POV Alan
"Ibu nggak papa? Ada yang terluka?"
"Nggak ada Dek, makasih ya sudah bantuin."
"Iya, lain kali hati-hati Bu."
Aku memperhatikan percakapan dua orang di seberang tempatku duduk bersantai bersama teman-teman. Dari sini masih terdengar jelas percakapan mereka.
"Lihat apaan Bro?" Dino menepuk bahuku. Mataku menyorot ke seberang tepat pada cewek yang sedang kuamati sedari tadi. Dia tidak sendiri, tapi bertiga dengan temannya yang lain.
Mata Dino memicing ikut mengamati apa yang tadi kusorot.
"Kenal?" tanyaku.
"Mereka?" Balik Dino bertanya. Kuanggukkan kepala.
"Kalau nggak salah mereka itu anak Tunas Bangsa. Kenapa?"
"Tunas Bangsa
Cewek yang membuatku rela pindah sekolah biar bisa dekat dengannya malah menggelengkan kepala. Lalu pergi begitu saja meninggalkanku tanpa kata.Aku tercengang. Hanya begitu? Tidak terpesona apa dengan ketampananku? Minimal ngajak kenalan. Kesal diabaikan, sejak saat itulah kuputar niatku yang ingin dekat dengannya menjadi mengusilinya. Hampir tiap hari ada saja tingkah Mengesalkanku padanya. Entah menghalangi jalannya, berpura tak sengaja menyiram air ke bajunya dan paling ekstrim, aku sengaja mengganggu sosok laki-laki sainganku untuk merebut hatinya--Fatih. Lelaki berwajah datar tanpa senyum. Aneh, orang seperti itu diidolakan, apa hebatnya?Membuat masalah pada sosok yang membuatku iri adalah keharusan yang hakiki. Aku ingin merebut posisinya yang telah memberi ruang untuk Shanum. Banyak cewek-cewek yang mengidolakannya. Lewat sana dulu kucoba menghancurkannya, tapi sayangnya satu cewek pun tidak a
Setelah malam itu, aku dan Shanum mulai intens berinteraksi lewat ponsel. Di sekolah, kami bersikap biasa saja dengan menjaga jarak seolah tidak mempunyai hubungan apapun. Ini semua kami dilakukan untuk menghindari kehebohan atau jadi bahan pembicaraan lagi di sekolah. Apalagi gosip mengenai hubungan kami yang sebelumnya tidak juga reda. Kalau sampai terbukti kami memang mempunyai hubungan, maka yang kutakutkan dampaknya akan menimpa pada Shanum. Aku tidak peduli kalau mereka menjelek-jelekkanku, itu sudah biasa, tapi tidak untuk Shanum. Aku tahu dia selalu mendapatkan prestasi gemilang dan rekam jejak yang baik di sekolah ini, dan itu jauh dari gosip tak sedap."Selamat Bro, keren. Gue senang dengar kabar baik dari lo, kapan peresmiannya?""Hussstttt …." Isyaratku menyuruh Dino diam. Mataku mengedar ke seluruh sudut ruangan. Saat ini kami masih berada di lingkungan sekolah, tepatnya di kantin. 
POV Shanum"Shanum!"Refleks kepala menoleh ke belakang mencari asal suara yang memanggilku.Sita. Dia berlari mendekat."Kenapa ditinggal sih. Aku capek panggil-panggil dari tadi nggak didengar." Dengan napas ngos-ngosan ia ngedumel."Kenapa nggak telepon, ponselku aktif kok.""Iya, ya. Kok nggak kepikiran?" Sita cengengesan sambil menggaruk kepala. Kugelengkan kepala melihat tingkahnya.Aku dan Sita satu kampus dan satu jurusan yang sama. Memang waktu di SMA dulu kami sempat membicarakan dimana akan berkuliah. Aku dan Sita memilih universitas yang sama, sayangnya kami harus terpisah dengan Yolanda karena dia harus kuliah ke luar negeri atas permintaan orang tuanya. Sama seperti Alan, hidup Yolanda diatur juga oleh orang tuanya."Eh, hampir lupa, Kak Aldo ti
POV Alan.Baru 17 jam lebih pisah dengan keluarga rasanya ingin segera pulang. Rasa rinduku lebih menggebu pada seorang gadis manis yang sudah mencuri hatiku sejak pandangan pertama--Shanum. Baru juga bersatu dalam ikatan pertunangan sudah dipisahkan kembali. Butuh perjuangan untuk bisa mendapatkannya. Sekarang harus terpisah jarak yang sangat jauh dengannya. Apa ini bagian dari rencanaMu Tuhan?Aku masuk ke dalam apartemen yang sudah dipersiapkan oleh Kakek. Sepi, hanya aku sendiri yang tinggal di dalamnya. Baru merebahkan diri, hati sudah tidak sabar ingin menghubungi mereka yang jauh di sana.Aku sudah mempersiapkan diri di depan laptop. Memanggil Mami tersayang lewat video virtual. Wanita teristimewa satu ini tidak bisa dinomor duakan. Dia pasti akan bertanya siapa orang yang lebih dulu kuhubungi setelah sampai sini.Ditunggu beberapa detik,
Hari berlalu. Aku masih berkutat dengan kesibukan di kampus. Mencoba menyesuaikan diri di sini. Hampir setiap hari disela kesibukanku, tetap kusempatkan menghubungi Shanum. Walaupun harus aku yang selalu lebih dulu memulainya. Bertanya apapun atau menceritakan apapun. Tentangku dan juga tentangnya. Yang lebih memudahkanku tahu informasi tentang Shanum, karena ada Dino yang satu kampus dengannya.***"Alan, ini kenalkan temanku, Elisa."Aku menengok ke arah seorang perempuan yang sedang dikenalkan oleh Mike padaku. Mike adalah teman baruku di sini. Kami satu unit apartemen. Dia blasteran Indonesia-inggris. Walaupun lancar bahasa Indonesia, tapi setiap mengobrol, ia akan menggunakan bahasa Inggris. Dia lebih memilih tinggal di apartemen walaupun mempunyai rumah sendiri. Mungkin karena ingin lebih dekat dengan kampus atau karena ingin mandiri.
POV Shanum.Dering ponsel tidak berhenti berbunyi. Getarannya terasa karena disimpan dalam celana jeans.Cukup sekali kulihat siapa yang menghubungiku, tapi tak berniat untuk mengangkatnya."Wajahnya jangan ditekuk kayak gitu. Aku kan jadi sedih lihatnya," protes Sita dengan memeluk erat tubuhku.Tetiba air mata mengalir begitu saja dari kedua netra. Sedih, sakit, semua jadi satu. Kekecewaan terbesarku baru saja menyergap relung hati. Rasanya sulit mempercayai kalau Alan berselingkuh di belakangku, tapi perempuan yang mengangkat panggilan tadi membuatku jadi ragu. Setiakah ia di sana?"Tuh kan nangis. Sudah, apa perlu aku yang menghubungi Alan? Biar kubejek-bejek tuh lelaki tak tahu diri itu, kurang ajar!" Tangannya mengepal sempurna siap untuk ditonjokan.Kugelengkan kepala m
"Menjaga jarak? Maksudnya?" tanyaku ingin tahu penjelasannya."Selama ini aku merasa kamu tidak cinta sama aku. Sepertinya kamu masih terpaksa menjalankan bertunangan ini. Jadi saat kulihat foto kamu dengan Fatih, aku meragu dan ingin menenangkan diri dulu tidak ingin terbawa emosi makanya jarang menghubungimu, apalagi selama ini aku terus yang menghubungimu jadi kukira kamu tidak serius dengan hubungan ini.""Drama … woi … drama, ketahuan selingkuh sih, makanya cari masalah dengan nuduh Shanum, basi, udah kebaca Lan, Shanum nggak bodoh." Sita berteriak di sampingku menyindir Alan.Alan menghela napas lagi."Sudah kubilang kalau aku tidak selingkuh, apa buktinya dan kenapa kamu, Sit, menuduhku begitu? Kamu juga membenarkan apa yang dituduhkan Sita, Num?"Kukirimka
Pov Alan.Syukurlah semua kesalahpahaman diantara aku dan Shanum sudah berakhir. Kukira di sana Shanum memang genit dan suka menebar pesona seperti foto yang dikirimkan seseorang ke nomor pribadiku, ternyata itu semua tidak benar. Ada seseorang yang menginginkan Shanum terlihat buruk di mataku. Seharusnya aku tidak langsung percaya begitu saja dan meragukan kesetiaan Shanum. Dari sikapnya saja tampak sekali dia adalah cewek baik-baik dan bodohnya aku hampir ingin membatalkan pertunangan ini karena fitnah seseorang. Sita benar, tanpa Shanum tebar pesona pun, laki-laki akan terpesona dengan sendirinya dan berlomba-lomba untuk menarik perhatian Shanum. Seperti aku yang jatuh cinta pada pandangan pertama.Sekarang aku sangat penasaran dengan nama cowok yang sempat disebut Sita. Cowok yang nekat mendekati Shanum walau dia tahu Shanum adalah tunanganku. Siapa dia? Akan kuminta Dino mencari tahu siapa lelaki tersebut.
Cup! Sebuah ciuman mendarat di bibir ranum Shanum kala ia selesai berbincang puas bersama keluarga. Mata Alan mengerling menggoda dengan menaik turunkan alisnya setelah berhasil membuat istrinya tersebut melotot tajam. "Masih sore, papinya baby A." Shanum mencubit hidung menukik tajam miliknya Alan dengan terkekeh kecil. Mereka memang sudah memberi inisial huruf untuk nama anaknya kelak dengan awalan huruf A untuk mempermudah memanggilnya saat ini, meskipun sudah ada beberapa pilihan nama lengkap yang sudah dipersiapkan oleh mereka berdua. "Nggak papa. Kan di rumah cuma kita berdua. Ingat kata dokter, paling bagus begituannya sesering mungkin di bulan mendekati HPL ini, biar mempermudah jalan lahir baby A nanti." Alan beralasan untuk memuluskan kehendaknya. Bayangan Shanum yang hanya mengenakan handuk barusan tadi masih membekas di benaknya hingga memunculkan kembali hasrat kelelakiany
"Masih mencintainya?" Lagi Hanum bertanya setelah melihat Fatih hanya diam tidak menjawab pertanyaan sebelumnya."Tidak. Jangan tanyakan dia. Sekarang fokus ke hidup kita. Jangan merusak kebahagian kita dengan bertanya tentang orang lain. Wanita itu hanya masa lalu. Tidak ada hubungan apapun lagi denganku. Kita juga sudah mempunyai pasangan masing-masing. Soal aku yang mungkin pernah menyebut namanya saat tidur, akupun tidak menyadarinya tapi bukan menjadikan itu alasanku masih mencintainya." Fatih mencoba menyangkal dan memberi pengertian."Benarkah? Tapi kenapa rasanya aku sakit ya setelah melihat wanita itu secara langsung." Hanum melirik Fatih sekilas, lalu memalingkan muka kembali menghadap jendela kaca mobil."Please … Num, jangan dimulai.""Justru itu, aku mau menyelesaikan semuanya sekarang. Aku ingin kejelasan apa kamu mencintaik
Hingga sampailah Heru di sebuah tempat yang sebenarnya tidak begitu layak disebut rumah."Heru?!" Seorang wanita paruh baya berjalan tertatih mendekati Heru dengan cepat. Raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan dengan matanya yang membulat sempurna tatkala mendapati sosok yang dikenalnya dulu datang ke rumah kecilnya.Heru mengaku sebagai teman dari wanita yang diduganya adalah Lastri agar bisa mampir ke rumah remaja tersebut. Tak disangka yang ia temui adalah orang dari masa lalunya."Bu." Heru mendekat ingin mencium takzim tangan wanita sepuh itu, tapi ditepis kasar."Darimana kamu tahu rumah kami?" Matanya melotot tajam ke arah Heru saat bertanya. Sekarang Heru yakin kalau wanita yang ia kira Lastri itu benar dia orangnya dan wanita tua yang memandang sinis ini adalah mantan mertuanya. 
"Jadi dia yang namanya Shanum." Fatih tertegun seraya melirik Hanum yang membuka obrolan dalam perjalanan pulang ke hotel. Wanita yang garis wajahnya tidak beda jauh dari Shanum itu tidak berani menatap ke arah suaminya saat bertanya.Fatih hanya mengangguk pelan tanpa ingin bersuara. Bibirnya terkatup rapat malas untuk membahas nama yang sedang dipertanyakan isterinya tersebut."Cantik. Pantas masih Mas panggil di tiap tidur Mas." Fatih mendesah berat mendengar sindiran halus dari Hanum. Jujur hatinya merasa tak enak karena kedapatan sering menyebut nama wanita lain saat tidur.Shanum. Nama itu begitu membekas di hati Fatih. Bahkan setelah melewati beberapa purnama, nama itu masih bertahta kuat di hatinya. Baginya, wanita itu adalah cinta pertama yang sulit dilupakan. Kalau bukan karena permintaan ayah sambungnya, mungkin dia akan tetap memperjuangkan wanita itu agar tetap
POV authorAlan memutuskan kembali ke Inggris dengan memboyong Shanum ikut dengannya ke sana. Melanjutkan kuliah mengambil S2 dengan jangka waktu setahun. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja kerjanya nanti saat memasuki perusahaan Keluarga Atmanegara. Shanum pun demikian, ikut mengambil S2 juga memanfaatkan momentum yang ada. Ia pikir daripada berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Alan, kenapa tidak ikut menimba ilmu untuk meningkatkan kualitas ilmu yang sudah diperoleh sebelumnya. Alan pun mendukung keinginannya. Keluarga juga merestui. Mereka akhirnya memutuskan pergi setelah melengkapi segala berkas dan keperluan di sana. Kakek sudah membeli lagi satu apartemen baru untuk mereka tinggali. Yang pasti lebih besar dari apartemen Alan sebelumnya.***"Alhamdulillah, sebentar lagi kita bakal punya cucu," ucap Anya melirik Delia membuka obrolan. Tiga wanita berkumpu
POV ShanumCantik. Satu kata untuk kamar pengantin yang telah dipersiapkan untuk kami di salah satu kamar hotel berbintang lima.Taburan kelopak bunga mawar dibentuk menyerupai hati menghiasi atas tempat tidur yang didominasi warna putih. Harum semerbak menguar dari lilin beraroma terapi. Ada juga lilin-lilin kecil yang sengaja diletakkan di berbagai sudut kamar untuk menambah suasana semakin romantis."Suka?" Bisik Alan di dekat telinga. Mata masih takjub memandang keindahan kamar ini. Hati mendesir. Suaranya membuat bulu romaku berdiri. Kucoba mengendalikan rasa yang ada.Aku mengangguk. "Kamu yang buat?"Ia menggeleng lalu meraih tanganku. Menuntunku mendekati ranjang pengantin."Bukan. Orang hotel, tapi aku yang minta dibuatkan secantik mungkin. Mana ada
POV AlanTidak terasa waktu setahun telah terlewati. Masa perkuliahan akhirnya selesai juga. Wisuda sudah kujalani, tinggal pulang saja ke Indonesia. Nilai IPK-ku sangat memuaskan dan berhasil meraih cumlaude. Bahkan sudah ada tawaran kerja di perusahaan asing, tempatku magang dulu. Namun aku ingat pesan Kakek, "kita boleh menuntut ilmu di luar, tapi jangan lupa pulang dan praktekkan ilmu tersebut di negerimu sendiri." Lagipula ilmu tersebut bakalan kugunakan untuk mengembangkan perusahaan Keluarga, sesuai kemauannya.Hubunganku dengan Shanum, baik. Kami selalu berkirim pesan dan kabar agar selalu terjalin komunikasi yang erat. Tidak ada yang ditutupi, apapun itu. Sering bercerita tentang keadaan kampus masing-masing dan apa saja yang dipelajari di sana. Walau terkadang bingung dengan istilah yang terdengar asing di telinga karena perbedaan program studi yang kami ambil."Assalam
POV Shanum"Maaf, saya tidak setuju."Kaget.Ayah?Ada apa dengan Ayah? Kenapa ia tidak setuju?Kutatap wajahnya dengan khawatir. Tidak mungkin Ayah akan membatalkan pertunangan kami. Ayah bersikap biasa saja. Bahkan tidak ada pembicaraan serius di rumah mengenai hal tersebut. Malah Bunda lah yang paling nampak kesulitan menerima Alan sebelum adanya pertemuan dengan Mami Anya."Apa Alan melakukan kesalahan? Atau Delia masih marah dengan Anya?" Tebak Kakek Atma dengan Kening mengernyit. Mencoba mencari tahu.Semua mata menatap bergantian ke arah Bunda dan Mami Anya.Bunda cuma tersenyum tipis dan menggeleng cepat. Begitupun Mami Anya. Mereka saling melempar senyum meski tampak kebingungan di wajah merek
POV AlanSeharian ini aku persis seperti bodyguard. Mengikuti kemana langkah Mami pergi. Dari mengantarkannya bertemu Bunda, hingga pergi ke supermarket bagian perlengkapan kue. Ini untuk pertama kalinya kulihat Mami mengunjungi tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Aneh"Untuk apa Mami masuk ke sini?" Aku bertanya saat Mami memilih benda asing di mataku."Inih," jawabnya seraya menunjukkan salah satu benda berbahan aluminium berbentuk persegi dengan ukuran besar."Untuk?" tanyaku heran."Buat kue." Mami berjalan pelan memperhatikan benda tersusun rapi yang berada di sampingnya."Maksudnya, Mami yang akan membuat kue?" tanyaku tidak percaya.Mami menganggukkan kepala, tapi matanya terfokus pada deretan rak-rak seperti sedang