Tak ada sahutan sama sekali dari Kama, membuat Seika sedikit tergetar. Darah dalam jantungnya berdesir hangat. Tangis mulai menggenangi bola mata blue ocean-nya.
"Halo, Kama?"
"Oh ya, halo Seika …?"
"Bagaimana Kama, apa kamu bisa ke luar rumah sebentar saja? Temui aku di mobil, Ka---"
"Tentu saja aku mau Seika tapi ini sudah malam. Sudah bukan jam bertamu lagi, aku takut. Bagaimana kalau besok pagi saja kita bertemu di kan---"
Kecewa dan sedih, Seika menyentuh tulisan END CALL di ponselnya. Mati-matian menahan air mata supaya tidak merembes, menyurukkan ponsel di atas dashboard. Detik berikutnya, Seika menyalakan mesin mobil kesayangan. Tanpa sedikit pun menoleh ke arah rumah kontrakan Kama, dia melakukan mobilnya ke arah Yogyakarta.
"Kenapa jadi begini, Kama?" Seika berbisik lirih pada bayang-bayang Kama yang melintas cepat dalam benaknya, "Aku tahu aku salah dan aku ke rumah kontrakan kamu tuh, untuk meminta maaf. Aku pingin cerita langsung sama kamu, betapa ribetnya hari ini. Sungguh Kama, sekalian mau ngasih kado ulang tahun buat kamu. Tapi ternyata kamu …?"
Seika membersit hidung dengan tisu. Menghapus air mata yang semakin menghujan deras, sampai benar-benar kering. Sekarang dia melarang diri sendiri untuk menangis lagi. Jangan sampai merembes walaupun hanya setetes. Bukan apa-apa, rumah tinggal sekitar dua ratus meter di depan sana. Seperti apa pun perasaannya terhadap Kama malam ini, jangan sampai terdeteksi oleh Menir Hank. Sungguh, itu larangan terbesar!
"Kenapa Kama, apa yang kamu takutkan?" bisik Seika lagi sambil mengurangi kecepatan, "Toh, aku hanya ingin bertemu sebentar saja. Aku di dalam mobil dan kamu di luar. Ah, kenapa kadang-kadang kau aneh sekali, Kama?"
"Kamu nggak tahu, Kama!" penuh kesedihan dan penyesalan Seika bergumam, "Cinta ini begitu besar padamu. Tapi kenapa kamu malah mengecewakan seperti ini? Oh, sedih. Sakit Kama, Sakit!"
Seika kian meradang, mengingat bukan hal yang mudah untuk bisa pergi ke rumah kontrakan Kama tadi. Menir Hank menerima telepon dari rekan bisnisnya di kamar, jadi dia langsung beraksi. Memanfaatkan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya. Jika tidak?
"Ah, katamu nggak apa-apa?" napas Seika tersengal-sengal, "Katamu aku nggak salah, nggak perlu minta maaf tapi kenapa seperti ini, Kama?"
Dug!
Begitulah bunyi detak jantung Seika begitu menyadari apa yang akan terjadi. Detik berikutnya bunyi dug yang begitu kuat di dada kirinya, berubah menjadi debar-debar menyakitkan di seluruh rongga dadanya. Oh, tentu saja dia segera membereskan seluruh perasaan dan pemikirannya. Sebisa mungkin mengembalikan seluruh jiwanya seperti yang biasa. Seutuh mungkin, jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Bahaya.
***
"Sial, kenapa tahu-tahu sudah sampai di rumah begini, sih?" rutuknya bergumam sambil memasukkan mobil ke halaman rumah. Tak musti payah-payah turun untuk membuka pintu gerbang, karena Menir Hank sudah membukakan untuknya. Bukan hanya itu, dia juga berdiri bersedekap---gaya khasnya ketika dalam pengaruh kekuatan cemas---di samping pintu gerbang bersama Pak Raka, pegawai sekuriti di rumah. Nah, itulah yang membuat degup jantungnya menjelma genderang mau perang tadi.
"Oh, Seika mijn Lieverd …?" panggil Menir Hank penuh kekhawatiran begitu Seika turun dari mobil. Sorot matanya langsung memindai dusta di bola mata putri semata wayang, harta yang paling berharga dalam hidupnya. "Kamu baik-baik saja, Lieverd?"
Karena Menir Hank begitu tajam dan dalam menyorot matanya, Seika menjadi sedikit gugup tapi bisa segera mengatasinya. Gadis dengan tinggi badan seratus delapan puluh lima centimeter dan berat badan enam puluh kilogram itu berusaha melukis senyum manis. Menyibakkan poni yang menutup mata ke belakang, menyelipkan beberapa helai rambut bagian kanan ke telinga. Tak hanya itu, dia juga berusaha untuk lebih menaturalkan gesture tubuh supaya papanya percaya bahwa semua dalam keadaan baik-baik saja.
"Seika baik, Papa." itu kalimat yang terucap dengan lembut dari bibir belah tengah plus merah alaminya, "Maaf, pulang terlalu larut. Maaf, membuat Papa jadi cemas seperti ini."
Meskipun merasa ganjil tetapi mendengar pengakuan dari Seika, Menir Hank tersenyum lega. Segera saja dia menepuk-nepuk sayang pundak malaikat kecilnya dan mengajaknya masuk. "Oh, syukurlah Lieverd. Papa nyaris mati berdiri menunggumu pulang tadi. Kalau tak percaya, tanyakan saja pada Pak Raka!"
Seika melirik sekilas ke arah Pak Raka. Pegawai sekuriti profesional itu menangkupkan kedua tangan di dada, sedikit membungkuk memberikan penghormatan. Seika hanya mengulas senyum tipis oleh karenanya. Tak perlu bertanya apa pun karena bisa memperpanjang permasalahan.
"Mari Lieverd, kita masuk ke rumah?" ajak Menir Hank sambil menggandeng tangan kanan Seika yang udah sedingin winter, "Lain kali tolong kabari Papa, Lieverd. Minimal angkat telepon Papa jadi Papa bisa bernapas dengan tenang. Kamu nggak mau Papa menjadi patung penunggu pintu gerbang lagi kan, Lieverd?"
'Ha, what?' tanya Seika dalam hati sambil berusaha untuk mengingat-ingat, 'Tapi kok, aku nggak tahu? Oh, Papa pasti menelepon ke nomer yang satunya. Ya Tuhan, untung Papa nggak tahu kalau ponsel yang itu tertinggal di kamar. Oh, thanks God!'
"Lieverd, kenapa diam saja? Katakanlah sesuatu agar Papa sedikit lebih tenang." lantang, di antara perasaan curiga dan khawatir, Menir Hank mengajukan protes.
Sedikit terkejut menuai protes dari papanya, Seika berusaha untuk memberikan tanggapan terbaik, "Emh oh ya, Papa. Seika pasti kabari Papa, kok. Tadi Seika terburu-buru …."
Sampai di sini Menir Hank menghentikan langkah. Menelengkan kepala ke wajah Seika yang menghangat, kulit wajahnya sudah semerah kulit delima sekarang. "Kamu … Terburu-buru di jam malam, Lieverd? Hei, ada apa ini sebenarnya? Apakah kamu sedang menyembunyikan sesuatu dari Papa, Seika Eline?"
Mati kutu!
Itu yang dirasakan Seika sekarang. Benar, sepandai-pandai tunai melompat akhirnya jatuh juga. Sedari tadi semua baik-baik saja, kenapa tiba-tiba dia mengatakan hal konyol itu? Terburu-buru, padahal sudah jam sepuluh malam. Oh, jelas Menir Hank akan menjadikannya ikan dendeng sekarang. Membayangkan itu Seika tak mungkin berbohong, dia benar-benar takut. Dalam detik-detik yang berdetak melambat, bulu kuduknya menemani seolah-olah tersesat di kamar mayat seorang diri.
***
"Seika Eline, tolong jawab Papa!" titah Menir Hank lembut namun tegas. Secepat kilat dia memindahkan tubuh ke hadapan Seika yang terlihat seperti orang kebingungan. Oleh karenanyalah pria paruh baya itu berhasil mendeteksi sesuatu yang tak beres dengan malaikat kecilnya. 'Ini pasti berkaitan erat dengan pria Tak Berkelas itu! Emh rupanya dia sudah berani menantangku, mengibarkan bendera perang? Baik, baik. Demi kebahagiaan hidup Seika, demi masa depannya yang indah. Tunggu saja nanti, tanggal mainnya. Ugh!'
"Emh Papa, Seika ada sedikit pekerjaan di kantor." meskipun tahu kalau kebohongan itu mirip seperti setangkai bunga dandelion yang tertiup angin tapi Seika gak punya pilihan lain, "Jadi, Seika ke sana tadi … Menyelesaikannya, Papa."
Lembut, Menir Hank mendongakkan dagu putri semata wayangnya. "Lieverd, bibirmu bisa saja berdusta tetapi tidak dengan pancaran sinar matamu. Tapi ya, tidak apa-apa kalau kamu tidak mau bercerita dengan Papa. Terpenting, kamu baik-baik saja kan, Lieverd?"
Seika mengangguk kecil, memandang redup bola mata papanya. "Ya Papa, Seika baik-baik saja. Maaf … Bolehkah Seika istirahat sekarang?"
Sekarang giliran Menir Hank yang mengangguk kecil. Senyum tipis terlukis jelas di wajah tampan khas Netherlands-nya. "Tentu, Lieverd. Tidur nyenyak ya, mimpi yang indah."
"Terima kasih. Papa juga, ya?"
"Ya, Lieverd. Doakan Papa bertemu dengan Mama, ya? Papa rindu sekali."
"Oh Papa … Seika juga rindu sekali dengan Mama."
"Ah Lieverd, kita doakan Mama selalu, ya?"
"Pasti, Papa!"
Bila nanti saatnya tlah tiba
Kuingin kau menjadi milikku
Berjalan berdampingan dalam terik dan hujan
Berlarian ke sana ke mari dan tertawa
(Payung Teduh)
Siapa sangka kalau suasana yang begitu tenang itu akan terusik oleh getar ringtone dari ponsel Seika? Kama berusaha untuk menghubungi karena didorong oleh perasaan khawatir dan takut yang sedari tadi menguasai dirinya. Jika tidak, jelas dia takkan bisa memejamkan mata meski hanya sekejap sampai besok pagi. Baginya, Seika adalah segala-galanya.
"Siapa yang menelepon, Lieverd?" tanya Menir Hank sambil terus mengawasi ekspresi sekaligus gesture tubuh Seika, "Apakah Seikamara Publishing memberlakukan jam kerja malam hari atau bagaimana?"
"Hira!" panggil Derya antusias sambil melambaikan tangan ke arah Hiranur yang baru saja tiba di Glamour Resto, "Di sini, Hira!" Menyembunyikan segala kelicikan dalam hati, Derya berdiri menyambutnya. "Wah, cantik banget kamu malam ini, Hira. Abang sampai pangling." Mengunduh pujian semewah itu, Hiranur merasa tersanjung. Melayang-layang perasaannya di ketinggian angkasa namun tak lantas terlena, tentu saja. Dia masih ingat, bagaimana reputasi Derya sebagai play boy cap kakap di kantor. Jangankan gadis belia sepertinya, mamak-mamak beranak tiga pun bisa digodanya. "Ah Abang, bisa saja?" Hiranur memberikan sikap menampik pujian mewah itu tadi, sambil menghempaskan tubuh rampingnya di kursi yang ditunjuk Derya, "Hira biasa saja kok, Bang? Oh ya, ada apa Bang … Sampai mengajak Hira makan malam begini?" Derya sedikit mengernyitkan kening. Berpikir keras, harus dari mana memulai semuanya agar terkesan santai, baik dan yang paling penting tidak menimbulkan kecurigaan dalam diri Hiran
"Ke rumah Welas, Lieverd?" Setengah curiga, Menir Hank memandang Seika tepat di bola matanya. Baru saja malaikat kecilnya itu berpamitan mau ke rumah Welas, setelah hampir seharian tadi mengurung diri di kamar. Menir Hank tahu, bagaimana kedekatan antara Seika dengan Welas, tentu saja. Namun justru pengetahuan itulah yang memperbesar rasa curiga di dasar hatinya. Sebab, mustahil putri semata wayangnya bersusah payah pergi ke rumah Welas jika tanpa sesuatu yang bersifat pribadi. Maksudnya, dirahasiakan dari Menir Hank. Seika mengangguk kecil. Sebisa mungkin memulas senyum sedih dengan senyum simpul yang biasa agar tidak menumbuhkan benih kecurigaan dalam diri papanya. "Ya Papa, ke rumah Welas. Sebentar kok, nggak lama-lama. Ada sesuatu yang urgent tapi nggak bisa dibicarakan di voice call ataupun video call." Melihat bagaimana Seika bersikap, Menir Hank berdecak kagum dalam hati. Dia mengakui, Seika telah mewarisi sebagian besar karakternya. Cerdas, tegas, optimis, pantang menyerah, p
"Jadi, Seika nggak cerita apa-apa sama kamu?" tanya Kama dengan rasa khawatir yang semakin memuncak. Rongga dadanya benar-benar terisi oleh badai yang bergemuruh sekarang. Berpuluh-puluh pertanyaan berselirweran dalam benak. Di antaranya, 'Benarkah Seika kecewa karena sikapnya semalam? Apakah Seika marah? Seingatnya, belum pernah sampai libur kerja sebesar apa pun masalah yang dihadapi." "Nggak, Kama." sahut Welas sedikit menurunkan level kepanikan dalam diri Kama, "Bahkan tadi pagi pun dia hanya bilang kalau nggak bisa berangkat ke kantor. Dia juga minta sama aku buat mimpin apel motivasi. Ya hanya itu, Kama." Di tempat duduknya, Kama mendesah berat. Penyesalan bercampur dengan pembenaran dan sedikit menyayangkan kedatangan Seika bergumul di hati kecilnya. Ya, kalau tidak menghilang seperti ini sih, tidak masalah baginya. "Oke, Welas." itu yang akhirnya terlontar dari mulut Kama, setelah menghela napas panjang. "Ya sudah, nggak apa-apa. Kalau gitu aku langsung pamit pulang saja
"Oh Papa, maaf …!" seru Welas penuh sesal karena sudah berbohong. "Emh, nggak apa-apa kok, Papa. Mata Welas nggak sakit, kok. Nggak perlu pergi ke Dokter …." Tanpa menunggu reaksi apa pun dari Papa, sesegera mungkin Welas melesat ke kamar. Sekarang hatinya dipenuhi oleh perasaan sedih, bingung dan takut. Sedihnya karena sudah membohongi Papa sekaligus dirinya sendiri. Kenapa sih, dia harus mengatakan kalau matanya sedih? Kenapa juga harus menyembunyikan kenyataan kalau sebenarnya rasa cinta pada Kama semakin bertumbuh subur di pelataran hati? "Ya Tuhan, ampunilah aku?" Welas bergumam lirih. "Aku tak bermaksud untuk berbohong. Aku hanya bingung, bagaimana mungkin terus-menerus mencintai Kama sedangkan aku tahu kalau dia sudah terikat hubungan cinta dengan Seika? Takut, Ya Tuhan. Aku benar-benar takut dan hanya kepada-Mulah aku berlindung." Tok, tok, tok! "Welas, beneran kamu nggak apa-apa?" tanya Papa di depan pintu kamarnya. "Papa khawatir ini, Welas." Welas yang masih bersand
"Derya, saya ada tugas untuk kamu sore ini!" cakap Menir Hank dengan ketegasan yang mencapai puncaknya. "Bisa, kamu ke rumah sebentar?" Mendengar percakapan malaikat kecilnya di telepon tadi, beberapa menit yang lalu membuat kesabaran Menir Hank tergerus habis. Meskipun suara Kama tak begitu jelas terdengar tapi Menir Hank bukanlah seorang ayah yang bodoh. Dia tahu, kalau sebentar lagi Seika akan berangkat ke Green Garden Resto untuk bertemu dengan Kama, tentu saja. "Baik Menir, saya segera ke sana." sahut Derya sambil terus memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Meraba-raba dia seperti seseorang yang membeli kucing dalam karung. Bukan apa-apa. Suara Menir Hank terdengar seperti orang murka, cukup membuat gentar. "Bagus, saya tunggu di rumah ya Derya?" "Baik, Menir. Tapi maaf sebelumnya Menir, kira-kura tugas apa yang akan Menir berikan kepada saya?" "Ah Derya … Seperti itu saja kamu tak tahu? Ck, yang jelas ini ada kaitannya dengan Kama. Sampai di sini kamu paham?" "Oh ba
"Derya, bagaimana bisa dia ada di sini?" tanya Seika begitu turun dari mobil dan melihat Derya sedang berjalan cepat menuju meja nomor empat yang berarti meja yang sudah dia pesan untuknya dan Kama. "Apa jangan-jangan selama ini Derya memata-matai kami? Oh, apakah dia bekerja untuk Papa? Ugh, sial!" Secepat kilat, Seika menutup pintu mobil lalu menguncinya. Meninggalkan area parkir dengan meminjam kecepatan cahaya. Prinsipnya, dia harus lebih dulu sampai di meja nomor empat. Titik. Oleh karena itu, dia melepas sepatu high heels cantik yang dipakai demi bisa berlari ke sana. Bukan apa-apa. Masalahnya, untuk apa Derya menemui Kama? Pertanyaan itulah yang mendesak masuk ke dalam benaknya. "Kama emh selamat malam, apa kabar?" Beruntung Seika sampai di tempat Kama menunggunya terlebih dahulu dari pada Derya. Tidak sia-sia dia sampai melepaskan sepatu, menyingkapkan gaun malam berwarna merah maroon polos dengan renda merah jambu di bagian bawah, pinggang, depan dada dan pergelangan tang
Message From: Hiranur [Bang Derya, maaf Hira ganggu] [Abang sudah istirahat?] Secepat kilat Derya membalas pesan Hiranur, berharap penuh semoga dia benar-benar bisa dijadikan rangkaian bom untuk menghancurkan hubungan Seika dan Kama. Boleh saja Hiranur menolak dengan alasan kemanusiaan dan perasaan cinta tapi Derya yakin, lama kelamaan Hiranur akan luluh juga. Cinta akan selalu berjuang demi mendapatkan kerajaannya, bukan begitu? Message to: Hiranur [Belum] [Ada apa, Hira?] [Ada yang bisa Abang bantu?] Untuk beberapa saat lamanya, ponselnya senyap. Tak ada lagi balasan pesan dari Hiranur. Jadi, Derya memutuskan untuk pulang. Siapa tahu setelah tiba di rumah nanti, ada banyak pesan penting dari Hiranur. Intinya dia takkan pernah menyerah. Terlepas dari kemungkinan besar Menir Hank akan memberhentikan pekerjaannya di Real Publishing atau hal yang lebih mengerikan dari pada itu tapi semangat Derya masih hangat. Masih ada baranya meski tak banyak. Tinggal disiramkan bensin lalu
"Bedank je, Kama!" (Terima kasih, Kama!) ungkap Seika malu-malu tapi bahagia sekaligus tersanjung, saat Kama membukakan pintu mobil untuknya, "Tot ziens!" (Sampai jumpa!) Kama mengangguk kecil. Menyibakkan poni ke belakang, melepaskan senyum paling manis dari yang dia miliki. "Tot ziens, Seika!" Penuh perasaan cinta, Kama menutup pintu mobil. Legalah sudah seluruh perasaan karena semua permasalahan dengan Seika sudah selesai. Kesalahpahaman itu sudah sirna, berganti dengan kebahagiaan yang baru. Mereka sudah sama-sama berjanji, ke depan akan lebih hati-hati dan waspada lagi. Jangan sampai lengah sehingga mudah luluh lantak oleh emosi. "Janji ya Seika, kalau ada apa-apa sama kamu langsung kasih tahu aku, ya? Nggak perlu malu, sungkan atau apa. Ya? Aku nggak akan marah kok, sungguh." pinta Kama setelah Seika mengungkapkan dengan terbuka dan jujur tentang masalah yang sempat terjadi. "Seika ingat ya, kita kan sudah berkomitmen untuk jangan ada rahasia di antara kita. No secret between
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!