Begitu sampai di rumah, Marcus terdiam dan sibuk menatap Rachel yang sedang mencuci buah apel. Setelah bertemu dengan Tian, lalu menangis begitu lama, kini dia terlihat baik-baik saja seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Ini membuatnya takut karena mungkin Rachel sedang memendam semuanya sendiri. Memendam rasa sakit seorang diri, ia tahu betul betapa buruknya hal itu.
“Kenapa diam saja? Persidangan berjalan baik, kan?” Rachel yang akhirnya menyadari keberadaan Marcus baru saja bertanya pada pria itu.
“Ya, semua berjalan baik,” jawab Marcus singkat.
Rachel meletakkan buah apel yang tadi ia cuci, mengeringkan tangan, lalu mendekati Marcus. Ia berdiri di hadapan pria itu dan menatapnya. “Kau baik-baik saja? Maksudku, Alex adalah ....”
“Aku baik-baik saja.” Marcus dengan cepat menyela kalimat Rachel dan entah kenapa suasana terasa canggung sekarang. Atau ini hanya perasaannya saja?
“Baiklah, aku tidak akan banyak bicara karena kau tidak menyuk
Bersambung ....
Karena ucapan Alex pagi tadi, Marcus menjadi tidak fokus ketika mendengarkan presentasi. Karyawannya sudah sampai pada tengah jalan bahkan sedikit lagi akan selesai melakukan presentasi, tapi secara tiba-tiba pria ini mengatakan rapat ditunda dan keluar begitu saja. Semua orang dibuat terheran-heran karena rapat sudah di mulai dan sang pemimpin malah mengatakan ditunda. Walau begitu, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Marcus adalah pemegang kekuasaan tertinggi di perusahaan ini, jadi apapun yang dia katakan wajib diikuti oleh para karyawan. Melihat kedatangan Marcus membuat William seketika berdiri dan membungkuk. Sementara Marcus tetap berjalan menuju ke ruangannya dengan ekspresi datar. Marcus memang biasa terlihat seperti ini, hanya saja William merasa sekarang ada hal serius mengganggu pikiran pria itu. Sebagai sekretaris yang baik, William kini mengetuk pintu ruangan Marcus, lalu masuk. “Anda baik-baik saja? Apa rapat berjalan dengan baik?” tanyanya den
Matahari kembali menunjukkan dirinya, sinarnya masuk ke kamar Rachel lewat celah jendela dan membuat Marcus terbangun. Begitu membuka mata, Marcus merasakan kepalanya terasa agak sakit, selalu seperti ini jika semalam minum. Bahkan setelah tahu kalau minum tidak memiliki kontribusi untuk menyelesaikan masalahnya, pada akhirnya itu tetap saja ia lakukan. Benar-benar tidak patut di tiru, pikirnya. “Dia sudah bangun?” Marcus bergumam dengan suara serak karena saat bangun tidur ia tidak menemukan keberadaan Rachel di sebelahnya. “Tunggu, aku semalam mabuk, kan? Aku tidak mencium Rachel atau mengatakan sesuatu, kan? Pasti tidak! Mana mungkin aku melakukan hal seperti itu? Bagaimana jika ya? Aku pasti sudah gila!” Marcus bicara seorang diri. Ia sedang mencoba memikirkan tentang apa yang terjadi semalam, tapi tetap tidak bisa mengingat apa-apa. Saat ini, Marcus keluar dari kamar Rachel dan menatap sekelilingnya untuk m
“Jangan bergerak terus.” Rachel bicara dengan nada memohonnya ketika Marcus terus saja bergerak di ranjang, bukannya tidur. Marcus benci mendengar ucapan Rachel, karena ia juga ingin tidur, tapi tidak bisa karena ada sesuatu yang benar-benar menganggu pikirannya, hanya saja terlalu sulit di katakan. Ia ingin tahu apakah Rachel berniat kembali pada mantannya? “Benar, aku lupa mengatakan tentang kelas ibu hamil ....” “Aku sudah ada mencari tempat baru. Kau tidak harus bertemu dengan si berengsek itu.” Marcus menyela kalimat Rachel tanpa menatap ke arahnya karena ia berbaring membelakangi wanita itu. “Kau pasti menghabiskan banyak uang untuk itu.” “Itu untuk anakku, bukan untukmu, jadi jangan dipikirkan.” Dengan cepat Marcus menyahuti ucapan Rachel, hingga membuat wanita itu tidak berkata apa-apa lagi. Yang Rachel masih pelajari adalah terus mencoba mengabaikan apapun yang Marcus lakukan, sebab bertanya pun tidak akan mendapat jawaban. Ad
“Maafkan aku. Tolong lepaskan aku. Itu hanya masa lalu, kesalahan di masa muda.” Hwa Rin memohon agar William mengampuninya. “Hanya? Kau bicara seakan perbuatanmu bukan kesalahan besar. Kau bahkan tidak punya rasa penyesalan. Kau memang orang yang pantas mati!” setelah bicara, William menyulut wajah Hwa Rin dengan rokok yang menyala. Hwa Rin jelas saja berteriak kesakitan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena kedua tangannya diikat. Hwa Rin tidak pernah menyangka kalau kesalahan yang ia lakukan di masa lalu akan mendapat karma seperti ini. Tidak, ini terlalu berat, tidak sebanding dengan yang ia lakukan, pikir Hwa Rin. “Lihat.” Wiliam mengeluarkan cermin kecil dan di hadapkan pada wajah Hwa Rin. “Wajahmu cantikmu sudah menjadi menakutkan. Astaga, itu bahkan sangat menakutkan. Kasihan sekali.” Ini adalah ucapan William, lengkap dengan senyum iblisnya. “Ampuni aku. Aku akan meminta maaf pada Marcus. Aku mohon lepaskan aku.” Hwa Rin kembali mem
Pura-pura baik. Itulah yang selama ini William lakukan ketika dirinya bertemu dengan Rachel. Saat mendengar Marcus mengatakan telah menemukan wanita untuk mengandung calon anaknya, ia sangat bahagia karena itu berarti Marcus hampir mendapatkan apa yang diinginkannya. Tapi semua kebahagiaannya seketika hancur ketika mengetahui bahwa wanita itu adalah Rachel. Tapi, tidak ada yang bisa William lakukan, selain bersikap seakan menerima semua pilihan Marcus. Awalnya, William berpikir hubungan Marcus dan Rachel tidak akan lebih dari yang direncakan bahkan sebenarnya ia senang melihat kekasaran pria itu pada wanita lemah seperti Rachel. Namun, seiring berjalannya waktu, ia merasa kalau Marcus memiliki perasaan khusus pada Rachel. Saat mabuk, Marcus akan mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak bisa dia katakan atau lakukan saat sadar. Ia tahu tentang hal itu. Dan suatu hari, ia melihat Marcus mencium Rachel tepat di depan matanya bahkan mengatakan hanya ingin bersama wan
Rachel yang sedang memotong buah untuk Ji Ho dibuat bingung oleh Marcus yang pulang dengan raut wajah sangat sedih. Entah terjadi apa padanya, ini benar-benar tidak terlihat seperti Marcus yang biasanya. Dia terlihat sangat menyedihkan. “Ayah baik-baik saja?” Ji Ho bertanya pada Marcus. “Ya, ayah baik-baik saja.” Marcus baru saja berbohong, lalu masuk ke kamarnya. “Ji Ho, makanlah buahnya. Kakak akan bicara dulu dengan ayahmu," ucap Rachel sembari meletakan potongan buah apel di hadapan Ji Ho. Setelah anak itu mengangguk barulah ia pergi ke kamar Marcus. Sebelum masuk, Rachel mengetuk pintu terlebih dulu, agar Marcus tidak kaget melihatnya secara tiba-tiba. Saat ada di dalam kamar ini, Rachel tidak mendapat tatapan tajam dari Marcus karena masuk tanpa di suruh, dan ia justru melihat Marcus duduk di pinggir ranjang dengan kepala yang tertunduk. “Kau kenapa? Semuanya tidak baik-baik saja, kan?” tanya Rachel, walau sangat kecil kemungkinan Marcus
Seo Yi, wanita paruh baya ini mendatangi penjara tempat Alex di tahan. Tentu saja ia datang untuk melihat keadaan anaknya. Seo Yi takut jika reaksi Alex akan sama seperti Marcus, tapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertemu dengan anaknya. Bagaimanapun reaksi Alex nanti, ia tahu itu pantas untuknya. Dan Alex yang dibawa keluar dari sel terkejut melihat kehadiran Seo Yi, ibunya. Setelah sekian lama menghilang begitu saja, kini ibunya kembali datang menemuinya. Bahagia, ya, tentu saja Alex bahagia, itu terlihat dari senyumannya saat ini. “Ibu,” ucap Alex pelan, tapi masih bisa didengar oleh Seo Yi. “Maaf, ibu baru datang di saat seperti ini. Ibu tahu kau bersalah, tapi hati ibu sangat sakit melihat kau dipenjarakan oleh kakakmu sendiri.” Seo Yi menangis di hadapan Alex dan dibatasi oleh dinding kaca. Alex kembali tersenyum, meski hatinya sakit setelah hidupnya hancur karena dipenjarakan oleh Marcus, kakaknya sendiri. Seperti kata ibunya, ia meman
Pagi harinya, Marcus sudah siap dengan pakaian rapinya dan sekarang dia terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya, karena mulai hari ini ia akan menjadi pemimpin perusahaan yang dulu dipegang oleh ayahnya. Langkah kaki Marcus terhenti sejenak saat melihat Rachel yang sedang menatapnya dengan sebuah senyuman yang terlihat sangat manis. Wanita itu, Rachel, ternyata sangat mengenalnya. Ia baru menyadarinya setelah kemarin malam melihat fakta bahwa Rachel adalah satu-satunya orang yang tahu tentang sesuatu yang paling ia benci. Karena hal itu, maka Rachel harus tetap di sana, bukan? Pertanyaan itu berkeliaran di kepala Marcus. Jawabannya adalah ya, Rachel memang harus tetap di sana agar ia bisa merasa bahwa keberadaannya diinginkan dan agar ia melihat sosok dari orang yang sangat memahaminya. Namun, sanggupkah ia mengalahkan rasa takut tidak berdasarnya tentang luka? “Kau terlihat luar biasa.” Rachel memberikan pujian untuk Marcus. “Aku memang luar biasa.” Dan di