Kecerian Dinda itu tak bertahan lama, hari ini Fahri mendapati Dinda kembali terlihat murung saat berjemur di taman depan ruang rawatnya. "Nda jangan mikirin Cha Eunwoo terus, dong. Uda merasa dikacangin," canda Fahri sembari merengkuh tubuh Dinda ke dalam pelukannya. Sudah satu bulan lebih ia mendampingi Dinda di rumah sakit. Fahri menolak saat Dinda dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa. Ia tak ingin Dinda makin merasa terpuruk, kendati dokter yang menangani Dinda mengatakan bahwa rumah sakit yang khusus menangani gangguan kejiwaan itu tak seburuk stigma masyarakat selama ini. "Saya tidak ingin istri saya merasa makin rendah diri, Dok." Begitu alasan Fahri tatkala menandatangani surat penolakan rujukan dari dokter. Ia memilih Dinda di rawat di rumah sakit yang menangani penyakit umum, supaya Dinda tak merasa berbeda.Dinda mendongak, menatap wajah lelaki yang selama ia dirawat di rumah sakit itu selalu menemaninya. "Uda ... bagaimana pekerjaan Uda?" tanya Dinda mengabaikan candaan yang dil
Semua endapan emosi yang bertahun-tahun disimpan Dinda, perlahan terbongkar. Seperti ada beban yang Dinda rasakan menyusut dari dadanya. Awal menjalani terapi Dinda lebih banyak diam dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Sebagai psikiater, Bianca dengan sabar memancing dan mendengarkan Dinda untuk mengeluarkan apa yang menjadi penyebab tekanan yang ia rasakan. Dinda hanya butuh didengar, karena selama ini tak ada tempat untuknya berkeluh-kesah."Wajar merasa takut kehilangan, tapi jangan sampai ketakutan itu yang menghambat kebahagiaan yang seharusnya Dinda rasakan," tukas Bianca. Dinda mengerjap, mencoba meresapi kalimat yang diucapkan oleh konselornya itu. "Aku salut sama Dinda, bisa kuat sampai berada di titik ini. Tapi, ada satu hal yang perlu Dinda ketahui, bahwa kita sebagai manusia, tidak bisa mencegah apa yang akan terjadi nanti. Seperti bermain di pantai, jika kita fokus pada ketakutan diseret ombak, kita tidak akan pernah menikmati lembutnya sapuan ombak ke kaki kita. At
Fahri bangkit dari baring dengan panik ketika tak melihat Dinda berada di sampingnya. Jam masih menujukan pukul 04.00, dengan tergesa Fahri menuju kamar mandi, panik makin menjadi tatkala tak ia dapati Dinda di sana. Ia beralih keluar kamar, aroma masakan yang menguar samar, meredakan panik yang Fahri rasakan. Apalagi ketika ia melihat punggung Dinda yang tengah asyik mengerjakan sesuatu di meja dapur. "Nda masak apa?" Fahri mendekat sembari mengembus napas lega setelah melihat sosok istrinya. Melihat Dinda tengah sibuk di dapur, sesaat Fahri merasakan seolah dunianya kembali normal. Sudah lama sekali tempat itu tak disentuh semenjak kondisi Dinda tidak baik. Dinda menoleh dengan senyum menghias bibirnya. "Pagi, Uda!" sapanya dengan ceria. "Nda mau masak sarapan." Dinda kembali memalingkan wajah dan menekuri papan pemotong di hadapannya. Fahri menghenyakkan tubuhnya di kursi pantry. Kepalanya sedikit berdenyut karena tadi terbangun dengan panik. "Nda nggak bisa tidur lagi?" tanya F
Pagi ini setelah selesai mandi, Fahri kembali mendapati pakaian kerja yang sudah disiapkan Dinda di atas tempat tidur. Bahkan Dinda membantunya memasangkan dasi. Sudah dua minggu ini ia kembali bekerja ke kantor karena di paksa Dinda. Bibir Fahri tak henti mengulas senyum semenjak tadi ia pulang dari mesjid. Kali ini ia sudah tak mampu menahan diri untuk tak mengecup lembut bibir Dinda. Awalnya perlahan kemudian berubah cukup intens karena Dinda juga memberikan respon. "Nanti Uda terlambat kerja," tukas Dinda melepas tautan bibir mereka dengan sedikit mendorong tubuh Fahri dan menunduk malu. Wajahnya mendadak terasa terbakar. Fahri hanya mampu mengangguk dengan senyum kikuk dan menggaruk pelipisnya sebagai tanda salah tingkah. Ia belum kuasa meminta haknya sebagai suami, mengingat perjuangan Dinda untuk kembali bangkit ke titik ini. "Nanti saja kalau Uda sudah pulang kerja," bisik Dinda malu-malu, seakan mengerti keinginan suaminya. Wajah Fahri kembali berubah cerah. "Beneran?"Di
Hari ini Fahri pulang kerja dengan penuh semangat karena mengingat janji Dinda sebelum berangkat kerja tadi. Senyum tak berhenti mengulas di bibirnya. Bahkan dia membeli seikat anyelir putih untuk Dinda, di perjalanan pulang. "Anyelir putih itu melambangkan kesetiaan dan perasaan cinta yang dalam. Ini cocok buat dikasih ke istri, Mas," terang penjual bunga, ketika Fahri kebingungan mencari bunga yang tepat buat Dinda. Harapan Fahri disambut senyum manis Dinda, kandas tatkala melihat istrinya itu menyambut dengan kerudung instan yang miring, wajah penuh keringat dan bekas cakaran. "Nda habis ngapain?" Suara Fahri sedikit histeris melihat tampilan Dinda yang jauh dari bayangannya. "Maaf, Uda. Nda belum sempat mandi karena baru habis mandiin Snowy."Kening Fahri berkerut mendengar jawaban Dinda. "Snowy?"Mata Dinda mendadak berbinar saat mendengar pertanyaan suaminya. "Nda tadi nemu anak kucing di pos satpam. Kata Pak Satpam, anak kucing itu dari kemarin di sana, sepertinya dibuang o
Sekuat tenaga Dinda menahan lututnya yang terasa goyah, tatkala melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki 20 lantai tersebut. Tujuannya adalah ke lantai 5 gedung itu, menemui Gibran untuk membicarakan perihal surat pengunduran dirinya yang telah ia kirim satu bulan lalu. Dinda berusaha mengatur napas agar mampu menghirup udara dengan normal. Rasa takut terasa menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Dingin, terasa hingga ke tengkuk. Sebenarnya perlakuan buruk yang ia terima selama beberapa bulan bekerja di perusahaan itu, belum seberapa dibanding perundungan yang Dinda terima semasa menduduki sekolah menengah atas dulu, tetapi tatapan dan kalimat intimidasi Vanya, seakan merobek-robek kepercayaan dan harga dirinya. Dinda merasa menjadi manusia tak berguna setiap kali ia melangkahkan kakinya di lantai 5 gedung itu. Di tengah rasa panik yang menyerang, kalimat Bianca kembali terngiang. "Kamu itu berharga, tidak ada yang boleh membuatmu merasa rendah."Berusaha menguatkan hat
"Nanti Snowy sama siapa di rumah kalau kita pulang kampung, Uda?" Pertanyaan tiba-tiba dari Dinda, membuat Fahri—yang hampir tertidur—kembali terjaga. Meskipun telah menjalani beberapa kali sesi terapi, tetapi Dinda masih saja sering membebani pikiran dengan hal-hal yang terkadang dianggap Fahri tidak terlalu penting. Seperti sekarang, Dinda malah tidak bisa ridur hanya karena memikirkan bagaimana nasib kucing peliharaannya itu ketika mereka berangkat ke kampung nanti. "Titipkan di pet hotel saja," putus Fahri berusaha menyabarkan diri dengan pertanyaan absurd Dinda. Matanya sudah berat, tubuhnya juga sudah lelah seharian dengan berbagai meeting bulanan dan tahunan di kantor dan ATPM¹."Tapi Nda takut Snowy nggak diurus dengan baik." Dinda kembali mengungkapkan kerisauannya. Fahri mengembuskan napas panjang, berusaha menyabarkan diri. Hanya masalah remeh, ia berpikir dengan cepat, mencari jalan keluar yang sekiranya membuat Dinda puas dan tak lagi mengajukan keberatan atas usulnya.
Lima Bulan Kemudian"Misi paket!" Dinda yang tengah duduk meleseh sambil mengutak-atik laptop di depan meja ruang keluarga, sontak bangkit, menyambar kerudung instan yang selalu ia sampirkan di sandaran kursi ruang keluarga, dan melesat keluar rumah. Kening Fahri berkerut, sudah tak terhitung paket yang datang semenjak ia kemarin ada di rumah. Bahkan di sudut ruang keluarga mereka, masih ada beberapa paket yang belum dibuka. Selama ini Fahri tak terlalu memusingkan hobi baru Dinda berbelanja online, tetapi melihat tumpukan paket yang belum tersentuh itu, membuat rasa penasaran Fahri terusik. Apakah ini salah satu efek gangguan yang diderita Dinda atau memang istrinya itu sedang melakukan balas dendam akibat dulu selalu menahan keinginan untuk memiliki sesuatu. Tak lama Dinda masuk dengan sebuah kotak besar di tangan. Melihat Dinda kepayahan membawa kotak itu, Fahri reflek bangkit dari duduk. Menawarkan diri membawakan kotak itu pada Dinda. "Nda belanja apa lagi ini?" Penasaran, akh