Daffar yang sedang dikuasai bagian dirinya yang berasal dari kegelapan itu meraung dengan keras.Egh!Kekuatan dalam tubuh Daffar seolah makin meningkat, cengkeramannya tambah kuat.Makhluk itu mengamuk.Tangannya yang lain mengayun dengan telapak tangan membentuk cakar yang hendak mencengkeram kepalaku.Seketika ada sesuatu dalam tubuhku yang mendadak memancar dan mengalir melalui tangan yang sedang mencengkeram dada Daffar.Mungkin kekuatan itu muncul otomatis karena fisikku terancam.Kekuatan yang meletup tanpa kupanggil itu mengalirkan hawa sejuk di tangan dan keluar melalui telapak tangan.Kekuatan dari tubuhku itu seperti mengeluarkan aliran listrik yang menyentak jantung Daffar.Cakar Daffar yang nyaris menyentuh wajah ini seketika berhenti.Kekuatan itu terus melecut jantung Daffar. Lalu, beberapa detik kemudian, cengkeraman tangan Daffar di bagian belakang kepala ini makin melemah.“Phuh ...,” embus panjang napasku begitu tangan itu tak lagi mencengkeram leher.Sambil menatap
Daffar mengangguk tanpa ragu.“Oke, siap-siap dengar ceritaku ya,” ucapku pelan.“Tadi malam matamu bukan hanya berubah hitam dan memancarkan sorot hawa dingin, Tapi Kamu juga mencengkeram bagian belakang leherku dan membuatku kesakitan,” kisahku singkat.Daffar terperangah, matanya membelalak dengan mulut terbuka. Tapi ekspresi tersebut hanya sesaat karena sejurus kemudian ia terkekeh pendek.Ekspresi wajahnya kini terlihat tak percaya.“Apapun yang terjadi, Kamu tahu aku nggak akan melakukan itu padamu, Anneth,” komentar Daffar enteng.Aku menatapnya lekat.Tentu saja ia tak menyadari dan merasakan itu, raganya benar-benar diambil alih oleh makhluk kegelapan dalam dirinya.Aku tersenyum lembut, menyadari bahwa apapun yang akan kukatakan, kemungkinan besar laki-laki yang masih melihatku dengan ekspresi tak percaya ini akan mengingkari fakta itu.“Ya, aku percaya itu, Daffar. Jika itu dirimu sendiri, tentu nggak akan melakukan sesuatu yang membuatku sakit,” ucapku mendukungnya.Aku me
Daffar menoleh dan menatapku dengan sedih.“Nggak usah pasang muka sedih gitu!” saranku sambil menyertakan senyum.“Jangan dipikirkan sekarang! Kalau cara itu ada, mungkin satu ketika, cara itu akan muncul ke permukaan,” ujarku untuk menenangkannya.Daffar memaksakan sebuah senyum.Ini kali pertama aku melihat senyum Daffar tak mengandung pemanis. Sepertinya video itu merusak moodnya.“Udah! Hari ini apa rencananya? Em ... ayo jalan-jalan lagi aja! Kemarin, kita sudah menjelajah bagian selatan rumah ini, masih ada bagian lain yang belum kita kunjungi,” ujarku mengalihkan pikirannya.Daffar mengangguk, tersenyum, lalu menyelesaikan sarapannya.Waktu berlalu.Setelah seharian menjelajah daerah dengan pemandangan indah ini, kami berdua pulang.Aku membersihkan diri karena berada di luar seharian membuat tubuh ini sangat lengket. Dan ketika, aku selesai membersihkan diri dan keluar kamar, aku berpapasan dengan Daffar yang masuk ke kamarnya sambil mencium-cium T-shirtnya yang kotor.“Annet
Laki-laki berjanggut putih dari Anbar itu menurunkan satu tangannya. Tapi, tangan kanannya tetap berada di atas. Lalu, tangan kanan itu menunjuk bola api yang menyala itu.Bola api itu bergerak di ujung telunjuk laki-laki itu.“Benteng Ardasyr!” perintahnya pada bola api yang berkobar-kobar itu.Hah?!Tiba-tiba bola api melesat ke arah benteng gaib Ardasyr.“Duarr!”Ledakan yang sangat keras terdengar.Benteng Ardasyr jebol.Getar serangan bola api itu menyebar sampai tanah yang sedang kupijak.Aku melihat kepanikan di wajah orang-orang Ardasyr.“Agh!” jeritku tertahan.Tiba-tiba ada sesuatu yang seolah menarik tubuh ini mendekat dengan gerakan yang sangat cepat ke arah laki-laki berjanggut putih dari Anbar itu dan-“Blas!”Tubuhku seolah masuk dalam tubuh laki-laki yang kuketahui sebagai salah satu penyihir tinggi Anbar ini.Hah?!Mendadak aku bisa melihat apa yang dia lihat. Aku seperti sedang menempati matanya, menunggangi pandangannya.Laki-laki tua ini tertawa dengan puas begitu
Benteng gaib Ardasyr yang telah berlubang itu kembali bergetar. Pun tanah yang kupijak. Getaran ini begitu besar sampai seolah merambat ke ubun-ubunku.Aku merasakan efek seperti kesemutan di seluruh tubuh. Lalu, aku berdiri dengan berusaha menyembangkan posisi. Kemudian, efek getaran itu pelan-pelan lenyap.Namun, di waktu tubuhku kembali normal, tiba-tiba pandangan mata ini menangkap satu pemandangan yang merisaukan.Pandangan mata ini seolah kembali berkelana ke pusat titik Anbar, gedung utama yang disakralkan itu.Di puncak kubah, patung hitam bergerak yang hidup itu seolah sedang menyimak dengan cermat apa yang terjadi dalam kubah.Pandanganku bergeser ke bawah dan berhasil menembus ruang tertinggi gedung sakral Anbar itu.Aku membelalak penuh kengerian, karena saat itu, dalam ruang tertinggi itu, ada gambaranku yang sedang menatap ke dalam Isar.Bukan ... bukan ketika aku menatap sosok anak laki-laki berumur delapan tahun yang meringkuk di lubang kegelapan yang ada di bawah Isar
Aku gugup, tubuh ini tegang, sedang telapak tangan ini mulai mengeluarkan keringat.“Daffar,” panggilku lirih, sangat lirih dan mungkin ia tak begitu mendengar suaraku dengan jelas.Daffar berjalan mendekat ke arahku, sedang mata ini mengikuti gerak benang hidup itu.Seperti sebelumnya, wujud fisik dari ular yang hidup dalam selubung itu berjalan ke dada Daffar, membentuk jalinan rumit dan berakhir dengan wujud bintang, yang akan menyala dan kemudian pudar.Aku kembali menyaksikan tahap-tahap itu sampai akhirnya benang hidup itu berjalan ke punggung Daffar.“Ada apa, Sayang?” tanya Daffar yang mungkin melihat ekspresi wajah ini pucat pasi.“Daffar,” ulangku sambil di otak ini mencari tipu muslihat untuk membuat tugas itu segera terlaksana.Apa mungkin setelah ini aku akan di tidur di penjara Shrim karena telah melakukan pembunuhan?Sekilas pikiran ini melintas.Tapi, aku segera mengabaikannya begitu pandangan kedua yang menampilkan badai api di kancah peperangan tanah perbatasan itu m
Aku memandang wajah Daffar yang terlihat sangat tenang, matanya terpejam, di bibirnya membayang senyum samar.Aku melihat ke arah dadanya, lalu dengan sangat pelan, meletakkan telapak tangan di atasnya.Kira-kira di sini aku harus menancapkan belati dua dimensi itu.“Daffar, aku ingin Kamu ingat apa yang aku ucapkan barusan, oke? Ulang-ulang itu dalam benakmu, bahwa aku menyayangimu!” ucapku dengan penuh penekanan.Daffar mengangguk dengan sangat pelan, dan satu senyum menghiasi bibirnya.Jantungku berdetak kian tak terkendali. Detaknya seperti mengamuk dan hendak keluar dari lintasan normal.Dengan sangat pelan, aku mengangkat telapak tangan, lalu menghentikannya dua jengkal di atas dada Daffar."Aku memanggilmu, keluarlah!" ucapku dalam hati dan melafalkannya tanpa suara.Aku memberi perintah pada belati dua dimensi yang bersarang di dalam tangan ini dengan tubuh yang mulai gemetar.Ayo beranikan dirimu, Anneth! Bulatkan tekad dan kumpulkan serpihan nekad yang ada dalam dirimu!Aku
Ah!Andai aku benar-benar bisa menghilang dari tempat ini dan tak pernah mengenal laki-laki yang sedang mengerang kesakitan ini sepanjang hidupku.Karena saat ini juga, Daffar sedang melihat aku yang berada di istana Ardasyr bersama Yarim dan Barkiya. Kemudian, dia juga melihat bagaimana aku mengambil belati dari Ardasyr dan mengambil bagian lainnya di Anbar.“Da-rah Ma-la-”Daffar tak bisa menyelesaikan itu.Seseorang dari Anbar ternyata mengirimkan identitas diriku yang mereka sadap dari benteng istana Ardasyr yang berhasil mereka jebol.Ah!Andai aku bisa menangis meraung-raung saat ini ....Aku tahu sekali apa yang dirasakan Daffar saat ini.Pasti sakit sekali!Bagaimana rasanya disakiti oleh orang yang paling dipercayai, paling dilindungi dan paling disayangi.Bagaimana sakitnya mengetahui orang yang sama saat ini sedang menancapkan belati dua dimensi yang mengakibatkan kegoncangan di tempat tinggalnya.Air mata mulai menetes dari sudut mata ini.Dan air mata itu menganak sungai
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te