak Heru. Jadi apa pun yang berkenaan dengan rumah ini, semua atas izin saya, dan si Lastri itu bukan siapa-siapa suami saya. Apalagi ngaku istrinya. Satu lagi. Kalian berpura saja masih menuruti semua perintahnya, nanti kabari saya apapun itu, dan masalah saya sudah tidak buta, diam saja. Ini rahasia. Gaji kalian saya naikkan jadi dua juta, bagaimana? Deal?" Aku berusaha bernegosiasi dengan mereka berdua.
Senyum merekah terlihat dari Sari dan Dini. Mereka kompak mengangguk setuju.
Satu masalah sudah selesai. Masih banyak tugas lain yang harus segera kubereskan.
Setelahnya, mereka kembali melanjutkan pekerjaan mereka yang terhenti olehku. Aku juga memerintahkan Sari untuk mengganti sprei alas tidur di kamar tamu dengan yang baru. Rasanya jijik mengingat apa yang terjadi di sana. Kalau perlu ambil saja sprei itu. Aku tidak ingin menyimpan kenangan apa pun dari aktivitas tercela mereka.
Baru enam bulan aku tidak dapat melihat dunia, rasanya banyak yang berubah di dalam rumah ini. Dari orang baru, hingga dekorasi di dalamnya. Kuamati setiap jengkal dari sisi rumah. Banyak dekorasi dan penempatan barang yang dirubah. Kata Mbok Yem, ini semua ulah Lastri. Heran, apa haknya di rumah ini. Dia hanya orang asing bergelar teman. Tidak seharusnya mengotak-atik isi dalam rumahku.Aku juga mengamati bagaimana Dini dan Sari bekerja. Cukup bagus. Sejauh ini mereka cekatan dalam membersihkan rumah. Bahkan sampai tugas berkebun dikerjakan oleh mereka pula. Secara bergantian.Taman belakang, yang dulu sering dikunjungi sebagai tempat favoritku, ternyata masih indah dan terawat dengan baik. Katanya Sari dan Dini yang merawatnya. Syukurlah. Tidak ada salahnya tetap mempekerjakan mereka di rumah ini.***&nbs
Kosong? Kemana perginya? Untuk apa Mas Heru mengambil semua perhiasanku?Aku terkejut, saat mendapati bagian atas dalam brankas kosong. Di bagian atas adalah tempat untuk menyimpan perhiasan. Di sana, terdapat lima kotak perhiasan full set, dan tiga kotak kecil berisi cincin berlian. Kebanyakan, perhiasan yang kumiliki adalah berlian. Terus, ada juga beberapa perhiasan emas yang memang kuletakkan begitu saja tanpa kotaknya. Itu juga raib. Padahal kalau di total, jumlah keseluruhan perhiasanku itu bernilai miliaran rupiah. Untungnya, surat menyurat di bagian bawah dalam brankas masih ada dan lengkap. Sudah kulihat isi dalamnya, tidak ada yang berubah dan surat-suratnya kuteliti masih asli.Aku duduk melantai, dan tersandar ke dinding ruangan, memikirkan ini semua. Kuambil ponsel yang tergeletak di lantai, ingin menghubungi seseorang yang penting."Halo, Pak Darwin? selamat siang. Maa
Aku menuruni tangga dengan pelan. Tongkat di tangan dan kacamata hitam tidak lupa kukenakan. Memang seperti inilah seharusnya penampilanku. Bukankah aku masih berpura buta?Saat di anak tangga terakhir, aku bisa melihat sosok laki-laki muda dengan kemeja biru langit duduk di sofa di ruang tengah. Kuhampiri dia dengan berjalan pelan. Dia menoleh ke arahku. Masih muda. Sepertinya seumuran denganku. Apa benar dia adalah dokter yang akan memeriksaku?"Selamat siang Bu Delia, saya Ryan, dokter yang akan memeriksa anda, menggantikan tugas dokter Richard," sapanya datar."Siang," jawabku."Silakan duduk," tawarku. Dia mengangguk dan segera menghempaskan bokongnya ke atas sofa."Mbok Yem, tolong
"Sudah lah Bu, jangan terlalu dipikirkan, Mbok Yakin, dokter Dian itu orangnya baik," ucap Mbok Yem sambil meletakkan sebuah cangkir berisi teh hangat ke atas meja, di samping tempat dudukku. "Ryan, Mbok. Bukan Dian," ucapku membenarkan. "Iya, salah dikit saja, Ryan," sanggah Mbok Yem, ikut duduk di sebelahku. "Tapi Bu, kalau Pak Heru nanya tentang CCTV gimana? 'kan ketahuan Bu. Wong saya lihat jelas sekali tuh alat ada dimana-mana." "Sengaja Mbok, saya mau lihat reaksinya nanti," jawabku. Aku yakin Mas Heru akan melakukan sesuatu setelah melihat banyak CCTV terpasang di rumah. Selain CCTV yang tampak terlihat, ada juga yang ukuran kecil terpasang di tempat tersembunyi, khususnya di dalam kamar baca--tempat Brankas tersimpan dan kamar tamu. Kurasa itu merupakan tempat favorit Mas Heru saat ini. &
Hari ini aku senang sekali. Rasanya malam tadi aku tertidur sangat nyenyak. Kulihat Mas Heru masih terlelap di tempat tidur, entah jam berapa dia berbaring di sampingku. Aku yakin pasti malam tadi dia susah tidur karena memikirkan kode PIN tersebut. Puas sekali menyaksikannya dalam kebingungan. Ini baru permulaan Mas, masih ada kejutan berikutnya.Aku ke bawah lebih awal. Kupinta Mbok Yem menyiapkan sarapan yang spesial pagi ini. Aku ingin menyambut tamu agung yang ingin berkunjung ke rumahku, sesuai dengan yang kudengar semalam. Lastri--dia akan datang kemari menemui suamiku, pasti untuk membahas kode PIN brankas yang tidak bisa dibuka. Lucu membayangkan mereka panik dan dalam kebingungan.Aku sudah berada di ruang makan. Duduk dengan santai sambil menikmati segelas teh hangat tanpa gula. Tidak perlu pemanis, karena hari ini bakalan menjadi hari yang manis untukku.
Aku dan Mbok Yem duduk dengan wajah tegang. Tangan kami saling menggenggam penuh kecemasan. Tidak disangka, Lastri yang kami kerjai pingsan, setelah lima kali keluar-masuk toilet. Sesekali kami saling lirik berbicara lewat tatapan mata. Aku yakin dosis yang Mbok Yem masukan ke makanan Lastri kecil, karena aku sendiri yang menakarnya. Seharusnya efeknya tidak sampai begini. Dia juga baru lima kali masuk toilet. Masa segitu saja sudah ko-it.Memang kentara sekali perubahan wajah Lastri setelah dia mengeluh sakit perut. Awalnya aku dan Mbok Yem menikmati kesakitannya, tapi lama-lama malah membuat kami cemas. Apalagi saat Lastri keluar dari toilet dengan wajah yang pucat. Warna merah wajahnya memudar.Lalu yang mengejutkan terjadi. Dia pingsan.***"Lastri, Lastri, kamu kenapa?" Mas Heru panik setelah Lastri yang
Mas, kita harus secepatnya ke rumah sakit. Aku nggak mau kenapa-napa sama anak kita," pinta Lastri setelah duduk di tepi ranjang."Kecilkan suaramu, aku nggak mau sampai terdengar oleh orang lain, apalagi Delia," jawab Mas Heru mengawasi pintu kamar."Aku yakin Mas, sakit perutku ini kerjaan Mbok Yem. Tadi saja, dia terlihat gugup saat kutuduh di depan kalian." Lastri bersungut kesal."Sudahlah Las, jangan nuduh Mbok Yem lagi. Sekarang bagaimana perutmu, masih sakit?" Mas Heru mengelus lembut perut Lastri."Sedikit. Aku capek, Mas, keluar masuk toilet terus," keluhnya sambil bersandar ke bahu Mas Heru."Ya sudah. Sekarang kita ke rumah sakit.Aku juga tidak mau kenapa-napa dengan kandunganmu. Semoga anak kita-baik saja, jangan lagi kamu keceplosan bicara begitu, aku
Aku membuka gorden jendela kamar, saat terdengar deru suara mobil Mas Heru memasuki halaman rumah. Kutengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan dengan tersenyum, 'sepanik inikah kamu, Mas, hingga memutuskan pulang cepat ke rumah?' dapat kuhitung kalau dia menempuh jarak hanya dua puluh menit saja untuk sampai ke rumah. Padahal normalnya jarak dari rumah ke kantor dapat menghabiskan waktu empat puluh menit.Baik, Mas. Saatnya memberikanmu kejutan.Aku segera beranjak turun ke bawah, memutuskan untuk menyambutnya. Baru saja kakiku sampai di anak tangga terakhir, Mas Heru yang sudah berada di ruang tengah terpaku menatapku bergeming. Bahunya naik-turun dengan napas terengah."Mas Heru," seruku memanggilnya dengan seulas senyum terkembang.Dia masih berdiri menatapku dengan mata membulat sempur
Cup! Sebuah ciuman mendarat di bibir ranum Shanum kala ia selesai berbincang puas bersama keluarga. Mata Alan mengerling menggoda dengan menaik turunkan alisnya setelah berhasil membuat istrinya tersebut melotot tajam. "Masih sore, papinya baby A." Shanum mencubit hidung menukik tajam miliknya Alan dengan terkekeh kecil. Mereka memang sudah memberi inisial huruf untuk nama anaknya kelak dengan awalan huruf A untuk mempermudah memanggilnya saat ini, meskipun sudah ada beberapa pilihan nama lengkap yang sudah dipersiapkan oleh mereka berdua. "Nggak papa. Kan di rumah cuma kita berdua. Ingat kata dokter, paling bagus begituannya sesering mungkin di bulan mendekati HPL ini, biar mempermudah jalan lahir baby A nanti." Alan beralasan untuk memuluskan kehendaknya. Bayangan Shanum yang hanya mengenakan handuk barusan tadi masih membekas di benaknya hingga memunculkan kembali hasrat kelelakiany
"Masih mencintainya?" Lagi Hanum bertanya setelah melihat Fatih hanya diam tidak menjawab pertanyaan sebelumnya."Tidak. Jangan tanyakan dia. Sekarang fokus ke hidup kita. Jangan merusak kebahagian kita dengan bertanya tentang orang lain. Wanita itu hanya masa lalu. Tidak ada hubungan apapun lagi denganku. Kita juga sudah mempunyai pasangan masing-masing. Soal aku yang mungkin pernah menyebut namanya saat tidur, akupun tidak menyadarinya tapi bukan menjadikan itu alasanku masih mencintainya." Fatih mencoba menyangkal dan memberi pengertian."Benarkah? Tapi kenapa rasanya aku sakit ya setelah melihat wanita itu secara langsung." Hanum melirik Fatih sekilas, lalu memalingkan muka kembali menghadap jendela kaca mobil."Please … Num, jangan dimulai.""Justru itu, aku mau menyelesaikan semuanya sekarang. Aku ingin kejelasan apa kamu mencintaik
Hingga sampailah Heru di sebuah tempat yang sebenarnya tidak begitu layak disebut rumah."Heru?!" Seorang wanita paruh baya berjalan tertatih mendekati Heru dengan cepat. Raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan dengan matanya yang membulat sempurna tatkala mendapati sosok yang dikenalnya dulu datang ke rumah kecilnya.Heru mengaku sebagai teman dari wanita yang diduganya adalah Lastri agar bisa mampir ke rumah remaja tersebut. Tak disangka yang ia temui adalah orang dari masa lalunya."Bu." Heru mendekat ingin mencium takzim tangan wanita sepuh itu, tapi ditepis kasar."Darimana kamu tahu rumah kami?" Matanya melotot tajam ke arah Heru saat bertanya. Sekarang Heru yakin kalau wanita yang ia kira Lastri itu benar dia orangnya dan wanita tua yang memandang sinis ini adalah mantan mertuanya. 
"Jadi dia yang namanya Shanum." Fatih tertegun seraya melirik Hanum yang membuka obrolan dalam perjalanan pulang ke hotel. Wanita yang garis wajahnya tidak beda jauh dari Shanum itu tidak berani menatap ke arah suaminya saat bertanya.Fatih hanya mengangguk pelan tanpa ingin bersuara. Bibirnya terkatup rapat malas untuk membahas nama yang sedang dipertanyakan isterinya tersebut."Cantik. Pantas masih Mas panggil di tiap tidur Mas." Fatih mendesah berat mendengar sindiran halus dari Hanum. Jujur hatinya merasa tak enak karena kedapatan sering menyebut nama wanita lain saat tidur.Shanum. Nama itu begitu membekas di hati Fatih. Bahkan setelah melewati beberapa purnama, nama itu masih bertahta kuat di hatinya. Baginya, wanita itu adalah cinta pertama yang sulit dilupakan. Kalau bukan karena permintaan ayah sambungnya, mungkin dia akan tetap memperjuangkan wanita itu agar tetap
POV authorAlan memutuskan kembali ke Inggris dengan memboyong Shanum ikut dengannya ke sana. Melanjutkan kuliah mengambil S2 dengan jangka waktu setahun. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja kerjanya nanti saat memasuki perusahaan Keluarga Atmanegara. Shanum pun demikian, ikut mengambil S2 juga memanfaatkan momentum yang ada. Ia pikir daripada berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Alan, kenapa tidak ikut menimba ilmu untuk meningkatkan kualitas ilmu yang sudah diperoleh sebelumnya. Alan pun mendukung keinginannya. Keluarga juga merestui. Mereka akhirnya memutuskan pergi setelah melengkapi segala berkas dan keperluan di sana. Kakek sudah membeli lagi satu apartemen baru untuk mereka tinggali. Yang pasti lebih besar dari apartemen Alan sebelumnya.***"Alhamdulillah, sebentar lagi kita bakal punya cucu," ucap Anya melirik Delia membuka obrolan. Tiga wanita berkumpu
POV ShanumCantik. Satu kata untuk kamar pengantin yang telah dipersiapkan untuk kami di salah satu kamar hotel berbintang lima.Taburan kelopak bunga mawar dibentuk menyerupai hati menghiasi atas tempat tidur yang didominasi warna putih. Harum semerbak menguar dari lilin beraroma terapi. Ada juga lilin-lilin kecil yang sengaja diletakkan di berbagai sudut kamar untuk menambah suasana semakin romantis."Suka?" Bisik Alan di dekat telinga. Mata masih takjub memandang keindahan kamar ini. Hati mendesir. Suaranya membuat bulu romaku berdiri. Kucoba mengendalikan rasa yang ada.Aku mengangguk. "Kamu yang buat?"Ia menggeleng lalu meraih tanganku. Menuntunku mendekati ranjang pengantin."Bukan. Orang hotel, tapi aku yang minta dibuatkan secantik mungkin. Mana ada
POV AlanTidak terasa waktu setahun telah terlewati. Masa perkuliahan akhirnya selesai juga. Wisuda sudah kujalani, tinggal pulang saja ke Indonesia. Nilai IPK-ku sangat memuaskan dan berhasil meraih cumlaude. Bahkan sudah ada tawaran kerja di perusahaan asing, tempatku magang dulu. Namun aku ingat pesan Kakek, "kita boleh menuntut ilmu di luar, tapi jangan lupa pulang dan praktekkan ilmu tersebut di negerimu sendiri." Lagipula ilmu tersebut bakalan kugunakan untuk mengembangkan perusahaan Keluarga, sesuai kemauannya.Hubunganku dengan Shanum, baik. Kami selalu berkirim pesan dan kabar agar selalu terjalin komunikasi yang erat. Tidak ada yang ditutupi, apapun itu. Sering bercerita tentang keadaan kampus masing-masing dan apa saja yang dipelajari di sana. Walau terkadang bingung dengan istilah yang terdengar asing di telinga karena perbedaan program studi yang kami ambil."Assalam
POV Shanum"Maaf, saya tidak setuju."Kaget.Ayah?Ada apa dengan Ayah? Kenapa ia tidak setuju?Kutatap wajahnya dengan khawatir. Tidak mungkin Ayah akan membatalkan pertunangan kami. Ayah bersikap biasa saja. Bahkan tidak ada pembicaraan serius di rumah mengenai hal tersebut. Malah Bunda lah yang paling nampak kesulitan menerima Alan sebelum adanya pertemuan dengan Mami Anya."Apa Alan melakukan kesalahan? Atau Delia masih marah dengan Anya?" Tebak Kakek Atma dengan Kening mengernyit. Mencoba mencari tahu.Semua mata menatap bergantian ke arah Bunda dan Mami Anya.Bunda cuma tersenyum tipis dan menggeleng cepat. Begitupun Mami Anya. Mereka saling melempar senyum meski tampak kebingungan di wajah merek
POV AlanSeharian ini aku persis seperti bodyguard. Mengikuti kemana langkah Mami pergi. Dari mengantarkannya bertemu Bunda, hingga pergi ke supermarket bagian perlengkapan kue. Ini untuk pertama kalinya kulihat Mami mengunjungi tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Aneh"Untuk apa Mami masuk ke sini?" Aku bertanya saat Mami memilih benda asing di mataku."Inih," jawabnya seraya menunjukkan salah satu benda berbahan aluminium berbentuk persegi dengan ukuran besar."Untuk?" tanyaku heran."Buat kue." Mami berjalan pelan memperhatikan benda tersusun rapi yang berada di sampingnya."Maksudnya, Mami yang akan membuat kue?" tanyaku tidak percaya.Mami menganggukkan kepala, tapi matanya terfokus pada deretan rak-rak seperti sedang