POV Anya
Apa mimpi terbesarmu?
Mimpiku ingin jadi orang sukses dan hidup bahagia dengan orang yang kucintai. Kenyataannya … semuanya hancur. Semua yang hampir di depan mata musnah karena satu orang, Delia. Nama yang kuingat sampai sekarang ini, yang selalu menghantuiku dimanapun berada. Kukira setelah berhasil menikah dengan anak orang kaya, hidupku akan bahagia, nyatanya tidak, wanita tersebut terus membayangi.
***
"Kamu putusin aku karena wanita itu?" Dilan melengos tidak mau menatapku.
"Dilan, jawab!" pekikku karena ia masih diam.
"Bukan seperti itu, An. Maaf, sejak awal aku memang tidak mencintaimu. Perjodohan ini terpaksa kujalani demi hutang almarhum ayahku yang kalian bantu. Sudah kucoba mencintaimu, tapi sulit. Aku tidak bisa. Ditambah kelakuanmu yang sang
POV Anya"Bagaimana rasanya hidup miskin?" Sebelum pulang aku menyempatkan bertemu dengan Heru--mantan suami Delia. Sudut bibirku tertarik ke atas, menyindirnya.Heru tersenyum. "Nyaman, tenang, Nyonya Yudha. Belajarlah untuk ikhlas menerima semuanya, maka hidupmu pun akan setenang ini," jawabnya dengan tersenyum tipis.Nyonya Yudha? Ternyata dia mengenalku. Tentu saja, siapa yang tidak mengenal pengusaha sukses--Yudhatama Atmanegara. Kukibaskan pelan ujung rambut yang berada di sebelah kanan lalu tersenyum jumawa.Apakah benar hidup Heru setenang itu? Bahagiakah ia setelah kenikmatan hidupnya harus diambil paksa Delia? Aku mengikuti perkembangan kasus mereka. Delia melaporkan mantan suaminya itu atas tuduhan korupsi dan percobaan pembunuhan. Ngeri membayangkan ia sampai melakukan itu semua hanya untuk menguasai harta istrinya.
POV Alan"Alan …." Mami merangsek datang memelukku erat."Kamu pulang, Nak?" Diciuminya kedua pipi dan memeluk lagi. Aku diam dengan senyum tipis tersungging di bibir."Kok nggak bilang datang? Kapan? Kenapa pulang diam-diam? Mau ngasih kejutan ya?" Senyum sumringah tidak pernah lepas dari bibirnya. "Papi dan Kakek tahu?" Rentetan pertanyaan, Mami lempar dengan tangan yang membingkai wajahku.Pelukannya kuurai pelan. "Pagi tadi. Alan pulang nggak ada yang menyambut di rumah. Sepi," jawabku datar setengah menyindir. Aku kecewa, orang yang paling kurindukan tidak ada di rumah. Malah bertemu dengan Yudhis dan terlibat pertengkaran dengannya."Eh, i--iya. Mami ada janji sama teman, menghadiri peresmian restoran barunya di luar kota, ini juga baru balik." Dengan salah tingkah Mami menjawab. Ia mendekat
"Iya. Apa?" balasnya kemudian. Aku bernapas lega. Kukira ia marah dan menutup teleponnya. Mood cewek kan suka ambekan, dan berpura tuli saat dipanggil."Kamu kenapa? Sakit? Atau …." Sengaja bertanya gantung menunggu jawabnya."Nggak, Alhamdulillah sehat kok. Kamu gimana? Pa kabar juga?" Suaranya terdengar sendu."Sama, Alhamdulillah baik juga. Pertanyaanku tadi belum dijawab. Tahu darimana aku udah pulang?"Terdengar desahan berat di seberang sana."Mami yang cerita. Barusan kami chatingan. Terus Mami nggak sengaja keceplosan bilang kalau kamu udah pulang. Tadi beliau sempat berpesan jangan telepon kamu dulu, tapi aku nggak sabaran. Habisnya aku kesel kamu pulang diam-diam. Kan aku udah bilang mau jemput kamu kayak yang pertama kamu berangkat ke sana. Pengen mengulang momen itu." Aku merasa b
Kilas balik"Jelaskan padaku Dis, apa maksud ucapanmu itu? Jangan memfitnah mamiku begitu rendah hanya karena kamu tidak suka padanya."Aku tahu Yudhis tidak menyukai Mami, tampak dari gesturnya yang selalu menghindari Mami dan kurang begitu menanggapi omongan Mami kalau lagi bicara padanya.Kukejar Yudhis sampai ke kamarnya dan menggedor-gedor kamarnya sampai ia akhirnya mau membukakan pintu. Tanganku segera menarik kerah bajunya dengan begitu kasar.Yudhis menghentakkan tanganku hingga terlepas."Santai, Bro. Aku juga bisa marah. Pukulanmu itu belum sempat kubalas. Jangan sampai aku balas sekarang." Matanya mendelik sinis ke arahku."Pukul! Pukul dimanapun kamu mau, ini!" Kudekatkan pipi dan badanku ke arahnya.Yudhis hanya tersenyum.
POV AlanKakek menampar Mami. Aku terkejut, begitupun yang lain.Kedua netra Mami memerah. Ia memegang pipi bekas tamparan Kakek. Pasti sakit karena Mami meringis seraya mengusapnya."Kakek!" Shanum maju ke depan Mami, menggelengkan kepala ke arah Kakek seperti menolak tegas perlakuan kasar Kakek barusan. Sedang aku masih terpaku membeku karena syok dengan yang barusan terjadi."Mami ti--""Aww …." Shanum terdorong hingga terjatuh. Niat Shanum ingin menolong Mami malah dibalas dengan dorongan keras."Mami!" Teriakku tidak terima. Yudhis sigap membantu Shanum berdiri karena posisinya yang lebih dekat. Sedangkan aku Bergegas menghampiri Mami dengan raut wajah kecewa."Sekarang kamu paham kan, Num, siapa yang harus kita bela dan yan
POV ShanumAku dan Alan saling diam tidak ada yang memulai ingin bicara. Alan fokus menyetir. Sedangkan aku mencoba menikmati pemandangan jalan yang sesak dengan berbagai kendaraan yang sedang melintas.Pikiranku masih melayang ke peristiwa yang baru saja terjadi, yang mengungkapkan sebuah kebenaran menyakitkan.Hatiku sakit mengetahui kalau Tante Anya ternyata tidak bisa menerima kehadiranku di dalam hidupnya. Ditambah kebenciannya pada Bunda. Aku tidak tahu apa tanggapan Bunda kalau tahu semua ini. Namun rasaku tidak seberapa dengan apa yang dirasakan Alan. Dia pasti sangat hancur mengetahui ibunya hanya bersandiwara merestui hubungan kami dan berupaya melakukan segala hal untuk menghancurkan hubungan ini. Bahkan hampir membuat Alan terpuruk. Fitnah dan jebakan itu tidak masuk di akal kalau ternyata idenya itu berasal dari ibunya sendiri. Terlalu jahat. 
"Biasa saja lihatnya jangan kaget gitu. Aku serius," balasnya. "Se-ka-rang? Tapi mamimu?" "Tahun depan, ya sekarang Sayang. Kan kita lagi di jalan menuju rumahmu. Soal Mami biar Papi yang urus. Oh, ya. Hari ini weekend, apa Ayah-Bundamu ada di rumah?" Aku mengangguk mengiyakan. "Ada Nenek juga," imbuhku. "Benarkah? Kamu beruntung ya. Papiku kalau Minggu baru libur. Hari Sabtu begini dia tetap kerja." Aku jadi merasa kasihan dengan Alan. Pantas Alan sering merasa kesepian. *** Semua keluarga lengkapku berkumpul di ruang keluarga. Belum ada yang memulai bicara setelah selesai berbasa-basi menyapa Alan yang mendadak datang ke rumah. Aku belum memberitahukan kalau Alan sudah balik d
POV AlanPulang dengan tangan hampa, itulah yang kubawa dari rumah Shanum. Restu mereka masih terhalang keikhlasan hati Mami. Bahkan Bunda Delia sudah memberi peringatan akan membatalkan pertunangan kami kalau Mami masih belum berubah. Aku tak tahu keadaan di rumah seperti apa setelah kutinggal pergi. Apakah Papi sudah pulang dan bisa mengatasi keegoisan Mami? Kulajukan kendaraan roda empat dengan kecepatan sedang, membelah jalan raya ibukota menuju rumah.***"Lan, kamu masih di rumah Shanum?" Papi menelepon. Kulirik jam, baru dua jam meninggalkan rumah, mengantarkan Shanum pulang."Tidak, ini lagi di jalan mau pulang. Kenapa, Pi?""Bagus, Papi tunggu di rumah. Kita harus bicara," jawabnya. Artinya Papi sudah ada di rumah. Entah seperti apa situasi di sana. Dari nada suaranya terdengar serius. Apa Papi sudah bicara dengan M
Cup! Sebuah ciuman mendarat di bibir ranum Shanum kala ia selesai berbincang puas bersama keluarga. Mata Alan mengerling menggoda dengan menaik turunkan alisnya setelah berhasil membuat istrinya tersebut melotot tajam. "Masih sore, papinya baby A." Shanum mencubit hidung menukik tajam miliknya Alan dengan terkekeh kecil. Mereka memang sudah memberi inisial huruf untuk nama anaknya kelak dengan awalan huruf A untuk mempermudah memanggilnya saat ini, meskipun sudah ada beberapa pilihan nama lengkap yang sudah dipersiapkan oleh mereka berdua. "Nggak papa. Kan di rumah cuma kita berdua. Ingat kata dokter, paling bagus begituannya sesering mungkin di bulan mendekati HPL ini, biar mempermudah jalan lahir baby A nanti." Alan beralasan untuk memuluskan kehendaknya. Bayangan Shanum yang hanya mengenakan handuk barusan tadi masih membekas di benaknya hingga memunculkan kembali hasrat kelelakiany
"Masih mencintainya?" Lagi Hanum bertanya setelah melihat Fatih hanya diam tidak menjawab pertanyaan sebelumnya."Tidak. Jangan tanyakan dia. Sekarang fokus ke hidup kita. Jangan merusak kebahagian kita dengan bertanya tentang orang lain. Wanita itu hanya masa lalu. Tidak ada hubungan apapun lagi denganku. Kita juga sudah mempunyai pasangan masing-masing. Soal aku yang mungkin pernah menyebut namanya saat tidur, akupun tidak menyadarinya tapi bukan menjadikan itu alasanku masih mencintainya." Fatih mencoba menyangkal dan memberi pengertian."Benarkah? Tapi kenapa rasanya aku sakit ya setelah melihat wanita itu secara langsung." Hanum melirik Fatih sekilas, lalu memalingkan muka kembali menghadap jendela kaca mobil."Please … Num, jangan dimulai.""Justru itu, aku mau menyelesaikan semuanya sekarang. Aku ingin kejelasan apa kamu mencintaik
Hingga sampailah Heru di sebuah tempat yang sebenarnya tidak begitu layak disebut rumah."Heru?!" Seorang wanita paruh baya berjalan tertatih mendekati Heru dengan cepat. Raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan dengan matanya yang membulat sempurna tatkala mendapati sosok yang dikenalnya dulu datang ke rumah kecilnya.Heru mengaku sebagai teman dari wanita yang diduganya adalah Lastri agar bisa mampir ke rumah remaja tersebut. Tak disangka yang ia temui adalah orang dari masa lalunya."Bu." Heru mendekat ingin mencium takzim tangan wanita sepuh itu, tapi ditepis kasar."Darimana kamu tahu rumah kami?" Matanya melotot tajam ke arah Heru saat bertanya. Sekarang Heru yakin kalau wanita yang ia kira Lastri itu benar dia orangnya dan wanita tua yang memandang sinis ini adalah mantan mertuanya. 
"Jadi dia yang namanya Shanum." Fatih tertegun seraya melirik Hanum yang membuka obrolan dalam perjalanan pulang ke hotel. Wanita yang garis wajahnya tidak beda jauh dari Shanum itu tidak berani menatap ke arah suaminya saat bertanya.Fatih hanya mengangguk pelan tanpa ingin bersuara. Bibirnya terkatup rapat malas untuk membahas nama yang sedang dipertanyakan isterinya tersebut."Cantik. Pantas masih Mas panggil di tiap tidur Mas." Fatih mendesah berat mendengar sindiran halus dari Hanum. Jujur hatinya merasa tak enak karena kedapatan sering menyebut nama wanita lain saat tidur.Shanum. Nama itu begitu membekas di hati Fatih. Bahkan setelah melewati beberapa purnama, nama itu masih bertahta kuat di hatinya. Baginya, wanita itu adalah cinta pertama yang sulit dilupakan. Kalau bukan karena permintaan ayah sambungnya, mungkin dia akan tetap memperjuangkan wanita itu agar tetap
POV authorAlan memutuskan kembali ke Inggris dengan memboyong Shanum ikut dengannya ke sana. Melanjutkan kuliah mengambil S2 dengan jangka waktu setahun. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja kerjanya nanti saat memasuki perusahaan Keluarga Atmanegara. Shanum pun demikian, ikut mengambil S2 juga memanfaatkan momentum yang ada. Ia pikir daripada berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Alan, kenapa tidak ikut menimba ilmu untuk meningkatkan kualitas ilmu yang sudah diperoleh sebelumnya. Alan pun mendukung keinginannya. Keluarga juga merestui. Mereka akhirnya memutuskan pergi setelah melengkapi segala berkas dan keperluan di sana. Kakek sudah membeli lagi satu apartemen baru untuk mereka tinggali. Yang pasti lebih besar dari apartemen Alan sebelumnya.***"Alhamdulillah, sebentar lagi kita bakal punya cucu," ucap Anya melirik Delia membuka obrolan. Tiga wanita berkumpu
POV ShanumCantik. Satu kata untuk kamar pengantin yang telah dipersiapkan untuk kami di salah satu kamar hotel berbintang lima.Taburan kelopak bunga mawar dibentuk menyerupai hati menghiasi atas tempat tidur yang didominasi warna putih. Harum semerbak menguar dari lilin beraroma terapi. Ada juga lilin-lilin kecil yang sengaja diletakkan di berbagai sudut kamar untuk menambah suasana semakin romantis."Suka?" Bisik Alan di dekat telinga. Mata masih takjub memandang keindahan kamar ini. Hati mendesir. Suaranya membuat bulu romaku berdiri. Kucoba mengendalikan rasa yang ada.Aku mengangguk. "Kamu yang buat?"Ia menggeleng lalu meraih tanganku. Menuntunku mendekati ranjang pengantin."Bukan. Orang hotel, tapi aku yang minta dibuatkan secantik mungkin. Mana ada
POV AlanTidak terasa waktu setahun telah terlewati. Masa perkuliahan akhirnya selesai juga. Wisuda sudah kujalani, tinggal pulang saja ke Indonesia. Nilai IPK-ku sangat memuaskan dan berhasil meraih cumlaude. Bahkan sudah ada tawaran kerja di perusahaan asing, tempatku magang dulu. Namun aku ingat pesan Kakek, "kita boleh menuntut ilmu di luar, tapi jangan lupa pulang dan praktekkan ilmu tersebut di negerimu sendiri." Lagipula ilmu tersebut bakalan kugunakan untuk mengembangkan perusahaan Keluarga, sesuai kemauannya.Hubunganku dengan Shanum, baik. Kami selalu berkirim pesan dan kabar agar selalu terjalin komunikasi yang erat. Tidak ada yang ditutupi, apapun itu. Sering bercerita tentang keadaan kampus masing-masing dan apa saja yang dipelajari di sana. Walau terkadang bingung dengan istilah yang terdengar asing di telinga karena perbedaan program studi yang kami ambil."Assalam
POV Shanum"Maaf, saya tidak setuju."Kaget.Ayah?Ada apa dengan Ayah? Kenapa ia tidak setuju?Kutatap wajahnya dengan khawatir. Tidak mungkin Ayah akan membatalkan pertunangan kami. Ayah bersikap biasa saja. Bahkan tidak ada pembicaraan serius di rumah mengenai hal tersebut. Malah Bunda lah yang paling nampak kesulitan menerima Alan sebelum adanya pertemuan dengan Mami Anya."Apa Alan melakukan kesalahan? Atau Delia masih marah dengan Anya?" Tebak Kakek Atma dengan Kening mengernyit. Mencoba mencari tahu.Semua mata menatap bergantian ke arah Bunda dan Mami Anya.Bunda cuma tersenyum tipis dan menggeleng cepat. Begitupun Mami Anya. Mereka saling melempar senyum meski tampak kebingungan di wajah merek
POV AlanSeharian ini aku persis seperti bodyguard. Mengikuti kemana langkah Mami pergi. Dari mengantarkannya bertemu Bunda, hingga pergi ke supermarket bagian perlengkapan kue. Ini untuk pertama kalinya kulihat Mami mengunjungi tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Aneh"Untuk apa Mami masuk ke sini?" Aku bertanya saat Mami memilih benda asing di mataku."Inih," jawabnya seraya menunjukkan salah satu benda berbahan aluminium berbentuk persegi dengan ukuran besar."Untuk?" tanyaku heran."Buat kue." Mami berjalan pelan memperhatikan benda tersusun rapi yang berada di sampingnya."Maksudnya, Mami yang akan membuat kue?" tanyaku tidak percaya.Mami menganggukkan kepala, tapi matanya terfokus pada deretan rak-rak seperti sedang