Pukul 12.10, saat mobil Fahri berhenti di depan sebuah rumah mewah berlantai dua dengan gaya Mediterania. Seorang lelaki akhir lima puluh tahun bergegas membukakan pintu gerbang dari besi tempa yang di cat warna tembaga itu, ketika mengenali mobil Fahri berhenti di depan gerbang. Lelaki yang mengenakan jaket tebal, dengan kepala ditutup kupluk hingga menutup telinga itu membungkuk sekilas saat Fahri mengucapkan terima kasih dan melajukan mobil ke dalam pekarangan rumah yang cukup luas itu. Bandung sangat dingin malam ini efek diguyur hujan. Dan dinginnya tak hanya terasa di luar, tetapi hingga ke dalam hati Dinda. Satu fakta mengejutkan kembali terungkap. Kucing yang begitu ia sayang selama ini ternyata peninggalan bersejarah dari hubungan Fahri dan Priska. Mendadak Dinda merasa seperti orang bodoh. Pantas saja selama ini Fahri terlihat begitu menyayangi Goofy, ternyata ada kisah di balik kehadiran Goofy dalam hidup Fahri. Tak hanya fakta itu saja yang membuat hati Dinda hancur, ses
Suara takbir menandakan kemenangan, terdengar sahut menyahut di luar sana. Di luar masih terlihat gelap, tetapi suasana di luar kamar sudah terdengar sibuk. Suara Emi, yang serak mendominasi, sedikit teredam oleh dinding kamar. Akan tetapi Dinda yakin, Emi tengah memberi arahan ke beberapa orang pekerja yang membantunya di rumah itu. Dinda bangkit dari tempat tidur, menoleh ke pojok ruangan tempat pet cargo yang berisi jasad Goofy berada. Air mata Dinda kembali luruh. Biasanya kucing oren itu tidur di ujung tempat tidur, meringkuk di kaki Dinda atau Fahri. Dinda beralih menoleh ke sisi tempat tidur di sebelahnya, Fahri masih tertidur dengan dengkuran yang cukup keras. Ia terlihat begitu lelah, karena menempuh perjalanan dengan kemacetan yang cukup padat. Perlahan, Dinda mengoyang-goyangkan tangan Fahri. "Uda, bangun. Sudah subuh."Seperti biasa, Fahri susah untuk dibangunkan. Lelaki itu makin mengeratkan gelungan selimutnya, merubah posisi, membelakangi Dinda. "Uda." Dinda mengulan
Fahri tak melepas tatap dari Dinda yang tengah asyik bercengkrama dengan keluarga besar uminya yang datang bertamu pagi itu. Tak bersisa raut kesedihan yang tadi terlihat pada kedua netra bening istrinya itu. Dinda tampak ceria, juga makin terlihat cantik dengan balutan gamis betwarna lilac dan kerudung berwarna senada dengan motif abstrak. Fahri tak berkedip memperhatikan Dinda yang tengah sibuk meladeni anak-anak dari sepupunya di ruang tengah, sementara Fahri berkumpul dengan para tamu laki-laki di ruang tamu. Dinda seolah tak peduli dia menjadi satu-satunya perempuan dewasa yang berada di tengah-tengah para bocah yang super aktif dan sangat berisik itu, atau terlihat merasa disisihkan karena para perempuan dewasa di rumah itu berkumpul di halaman belakang, entah apa yang mereka ceritakan di sana, karena terdengar begitu riuh. Sesaat tatap mata mereka bertemu, Dinda mengulas senyum tipis. Sementara Fahri gelagapan karena tertangkap basah tengah memperhatikan Dinda. "Cie, yang sek
Dinda tak berhenti tersenyum semenjak mereka tiba di bandara dan menaiki pesawat hingga pesawat mendarat di Bandara Internasional Minangkabau. Udara yang cukup menyengat menyambut, begitu kontras dengan udara di dalam pesawat yang sangat dingin. Dinda harus beberapa kali menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. "Ngelap keringatnya jangan pakai baju, kenapa, sih?" protes Fahri saat melihat Dinda yang berkali-kali menyeka keringatnya dengan lengan baju. "Biar praktis Uda. Lagian biar hemat tisu juga," sahut Dinda sekenanya. "Padahal dia sendiri yang suka sok higienis," sungut Fahri sambil mencebik. "Udah, deh, protes mulu," sahut Dinda seringan bulu. Ingin Fahri melontarkan kalimat tajam seperti biasa, tetapi ia tahan. Akhir-akhir ini Fahri memilih banyak mengalah daripada memperpanjang masalah. Karena Dinda mulai hobi merajuk dan mendiamkannya, Fahri tak kuasa didiamkan istrinya itu. *** Setibanya mereka di kampung halaman, Niar menyambut mereka dengan antusias. Ia hampir lu
Fahri menatap pasrah tatkala melihat Dinda menyeret kopernya keluar kamar. Dinda menarik benda itu ke ruang tengah dan menghenyakkan tubuhnya di sofa. Mengeluarkan ponsel dari tas kecil yang selalu ia bawa ke mana saja. Tak menyadari tatapan suaminya yang menatapnya intens semenjak tadi. "Berangkat jam berapa?" tanya Fahri saat melihat Dinda tengah asyik menekuri ponsel. Dinda mendongak, mengulas senyum termanis yang penah Fahri lihat. "Ini Nda lagi pesan taksi online dulu." "Biar diantar saja," tegas Fahri begitu Dinda kembali menunduk menatap layar ponsel."Nggak usah, Uda. Nanti Uda capek, ke puncak kan macet weekend begini," tolak Dinda. Dinda tidak ingin merepotkan siapapun, termasuk Fahri, meskipun lelaki itu adalah suaminya, ia sudah terbiasa melakukan apa pun seorang diri dan tak mau merasa ketergantungan dengan orang lain. Terlebih lagi semenjak menikah, Dinda sudah terbiasa melakukan apa pun seorang diri. "Memangnya kenapa Nda nggak mau diantar? Uda cuma mau mastiin Nda
Pagi ini Dinda bangun dengan suasana hati yang sangat baik. Mengingat rencana yang telah dilontarkan Fahri untuk menikmati pagi di daerah puncak, membuat Dinda bangun dengan penuh semangat. "Nda jangan pakai rok, kita mau jalan ke atas bukit," tukas Fahri saat melihat Dinda mengeluarkan pakaian dari koper. Gerakan Dinda terhenti. Dia mendongak menatap Fahri. "Pakai sepatu olahraga," imbuh Fahri sebelum Dinda sempat bertanya. Dinda menelan rasa penasaran, memasukkan kembali pakaian yang tadi sempat ia pilih, kemudian menarik keluar pakaian kasual. "Kalau baju ini nggak apa-apa?""Iya, yang itu saja." Fahri mengangguk setuju. Selesai sarapan, Fahri mengendarai mobil Pajero Sport-nya menuju area perkebunan teh. Kabut masih menggantung, menutupi pucuk pepohonan yang berada di sebelah sisi jalan yang terlihat seperti jurang. Jalanan masih sepi dan terasa sunyi, tak ada kendaraan lain yang turut bersama mereka. Hanya suara mesin mobil yang dikendarai Fahri yang terdengar di sepanjang p
Keseruan yang dirasakan Dinda bersama Fahri harus berakhir saat Dinda menyadari jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Dengan berat hati, ia harus kembali ke hotel. Untuk pertama kali, Dinda bisa menikmati kebersamaannya dengan Fahri. Hampir satu tahun menikah, ini adalah kesempatan pertama Dinda merasa memiliki seorang pendamping. Di sepanjang perjalanan menuju hotel, bibir Dinda tak henti mengulas senyum. Tak mengapa belum ada kalimat pernyataan cinta dari bibir Fahri, untuk hari ini Dinda merasa cukup. Pengalaman hari ini disimpan Dinda baik-baik dalam pusat memori. Menikmati liburan mewah yang tak pernah ada dalam bayangannya selama ini."Masih lapar nggak?" Suara berat Fahri memecah lamunan Dinda. Dia menoleh ke arah suaminya yang tengah fokus menyetir. "Memangnya Uda lapar lagi?" Dinda balik bertanya. "Ditanya, malah balik nanya," ketus Fahri. Dinda cengengesan. Dia sudah mulai terbiasa dengan sikap suaminya yang bisa dihitung dengan jari untuk bersikap manis. "Lapar, sih.
Dinda mengembuskan napas kasar. Satu kata yang sering Fahri ucapkan tadi sebelum ia berlalu, kembali terngiang di benaknya. Jika bersama Fahri, Dinda tak mampu membaca apa yang tersirat dari setiap kalimat dan perbuatan suaminya itu. Kemampuan Dinda selama ini yang telah mendalami tentang ilmu kejiwaan, hilang seketika ketika berhadapan dengan Fahri. Sebegitu kacau perasaannya jika berhubungan dengan Fahri. Iya, dia memang sudah terlalu berbesar kepala saat mengartikan sikap Fahri belakangan ini sebagai tanda cinta. Dan memang benar ia telah menumbuhkan harapan suaminya itu sudah mulai ada rasa terhadap dirinya. Akan tetapi sesuatu di dalam dirinya kembali menyangkal, mana mungkin Fahri akan secepat itu mencintainya. Tujuh tahun kebersamaan Fahri dengan Priska tentu saja tak akan bisa dihapus hanya dengan beberapa bulan kebersamaannya. "Nda baru pulang?" sapaan dari seseorang bersuara renyah itu memecah segala pemikiran Dinda. Dia menoleh ke arah asal suara dan mengulas senyum. "Iya
Memasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin
Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa
"Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken
Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b
Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng
Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda
Lima Bulan Kemudian"Misi paket!" Dinda yang tengah duduk meleseh sambil mengutak-atik laptop di depan meja ruang keluarga, sontak bangkit, menyambar kerudung instan yang selalu ia sampirkan di sandaran kursi ruang keluarga, dan melesat keluar rumah. Kening Fahri berkerut, sudah tak terhitung paket yang datang semenjak ia kemarin ada di rumah. Bahkan di sudut ruang keluarga mereka, masih ada beberapa paket yang belum dibuka. Selama ini Fahri tak terlalu memusingkan hobi baru Dinda berbelanja online, tetapi melihat tumpukan paket yang belum tersentuh itu, membuat rasa penasaran Fahri terusik. Apakah ini salah satu efek gangguan yang diderita Dinda atau memang istrinya itu sedang melakukan balas dendam akibat dulu selalu menahan keinginan untuk memiliki sesuatu. Tak lama Dinda masuk dengan sebuah kotak besar di tangan. Melihat Dinda kepayahan membawa kotak itu, Fahri reflek bangkit dari duduk. Menawarkan diri membawakan kotak itu pada Dinda. "Nda belanja apa lagi ini?" Penasaran, akh
"Nanti Snowy sama siapa di rumah kalau kita pulang kampung, Uda?" Pertanyaan tiba-tiba dari Dinda, membuat Fahri—yang hampir tertidur—kembali terjaga. Meskipun telah menjalani beberapa kali sesi terapi, tetapi Dinda masih saja sering membebani pikiran dengan hal-hal yang terkadang dianggap Fahri tidak terlalu penting. Seperti sekarang, Dinda malah tidak bisa ridur hanya karena memikirkan bagaimana nasib kucing peliharaannya itu ketika mereka berangkat ke kampung nanti. "Titipkan di pet hotel saja," putus Fahri berusaha menyabarkan diri dengan pertanyaan absurd Dinda. Matanya sudah berat, tubuhnya juga sudah lelah seharian dengan berbagai meeting bulanan dan tahunan di kantor dan ATPM¹."Tapi Nda takut Snowy nggak diurus dengan baik." Dinda kembali mengungkapkan kerisauannya. Fahri mengembuskan napas panjang, berusaha menyabarkan diri. Hanya masalah remeh, ia berpikir dengan cepat, mencari jalan keluar yang sekiranya membuat Dinda puas dan tak lagi mengajukan keberatan atas usulnya.
Sekuat tenaga Dinda menahan lututnya yang terasa goyah, tatkala melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki 20 lantai tersebut. Tujuannya adalah ke lantai 5 gedung itu, menemui Gibran untuk membicarakan perihal surat pengunduran dirinya yang telah ia kirim satu bulan lalu. Dinda berusaha mengatur napas agar mampu menghirup udara dengan normal. Rasa takut terasa menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Dingin, terasa hingga ke tengkuk. Sebenarnya perlakuan buruk yang ia terima selama beberapa bulan bekerja di perusahaan itu, belum seberapa dibanding perundungan yang Dinda terima semasa menduduki sekolah menengah atas dulu, tetapi tatapan dan kalimat intimidasi Vanya, seakan merobek-robek kepercayaan dan harga dirinya. Dinda merasa menjadi manusia tak berguna setiap kali ia melangkahkan kakinya di lantai 5 gedung itu. Di tengah rasa panik yang menyerang, kalimat Bianca kembali terngiang. "Kamu itu berharga, tidak ada yang boleh membuatmu merasa rendah."Berusaha menguatkan hat