Keseruan yang dirasakan Dinda bersama Fahri harus berakhir saat Dinda menyadari jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Dengan berat hati, ia harus kembali ke hotel. Untuk pertama kali, Dinda bisa menikmati kebersamaannya dengan Fahri. Hampir satu tahun menikah, ini adalah kesempatan pertama Dinda merasa memiliki seorang pendamping. Di sepanjang perjalanan menuju hotel, bibir Dinda tak henti mengulas senyum. Tak mengapa belum ada kalimat pernyataan cinta dari bibir Fahri, untuk hari ini Dinda merasa cukup. Pengalaman hari ini disimpan Dinda baik-baik dalam pusat memori. Menikmati liburan mewah yang tak pernah ada dalam bayangannya selama ini."Masih lapar nggak?" Suara berat Fahri memecah lamunan Dinda. Dia menoleh ke arah suaminya yang tengah fokus menyetir. "Memangnya Uda lapar lagi?" Dinda balik bertanya. "Ditanya, malah balik nanya," ketus Fahri. Dinda cengengesan. Dia sudah mulai terbiasa dengan sikap suaminya yang bisa dihitung dengan jari untuk bersikap manis. "Lapar, sih.
Dinda mengembuskan napas kasar. Satu kata yang sering Fahri ucapkan tadi sebelum ia berlalu, kembali terngiang di benaknya. Jika bersama Fahri, Dinda tak mampu membaca apa yang tersirat dari setiap kalimat dan perbuatan suaminya itu. Kemampuan Dinda selama ini yang telah mendalami tentang ilmu kejiwaan, hilang seketika ketika berhadapan dengan Fahri. Sebegitu kacau perasaannya jika berhubungan dengan Fahri. Iya, dia memang sudah terlalu berbesar kepala saat mengartikan sikap Fahri belakangan ini sebagai tanda cinta. Dan memang benar ia telah menumbuhkan harapan suaminya itu sudah mulai ada rasa terhadap dirinya. Akan tetapi sesuatu di dalam dirinya kembali menyangkal, mana mungkin Fahri akan secepat itu mencintainya. Tujuh tahun kebersamaan Fahri dengan Priska tentu saja tak akan bisa dihapus hanya dengan beberapa bulan kebersamaannya. "Nda baru pulang?" sapaan dari seseorang bersuara renyah itu memecah segala pemikiran Dinda. Dia menoleh ke arah asal suara dan mengulas senyum. "Iya
Pagi ini Dinda bangun dengan perasaan campur aduk. Semalam Fahri tak mengangkat telepon darinya, entah berapa kali Dinda mencoba, tetapi suaminya itu tak jua menjawab. Berbagai pikiran buruk mulai menyambangi, bagaimana jika ternyata setelah membalas pesannya semalam, Fahri malah pergi dengan perempuan lain. Keyakinan bahwa suaminya adalah lelaki setia, terkalahkan dengan segala prasangka yang bergentayangan di benaknya. Setelah selesai melaksanakan salat subuh berjamaah bersama peserta pelatihan lain, Dinda buru-buru menelpon Fahri. Pikirannya tak tenang sebelum mendengar suara lelaki itu. Ada yang terasa hilang dari rutinitas paginya kali ini. Karena hampir satu tahun, Fahri lah yang menjadi alasan Dinda bangun lebih pagi. Menyiapkan sarapan dan bekal untuk suaminya, lalu mengantar Fahri ke depan rumah untuk berangkat kerja.Entah berapa kali deringan, Fahri tak jua menerima telponnya. Dinda semakin gusar. Berkali-kali pula ia mengirimkan pesan menanyakan ke mana Fahri, tetapi tak
Kegiatan Dinda di hari pertama ternyata cukup padat. Selesai olah raga pagi, mereka diberi waktu untuk bersiap-siap, sarapan, dilanjutkan dengan penyuguhan materi. Mereka hanya diberi waktu beberapa kali istirahat salat, makan, kemudian kelas materi kembali dilanjutkan. Dinda bahkan tak sempat memeriksa ponselnya. Karena waktu yang diberikan untuk istirahat hanya sedikit. Pada kelas materi terakhir diisi oleh Gibran. Selama kelas berlangsung, Dinda memperhatikan dengan serius lelaki itu menyajikan materi. Begitu luwes dan penuh percaya diri. Tak lupa wajah ramah itu selalu ia tunjukkan. Gibran dari dulu memang tak pernah berubah, senyum ramahnya masih terlihat sama. Hanya saja, perasaan Dinda yang menatap Gibran kali ini sudah berbeda. Tak ada lagi getar kuat yang dulu ia rasa setiap kali menatap wajah itu. Tak sadar Dinda mengulas senyum tipis, mengingat bagaimana dulu ia pernah begitu mendamba sosok Gibran sebagai pendampingnya. Meminta berkali-kali dalam setiap doanya, agar kelak
Akhir minggu yang Dinda tunggu pun tiba. Sejak tadi malam tidurnya tak nyenyak. Berharap Fahri benar-benar datang menemuinya. Namun, ketika jam sudah menunjukkan pukul 10.00, Fahri masih tak bisa dihubungi, pun tak memberi kabar. Ketakutan mulai menyelimuti pikiran Dinda. Jangan-jangan Priska kembali datang menemui Fahri di kantornya. Membuat Fahri kembali berpaling pada mantannya itu. Setelah sarapan tadi, Dinda kembali ke kamar, ia tak bersemangat untuk melakukan apa-apa. Yang ada dipikiran Dinda saat ini hanya Fahri, tak ada yang lain. Bahkan ajakan Nunik untuk pelesiran ke Kota Bogor ia tolak, dengan alasan suaminya akan datang. "Duh, enaknya yang punya suami," goda Nunik tadi saat Dinda menolak ajakan teman sekamarnya itu."Enak apanya, yang ada Nda kena PHP mulu," gumam Dinda menahan tangis. Akhir-akhir ini, jika menyangkut tentang Fahri, air mata Dinda mudah luruh. Setelah tinggal sendirian di kamar, Dinda memilih berselancar di dunia maya. Jemarinya iseng membuka kembali me
Saat tersadar Dinda meninggalkannya, Fahri yang juga tengah emosi akibat perjuangannya sia-sia, memilih meninggalkan tempat itu. Padahal tadi pagi ia begitu bersemangat hendak bertemu Dinda. Ia bahkan lupa membawa ponsel karena tergesa agar tak macet di jalanan. Perjuangannya tak sampai di situ, saat berada di jalan tol, dua ban mobilnya kempes secara bersamaan. Berhubung ponselnya ketinggalan ia tak bisa menghubungi mobil derek atau bantuan semacamnya. Fahri terpaksa menunggu pengguna jalan tol atau petugas patroli yang menyadari bahwa ia tengah butuh bantuan. Beruntung ada salah seorang karyawannya yang lewat mengenali mobil Fahri yang berhenti di bahu jalan, sehingga Fahri mendapat bantuan untuk memanggil mobil derek. Begitu sampai di hotel, yang ia temui malah Dinda tengah duduk berdua dengan Gibran. Hatinya benar-benar terasa panas. Sambil menggumamkan makian, Fahri beranjak ke mobilnya. Membanting pintu dengan keras. Kemudian memukul-mukul kemudi mobil untuk meluapkan amarahny
Tidak jadi makan, bertemu mantan, pikiran Fahri makin terasa kacau. Setelah memenangkan diri sesaat, Fahri kembali memutar mobilnya ke arah hotel tempat Dinda berada. Mengingat kembali tujuannya ke tempat itu. Fahri merutuki kebodohannya. Kenapa malah meninggalkan Dinda, seolah memberi celah pada Gibran untuk kembali masuk ke hati istrinya itu. "Bodoh!" umpat Fahri berkali-kali. Begitu sampai di hotel, Fahri mendatangi resepsionis. Meminta agar memanggilkan Dinda untuk turun ke lobi. Tetapi jawaban yang ia dapat sungguh mengecewakan. "Ibu Adinda sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa, Pak.""Tapi dia ada di kamar?""Ada," balas resepsionis itu dengan senyum sumpulnya. "Boleh saya tau nomor kamarnya, Mbak?" tanya Fahri penuh harap. "Maaf, Pak. Yang bersangkutan berpesan agar tidak diganggu. Kami tidak bisa melanggar permintaan tamu." Resepsionis itu memasang wajah menyesal dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Fahri mengembus napas kasar. Akhir minggu yang ia
Ada yang mengatakan bahwa, permintaan maaf akan selalu mudah diucapkan oleh mereka yang memiliki rasa cinta yang lebih besar. Dinda menyadari itu, perasaannya terhadap Fahri semakin hari semakin tumbuh besar. Rasa takut kehilangannya pun sama."Nda lagi PMS?" tanya Fahri tiba-tiba. Dinda melonggarkan pelukannya, menggeleng dengan kening berkerut. "Nggak. Kenapa memangnya?""Abisan uring-uringan nggak jelas gitu.""Uda yang mulai." Dinda memberengut sembari menghenyakkan bokongnya di samping Fahri. Rasanya sudah lama sekali mereka tak duduk berdampingan seperti ini. Biasanya walaupun sering bertengkar, pada akhir hari mereka akan tetap tidur seranjang dan saling memeluk. Namun, semenjak Dinda berada di tempat pelatihan, komunikasi mereka pun terbatas. Dinda begitu sibuk dengan segala pengayaan materi dan tugas yang diberikan selama pelatihan. "Lapar nggak, Nda?" Fahri memilih untuk. menghentikan perdebatan yang ia tau tak akan pernah berkesudahan. Dinda mengangguk cepat. "Nda sengaj
Memasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin
Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa
"Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken
Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b
Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng
Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda
Lima Bulan Kemudian"Misi paket!" Dinda yang tengah duduk meleseh sambil mengutak-atik laptop di depan meja ruang keluarga, sontak bangkit, menyambar kerudung instan yang selalu ia sampirkan di sandaran kursi ruang keluarga, dan melesat keluar rumah. Kening Fahri berkerut, sudah tak terhitung paket yang datang semenjak ia kemarin ada di rumah. Bahkan di sudut ruang keluarga mereka, masih ada beberapa paket yang belum dibuka. Selama ini Fahri tak terlalu memusingkan hobi baru Dinda berbelanja online, tetapi melihat tumpukan paket yang belum tersentuh itu, membuat rasa penasaran Fahri terusik. Apakah ini salah satu efek gangguan yang diderita Dinda atau memang istrinya itu sedang melakukan balas dendam akibat dulu selalu menahan keinginan untuk memiliki sesuatu. Tak lama Dinda masuk dengan sebuah kotak besar di tangan. Melihat Dinda kepayahan membawa kotak itu, Fahri reflek bangkit dari duduk. Menawarkan diri membawakan kotak itu pada Dinda. "Nda belanja apa lagi ini?" Penasaran, akh
"Nanti Snowy sama siapa di rumah kalau kita pulang kampung, Uda?" Pertanyaan tiba-tiba dari Dinda, membuat Fahri—yang hampir tertidur—kembali terjaga. Meskipun telah menjalani beberapa kali sesi terapi, tetapi Dinda masih saja sering membebani pikiran dengan hal-hal yang terkadang dianggap Fahri tidak terlalu penting. Seperti sekarang, Dinda malah tidak bisa ridur hanya karena memikirkan bagaimana nasib kucing peliharaannya itu ketika mereka berangkat ke kampung nanti. "Titipkan di pet hotel saja," putus Fahri berusaha menyabarkan diri dengan pertanyaan absurd Dinda. Matanya sudah berat, tubuhnya juga sudah lelah seharian dengan berbagai meeting bulanan dan tahunan di kantor dan ATPM¹."Tapi Nda takut Snowy nggak diurus dengan baik." Dinda kembali mengungkapkan kerisauannya. Fahri mengembuskan napas panjang, berusaha menyabarkan diri. Hanya masalah remeh, ia berpikir dengan cepat, mencari jalan keluar yang sekiranya membuat Dinda puas dan tak lagi mengajukan keberatan atas usulnya.
Sekuat tenaga Dinda menahan lututnya yang terasa goyah, tatkala melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki 20 lantai tersebut. Tujuannya adalah ke lantai 5 gedung itu, menemui Gibran untuk membicarakan perihal surat pengunduran dirinya yang telah ia kirim satu bulan lalu. Dinda berusaha mengatur napas agar mampu menghirup udara dengan normal. Rasa takut terasa menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Dingin, terasa hingga ke tengkuk. Sebenarnya perlakuan buruk yang ia terima selama beberapa bulan bekerja di perusahaan itu, belum seberapa dibanding perundungan yang Dinda terima semasa menduduki sekolah menengah atas dulu, tetapi tatapan dan kalimat intimidasi Vanya, seakan merobek-robek kepercayaan dan harga dirinya. Dinda merasa menjadi manusia tak berguna setiap kali ia melangkahkan kakinya di lantai 5 gedung itu. Di tengah rasa panik yang menyerang, kalimat Bianca kembali terngiang. "Kamu itu berharga, tidak ada yang boleh membuatmu merasa rendah."Berusaha menguatkan hat