Ah!Andai aku benar-benar bisa menghilang dari tempat ini dan tak pernah mengenal laki-laki yang sedang mengerang kesakitan ini sepanjang hidupku.Karena saat ini juga, Daffar sedang melihat aku yang berada di istana Ardasyr bersama Yarim dan Barkiya. Kemudian, dia juga melihat bagaimana aku mengambil belati dari Ardasyr dan mengambil bagian lainnya di Anbar.“Da-rah Ma-la-”Daffar tak bisa menyelesaikan itu.Seseorang dari Anbar ternyata mengirimkan identitas diriku yang mereka sadap dari benteng istana Ardasyr yang berhasil mereka jebol.Ah!Andai aku bisa menangis meraung-raung saat ini ....Aku tahu sekali apa yang dirasakan Daffar saat ini.Pasti sakit sekali!Bagaimana rasanya disakiti oleh orang yang paling dipercayai, paling dilindungi dan paling disayangi.Bagaimana sakitnya mengetahui orang yang sama saat ini sedang menancapkan belati dua dimensi yang mengakibatkan kegoncangan di tempat tinggalnya.Air mata mulai menetes dari sudut mata ini.Dan air mata itu menganak sungai
Kedua tangan ini masih teracung dengan menggengam belati dua dimensi ini dengan sangat erat ... dan tangan ini juga ... gemetar.Kepala ular berkaki itu menggeliat dengan gerakan seperti ketika ia sedang mengambil alih raga Daffar.Tiba-tiba asap merah keluar dari tubuh ular itu. Dan tanpa harus aku mendekat dan menyentuh asap itu, aku tahu bahwa asap itu menebarkan hawa panas.Deg!Satu kaki ular menyeramkan itu mulai menapak ke permukaan kasur, turun dari badan Daffar.Aduh!Tolong!Seseorang!Siapapun itu!Tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini.Dag!Kaki yang lain di bagian depan ular itu menapak ke depan.Dug!Jantung ini seolah sedang diletakkan di ujung tanduk ketika kedua kakinya terus menapak di permukaan kasur itu.Aku bergerak mundur sampai hampir mendekati pintu kamar.Ular itu kembali mendesis dan mengeluarkan embusan napas panas sambil sesekali menggeliatkan kepalanya dengan cara yang mengerikan.Tangan ku tambah gemetar.Kedua kaki bagian depan ular menyeramkan itu s
Cahaya itu bergerak dengan sangat lambat tapi pasti, menembus dinding tak terlihat yang melindungi tubuh ku."Hah!" seruku tercekat.Cahaya merah runcing itu sepertinya berhasil menembus dinding pelindungku. Ia terus bergerak ke jantung ku."Agh!" erangku kesakitan.Ujung tajamnya terasa menusuk dada ini."Argh!" teriakku kencang.Aku nekad menggenggam cahaya merah runcing yang ternyata terasa seperi bilah tajam. Kulit telapak tanganku berdarah.Aku menarik mundur cahaya merah itu, tapi benda itu terasa sangat berat. Ia terus bergerak menusuk kulit dada ini lebih dalam.Tes!Darah dari telapak tanganku menetes ke lantai.“Agrhhh!”Tiba-tiba makhluk itu meraung keras.Heh?!Kenapa?Aku yang sedang menahan telapak tangan yang terasa perih sedikit bingung.Ular berkaki empat itu menghentak-hentakkan kakinya. Dan itu memancingku untuk melihat ke bawah.Dan-Ah ...?!Aku terkejut.Ternyata darah ku yang menetes di kakinya membuat kakinya terbakar. Kaki belakang ular itu mengelurkan asap hi
Beberapa saat kemudian tak ada apapun yang terjadi. Situasi gedung utama Anbar tetap sunyi dan beku.“Ting!”Tiba-tiba telinga ini menangkap suara denting yang aku yakin berasal dari bagian belahan belati dari Anbar yang baru saja mencapai dasar lubang dalam Isar.Dan mendadak kegoncangan dashyat mengikuti bunyi denting belati Anbar. Tempat itu kembali goncang seperti ketika belahan belati itu baru saja bersatu dengan belahan belati dari Ardasyr.Gedung utama Anbar itu berderak-derak seperti akan roboh.Tiba-tiba fokus pandangan keduaku beralih ke Isar.Bejana darah yang terbelah itu bergerak dengan pelan untuk merekatkan dirinya. Dan ketika isar itu kembali menyatu, goncangan dashyat itu berhenti total.Pelan-pelan bagian dalam Isar kembali terisi dengan air bening, lalu air bening itu berubah menjadi darah dan berikutnya berganti menjadi cairan hitam.Cairan hitam itu mulai mendidih, dan air yang mendidih itu menyentuh ujung ekor ular kobra yang telah menjadi patung di tepi Isar.Ca
Aku kembali melihat tubuh Daffar yang diam tak bergerak dalam posisi semula seperti saat aku tinggalkan.Aku yang sedang berjongkok merasa ada otot-otot yang mendadak tercerabut dari posisinya. Dan itu membuatku terduduk menggelesot.“Daf-far,” ucapku tanpa suara.Aku memutar tubuh dan bergerak ke tepi ranjang dalam posisi masih menggelesot.Tangan ini terulur hendak menyentuh telapak tangannya. Tapi, aku mengurungkannya, khawatir mendapati suhu tubuhnya yang mulai dingin.Air mata ini mulai keluar tak terkendali, tapi tangis ini tertahan di dada.Aku terus berusaha mengeluarkan teriakan sampai pada akhirnya suara tangisan itu keluar dari kerongkongan ini.“Aaa.”“Daffar!”Aku menangis meraung-raung.Dan tentu saja Daffar tak sedikit pun menanggapi tangisanku.Aku menangis sampai tangis ini seolah tak bersisa lagi. Isak tangis tersendat menutup ujung tangis.Aku menyeka air mata yang membuat pandangan normalku kabur.Tunggu!Aku nggak bisa terus menangis seperti ini. Ada seseorang yan
Aku menangis di pangkuan Sinna.Sinna membiarkan aku menumpahkan kesedihan, tangannya tak henti mengelus punggung ku dan tangannya yang lain mengelus puncak kepala ini.Beberapa saat kemudian tangisku mereda.“Kamu bisa cerita nanti, sekarang isi dulu perutmu, ayo!” bujuknya seperti ibu yang sedang membujuk anaknya yang males makan.Sinna mengangkat kedua bahu ku dan kembali membaringkan di atas tumpukan dua bantal. Lalu, ia kembali mengangsurkan gelas kecil itu.Aku menutup mata setelah Sinna memaksaku memegang gelas kecil ini.“Minum!” paksanya pelan.Aku meminum cairan manis yang telah dicampur dengan air hangat itu. Berikutnya, Sinna memaksaku menghabiskan sup ayam, jus jeruk, puding dan kue yang disajikannya.Kalau bukan karena dipaksa dan diawasi Sinna dengan ketat, mungkin aku akan memuntahkan semua makanan ini karena kerongkongan ini seolah menolaknya. Berulang kali aku harus memaksa tenggorokan ini untuk melakukan gerak menelan.Beberapa saat kemudian Sinna bertepuk tangan ri
Allen menatap ku dengan tatapan mengharap jawab. Tapi, aku balas menatapnya dengan mengirimkan sinyal-sinyal enggan menjawab.“Ah ...,” desah Allen sambil menepiskan tangan di udara kosong.“Heh ...sudah! Sudah! Kalau mau tanya-tanya nanti setelah Anneth pulih, lihat wajahnya aja sembab-sembab memilukan gitu,” saran Sinna sambil beranjak.“Allen, gantiin aku ya,” ucap Sinna sambil mengusap kepalaku.“Aaron, anakku masih dibawah?” tanyanya sambil berjalan ke arah pintu.“Ya,” sahut Aaron sambil ikut beranjak.“Kutinggalkan kalian berdua ya, aku harus membantu yang lain, akan kubikinkan kalian makanan yang enak nanti,” ucap Aaron ketika mendekat ke arahku.“Terima kasih,” ucapku lirih.Aaron tersenyum, berbalik, lalu menyusul Sinna keluar dari ruangan ini.Allen pindah ke ranjangku dan duduk dengan melipat lututnya.“Kamu masih demam?” tanyanya khawatir.Aku meletakkan punggung tangan ini, lalu menggeleng pelan.Gadis ini menatapku dengan ragu.“Demammu kali ini aneh banget lo, nggak il
Aku menggeleng pelan.“Aku baik-baik saja, aku akan sembuh ... besok,” ucapku parau.Sinna mengembuskan napas berat. Dan mereka semua memandangku dengan wajah yang terpaksa dibuat baik-baik saja.“Nah, kalau bisa bangun, mandilah! Aku sudah siapkan air hangat, mungkin setelah mandi, pikiranmu akan sedikit segar,” saran Sinna lembut.Aku mengangguk patuh, lalu beranjak ke kamar mandi dengan badan gemetar.Beberapa saat kemudian, setelah selesai keluar dari kamar mandi, aku melihat ranjangku sudah tertata rapi dengan sprei baru. Dan juga melihat mereka berkumpul di atas karpet dengan makanan yang telah tersaji.“Kami percaya Kamu akan sembuh besok, Anneth,” ujar Allen riang ... atau dipaksakan riang.Aku tersenyum kaku, terpaksa. Lalu, aku bergabung dengan mereka. Dan ketika melihat bayi Sinna, mata ini kembali terasa hangat.“Dan kehangatan itu juga muncul ketika aku bersamamu yang menggendong bayi Sinna.” Kata-kata Daffar seolah kembali diputar berulang-ulang di telinga ini.Tapi, aku