Di puncak kegelisahannya, Menir Hank menanti kepulangan malaikat kecilnya, Seika Eline di balkon. Dari sanalah dia terus memandang ke arah pintu gerbang utama, tak lekang meski oleh hembusan angin sore yang mulai mengantarkan dingin. Baginya, Seika adalah segala-galanya dalam hidup ini. Harta yang paling berharga, tiada tara. Bagaimana bisa, dia abai seperti ini? Sampai-sampai tidak tahu kalau di belakangnya Seika sudah berjaya dengan perusahaan penerbitannya sendiri.
"Aku tahu itu perusahaan Seika tapi tak pernah menduga kalau dia akan senekat itu!" gumam Menir Hank sambil menyapu wajah tampan sendunya dengan telapak tangan kanan, "Bisa-bisanya dia bekerja sama dengan Kama Nismara? Tidak tahukah Seika kalau dia itu tak sekelas dengannya? Tidak berkelas sama sekali!"
Kini, Menir Hank bangkit dari tempat duduknya. Perlahan-lahan namun pasti, berjalan mendekati pagar. Berdiri di sana, memandang jauh ke bawah secara merata. Mulai dari pintu gerbang, jalan kecil beraspal yang ramai oleh lalu lalang kendaraan, taman bunga kecil di sudut halaman sebelah kanan … Menir Hank menyedekapkan kedua tangan. Mendesah berat, menghela napas panjang lalu bergumam lirih, "Maafkan Papa, Seika. Papa nggak mungkin membiarkan kamu terperangkap ke dalam kehidupan Kama. Apa pun yang terjadi, Papa hanya menginginkan yang terbaik untuk kamu. Kebahagiaan hidup kamu, Seika!"
Tanpa disadari, air mata Menir Hank merembes hangat. Begitu cepat waktu berlalu, begitu cepat menumbuhkan kembangkan malaikat kecilnya menjadi seorang gadis cantik, cerdas dan matang. Hatinya sejernih embun pagi. Tapi sayang, dia telah menjatuhkan hatinya itu pada seseorang yang salah. Sejernih apa pun embun, pasti akan menjadi keruh jika terjatuh ke hamparan tanah, bukan?
"Ah, Seika!" gumam Menir Hank sedih sembari menyeka air mata dengan lengan baju, "Kamu terlalu berharga untuk bersama dia. Menjauh Lieverd, jangan dekati dia lagi. Papa tidak mau kamu tergores barang seujung rambut pun. Tidak mau kamu ternoda, meskipun hanya sekecil debu!"
Di antara pintalan pemikiran yang semakin kusut, Menir Hank mencoba menghubungi Seika. Tidak biasanya dia terlambat pulang. Paling sore jam lima sudah sampai di rumah. Ini, sudah lewat empat puluh lima menit dari jam lima. Kegelisahan Menir Hank semakin memuncak.
The number you are calling is switched off. Please try again later.
Kegelisahan hati Menir Hank sudah benar-benar mencapai puncak tertinggi sekarang, bercampur dengan fakta yang dilaporkan Derya dan sikap Seika yang biasa-biasa saja selama ini. Saat itulah bayangan istrinya, Mevrouw Gendhis melintasi benaknya. Mencuri sudut terkecil yang bisa dikatakan hampa.
"Be calm, Hank!" bayangan wajah cantik khas wanita Yogyakarta dengan senyum merekah indah itu berbisik lirih di telinganya, "Don't worry of her. Please trust me, Hank!"
Menir Hank merapatkan rahang, mengenggam erat-erat ponsel di tangannya seolah-olah itu selembar roti tawar tanpa mentega atau pun selai. Dalam sekejap mata hatinya terisi oleh sebuah konflik yang cukup rumit dengan sempurna. Di satu sisi, dia begitu mempercayai mendiang istrinya tapi di sisi yang lain, dia juga mencemaskan nasib Seika.
"Hehehehe … Gendhis! Kau lihatlah sekarang, malaikat kecil kita bukan lagi bayi yang bisa kita timang setiap hari. Dia sudah besar, Gandhis. Sudah berani menyemai benih cintanya tanpa sepengetahuan kita." Menir Hank memandang ke bawah lagi dan masih sama. Pintu gerbang utama masih tertutup rapat, mobil Seika pun belum terpakir di bawah pohon matoa, tempat parkir favoritnya. Perlahan-lahan namun pasti, pria berusia lima puluh delapan tahun itu memutar badan, berjalan ke arah tangga yang menuju ke lantai dua.
Meskipun masih terlilit konflik tapi perasaannya sudah sedikit membaik. Dia ingat, sudah ada Derya yang bekerja keras untuknya, tentu saja.
***
"Thanks banget ya, Welas?" Seika berseru riang, "Untung ada kamu, kalau nggak?"
Dua sahabat itu saling memandang dengan penuh rasa kasih sayang dan ketulusan. Mereka baru saja pulang dari membeli kado untuk Kama di bilangan Malioboro. "Ah Sei, sama-sama. Aku seneng banget kok, bisa bantuin kamu."
Seika mengerling ke arah Welas yang masih mengulum senyum manis. "Doakan aku ya, Welas? Nanti malem aku mau buat dinner surprise buat Kama. Semoga lancar dan sukses semuanya, ya?"
Welas mengangguk kecil. "Pasti, Sei. Aku selalu doakan yang terbaik buat kalian, kok."
"Oke, Welas. Aku juga, kok. Aku doakan ya, semoga tahun ini kamu bener-bener jadian sama Damar, ya?"
"Aamiin. Thanks, Sei … Tapi kayaknya mustahil deh, Sei. Mamakku nggak suka sama Damar gara-gara penampilannya yang kayak gitu. Tahu kan, maksudku?"
"Hei, Welas! Kita sama-sama tahu kan, tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Karena Tuhan punya segala-galanya. Iya, kan? Come on Welas, don't give up! Lagian aku yakin, mamakmu nggak bisa nerima Damar karena dia belum paham kalau Damar itu laki-laki yang baik. Dua juga tulus, jujur dan juga setia sama kamu, kan? Aku percaya Welas, suatu saat nanti mamakmu pasti menyadari itu. Don't judge a book by it's cover."
"Ya Sei, makasih banget ya?"
"Nah gitu dong, Welas. Keep spirit and negeri give up!"
Baik Seika maupun Welas sama-sama terdiam sekarang. Seika lebih fokus ke jalanan sedangkan Welas kembali pening dengan kenyataan pahit yang dialaminya. Mana mungkin dia menikah dengan laki-laki yang tak dicintai sama sekali, siapa pun itu. Hatinya sudah dipersembahkan untuk Damar, seutuhnya.
"Sei, kayaknya aku turun di sini saja, ya?" kata Welas tiba-tiba menyita sekian persen konsentrasi menyetir Seika, "Aku mau singgah sebentar ke galeri Damar. Nanti pulangnya jalan kaki saja. Nggak apa-apa, kan?"
Seika merekahkan senyum tulus, setelah mengetahui alasan sahabat dekatnya minta diturunkan di jalan. Kekhawatiran yang sempat mengisi benaknya kembali menguap dan hilang dalam sebuah harapan, semoga sahabat dekatnya itu selalu dalam kebahagiaan. Semoga Damar adalah jodoh yang telah digariskan Tuhan untuknya.
"Oke, Welas. Kalau gitu sih, aku nggak apa-apa. Hehehehe, aku pikir kamu kenapa tadi?" Seika menyahut sambil mengurangi kecepatan mobil. Galeri Damar masih sekitar lima puluh meter lagi di depan sana, "Tapi aku nggak ikut turun nggak apa-apa ya, Welas? Salam saja buat Damar."
Welas mengacungkan ibu jarinya. "Oke, Sei. Nggak apa-apa kok, dianterin gini aja aku sudah seneng banget, kok."
Dengan senang hati, Seika menghentikan mobil di depan pintu gerbang Damar's Gallery. Menyalami tangan Welas yang dingin, menunggu sampai sahabat setianya itu turun. Sekian detik setelahnya, Seika membalas lambaian tangan Welas lalu tanpa niat menyia-nyiakan waktu sedikit pun melanjutkan perjalanan pulang. Bukan tak tahu, Seika pun yakin kalau Menir Hank sudah menunggu-nunggu di rumah. Terlahir menjadi putri semata wayang, membuat Seika paham bagaimana Menir Hank selalu mengkhawatirkannya.
Jangankan pulang terlambat seperti ini, sedangkan pulang tepat pada waktunya saja tak bisa dikatakan tenang. Ada saja pertanyaan yang dilemparkan padanya. Dari mana, Lieverd? Ada apa Lieverd, kenapa baru pulang? Jalan-jalan ke mana saja tadi Lieverd, bersama Welas saja, kan? Kadang-kadang Seika sampai tertawa kecil antara lucu dan geregetan dengan sikap padanya tetapi tentu saja Menir Hank tak memperdulikan akan hal itu.
"Papa, Papa!" gumam Seika sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Bagaimana nanti kalau Seika sudah menikah dengan Kama? Padahal, Kama akan langsung membawa Seika ke rumahnya lho, Papa. Sepertinya Papa harus mempersiapkan diri mulai dari sekarang, Papa?"
"Hai, Papa!" Seika berseru riang menyapa Menir Hank yang sudah menunggu kepulangannya di beranda depan. Perlahan-lahan namun pasti Seika berjalan dari halaman rumah, seusai memastikan mobilnya terkunci dengan aman. Tak ada juga yang tertinggal di dalamnya, kecuali kado untuk Kama. Kalau itu memang satu hal yang berbeda. Dia sengaja meninggalkannya di sana. Jangan sampai Menir Hank mencium aromanya, bahaya besar. "Hai, Lieverd!" Menir Hank balik menyapa sambil melambaikan tangan, "Wah, wah, wah … Kemana saja malaikat kecil Papa, jam segini baru pulang? Detak jantung Papa sampai meningkat pesat lho, Lieverd. Dag dig dug, dag dig dug, mencemaskanmu." ungkap Menir Hank begitu Seika menapakkan kaki jenjangnya di pelataran beranda. Detik berikutnya, Menir Hank sudah merengkuh Seika ke dalam pelukan hangatnya. "Semua baik, Lieverd?" Seika menghadiahkan senyum tulus untuk Menir Hank. Senyum simpul yang terlihat manis, terutama setelah kedua lesung pipitnya ikut tampil. Wah, hati Menir Han
"Hemh, Seika!" berusaha sabar, Kama menyurukkan ponsel ke meja belajar. Berpikir sejenak apa yang harus dilakukannya sekarang. Secara mendadak Seika telah membatalkan janji yang telah mereka sepakati bersama. Meskipun dengan alasan ada urusan yang sangat penting dengan papanya namun tetap saja Kama merasa ganjil. "Ada apa ini, tidak biasanya dia begini?" gumam Kama bertanya pada diri sendiri, "Apa ada masalah?" gumamnya lagi sambil mengetuk-ngetukkan tumit sebelah kanannya di lantai kamar, "Hemh tapi masalah apa, kutengok dia baik-baik saja?" Masalahnya Kama juga sudah terlanjur membatalkan acara makan malam bersama keluarga di Lesehan Jos Gandhos hanya untuk bisa makan malam bersama Seika. Tidak mungkin mengundang mereka lagi, sudah hampir jam sepuluh. Bayang-bayang Seika yang menari lembut dan wangi dalam benak, membuat Kama menyesalkan sesuatu. 'Kalau memang ada urusan, kenapa tak sedari tadi sore Seika memberikan kabar? Setidaknya, aku tak harus membatalkan acara bersama Paman,
Tak ada sahutan sama sekali dari Kama, membuat Seika sedikit tergetar. Darah dalam jantungnya berdesir hangat. Tangis mulai menggenangi bola mata blue ocean-nya. "Halo, Kama?" "Oh ya, halo Seika …?" "Bagaimana Kama, apa kamu bisa ke luar rumah sebentar saja? Temui aku di mobil, Ka---" "Tentu saja aku mau Seika tapi ini sudah malam. Sudah bukan jam bertamu lagi, aku takut. Bagaimana kalau besok pagi saja kita bertemu di kan---" Kecewa dan sedih, Seika menyentuh tulisan END CALL di ponselnya. Mati-matian menahan air mata supaya tidak merembes, menyurukkan ponsel di atas dashboard. Detik berikutnya, Seika menyalakan mesin mobil kesayangan. Tanpa sedikit pun menoleh ke arah rumah kontrakan Kama, dia melakukan mobilnya ke arah Yogyakarta. "Kenapa jadi begini, Kama?" Seika berbisik lirih pada bayang-bayang Kama yang melintas cepat dalam benaknya, "Aku tahu aku salah dan aku ke rumah kontrakan kamu tuh, untuk meminta maaf. Aku pingin cerita langsung sama kamu, betapa ribetnya hari i
"Hira!" panggil Derya antusias sambil melambaikan tangan ke arah Hiranur yang baru saja tiba di Glamour Resto, "Di sini, Hira!" Menyembunyikan segala kelicikan dalam hati, Derya berdiri menyambutnya. "Wah, cantik banget kamu malam ini, Hira. Abang sampai pangling." Mengunduh pujian semewah itu, Hiranur merasa tersanjung. Melayang-layang perasaannya di ketinggian angkasa namun tak lantas terlena, tentu saja. Dia masih ingat, bagaimana reputasi Derya sebagai play boy cap kakap di kantor. Jangankan gadis belia sepertinya, mamak-mamak beranak tiga pun bisa digodanya. "Ah Abang, bisa saja?" Hiranur memberikan sikap menampik pujian mewah itu tadi, sambil menghempaskan tubuh rampingnya di kursi yang ditunjuk Derya, "Hira biasa saja kok, Bang? Oh ya, ada apa Bang … Sampai mengajak Hira makan malam begini?" Derya sedikit mengernyitkan kening. Berpikir keras, harus dari mana memulai semuanya agar terkesan santai, baik dan yang paling penting tidak menimbulkan kecurigaan dalam diri Hiran
"Ke rumah Welas, Lieverd?" Setengah curiga, Menir Hank memandang Seika tepat di bola matanya. Baru saja malaikat kecilnya itu berpamitan mau ke rumah Welas, setelah hampir seharian tadi mengurung diri di kamar. Menir Hank tahu, bagaimana kedekatan antara Seika dengan Welas, tentu saja. Namun justru pengetahuan itulah yang memperbesar rasa curiga di dasar hatinya. Sebab, mustahil putri semata wayangnya bersusah payah pergi ke rumah Welas jika tanpa sesuatu yang bersifat pribadi. Maksudnya, dirahasiakan dari Menir Hank. Seika mengangguk kecil. Sebisa mungkin memulas senyum sedih dengan senyum simpul yang biasa agar tidak menumbuhkan benih kecurigaan dalam diri papanya. "Ya Papa, ke rumah Welas. Sebentar kok, nggak lama-lama. Ada sesuatu yang urgent tapi nggak bisa dibicarakan di voice call ataupun video call." Melihat bagaimana Seika bersikap, Menir Hank berdecak kagum dalam hati. Dia mengakui, Seika telah mewarisi sebagian besar karakternya. Cerdas, tegas, optimis, pantang menyerah, p
"Jadi, Seika nggak cerita apa-apa sama kamu?" tanya Kama dengan rasa khawatir yang semakin memuncak. Rongga dadanya benar-benar terisi oleh badai yang bergemuruh sekarang. Berpuluh-puluh pertanyaan berselirweran dalam benak. Di antaranya, 'Benarkah Seika kecewa karena sikapnya semalam? Apakah Seika marah? Seingatnya, belum pernah sampai libur kerja sebesar apa pun masalah yang dihadapi." "Nggak, Kama." sahut Welas sedikit menurunkan level kepanikan dalam diri Kama, "Bahkan tadi pagi pun dia hanya bilang kalau nggak bisa berangkat ke kantor. Dia juga minta sama aku buat mimpin apel motivasi. Ya hanya itu, Kama." Di tempat duduknya, Kama mendesah berat. Penyesalan bercampur dengan pembenaran dan sedikit menyayangkan kedatangan Seika bergumul di hati kecilnya. Ya, kalau tidak menghilang seperti ini sih, tidak masalah baginya. "Oke, Welas." itu yang akhirnya terlontar dari mulut Kama, setelah menghela napas panjang. "Ya sudah, nggak apa-apa. Kalau gitu aku langsung pamit pulang saja
"Oh Papa, maaf …!" seru Welas penuh sesal karena sudah berbohong. "Emh, nggak apa-apa kok, Papa. Mata Welas nggak sakit, kok. Nggak perlu pergi ke Dokter …." Tanpa menunggu reaksi apa pun dari Papa, sesegera mungkin Welas melesat ke kamar. Sekarang hatinya dipenuhi oleh perasaan sedih, bingung dan takut. Sedihnya karena sudah membohongi Papa sekaligus dirinya sendiri. Kenapa sih, dia harus mengatakan kalau matanya sedih? Kenapa juga harus menyembunyikan kenyataan kalau sebenarnya rasa cinta pada Kama semakin bertumbuh subur di pelataran hati? "Ya Tuhan, ampunilah aku?" Welas bergumam lirih. "Aku tak bermaksud untuk berbohong. Aku hanya bingung, bagaimana mungkin terus-menerus mencintai Kama sedangkan aku tahu kalau dia sudah terikat hubungan cinta dengan Seika? Takut, Ya Tuhan. Aku benar-benar takut dan hanya kepada-Mulah aku berlindung." Tok, tok, tok! "Welas, beneran kamu nggak apa-apa?" tanya Papa di depan pintu kamarnya. "Papa khawatir ini, Welas." Welas yang masih bersand
"Derya, saya ada tugas untuk kamu sore ini!" cakap Menir Hank dengan ketegasan yang mencapai puncaknya. "Bisa, kamu ke rumah sebentar?" Mendengar percakapan malaikat kecilnya di telepon tadi, beberapa menit yang lalu membuat kesabaran Menir Hank tergerus habis. Meskipun suara Kama tak begitu jelas terdengar tapi Menir Hank bukanlah seorang ayah yang bodoh. Dia tahu, kalau sebentar lagi Seika akan berangkat ke Green Garden Resto untuk bertemu dengan Kama, tentu saja. "Baik Menir, saya segera ke sana." sahut Derya sambil terus memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Meraba-raba dia seperti seseorang yang membeli kucing dalam karung. Bukan apa-apa. Suara Menir Hank terdengar seperti orang murka, cukup membuat gentar. "Bagus, saya tunggu di rumah ya Derya?" "Baik, Menir. Tapi maaf sebelumnya Menir, kira-kura tugas apa yang akan Menir berikan kepada saya?" "Ah Derya … Seperti itu saja kamu tak tahu? Ck, yang jelas ini ada kaitannya dengan Kama. Sampai di sini kamu paham?" "Oh ba
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!