"Ya sudah, kita berangkat sekarang. Daerah Kuningan macetnya ampun-ampunan," pungkas Fahri, memilih untuk mengalah, dari pada mood-nya rusak pagi-pagi dengan meladeni Dinda. Setelah menandaskan isi piringnya, Fahri bangkit dan meninggalkan piring bekas makannya di meja. "Tapi Uda nggak telat, kan ngantor?" Dinda mengekori Fahri yang telah lebih dulu keluar rumah, masih belum percaya bahwa Fahri menawarkan diri untuk mengantar. "Kan aku yang punya kantor," sahut Fahri dengan wajah angkuhnya saat hendak masuk mobil. "Oh, iya. Nda lupa.""Apa yang Nda ingat tentang aku, sih? Semuanya aja lupa," sungut Fahri saat mereka sudah berada di dalam mobil dan meninggalkan pekarangan rumah. "Galaknya doang." Singkat, tapi tajam. "Anjir!" Fahri tertawa miris. "Terus itu, apa yang kita lakuin selama ini untuk menghasilkan keturunan, nggak keinget gitu?" Fahri tak berani menatap Dinda. Tatapannya lurus ke jalanan yang masih gelap, tetapi sudah dipadati oleh kendaraan yang mungkin juga membawa pe
"Nda!" Dinda berbalik dari menatap pintu lift yang masih tertutup, mendapati Gibran berjalan menyusulnya dengan langkah panjang. Ia lalu mengulas senyum tipis saat Gibran berada tepat di hadapannya. "Aku pikir kamu nggak jadi ngelamar.""Jadi dong. Mana mungkin Nda nyia-nyiain kesempatan jadi wanita karir," balas Dinda dengan tawa pelan. Dinda tak mampu menahan senyum yang terbit di bibirnya. Rasanya pagi ini matahari terbit lebih cerah dari biasa. Melihat Gibran yang terlihat rapi dengan kemeja marun, kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Tanda pengenal perusahaan dengan foto Gibran tersenyum, terpasang pada kantong kemeja lelaki itu. Melihat Gibran dengan senyum ramahnya yang tak pernah berubah, membuat Dinda bisa mengenyahkan sejenak rasa rendah diri yang ia rasakan ketika bersama Fahri. Dari dulu, ketika berada di dekat Gibran, rasa percaya dirinya meningkat. Seolah ada energi yang ditransfer lelaki itu. "Kan jadwalnya pukul sembilan. Kok pagi banget datengnya?" Sama
Setelah menjalani serangkaian tes yang memakan waktu selama kurang lebih lima jam, akhirnya Dinda bisa bernapas lega. Entah hasilnya bagaimana, Dinda hanya pasrah. Seperti yang ia katakan pada Gibran tadi, Dinda tak mau terlalu berharap. Dinda tak lagi bertemu Gibran saat ia meninggalkan ruangan. Demi sekedar basa-basi, ia mengirimkan pesan pada lelaki itu. Namun, saat jemarinya membuka aplikasi pesan, matanya terpaku pada belasan pesan yang dikirim Fahri. Dari kalimat yang dikirimkan Fahri, kentara sekali lelaki itu kesal karena Dinda mematikan ponsel. [Kamu benaran tes kerja apa mau kencan sama laki-laki lain?] Itu kalimat pesan terakhir yang masuk. Alih-alih kesal, Dinda terkikik geli membaca pesan Fahri. "Cemburu? Bilang, Bos!""Nda!" Wajah Dinda langsung pias saat mendengar suara lelaki yang baru saja ia tertawakan itu. "Ya Allah, ampunin Nda. Kenapa jadi terngiang-ngiang suara Da Ari segala.""Dipanggil malah bengong!" "Astaghfirullah!" Dinda mengucek matanya saat melihat sos
Dinda tak mempedulikan wajah cemberut Fahri saat ia memilih film yang akan mereka tonton, dan memesan makanan dengan porsi untuk pasangan. Dinda hanya ingin menikmati waktu yang selama beberapa bulan ini tak ia dapatkan. Masa bodoh dengan wajah cemberut Fahri, Dinda hanya ingin bersenang-senang. "Salah sendiri, ngapain pakai sok-sokan ngajakin kencan," kata Dinda membatin. "Nda ngapain sih kayak pacet, nempel mulu!" Fahri mulai risih karena Dinda tak mau melepas tangannya semenjak mereka masuk ke pusat perbelanjaan itu. Bahkan ketika berada di dalam bioskop pun Dinda tak melepas tangannya dari lengan Fahri. "Ish! Uda gitu deh, giliran di kamar aja—" Kalimat Dinda terhenti karena Fahri buru-buru membungkam mulut istrinya itu. "Udah, nggak usah diterusin," bisik Fahri dengan wajah memerah. "Harusnya Uda bahagia, istrinya manja sama Uda. Emangnya Uda mau Nda manja sama laki-laki lain?"Fahri melotot. "Ya nggak, lah!""Nah! Kan, nggak mau. Makanya jangan protes kalau Nda manja sama U
Keesokan harinya Dinda kembali bersikap biasa. Seolah tak pernah terjadi perang dingin di antara mereka semalam. Dinda memang tak betah berlama-lama marah. Ia tetap menyiapkan pakaian kerja Fahri dan metakkan dengan rapi di tempat tidur. Menyiapkan sarapan dan menemani Fahri di meja makan. Bahkan Dinda masih saja mencium tangan Fahri dengan hormat tatkala lelaki itu hendak berangkat kerja. "Aku berangkat," tukas Fahri sebelum menginjak gas mobilnya. Tadinya ia hendak meminta maaf atas kesalahannya semalam, tetapi mulut Fahri terasa berat untuk mengucapkan kalimat penyesalan itu. Dinda hanya mengangguk. "Assalamualaikum, Uda. Hati-hati di jalan!" ucapnya dengan lambaian tangan dan senyum lebar. Tak terlihat di wajah Dinda bahwa hatinya sedang tak baik-baik saja. Ia masih melambaikan tangan hingga mobil Fahri sudah tak lagi terlihat di jalanan pagi buta yang masih minim cahaya itu. Dinda berbalik, tertegun menatap rumah sambil berkacak pinggang, kemudian menarik napas dalam-dalam. Ud
Dinda membaca dengan seksama jadwal kegiatan Kai sehari ini. Sarapan pukul tujuh —yang mana menunya sudah disiapkan oleh Tari dalam kotak makan kecil—Dinda hanya perlu menghangatkan saja. Pukul sembilan, Kai harus berada di sekolah khusus balita yang berjarak tiga puluh menit perjalanan dari komplek perumahan mereka. Biasanya Kai dan pengasuhnya berangkat menggunakan ojek langganan Tari, tetapi tadi Dinda menolak dijemput ojek langganan tetangganya itu. Dinda menawarkan diri mengantar Kai dengan motornya sendiri, dan Tari menyetujui. "Kalau Kai nggak mau pergi sekolah, nggak apa-apa. Takutnya kamu repot harus membujuknya," pesan Tari sebelum berangkat tadi. Dinda menoleh menatap jam di dinding, masih ada waktu satu jam lagi. Dia bisa mengurusi cucian dan membereskan rumah selagi Kai masih tertidur. Baru saja Dinda hendak mengangkat keranjang cucian dari kamar ke ruang cuci, ia dikejutkan sosok kecil yang keluar dari kamar tamu sambil mengucek mata dengan rambut acak-acakan setengah b
Fahri mengembuskan napas kasar setelah menutup percakapannya dengan Dinda. Kesal memenuhi rongga dadanya mendengar pernyataan yang sama dari bibir istrinya itu. "Kalau nggak mau punya anak, ngapain mau diajak nikah!" sungut Fahri kesal. Bukan tanpa alasan Fahri kesal, tiba-tiba group sahabat kampretnya membahas Priska yang telah memiliki momongan, Gustaf yang memulai. Gustaf : [Ri, gue curiga lo sama Dinda cuma nikah pura-pura biar dapat motor gue.]Fahri : [Anjir! Ngapain gue pura-pura nikah demi motor. Jangankan motor, lo aja bisa gue beli!]Pian : [Njir! Songong! 🤣🤣]Dony : [Gue curiganya juga gitu, makanya bini si Ari belum ngasih calon anggota baru buat group kita. Gue aja udah mau launching juniornya.]Anwar : [Lo kan emang udah DP duluan, ngap!]Dony : [Ha-ha! Ya minimal si Ari pamer garis dua bininya, lah!]Fahri : [Perasaan ni group lama-lama isinya kaya group ghibahan RT, njir!]Gustaf: [Lagian lo ujug-ujug juga nikah pas gue kasih tarohan motor. Gimana gue nggak curiga.
Berhubung mood Fahri mendadak berantakan karena pertengkarannya dengan Dinda, akhirnya ia memutuskan untuk pulang lebih awal. Kali ini ingin rasanya ia menyeret Dinda ke dokter untuk memeriksakan diri. Ia ingin segera memiliki momongan untuk membuktikan kepada mereka yang mencurigainya, bahwa mereka benar-benar menikah, tanpa perjanjian apa-apa seperti yang mereka sangkakan. Langit mulai berubah warna menjadi jingga, tatkala mobil Fahri memasuki garasi rumah. Gegas ia turun dari mobil dan mengetuk keras pintu rumah. Akan tetapi, tak ada jawaban. "Nda! Buka pintu!" gerung Fahri mulai tak sabaran. Karena merasa kesal tak ada jawaban dan tanda-tanda Dinda hendak membuka pintu, Fahri terpaksa membuka sendiri pintu depan rumahnya dengan kunci cadangan. Hanya sunyi yang menyambut ketika ia masuk. "Nda?" Fahri bergegas ke dapur, mencari keberadaan istrinya, tetapi nihil. Tak ada tanda-tanda Dinda ada di sana. Berbagai pikiran buruk mulai menyambanginya. Fahri bergegas ke kamar. Seperti d
Memasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin
Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa
"Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken
Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b
Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng
Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda
Lima Bulan Kemudian"Misi paket!" Dinda yang tengah duduk meleseh sambil mengutak-atik laptop di depan meja ruang keluarga, sontak bangkit, menyambar kerudung instan yang selalu ia sampirkan di sandaran kursi ruang keluarga, dan melesat keluar rumah. Kening Fahri berkerut, sudah tak terhitung paket yang datang semenjak ia kemarin ada di rumah. Bahkan di sudut ruang keluarga mereka, masih ada beberapa paket yang belum dibuka. Selama ini Fahri tak terlalu memusingkan hobi baru Dinda berbelanja online, tetapi melihat tumpukan paket yang belum tersentuh itu, membuat rasa penasaran Fahri terusik. Apakah ini salah satu efek gangguan yang diderita Dinda atau memang istrinya itu sedang melakukan balas dendam akibat dulu selalu menahan keinginan untuk memiliki sesuatu. Tak lama Dinda masuk dengan sebuah kotak besar di tangan. Melihat Dinda kepayahan membawa kotak itu, Fahri reflek bangkit dari duduk. Menawarkan diri membawakan kotak itu pada Dinda. "Nda belanja apa lagi ini?" Penasaran, akh
"Nanti Snowy sama siapa di rumah kalau kita pulang kampung, Uda?" Pertanyaan tiba-tiba dari Dinda, membuat Fahri—yang hampir tertidur—kembali terjaga. Meskipun telah menjalani beberapa kali sesi terapi, tetapi Dinda masih saja sering membebani pikiran dengan hal-hal yang terkadang dianggap Fahri tidak terlalu penting. Seperti sekarang, Dinda malah tidak bisa ridur hanya karena memikirkan bagaimana nasib kucing peliharaannya itu ketika mereka berangkat ke kampung nanti. "Titipkan di pet hotel saja," putus Fahri berusaha menyabarkan diri dengan pertanyaan absurd Dinda. Matanya sudah berat, tubuhnya juga sudah lelah seharian dengan berbagai meeting bulanan dan tahunan di kantor dan ATPM¹."Tapi Nda takut Snowy nggak diurus dengan baik." Dinda kembali mengungkapkan kerisauannya. Fahri mengembuskan napas panjang, berusaha menyabarkan diri. Hanya masalah remeh, ia berpikir dengan cepat, mencari jalan keluar yang sekiranya membuat Dinda puas dan tak lagi mengajukan keberatan atas usulnya.
Sekuat tenaga Dinda menahan lututnya yang terasa goyah, tatkala melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki 20 lantai tersebut. Tujuannya adalah ke lantai 5 gedung itu, menemui Gibran untuk membicarakan perihal surat pengunduran dirinya yang telah ia kirim satu bulan lalu. Dinda berusaha mengatur napas agar mampu menghirup udara dengan normal. Rasa takut terasa menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Dingin, terasa hingga ke tengkuk. Sebenarnya perlakuan buruk yang ia terima selama beberapa bulan bekerja di perusahaan itu, belum seberapa dibanding perundungan yang Dinda terima semasa menduduki sekolah menengah atas dulu, tetapi tatapan dan kalimat intimidasi Vanya, seakan merobek-robek kepercayaan dan harga dirinya. Dinda merasa menjadi manusia tak berguna setiap kali ia melangkahkan kakinya di lantai 5 gedung itu. Di tengah rasa panik yang menyerang, kalimat Bianca kembali terngiang. "Kamu itu berharga, tidak ada yang boleh membuatmu merasa rendah."Berusaha menguatkan hat