Fahri begitu suntuk mendengarkan presentasi laporan penjualan bulanan dari staf marketing. Hari pertama puasa diisi dengan meeting bulanan, membuat Fahri merasa begitu tersiksa menahan kantuk. Sebuah pesan masuk ke ponsel, membuat kantuk Fahri sedikit mereda. Terlebih lagi pesan itu dari Dinda. Gegas ia membuka dan membaca pesan dari istrinya itu. Begitu pesan ia baca, Fahri terpaksa mengulum bibir menahan geli. Seperti biasa, istrinya itu selalu saja mengirimkan pesan absurd. "Lagunya—" Fahri tak lagi dapat menahan tawa geli setelah membaca ulang pesan dari Dinda. "Iya, Pak?" Staf marketing yang tengah memaparkan laporannya menjeda saat mendengar gumaman dan tawa pelan Fahri. Fahri yang terlalu asyik memikirkan kalimat balasan untuk pesan Dinda, masih senyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya. Tak menghiraukan tatapan mata peserta meeting yang telah beralih ke arahnya. "Maaf, Pak." Fia—Manager penjualan di kantor Fahri— menggeser pelan tabletnya, menyenggol lengan Fahri. "Ya
"Jatuh di mana?" Dinda menggumam dengan jantung berdebar. Meraba-raba bahu dan tubuh bagian belakangnya, berharap tali tas kecil itu hanya jatuh dari bahunya. Namun, nihil. Tak ada tas yang biasa menggantung di bahunya itu. Wajah Dinda makin pias, tatkala melihat salah seorang petugas datang mendekat. "Aduh, mati deh Nda!" Dinda meringis menahan tangis. "Selamat siang, Dik! Kami sedang melakukan pemeriksaan surat-surat kendaraan—"Belum selesai petugas berseragam itu menyelesaikan kalimatnya, Dinda menyerahkan kunci motor. "Ambil aja deh, Pak, motor saya."Petugas berseragam dengan nama Joko tercetak di dadanya itu menatap Dinda heran. "Tas berisi dompet dan hp saya hilang. Kalau Bapak minta surat-surat kendaraan, saya nggak bisa kasih liat. Kalau mikir saya bohong, ambil saja motor saya, nggak apa-apa. Saya capek kalau harus berdebat lagi," cerocos Dinda antara kesal, bingung, dan takut. Alih-alih mengambil kunci motor Dinda, petugas tersebut tertawa. "Ya sudah kalau memang domp
Fahri berkali-kali berdecak kesal menyalip di antara kendaraan roda empat yang terjebak macet. Kesal kembali ia rasakan tatkala mengingat harapan tak seindah kenyataan. Saat tadi pulang dari kantor, ia berharap Dinda benar-benar menyambutnya dengan senyum manis seperti yang istrinya itu janjikan. Alih-alih disambut senyuman manis Dinda, begitu sampai, bahkan belum sempat masuk ke rumah, sebuah telepon masuk dari seseorang yang mengaku dari pihak kepolisian. Tadinya Fahri tak percaya dengan kabar mengenai Dinda yang diamankan di kantor polisi. Fahri bahkan sempat memeriksa setiap sudut rumah untuk memastikan bahwa Dinda memang tak ada di rumah. Setelah mendengar suara istrinya, dan melihat tas kecil yang selalu dibawa Dinda tergantung di pintu penghubung antara garasi dan dapur, barulah Fahri percaya, bahwa istrinya yang sering mencari masalah itu kembali terlibat masalah. Meskipun tadi Fahri sempat tertawa geli mengingat nasib Dinda yang berakhir di kantor polisi, tetapi menghadapi
Di ruangannya, Fahri mulai sibuk dengan setumpuk dokumen yang harus ia periksa dan tanda tangani. Suara denting ponsel penanda pesan masuk menjeda kegiatan Fahri. Niat mengabaikan pesan itu terkalahkan tatkala melihat nama yang tertera pada layar ponsel. Istri Bawel, begitu nama Dinda yang tersimpan pada daftar kontak Fahri. Reflek bibir Fahri menyunggingkan senyum, dengan gerakan cepat ia membuka pengunci layar dan membaca pesan dari Dinda. [Suami Nda tersayang, beneran ya, hari ini pulang cepat. Di balas lho, ya, pesan Nda, biar Nda nggak galau lagi kayak kemarin.]Fahri kembali terkekeh-kekeh membaca pesan dari Dinda. Membayangkan ekspresi kebingungan di wajah Dinda kemarin sore membuat tawa gelinya makin menjadi. Jika biasa Fahri meletakkan begitu sajaponselnyasetelah membaca pesan Dinda, kali ini ia memilih untuk membalas dengan cepat. [Iya, ntar diusahain pulang cepat.][Harus! Nda udah masak buat Uda. Jangan sampai ntar Nda kasih ke Goofy kalau Uda pulang telat.] Fahri menge
Fahri memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Setelah berusaha menenangkan diri, ia menghubungi Syahrial, salah seorang kerabatnya yang juga merupakan sepupu dari uminya. Salah seseorang yang turut andil dalam membesarkan perusahaan keluarganya selama ini. "Ya, Ri? Ada masalah?" tebak lelaki di seberang sambungan. "Ha-ha, tau aja Om Ari lagi ada masalah." Fahri berusaha tertawa untuk menutupi gundah. "Ya jelas, kamu nelpon Om cuma pas ada masalah. Ha-ha!" Syahrial terkekeh-kekeh di seberang sana. "Apa yang bisa Om bantu kali ini?" lanjut lelaki yang disapa Om itu oleh Fahri. Fahri menggaruk sisi pipinya. Berusaha menyusun kalimat, agar tak membuat si penerima telpon meradang mendengar kasus yang akan ia sampaikan. Uang muka pembelian satu unit mobil sejumlah 150 juta, bukan nominal yang sedikit. Fahri tak mampu menemukan solusi untuk permasalahannya kali ini. Terlebih lagi masalah tersebut berhubungan dengan seseorang yang membuat pikiran Fahri selalu buntu. "Ada sales nakal ya
Priska terkesiap manakala melihat sosok yang membuka pintu ruangan tempat ia menunggu. Baru saja ia hendak membuka suara, sosok itu lebih dahulu menyapa, dengan ekspresi datar, dan tatapan dingin meski bibirnya menyunggingkan senyum. Di belakangnya, perempuan yang tadi menemui mereka turut mengiringi dengan senyum gugup. "Selamat siang, Pak, Bu," sapa Fahri dengan gaya formal. Dia menarik kursi, duduk di seberang meja berhadapan dengan kedua suami istri itu. Fahri mati-matian menahan gejolak perasaan yang terasa mengiris-iris tatkala berhadapan dengan perempuan yang telah menjadi masa lalunya itu. Wajah yang dulu selalu mewarnai hari-harinya itu terlihat sendu, tak seceria dulu. Fahri lekas-lekas memfokuskan tatapan ke arah lelaki yang duduk di samping Priska. "Saya bingung, kenapa dp yang sudah saya setorkan malah ditransfer balik ke pihak lain!" sembur lelaki yang duduk di samping Priska, mulai bersuara dengan nada tinggi. Wajahnya yang memerah jelas memperlihatkan amarah. "Manaj
Fahri kembali tertawa tanpa suara mendengar kalimat Dinda. "Emangnya aku anak TK pakai diajarin berdoa segala.""Iya—""Udah, bye!" Fahri yang menutup terlebih dahulu. Tawanya kemudian pecah karena semenjak tadi pegal menahan tawa. Fahri baru menghentikan tawanya ketika pintu ruangannya kembali terdengar diketuk. Fahri mengatur ekspresi kemudian berteriak, "Masuk!"Fia dengan senyum tipis datang dengan sebuah map merah di tangan. "Pak, saya sudah revisi form SPK untuk unit Ibu Priska," tukas perempuan berwajah oriental dengan rambut sebahu itu, sembari menyodorkan map ke arah Fahri. "Kamu sudah pastikan unit yang mau diserahkan ke bagian detailing, kan?" tanya Fahri dengan gaya berwibawa. "Sudah. Tadi Bu Priska juga sudah sempat melihat unitnya."Fahri mengangguk sembari memeriksa kembali berkas-berkas dan kelengkapan dokumen pembelian di hadapannya. "Terus itu uang dp yang terlanjur salah transfer itu gimana jadinya, Pak?" tanya Fia takut-takut. "Tentu saja gaji kamu yang akan
Gerakan jari Dinda yang menggeser-geser layar, terhenti tatkala melihat satu unggahan yang memperlihatkan punggung seorang laki-laki. Punggung yang begitu ia kenal dengan kemeja yang sama saat ia melepas suaminya berangkat kerja tadi pagi. Pada keterangan tayangan itu terdapat tulisan "It's was my big mistake, to let you go." Rasa penasaran Dinda tergelitik, ia membaca nama si pemilik akun, P_M. Kening Dinda berkerut karena merasa tak asing dengan inisial pemilik akun tersebut. Rasa penasarannya makin membesar, Dinda berselancar lebih jauh, membuka akun pemilik konten. Darahnya berdesir, saat mengenal wajah pada foto profil pemilik akun tersebut. "Teh Priska?" Dan Dinda pun makin mengorek lebih dalam, membuka semua postingan yang terdapat pada akun tersebut. Hatinya terasa dicubit, tatkala melihat begitu banyak foto kebersamaan si pemilik akun bersama suaminya. Dalam setiap unggahan Priska, Fahri selalu menyunggingkan senyum. Senyum yang begitu menawan. Berbeda dengan saat bersamanya