Share

Air dan Api

Penulis: Alfarin
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-07 07:39:39

"Uda, itu SMA Nda!" tunjuk Dinda sambil menepuk punggung Fahri yang sedang mengendarai motor tua peninggalan ayah Dinda.

"Nggak nanya," ketus Fahri, walaupun ia sempat sekilas menoleh ke arah bangunan yang dikelilingi pohon flamboyan yang tengah berbunga. Warna oranye dari bunga yang tengah mekar terlihat kontras di tengah kabut yang masih menggantung pagi itu.

"Ini Nda juga ngasih info, jadi nggak butuh Uda nanya," sahut Dinda dengan santai.

Fahri mendengkus, ia masih kesal karena Dinda memaksanya ke luar rumah menggunakan sepeda motor tua milik ayah Dinda. Padahal Fahri enggan mengendarai sepeda motor di udara yang dingin pagi itu.

"Biar dilihat orang mesra, Uda. Kan kita pengantin baru," alasan Dinda sebelum mereka berangkat tadi.

"Apanya yang mesra, mana nggak bisa dibawa ngebut gini," rutuk Fahri yang merasa kesal dengan laju motor yang agak tersendat-sendat karena tidak pernah diservis itu.

Lalu tiba-tiba Dinda memeluk dan menempelkan kepalanya di punggung Fahri dengan ter
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pulang Ka Bako   Suami Istri Absurd

    "Eh, Uda. Kenapa balik lagi? Kangen ya pisah dari istrinya?" goda Dinda dengan cengiran lebar. Cara Dinda mencandai suaminya, membuat Gibran iri. Padahal dia yang semenjak dulu mengharapkan Dinda menjadi pendampingnya, tetapi malah lelaki yang—bahkan menyebut namanya saja salah pada saat menjawab ijab—yang memiliki Dinda. Gibran bukan lelaki munafik yang akan mengatakan "Aku bahagia melihat kau bahagia." Bagi Gibran, kebahagiaannya adalah ketika bisa menjadikan Dinda sebagai pendampingnya. Namun, apa daya, takdir menikungnya dengan tak berperasaan. "Naik!" Fahri memberi kode ke jok penumpang di belakangnya. "Nda, pergi dulu ya, Uda. Sampai ketemu lagi kapan-kapan. Jangan lama-lama galaunya," ucap Dinda sambil melambaikan tangan dan berlari ke arah Fahri yang menunggu dengan wajah cemberut di seberang jalan. "Suaminya dibikin kesal, malah cengengesan sama laki-laki lain," sungut Fahri ketika mereka telah kembali berkendara berdua. Meninggalkan Gibran yang masih termangu menatap ke

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-07
  • Pulang Ka Bako   Debar Itu Mulai Ada

    "Nda, kata umi nanti kita harus keliling silaturahmi ke rumah sepupu-sepupu Umi sebelum balik ke Bandung," tukas Fahri ketika mereka sudah di perjalanan pulang. Dinda yang baru saja beristirahat sejenak dari celotehan memperkenalkan beberapa tempat di kota kelahirannya bak tour guide, melongokkan kepala ke depan untuk melihat ekspresi Fahri lebih dekat. "Kapan umi bilang begitu?""Barusan nge-wa aku. Katanya wa ke kamu dari pagi nggak dibalas telpon juga nggak diangkat.""Oh, Nda kan nggak bawa hp. Biar Nda bisa fokus ke Uda dan kita bisa quality time." Dinda kembali cengengesan. "Pret! Quality time apaan!" Fahri mencebik. "Berhubung kita menikah karena dijodohkan, kita harus menciptakan bonding dan chemistry, biar pernikahan kita beneran bisa saling mencintai dan tercipta keluarga sakinah mawadah wa rahmah," celoteh Dinda mengabaikan cibiran suaminya. "Iya Mamah Dedeh!"Selama di perjalanan, telinga Fahri terasa pengang karena mendengar celotehan Dinda yang tiada henti. Fahri ba

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-07
  • Pulang Ka Bako   Tak Semudah Membalik Telapak Tangan

    Setelah berkeliling ke beberapa rumah karib kerabat dekat mereka, kini Fahri dan Dinda mengunjungi rumah terakhir, salah seorang sepupu ibu Fahri dari pihak ibunya, yang juga merupakan saudara Dinda dari pihak ayahnya. "Eh, pengantin baru ... mari masuk." Seorang perempuan paruh baya, berwajah mirip pemeran ibu judes di beberapa sinetron, menyambut mereka. "Mau minum apa?" tanya perempuan yang biasa disapa Tek Anis itu oleh Fahri dan Dinda, yang juga merupakan istri dari paman mereka. "Nggak usah repot-repot, Tek. Nda ke sini cuma mau menyampaikan pesan dari umi dan ibu." Dinda menyodorkan bingkisan yang sudah disiapkan oleh ibunya pada Anis. Anis urung meninggalkan pasangan pengantin baru itu. "Oh, iyo ... terima kasih, ya," ucapnya dengan senyum yang terlihat dibuat-buat. "Om mana, Tek?" tanya Dinda berbasa-basi saat mendudukkan dirinya di sofa rumah yang cukup mewah itu. "Oh, Om lagi ngawasin panen, mungkin baru sore baliknya."Dinda hanya membalas dengan ber-oh ria. "Berunt

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-07
  • Pulang Ka Bako   Pelarian Patah Hati

    Setelah perdebatan kecil yang terjadi saat mereka di perjalanan pulang, baik Dinda maupun Fahri, tak mempunyai waktu untuk bicara berdua dan menyelesaikan pertengkaran begitu mereka sampai di rumah. Mereka kembali disibukkan dengan menemui kerabat yang masih berdatangan untuk mengucapkan selamat atas pernikahan mereka. Hanya sesekali, Dinda dan Fahri bertemu mata. Namun, Dinda memilih untuk menghindar. Biasanya Dinda lebih mudah untuk kembali bersikap biasa, tetapi kali ini ada canggung yang ia rasakan saat bersitatap dengan Fahri. Satu hal yang Dinda tangkap dari kalimat tajam yang diucapkan Fahri saat diperjalanan tadi adalah, ia hanya pelarian dari patah hati yang Fahri rasakan. Dinda paham, efek rasa kehilangan dan dicampakkan yang dirasakan Fahri tak akan bisa disembuhkan dalam waktu semalam. Kondisi psikologis Fahri sedang tidak baik, tetapi Dinda masih saja merasakan sedikit perih ketika mengingat kalimat yang diucapkan Fahri di perjalanan tadi. Rasa lelah baru Dinda rasakan

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-07
  • Pulang Ka Bako   Taruhan

    Setelah seminggu berada di kampung, pasangan suami istri itu harus kembali ke kota kediaman Fahri. Pesta ternyata masih belum usai, masih ada resepsi ngunduh mantu yang diadakan Emi di kota kembang, kota di mana Fahri dibesarkan. Resepsi yang digelar Emi ternyata tak kalah besar dengan resepsi yang mereka adakan di kampung. Bahkan resepsi kali ini diadakan di ballroom sebuah hotel. Tentu saja, karena tamu undangan pada resepsi kali ini adalah kolega bisnis Emi dan Fahri. Meskipun sahabat kampret Fahri sudah menghadiri acara resepsi yang digelar di kampung, tetapi kali ini mereka tetap datang untuk merayakan kembali masa melepas lajang sahabat mereka."Selamat ya, kalian. Semoga lekas berkembang biak." Dony yang tidak menghadiri acara akad nikah kedua mempelai itu mengucapkan selamat."Njir! Berkembang biak pisan!" Fahri tergelak mendengar kalimat yang dilontarkan Dony. "Ri! Aya (ada) mantan!" Gustaf yang turut menemani Dony ke panggung pelaminan, menyikut Fahri yang masih cengenges

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-07
  • Pulang Ka Bako   Hancur di Dalam

    "Nda," panggil Fahri pelan. Dinda yang tengah menekuri ponsel, mendongak menatap Fahri yang baru saja keluar dari kamar mandi. Aroma sabun khas hotel menguar dari tubuhnya yang hanya berbalut handuk. Butuh beberapa detik untuk Dinda menyadari, sebelum ia mendadak panik, melempar ponsel, dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Uda pakai baju dulu, ih!" seru Dinda dari balik telapak tangannya. "Kenapa masih kaku gitu, sih? Kan kamu udah halal ngeliat aku kayak gini." Fahri yang tadinya berinisiatif hendak meminta maaf perihal kejadian di ballroom tadi, mendadak terkekeh-kekeh melihat Dinda menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan. "Uda senang, ya, kalau Nda kena serangan jantung?" Dinda makin menenggelamkan wajahnya di balik telapak tangan. Pipinya mendadak terasa panas. Fahri masih terkekeh saat ia mengatakan, "Kita senam jantung aja, yuk!" Lalu dengan santainya, duduk di samping Dinda dan menarik tangan perempuan yang malah memejamkan matanya erat-erat itu. "Uda m

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-07
  • Pulang Ka Bako   Berusaha Berdamai

    Dinda perempuan yang kuat. Ia mulai terbiasa dengan kata pedas yang sering dilontarkan Fahri. Keceriaan selalu ia tunjukkan, terlebih lagi saat melayani suaminya itu. Meskipun kebiasaannya menjawab perkataan Fahri dengan kalimat asal, belum juga hilang. Setelah menikah, Fahri memboyong Dinda pindah ke rumah yang terletak di pinggiran kota Jakarta, sesuai dengan kesepakatan sebelum mereka menikah. Rumah tersebut pemberian Emi—uminya Fahri—yang bersikeras membelikan mereka rumah sebagai hadiah untuk pernikahan Fahri dan Dinda. Bahkan Emi menyerahkan tanggung jawab pengelolaan show room mobil milik keluarga mereka di bawah kepemimpinan Fahri. Dinda perempuan yang beruntung. Begitu kata orang-orang. Mempunyai suami berwajah tampan, hidup mapan, dan mertua yang sangat menyayangi. Kehidupannya terlihat begitu sempurna dari luar, tanpa ada yang yang tau bahwa diam-diam Dinda masih saja memendam rasa rendah diri dan tak dihargai oleh suami sendiri. Semenjak mereka pindah, Fahri mulai disib

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-07
  • Pulang Ka Bako   Terbiasa Sendiri

    "Ya sudah, kita berangkat sekarang. Daerah Kuningan macetnya ampun-ampunan," pungkas Fahri, memilih untuk mengalah, dari pada mood-nya rusak pagi-pagi dengan meladeni Dinda. Setelah menandaskan isi piringnya, Fahri bangkit dan meninggalkan piring bekas makannya di meja. "Tapi Uda nggak telat, kan ngantor?" Dinda mengekori Fahri yang telah lebih dulu keluar rumah, masih belum percaya bahwa Fahri menawarkan diri untuk mengantar. "Kan aku yang punya kantor," sahut Fahri dengan wajah angkuhnya saat hendak masuk mobil. "Oh, iya. Nda lupa.""Apa yang Nda ingat tentang aku, sih? Semuanya aja lupa," sungut Fahri saat mereka sudah berada di dalam mobil dan meninggalkan pekarangan rumah. "Galaknya doang." Singkat, tapi tajam. "Anjir!" Fahri tertawa miris. "Terus itu, apa yang kita lakuin selama ini untuk menghasilkan keturunan, nggak keinget gitu?" Fahri tak berani menatap Dinda. Tatapannya lurus ke jalanan yang masih gelap, tetapi sudah dipadati oleh kendaraan yang mungkin juga membawa pe

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-07

Bab terbaru

  • Pulang Ka Bako   New Parent

    Memasuki bulan keempat usia kandungannya, apa yang dikatakan Hendra saat di grup chat dulu terbukti. Sikap menyebalkan Dinda—yang membuat Fahri hampir menyesal dengan keinginannya memiliki anak—mulai mereda. Dinda yang bawel tetapi manis pun kembali."Nda mau dibawain apa nanti kalau uda pulang kerja?" tanya Fahri sembari mengusap perut Dinda yang mulai berisi. "Uda pulang dengan selamat saja, sudah cukup." Benar, kan? Dinda jauh lebih jinak dibanding awal hamil dulu. Senyum manis selalu merekah menghias bibirnya. Kini Fahri mulai bernapas lega. Bayangan indah memiliki momongan pun kembali menari-nari di benaknya."Wa aja kalau nanti mau dibawain apa, uda usahakan pulang cepat.""Nda nggak butuh apa-apa, Uda saja sudah cukup!"Duh! Lama-lama Fahri diabetes dengan sikap Dinda yang kembali manis seperti kembang gula di pasar malam, cerah, berwarna-warni. Sikap manis itu bertahan hingga akhir kehamilan. Bahkan saat hendak melahirkan pun, Dinda tidak berteriak histeris seperti dalam sin

  • Pulang Ka Bako   Pregnancy Confusion

    Fahri : Woi! Share pengalaman kalian ngadepin bini hamil. Akhirnya Fahri sudah tidak mampu menahan sendiri rasa frustrasi akibat tingkah Dinda yang akhir-akhir ini makin terasa tak masuk akal dan agak menyebalkan. Tengah malam membangunkan Fahri dan meminta dibelikan mie ayam, di mana tukang mie ayam yang diminta Dinda sudah tutup. "Ya Uda bangunin dong tukang mie ayamnya. Uda kan punya duit banyak, tinggal kasih lebih sama tukang mie ayamnya. Nda kan hamil anak Uda. Mana buktinya Uda cinta sama Nda, minta beliin mie ayam saja Uda nggak mau." Begitu kata Dinda ketika Fahri mengajukan alasan untuk menunda mengabulkan permintaannya. "Bukannya uda nggak mau, Nda. Ini pukul 12.00 malam, yang ada uda dikira maling, emangnya Nda mau uda dikeroyok massa?""Hilih! Dasar Uda lebay." Dan Dinda pun cemberut seharian, meskipun besok harinya Fahri bela-belain pulang kerja lebih awal demi membelikan Dinda mie ayam yang diminta istrinya itu. "Sekarang Nda lagi nggak pengen mie ayam, Uda makan sa

  • Pulang Ka Bako   Melanjutkan Hidup

    "Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak menerima pasien baru lagi karena sudah mendekati jam tutup klinik." Kedatangan Fahri dan Dinda di klinik dokter kandungan, disambut wajah penuh sesal resepsionis klinik tersebut. "Tapi ini urgent, Mba!" Fahri masih berusaha menegosiasi. "Kalau kondisi gawat, bisa langsung ke UGD rumah sakit terdekat saja, Pak.""Sudahlah, Uda. Besok saja kita periksa," bujuk Dinda menarik lengan Fahri menjauh dari meja resepsionis. "Kalau buat konsultasi besok, bisa di-booking dulu, Bu." Tatapan resepsionis itu beralih ke arah Dinda yang tampak lebih memahami kondisi. "Iya—""Nggak usah! Kita cari klinik lain saja malam ini," potong Fahri dengan wajah kesal dan menarik Dinda keluar dari klinik. "Ini sudah malam, Uda. Pasti klinik yang lain juga sama, tidak mau menerima pasien lagi," tukas Dinda ketika mereka keluar dari lobi. "Kita cari sampai ada yang mau terima." Fahri bersikukuh. "Nggak mau! Nda capek!" Dinda menghempaskan tangannya yang digenggam Fahri. "Ken

  • Pulang Ka Bako   Kejutan Anniversary

    Dinda bersenandung kecil sambil menunggu Fahri pulang kerja. Ia kembali menata ulang beberapa sendok di meja makan yang telah dihias sedemikian rupa. Satu tahun kembali telah terlewati, hari ini tepat tiga tahun pernikahan mereka. Dinda sudah mempersiapkan hadiah untuk Fahri, dibungkus dalam sebuah kotak yang dikasih pita. Dinda membuka kembali kotak tersebut, senyum terkembang indah di bibirnya yang hanya dipoles lip gloss, membayangkan reaksi Fahri saat menerima hadiah yang ia berikan. Saat mendengar suara mesin mobil memasuki garasi, buru-buru Dinda menutup kembali kotak itu, dan menyimpannya ke dalam laci pantry. Ia akan memberikan hadiah spesial malam ini untuk suami tercinta setelah selesai makan malam. Dinda bergegas menyambut Fahri di depan pintu tatkala mendengar suara suaminya mengucapkan salam. "Wah! Masak apa, nih? Wangi banget!" komentar Fahri begitu pintu terkuak. "Nda masak Kalio¹ Ayam favorit Uda." Senyum puas terbit di bibir Dinda. Meskipun sikap Fahri sudah jauh b

  • Pulang Ka Bako   Grow Old With Me Please

    Keluar dari ruangan Bianca, Dinda mengeluarkan ponsel, memeriksa pesan dari Fahri, dan mengulas senyum tipis tatkala melihat nama Fahri tertera pada layar ponsel. Gegas Dinda membuka pesan dari Fahri. 14.00: [Nda, sepertinya uda telat jemput. Tadi ada meeting dadakan sama Om Syahrial. Kalau Nda nggak keberatan, naik taksi ke kantor uda.]Baru saja Dinda hendak mengetikkan balasan, suara Fahri dari arah parkiran memanggil. Terlihat sosok jangkung itu tergesa menyusul Dinda ke teras klinik. "Lho, katanya Uda nggak bisa jemput?" tanya Dinda sembari mengulas senyum. "Uda izin sebentar sama Om Syahrial.""Jadi ngerepotin." Dinda tersenyum semringah. Ada hangat yang terasa menjalar tatkala menyadari suaminya itu mengorbankan waktu demi memenuhi janji untuk menjemput. "Nda bisa naik taksi saja, padahal."Fahri merangkul pundak Dinda sembari berjalan beriringan menuju mobil. "Takut Nda nyasar."Dinda mencebik. "Ya nggak bakal nyasar, lah. Tinggal ketik alamat di aplikasi."Dinda duduk deng

  • Pulang Ka Bako   Konseling

    Di dalam kamar mandi, jemari Dinda bergetar memegang kemasan plastik yang berisi alat untuk pendeteksi kehamilan tersebut. Takut membelenggu hati Dinda. Ketakutannya bukan tanpa alasan, selama enam bulan belakangan ini, Dinda masih rutin mengkonsumsi antidepresan. Kehamilan ini di luar rencana. Dinda takut obat-obatan yang ia konsumsi selama beberapa bulan ini mempengaruhi janin yang mungkin saja sudah terlanjur hadir di rahimnya. "Nda!" Suara Fahri kembali terdengar dari luar. Panik kembali melanda pikiran Dinda. "Sebentar, Uda! Nggak sabar banget, sih!" Dinda kembali membalas dengan berteriak dan tanpa sengaja, Dinda menyenggol wadah yang telah berisi air seni yang akan digunakan untuk melakukan tes kehamilan tersebut. Tiba-tiba saja kesal melanda hati Dinda. Ia kemudian bergegas ke pintu, memberengut kesal saat melihat wajah Fahri yang hendak bertanya di depan pintu. "Belum!" ketus Dinda sebelum Fahri membuka suara, "katanya di kemasan itu sebaiknya dilakukan pagi hari." Dinda

  • Pulang Ka Bako   Harapan Fahri

    Lima Bulan Kemudian"Misi paket!" Dinda yang tengah duduk meleseh sambil mengutak-atik laptop di depan meja ruang keluarga, sontak bangkit, menyambar kerudung instan yang selalu ia sampirkan di sandaran kursi ruang keluarga, dan melesat keluar rumah. Kening Fahri berkerut, sudah tak terhitung paket yang datang semenjak ia kemarin ada di rumah. Bahkan di sudut ruang keluarga mereka, masih ada beberapa paket yang belum dibuka. Selama ini Fahri tak terlalu memusingkan hobi baru Dinda berbelanja online, tetapi melihat tumpukan paket yang belum tersentuh itu, membuat rasa penasaran Fahri terusik. Apakah ini salah satu efek gangguan yang diderita Dinda atau memang istrinya itu sedang melakukan balas dendam akibat dulu selalu menahan keinginan untuk memiliki sesuatu. Tak lama Dinda masuk dengan sebuah kotak besar di tangan. Melihat Dinda kepayahan membawa kotak itu, Fahri reflek bangkit dari duduk. Menawarkan diri membawakan kotak itu pada Dinda. "Nda belanja apa lagi ini?" Penasaran, akh

  • Pulang Ka Bako   Pulang Kampung

    "Nanti Snowy sama siapa di rumah kalau kita pulang kampung, Uda?" Pertanyaan tiba-tiba dari Dinda, membuat Fahri—yang hampir tertidur—kembali terjaga. Meskipun telah menjalani beberapa kali sesi terapi, tetapi Dinda masih saja sering membebani pikiran dengan hal-hal yang terkadang dianggap Fahri tidak terlalu penting. Seperti sekarang, Dinda malah tidak bisa ridur hanya karena memikirkan bagaimana nasib kucing peliharaannya itu ketika mereka berangkat ke kampung nanti. "Titipkan di pet hotel saja," putus Fahri berusaha menyabarkan diri dengan pertanyaan absurd Dinda. Matanya sudah berat, tubuhnya juga sudah lelah seharian dengan berbagai meeting bulanan dan tahunan di kantor dan ATPM¹."Tapi Nda takut Snowy nggak diurus dengan baik." Dinda kembali mengungkapkan kerisauannya. Fahri mengembuskan napas panjang, berusaha menyabarkan diri. Hanya masalah remeh, ia berpikir dengan cepat, mencari jalan keluar yang sekiranya membuat Dinda puas dan tak lagi mengajukan keberatan atas usulnya.

  • Pulang Ka Bako   Cinta Datang Terlambat

    Sekuat tenaga Dinda menahan lututnya yang terasa goyah, tatkala melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki 20 lantai tersebut. Tujuannya adalah ke lantai 5 gedung itu, menemui Gibran untuk membicarakan perihal surat pengunduran dirinya yang telah ia kirim satu bulan lalu. Dinda berusaha mengatur napas agar mampu menghirup udara dengan normal. Rasa takut terasa menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Dingin, terasa hingga ke tengkuk. Sebenarnya perlakuan buruk yang ia terima selama beberapa bulan bekerja di perusahaan itu, belum seberapa dibanding perundungan yang Dinda terima semasa menduduki sekolah menengah atas dulu, tetapi tatapan dan kalimat intimidasi Vanya, seakan merobek-robek kepercayaan dan harga dirinya. Dinda merasa menjadi manusia tak berguna setiap kali ia melangkahkan kakinya di lantai 5 gedung itu. Di tengah rasa panik yang menyerang, kalimat Bianca kembali terngiang. "Kamu itu berharga, tidak ada yang boleh membuatmu merasa rendah."Berusaha menguatkan hat

DMCA.com Protection Status