Di dalam perpustakaan Kerajaan Wisteria. Putri Olivia berjalan mengitari rak buku tentang sejarah. Karena pembicaraan pagi tadi, dia mulai tertarik untuk mencari kebenaran mengenai Kerajaan Kassera. Hari ini ditemani Lucy dan Maya, tanpa adanya Leo ataupun Pangeran Gavin. Empat tingkat rak buku, tidak menunjukkan adanya buku mengenai Kerajaan Kassera. Tak menyerah begitu saja, Putri Olivia kini berganti mencari buku mengenai sejarah terbentuknya negeri ini termasuk kerajaan-kerajaan yang berdiri sampai sekarang. Satu buku, dua buku, hingga tiga buku dibawa oleh Putri Olivia ke tengah ruangan, di mana Lucy dan Maya berada.
“Anda sudah menemukan bukunya, Putri?” Maya membuka suara, ketika Putri Olivia duduk di sofa dengan tiga buku di atas meja.
“Tidak sama sekali. Aku hanya mengambil buku yang kemungkinan ada jejaknya.” Putri Olivia membuka satu buku, membaca satu persatu daftar isi yang tercetak, lantas memutuskan untuk mulai membaca dari halaman tengah.
Maya
“Panggilkan dokter!” pekik Astra seraya menatap Gabriel.Gabriel mengangguk dan bergegas pergi.Leo berjongkok dan membantu Astra memindahkan Azura ke sofa. Dia bahkan pergi mencari kain dan air untuk menghilangkan sisa darah yang berceceran.Pun dengan Pangeran Gavin yang ikut mendekati Astra. “Sebenarnya apa yang terjadi?”Astra yang semula berjongkok, perlahan berdiri seraya menatap ke arah Pangeran Gavin. “Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja dia muntah darah.”“Apa dia makan sesuatu yang aneh?”“Tidak. Dia tidak makan apapun.”“Apa sebelumnya dia pernah seperti ini?”“Tidak sama sekali.”Krek!Pintu ruangan terbuka dengan Gabriel dan dokter yang melangkah masuk. Baik Astra maupun Pangeran Gavin, menjauh dari sofa, membiarkan dokter memeriksa Azura. Bahkan Leo pun ikut menjauh setelah membersihkan darah di tangan Azu
“Kenapa Anda mau menunggu, Yang Mulia? Tidak seperti Anda yang biasanya.”Yang Mulia Glocius mengambil potongan apel di depannya kemudian memakannya. “Kerajaan yang akan kita rebut, merupakan kerajaan sahabat dari William. Dan William adalah sahabatku. Walaupun kerajaan itu sudah diambil alih dan bukan lagi di tangan sahabat William, namun aku masih menganggap kalau kerajaan itu masih miliknya. Aneh memang. Apalagi, pewaris tunggal Kerajaan Mandelein masih ada. Baginya, jika kita merebut kerajaannya tanpa sepengetahuannya maka itu sama saja melukainya untuk yang kedua kalinya. Untuk saat ini, biarlah kita diam sejenak untuk menunggu.”“Boleh saya tahu alasan Anda menginginkan Kerajaan Mandelein, Yang Mulia? Apa mungkin karena rumor masa lalu yang mengatakan jika Batu Permata Ruby ada di Kerajaan Mandelein. Sehingga Anda memutuskan untuk mengambil alih kerajaan tersebut.” Panglima Sam kembali melontarkan pertanyaan yang membuat Yang M
Pukul 11 malam. Di ruangan Pangeran Gavin. Malam ini, tidak ada pertemuan rutin. Karena dua rekannya sedang tidak dalam posisi bisa hadir dan Pangeran Gavin pun memutuskan untuk tidak mengadakan pertemuan. Sebagai gantinya, Leo, Gabriel, dan Cora harus secara bergantian menjaga Azura di kamarnya. Bahkan sampai sekarang pun, Azura masih tidak sadarkan diri. Dokter yang datang dengan membawa obat, pun sudah memeriksa dan mengatakan tidak adanya hal aneh pada Azura. Obat yang diminumkan pun tidak membuat Azura sadar. Untuk saat ini, Azura sedang tidur, mengistirahatkan dirinya, tanpa tahu kapan dia akan terbangun. Di dalam ruangannya, Pangeran Gavin duduk di belakang meja dengan tumpukan berkas di depannya. Berita sore tadi, mengatakan kalau Norman sudah kembali dan akan kembali ke tempat Astra besok pagi. Pangeran Gavin tidak khawatir pada Astra yang jauh darinya, namun dia sendiri tahu kalau Astra saat ini pasti khawatir dengan kondisi Azura. Jika bukan karena tugas, Astra pa
Kerajaan Servin. Istana megah dengan dekorasi super mewah. Tiang istana yang terbuat dari bahan terbaik. Lantai yang selalu dingin. Lampu gantung yang berhiaskan berlian. Beberapa pot bunga berjajar rapi di tepi koridor. Langit malam yang gelap tidak bisa menutupi betapa terangnya istana Kerajaan Servin. Yang Mulia Ratu Mia, sering dipanggil Ratu Mia, berjalan menyusuri koridor kerajaannya. Tanpa harus kesulitan berjalan dengan gaun menjuntai yang menutupi seluruh kakinya, ditambah dengan hiasan di gaun mewahnya. Dia berjalan menuju ke ruangan favoritnya, tempat di mana bir dan minuman keras lainnya disimpan. “Anda harus segera istirahat, Ratu.” Salah seorang pengawalnya –James– mencoba memberi nasehat. Ratu Mia berdehem pelan. “Sebentar lagi, James.” Lantas melangkah masuk ke dalam ruangannya, diikuti oleh James. Di kursi kebesarannya, Ratu Mia duduk dengan anggun. Beberapa pelayan mulai mendekat membawakan makanan, buah, dan minuman. James berdiri t
Malam mulai semakin larut. Aktivitas manusia mulai berkurang hingga akhirnya terhenti. Hanya lampu jalanan yang masih senantiasa bercahaya. Setiap penghuni rumah sudah mulai terlelap damai seraya bermimpi hingga hari esok. Lain halnya dengan yang ada di kamar Azura. Setiap dua jam sekali, Cora dan Leo secara bergantian berjaga Azura yang masih enggan untuk membuka mata. Leo berbaring di sofa, sedangkan Cora duduk di kursi tepat di samping tempat tidur Azura. Dia baru saja bergantian dengan Leo yang sudah dua jam berjaga. Kondisi Azura saat ini benar-benar tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Azura sangat jarang sakit. Kalaupun sakit, pasti hanya batuk. Lain halnya dengan sekarang. Sesekali Cora memeriksa suhu Azura, denyut nadinya, untuk memastikan tidak ada kejadian buruk yang terjadi padanya. Di ruangan yang berbeda. Sama halnya dengan di kamar Azura. Lucy dan Maya sedang berjaga di kamar Putri Olivia. Perintah tegas dari Pangeran Gavin membuat mereka harus tidur satu kam
Keesokan harinya. Pagi-pagi sekali, Pangeran Gavin berjalan menyusuri koridor tengah istana. Tanpa pendamping, tanpa penasehat, dia berjalan sendirian menuju ke ruangan ayahnya. Tidak kenal lelah, tidak juga menyempatkan waktu untuk istirahat, sebisa mungkin dia harus segera berbicara dengan ayahnya. Pangeran Gavin berdiri di depan pintu ruangan. Tanpa berlama-lama, mengetuk pintu tiga kali dan dibalas oleh pemilik ruangan. Dengan perlahan, Pangeran Gavin mendorong pintu di depannya kemudian melangkah masuk. “Terlalu pagi untuk datang ke ruanganku, Gavin.” Sebuah celetukkan yang mengawali pembicaraan. “Dan terlalu pagi untuk ayah duduk di sana,” balas Pangeran Gavin dengan sindirannya. Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Sama-sama memiliki pikiran yang sependapat. Sama-sama tidak tertarik dengan harta. Sama-sama berambisi untuk menjatuhkan siapapun yang mengibarkan bendera perang. Yang Mulia William tertawa renyah. “Ha-ha. Memang rasanya
Gulungan kertas dengan tulisan dari Yang Mulia William sudah sampai di tangan Norman. Astra pun sudah diberitahu terkait hal ini. Sedangkan Gabriel sudah kembali ke istana lebih dulu untuk bergantian menjaga Azura. “Aku akan menyiapkan kereta kuda. Kau bisa membujuk mereka untuk mau diantar pulang, bagaimana?” Norman melipat kembali kertas di tangannya kemudian menyimpannya di saku jasnya. Astra mengangguk setuju. “Bukan masalah.” Langkah lebarnya menuju ke salah satu kamar yang ditempati oleh Yang Mulia Geld dan Dandi. Sekalipun luka yang diderita oleh Dandi masih belum sembuh sepenuhnya, namun jika mereka segera sampai di istana maka dokter akan melanjutkan pengobatan padanya. Tok! Tok! “Permisi.” Astra mendorong pintu pelan dan mendapati tamu-tamunya masih duduk di sofa dengan sarapan pagi yang dibuatnya. “A-Apa ada masalah?” tanya Yang Mulia Geld. “Maaf sebelumnya, Yang Mulia. Saya mendapat perintah dari Yang Mulia William, kalau a
Di lain tempat. Ketika canda tawa memenuhi kamar Azura, hal yang berbanding terbalik justru sedang terjadi di ruangan milik Pangeran Louis. Sepuluh orang berjubah hitam berdiri di tengah-tengah ruangannya. Dean pun berdiri di samping meja kerja Pangeran Louis. Pangeran Louis bersandar di meja kerjanya menatap ke sepuluh orang yang berdiri di seberangnya. “Terima kasih sudah datang tepat waktu.” Salah seorang pemimpin dari mereka menjawab. “Tentu saja. Selama ada uang, kami akan menjalankan perintah apapun itu.” Senyuman lebar tercetak jelas di bibir Pangeran Louis. Rencananya sebentar lagi akan dimulai. Sebuah ambisi untuk menjatuhkan dua orang dalam satu rencana. “Tugas kalian tidaklah sulit. Kalian hanya perlu menculik Putri Olivia di Kerajaan Wisteria. Aku berikan kebebasan kapan kalian akan melakukan. Yang jelas, tidak lebih dari dua hari. Apa kalian sanggup?” “Itu sangat mudah. Serahkan pada kami. Kami pastikan kurang dari dua hari, kami pasti me
Hari silih berganti. Puteri Olivia dan Pangeran Gavin masih senantiasa menginap di Kerajaan Gambera. Hal yang berbeda hanyalah Norman yang sudah kembali ke Kerajaan Wisteria, membawa laporan terkait ucapan terima kasih dari Yang Mulia Geld yang ditujukan kepada Yang Mulia William. Panglima Murr pun sudah kembali, menyisakan Panglima Sam dengan beberapa pasukannya untuk mengamankan Kerajaan Mandelein. Berita kebenaran kejadian di dalam istana, sudah terdengar sampai ke telinga rakyat Kerajaan Mandelein. Di hari pertama, bahkan mereka berbondong-bondong mengunjungi istana untuk menanyakan kebenaran terkait berita tersebut. Beberapa dari mereka mengasihani keadaan Puteri Olivia, sedangkan yang lainnya menginginkan Pangeran Louis dihukum mati. Berakhirnya peperangan juga menjadikan akhir bagi Kelompok Mawar Hitam. Palte selaku pemimpin kelompok tersebut, diam-diam menemui Panglima Sam di Kerajaan Mandelein. Mencoba mengutarakan maksudnya. “Siapa kau? Dan apa tujuanmu datang padaku?” tany
Crash!“Maaf terlambat. Kau baik-baik saja?” Gabriel muncul di samping Palte, memaksanya untuk kembali membuka mata.Siapa? Aku belum pernah bertemu dengannya.Gabriel berjongkok dan membantu Palte untuk berdiri. “Kita harus mengobati lukamu.” Sekalipun dia mendengar apa yang dipikirkan oleh Palte, namun Gabriel memilih untuk lebih dulu mengobati lukanya.Di seberang mereka, Azura pun sudah berhasil menyelamatkan Alex dan rekan-rekannya dengan memenggal kepala prajurit yang berada di sekitar mereka. Beruntung tidak ada luka parah pada mereka, jadi mereka bisa segera meninggalkan arena pertempuran.“Palte! Kau terluka! Astaga!” Noir panik ketika melihat Gabriel yang menyandarkan Palte di samping gudang.Gabriel melangkah mundur, membiarkan Noir mengobati Palte. Pandangannya pun beralih menatap Azura yang baru datang bersama Alex dan rekan-rekannya.“Tetaplah di sini. O
Teriakan memilukan, tanpa bisa melakukan apapun. Tangan kanan Dean terpotong hingga bahu. Masih dalam keadaan terikat, tangan itu terpisah dari tubuh pemiliknya. Dean meraung-raung melampiaskan rasa sakit yang dirasakan di tubuh bagian kanannya. Darah pun keluar tiada henti. Rasa sakit yang membuat siapapun ingin menangis.“Sudah kukatakan sebelumnya, bukan? Tapi kau malah tidak mau percaya padaku. Bagaimana rasanya? Sakit, bukan? Apa yang kulakukan padamu tidak ada apa-apanya dengan apa yang kalian lakukan pada orang tua Puteri Olivia. Kau sendiri sadar akan hal itu, kan?” Azura menyimpan belatinya seraya menjaga jarak dari Dean. Dia membiarkan Dean berteriak-teriak kesakitan. Sudah cukup baginya untuk saat ini menyiksa laki-laki di depannya, hanya sekedar untuk membuktikan dengan siapa dia berhadapan.Tak lama kemudian, Dean tidak sadarkan diri. Azura pun mengambil kain panjang yang selalu dibawanya untuk berjaga jika terluka. Kali ini dia akan menggunaka
“Astaga Gavin!” Yang Mulia William bergegas mendekat, membantu Astra meletakkan Pangeran Gavin di dalam kereta kuda.Astra bergegas mengambil kotak obat di kereta yang lainnya dan segera mengobati luka di punggung Pangeran Gavin. Sedangkan Gabriel meletakkan Puteri Olivia di kereta kuda yang lainnya. Dia masih belum sadar. Hampir saja, telat satu detik saja, Puteri Olivia mungkin akan mati tergantung. Gabriel melepaskan tali yang mengikat leher Puteri Olivia kemudian membuangnya asal.“Apa Puteri baik-baik saja?” Maya berdiri di samping kereta kuda, menatap cemas keadaan Puteri Olivia.Gabriel berdiri berseberangan dengan Maya, menatapnya kemudian beralih menatap Puteri Olivia. “Dia hanya tidak sadarkan diri. Temani di sini. Aku harus mengurus Azura.”Maya mengangguk mantap. “Dimengerti.”Gabriel melangkah cepat mendekat ke Azura yang dibaringkan di atas rumput di bawah pohon. Di sampingnya sudah ada
Dua ribu pasukan keluar dari hutan, membaur dan menebas pasukan dari Kerajaan Mandelein. Beberapa dari mereka bergerak cepat mengobati prajurit pimpinan Panglima Murr yang terluka, membawa mereka jauh dari peperangan.Ribuan pasukan yang datang membuat emosi Pangeran Louis seketika memuncak. Wajahnya merah padam. Tidak ada yang mengatakan padanya kalau akan ada pasukan bantuan. Sekalipun pasukannya terbilang banyak, namun yang dilihatnya saat ini adalah pasukannya yang semakin berkurang.“CEPAT HABISI MEREKA! KENAPA KALIAN MALAH KALAH? CEPAT MAJU!!!!”Prajurit yang merasa terpanggil bergegas melakukan apa yang diperintahkan. Mereka mulai bergerak mengepung Pangeran Gavin dan yang lainnya. Hampir seperempat pasukan mengepung mereka, dengan senjata di tangan mereka.Astra yang semakin terpancing emosi sontak berdiri di depan teman-temannya. Jika dia memiliki kemampuan kutukan, mungkin dia akan mengutuk mereka yang berada di sekitarnya dengan kut
Pangeran Gavin yang berada di tengah-tengah peperangan, menyadari keberadaan Putri Olivia di atas benteng. Perhatiannya pun teralihkan. Pedang yang semula bergerak menebas sana-sini, kini berhenti bahkan perlahan turun. Sebentar lagi, seharusnya dia bisa menyusup dan menyelamatkan Putri Olivia, namun apa yang terjadi saat ini membuatnya terdiam.Oliv...“Gavin! Jangan melamun!” Astra yang semula berjarak darinya segera mendekat seraya menghunuskan pedangnya pada prajurit yang menghalangi jalannya. Pangeran Gavin yang sama sekali tidak bergeming di sampingnya dengan pandangan ke arah benteng, membuat Astra melihat ke arah yang sama.Terkejut, tergambar jelas di wajah Astra, apalagi Pangeran Gavin. Jarak mereka dengan benteng masih sangatlah jauh. Ditambah lagi dengan ribuan pasukan yang mengepung mereka, membuatnya sulit untuk menjangkau dalam waktu cepat ke tempat Putri Olivia.“KAU DI SANA, GAVIN? KAU INGIN MENYELAMATKAN OLIVIA
“Omong-omong, Gavin. Aku membawa pesan dari Yang Mulia William.” Astra berbalik menatap Pangeran Gavin yang tengah memijat pelipisnya.“Ap---”Bugh!Sebuah bogeman mentah mendarat di perut Pangeran Gavin dari Astra membuatnya meringis kesakitan. Siapa sangka Astra akan memukul perutnya dan itu terbilang cukup kuat.“Itu pesan dari ayahmu, Gavin. Dia menitipkan pukulannya padaku,” ucap Astra tanpa rasa bersalah sama sekali.“Uhuk! Uhuk! Sakit sekali. Kenapa ayah menitipkan hal yang tidak berguna padamu?” Pangeran Gavin mengambil duduk di atas jerami seraya menyandarkan punggungnya di tiang gudang.Astra pun ikut duduk bersila di samping Pangeran Gavin. “Karena kau dengan bodohnya sendirian di tempat tidak dikenal ini. Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu sebelum aku sampai, hm?”“Aku tahu hal itu tidak akan terjadi, karena itu aku tidak masalah sendiria
Noir menoleh. “Oh, mereka akan menginap di sini untuk malam ini,” tuturnya. Alex yang ikut menoleh, terkejut dengan keberadaan Pangeran Gavin dan Leo di desanya. Spontan dia berdiri di depan Palte dan Noir dengan dua pedang kecil di tangannya. “Kenapa anggota kerajaan ada di sini?” Mata itu memicing, menatap tidak suka ke arah Pangeran Gavin. “Anggota kerajaan?!” Noir memekik tidak percaya. Lambang Kerajaan Wisteria tersemat di sarung pedang milik Pangeran Gavin. Kerajaan di mana tugas mereka dijalankan. Palte yang baru menyadarinya ikut menarik pedangnya berdiri bersampingan dengan Alex. “Kami ke sini hanya untuk me---” Brak! Leo yang sedari tadi hanya diam, tiba-tiba tersungkur lemas. Dia tidak bisa jauh-jauh dari Kerajaan Wisteria dalam waktu yang lama. Jantungnya melemah. Pangeran Gavin berjongkok dan memeriksa kondisi Leo. Suhu badannya meninggi, keringat dingin mulai bercucuran di dahinya. “Oi! Leo, bertahanlah!” Tanpa banyak berpikir, dia bergegas membawa Leo ke dalam gud
Di ruangan perawatan. Norman keluar dari ruangan dan dihampiri oleh beberapa pelayan. Sarung tangan yang dipakainya segera dilepas kemudian meletakkannya di nampan yang disodorkan oleh pelayan padanya.“Apa Yang Mulia baik-baik saja?” tanya pelayan tersebut.Dandi berdehem. “Beliau sudah melewati masa kritis. Sisanya tinggal menunggu beliau sadar. Omong-omong, kalian melihat rekanku?”“Ada bersama Tuan Dandi di kamar Yang Mulia Geld.”“Terima kasih.” Dandi pun melangkah menuju ke tempat Gabriel. Hingga kasus ini diketahui siapa pelakunya dan memastikan Yang Mulia Geld sudah sadar, mereka berdua tidak bisa pulang begitu saja.Gabriel berjongkok tepat di depan bercak darah Yang Mulia Geld yang berceceran di lantai kamar pribadinya. Masih belum ada bukti lain kecuali darah di lantai. Gabriel bahkan dibuat pusing karena bukti yang sangat sedikit.“Bagaimana?” Norman melangkah masuk, ber