Aku menatap Daffar dengan mata membulat penuh.Laki-laki guanteng itu mengangguk dengan wajah tenang menanggapi keterkejutanku.“Maksudnya gelembung?” kejarku melepas kekepoan.“Ya, gelembung. Seperti gelembung biasa yang Kamu lihat di dunia nyata. Hanya saja, gelembung berukuran sangat besar dan memuat satu lanskap pemandangan indah berikut dengan segala isinya,” jelas Daffar ringan.“Hem ... mungkinkah?” sahutku tak percaya.Daffar tersenyum lebar.“Jika Kamu sudah kuat berjalan, bergeraklah ke tepi sebelah sana!” tunjuk Daffar pada satu sudut yang ada di hamparan rumput yang luas ini.Benarkah?Aku nggak percaya.Tapi, tak urung, aku berusaha berdiri, lalu setelah memastikan tubuh ini berdiri dengan tegak, aku berjalan dengan pelan ke arah yang tadi ditunjuk Daffar.Beberapa langkah kemudian aku sampai di satu titik.Eh?!Di titik ini aku merasakan percikan air yang sangat halus menerpa wajah.Mata ini memandang satu tabir bening yang seperti berasal dari air, tapi ia juga bening d
Daffar yang baru saja menjebloskan kepalanya ke lubang leher t-shirt sejenak menghentikan gerakannya. Laki-laki itu hanya memandang lurus ke depan tanpa terlihat berniat menoleh ke arahku.“Daffar,” panggilku menuntut jawabannya dengan halus.“Hem ... ya ... sedikit berbeda,” jawabnya pendek.Aku menangkap nada enggan dalam suaranya.“Bedanya apa?” desakku nggak mau tahu, mengabaikan keengganan yang samar tertangkap.“Iya ... lebih beda. Em ... mungkin sedikit lebih mirip denganmu, walaupun sampai sekarang, aku juga nggak tahu Kamu jenis manusia seperti apa,” jelasnya mengambang.Aku mengeluh pelan.“Lalu gimana aku bisa membandingkan dengan diriku sendiri, jika aku nggak tahu aku ini seperti apa? Yang kutahu, aku juga seperti manusia lain, seperti penduduk Shrim yang lain,” sahutku agak kesal.Daffar mengedikkan dua bahunya.“Saat ini, aku nggak tahu bagaimana harus menjelaskan jenisku pada mu, tapi yang jelas, Kamu bukan manusia biasa, Kamu beda dengan penduduk Shrim lainnya,” tegas
“Itu bukan pertanyaan karena si penanya sudah tahu dengan jelas jawaban apa bakal didengar!” seruku sewot.Daffar tersenyum menyeringai.Aku kembali mengelap kaca yang tinggal sedikit lagi selesai.Sejurus kemudian aku mendeteksi pergerakan dari arah meja Daffar.Laki-laki itu beranjak dan berjalan mendekat ke arahku. Lalu, ia berhenti tepat di belakangku dan mengambil paksa lap kaca yang ada di tangan kananku.“Itulah kenapa kutanya,” ucapnya pelan sambil mengelap kaca bagian paling atas.“Menurutku, untuk sementara waktu, Kamu harus pergi dari tempat ini. Setidaknya sampai aku kembali dari Anbar untuk bernegosiasi dengan Ghassan,” sambungnya tanpa menoleh ke arahku.Aku melongo.Semengkhawatirkan itukah keadaanku?Laki-laki itu mengembalikan lap kaca ketika selesai membantuku, lalu ia meletakkan kedua telapak tangannya di bahuku. Lalu, dengan lembut, ia membalikkan badanku seratus delapan puluh derajat. Kemudian, ia mendorongku ke mejanya dengan pelan.“Nah! Duduklah!” pintanya keti
Tapi, ingat!Jangan terlena!Bahaya yang mengancam itu juga nyata!Capung besi ini mulai terangkat dari lantai rooftop. Lalu, kontrol kendali dalam tangan Daffar yang menyerupai joystick itu membuat helikopter ini bergerak menyerong, lalu melesat menjauhi gedung di mana penthouse berada.Wah ...!Sekali lagi aku merasa berada dalam sebuah toples bening raksasa yang bisa terbang. Dari sini pemandangan kota Shrim yang padat terlihat dengan jelas.“Ternyata begini Kota Shrim jika dilihat dari atas,” gumamku pada diri sendiri.Daffar terkekeh.Aku nggak mempedulikan kekehannya, mata ini terus meraup dengan rakus pemandangan yang baru pertama kalinya kulihat dalam hidup ini.Sesaat ada satu pikiran yang melintas dengan sangat cepat dalam pikiran.Sepertinya, sejak bertemu dengan Daffar, selain terjadi keanehan-keanehan itu, tapi aku merasa ada sesuatu yang istimewa tentang bagaimana ia memperlakukanku.Em ... benar juga yang dikatakan Amora. Pantasan saja gadis itu cemburu setengah mampus.
Daffar mengangguk.“Aku nggak tahu gimana prosesnya atau apa yang terjadi sesungguhnya dengan bayi ini, yang aku tahu, ketika itu, begitu ia lahir, Penjaga Agung Anbar langsung menurunkan perintah untuk melenyapkan bayi manusia ini,” imbuh Daffar datar.Aku hanya ber-oh panjang.“Sebentar lagi kita akan mendarat,” infonya kemudian.Laki-laki ini menunjuk satu tempat yang berjarak sekitar satu kilometer dari bekas tempat kelahiran bayi Darah Malaikat itu.Sebuah rumah di pinggir danau kecil yang sangat indah terlihat menyendiri di tengah rimbun pepohonan. Rumah bercat putih itu seakan menjadi bangunan yang paling bersemangat di antara bangunan-bangunan lain yang berada di sekitar kota Sahm ini.Beberapa saat kemudian, helikopter dengan kanopi gelembung sabun ini mendarat di dekat rumah itu.Dan setelah landing dengan sempurna, aku dibawa ke rumah satu tingkat bercat putih itu.Sepasang laki-laki dan wanita yang berambut putih menyambut kedatangan kami. Mereka diperkenalkan sebagai dua
Sepasang suami istri yang telah lanjut itu mengangguk-angguk dengan semangat. Bahkan, istrinya, dengan cepat, menarik kursi, kemudian duduk di sampingku.“Memang kalau diperhatikan dengan baik, tidak sama persis, tapi saya yakin, ada separo wajah dari orang itu ada wajahmu,” lanjut laki-laki itu dengan sekilas memandang istrinya.Wanita yang kini di sampingku ini mengangguk-angguk setuju.“Oh ya?” Aku makin tertarik.“Di mana kalian bertemu dia?” kejarku makin penasaran.Sesaat mereka menunduk menyembunyikan sorot mata penuh kesedihan.“Dia ikut menjadi korban bersama tempat yang dihancurkan itu,” jelas laki-laki itu dengan sedih.Hah!Aku membelalakkan mata.“Kalian yakin?” tanyaku menegaskan.Mereka berdua mengangguk.“Dia adalah tetanggaku, rumahnya berjarak beberapa rumah dari rumahku yang juga ikut hancur. Dia dan suaminya adalah orang yang sangat baik di lingkungan ini,” celetuk sang istri setelah dari tadi hanya mendukung cerita suaminya dengan mengangguk-angguk.“Orang ini ada
“Jangan sebutkan namanya! Kalau tahu ya sebut dalam hati saja! Begitu pesan Sinna,” imbuh Aaron kayak perintah yang tak boleh ditolak.“Oke!” sahutku dengan nada cepat. Meskipun, aku sedikit bingung.“Oke, kalau begitu pulanglah sekarang! Kamu harus ke sana secepatnya! Begitu pesan pamungkasnya,” info Aaron kembali dengan menekan setiap kata yang ia ucapkan.Aku melongo.Ada apa sih?Dan ... barkiya?Wanita cantik yang sulit ditemui itu mengirimkan pesan agar aku segera menemuinya dengan tidak boleh membocorkan namanya?Apa dia tahu Daffar, Pak Badzan dan orang-orang semisal yang mungkin akan mendengarnya?Eh!Jangan-jangan ....Jangan-jangan ia tahu kemungkinan aku sedang bersama siapa gitu?Begitukah?Dengan cepat, aku bergegas ke arah tangga. Lalu, dari ujung anak tangga teratas aku berteriak pada dua orang yang masih duduk meja makan itu.“Pak, Bu, saya harus segera pulang,” infoku dengan suara nyaring.Kemudian, aku memasukkan barang-barangku yang nggak seberapa ke dalam ransel,
Sejenak aku ragu.“Aku harap Barkiya memberikan kelonggaran untukku agar jawaban itu nggak terpenjara dalam kata iya dan tidak,” jawabku berkelit setelah beberapa saat diam.Barkiya mengangguk.“Oke. Silahkan! Kalau begitu, aku akan melonggarkan ruang dengar agar Kamu bisa menjelaskan,” jawab wanita cantik yang memiliki penampakan ganda itu.Tapi, ia tetap berdiri di depanku, seolah ia alergi jika mendengarkan sambil duduk.“Ada beberapa hal dalam pengaduan gadis berkulit pucat itu yang perlu saya luruskan, Barkiya. Yang pertama adalah aku tidak merebut pacar siapapun. Kedekatan antara aku dan laki-laki yang diklaim sebagai pacarnya itu karena hubungan kerja,” awalku berkisah.Barkiya mengangguk, tetap diam dan terus menatapku dengan penuh selidik.“Dan karena saya dipindahkan ke departemen khusus, lalu diangkat menjadi asisten pribadi pemilik saham di tempat saya kerja itu, saya harus pergi bersama laki-laki itu ke satu tempat yang ditunjuknya." Aku diam sejenak untuk mengambil napas