Ah … akhirnya aku bisa ketemu sama keponakanku yang menggemaskan itu!”Margareth menghirup napas dalam-dalam setibanya di Bandara Soekarno Hatta. Ini adalah kunjungannya yang pertama setelah empat tahun yang lalu saat Risa menghubunginya untuk yang pertama kali begitu lenyap dari jangkauan orang-orang.Wanita itu kemudian menarik kopernya untuk segera memesan tiket kereta dan menerima sambutan hangat dari sang sahabat dan juga Nathan yang dirindukannya. Ibu dan anak itu bisa saja datang menjemput di bandara, tetapi seperti sebelumnya, Risa merasa tidak berani berada di tempat umum besar seperti bandara lantaran takut akan dipertemukan dengan Danu, mantan suaminya.Langkah Margareth segera masuk ke gerbong kereta setelah menunggu selama tiga puluh menit di belakang garis kuning. Mungkin satu setengah jam lagi dia akan berjumpa dengan dua orang yang membuatnya terpaksa harus berhati-hati selama ini.Enam tahun lalu ketika Margareth masih bertugas di ruangannya, seseorang tiba-tiba mener
Di sebuah kantor yang terlihat begitu suram dan dingin, Danu duduk menghadap jendela sambil memijat keningnya yang berkerut. Dia baru saja menerima panggilan luar negeri yang lagi-lagi menyampaikan informasi tidak berguna yang sama setiap tahunnya.Sudah enam tahun berlalu, tetapi dia tidak juga mendengar sesuatu tentang Risa dan anaknya yang sekarang entah ada di mana. Bahkan ketika pria itu mendatangi tempat tinggal Risa yang ada di Perancis dan mendesak Margareth mengaku pun, wanita itu mengaku tidak tahu keberadaan sang sahabat.Margareth tidak berbohong. Wanita itu memang tidak tahu di mana Risa berada dan dia cukup terkejut begitu mendengar jika sahabatnya tak lagi berhubungan dengan pria yang sebelumnya sangat ingin Risa miliki. Hingga dua tahun setelah itu, Risa menghubungi Margareth dengan nomor baru yang berasal dari Indonesia.Ponsel yang tergeletak di atas meja kembali bergetar. Tanpa menolehkan kepala, Danu mengambil benda itu dan membaca sebuah pesan singkat dari seseora
Pembukaan sanatorium di Jakarta Timur dihadiri banyak undangan, salah satunya dari taman kanak-kanak yang termasuk Nathan di dalamnya. Anak-anak itu datang bersama wali murid dan menyemarakkan acara resmi tersebut. Selain anak-anak dari sekolah terdekat, pihak rumah sakit juga mengundang pasien dari yang menjalani rawat inap karena memiliki kondisi yang kurang baik.Sembari bergandengan tangan dengan sang ibu, Nathan dan teman-temannya membawa setangkai bunga krisan yang mempunyai makna bagus, yaitu sebuah doa agar orang-orang sembuh dari segala penyakit dan panjang umur.Risa memegangi perutnya yang terasa sakit sebab sejak tadi menahan sesuatu. Acara akan dimulai dalam sepuluh menit dan jika dia menahannya lebih lama, kemungkinan dia akan menjadi pasien pertama yang di sanatorium tersebut.Lantas, wanita itu melepas genggaman tangan Nathan dan berkata, “Nathan, mama harus ke toilet sebentar. Kau harus tetap di sini bersama teman-temanmu, ya?”“Baik, Ma!”Risa kemudian melangkah perg
Margareth menutup pintu kamar Nathan setelah anak itu tertidur pulas dalam pelukannya. Karena kejadian di mana Nathan mengaku melihat ayahnya, sementara Risa mengelak jika mereka hanya mirip, anak laki-laki dengan tinggi seratus enam belas sentimeter itu merajuk dan tidak mau melihat sang ibu.Risa sedang duduk di ruang tengah saat Margareth datang. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu yang pasti berkaitan dengan sikap keras kepala Nathan seharian ini yang tidak bisa dianggap remeh. Karena seperti yang sudah diketahui, anak-anak tidak pernah berbohong dan terkadang perasaan mereka lebih akurat daripada orang dewasa.Margareth duduk di sebelah Risa, memperhatikan sikapnya yang mencurigakan, seolah-olah terganggu oleh kenyataan yang Nathan percayai. “Jadi, sekarang aku benar-benar harus tahu apa yang sebenarnya terjadi enam tahun lalu,” katanya dan Risa tak juga menanggapi. “Mungkin pria yang Nathan lihat memang ayahnya, tapi …,“Aku sungguh tidak mengerti kenapa kau bersikeras meracu
Acara di Jakarta sudah usai dan Danu berencana pulang melalui perjalanan darat dan menyeberangi lautan dengan kapal feri siang ini juga. Pria itu bahkan sudah dalam perjalanan menuju Merak lantaran dirinya tidak bisa berlama-lama meninggalkan sanatorium di Bandar Lampung.Sepanjang mobil pajero itu melaju di jalan tol, Danu tak henti-hentinya memikirkan ucapan Nathan yang terdengar yakin tanpa ada keraguan. Dia bahkan masih terbayang-bayang bagaimana anak itu menunjuknya dengan ekspresi wajah serius.Bagaimanapun pria itu mencoba tidak acuh, dugaan tak pasti yang muncul di kepalanya benar-benar menyita waktu dan perasaan hingga pada akhirnya dia menghubungi Angga Prayoga, Direktur Rumah Sakit yang juga berperan penting pada acara pembukaan sanatorium kemarin.“Ini saya, Danu,” kata pria itu begitu sambungan teleponnya diterima.“Oh, iya, Pak Danu. Apa Anda sudah tiba di pelabuhan?” tanya Angga di seberang sana.“Tidak, belum. Saya ingin bertanya tentang anak-anak yang datang menerima
Setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam, Danu tiba di TK Stasiun Pelangi yang lokasinya memang dekat sekali dengan rumah sakit dan juga sanatorium baru itu. Kira-kira hanya berjarak sekitar satu kilometer saja.Sekolah itu tidak terlalu besar dan bagus, pula tidak terlihat elit seperti taman kanak-kanak yang ada di pusat Kota Jakarta. Hanya dengan melihat itu, Danu menjadi ragu untuk memastikannya. Namun, di satu sisi dia juga berpikir jika mungkin saja Risa sengaja menyekolahkan anaknya di tempat kecil yang luput dari pemeriksaannya.Sayang, siang itu sekolah sudah dibubarkan dan tidak ada siapa pun di sana selain penjaga sekolah yang pasti tidak tahu soal apa pun tentang anak-anak di sana. Akan tetapi, begitu melihat Danu berdiri di depan pagar dan terlihat kebingungan, penjaga itu datang menghampiri.“Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya pria bernama Rudi tersebut“Ah, saya dari Rumah Sakit Inpra,” jawab Danu santai dan pria di depannya mengangguk-angguk. “Kemarin saa
Danu merasa kesal setengah mati pada wanita yang terduduk di depannya ini sambil memeluk anak laki-laki yang tengah menangis. Meski demikian, dia tidak bisa menunjukkan sikap arogannya di depan Nathan jika tidak ingin membuat anak itu menaruh kebencian padanya.Untuk menjaga kepercayaan bocah bernama Nathan itu, yang harus Danu lakukan adalah mengalah pada dirinya sendiri meski harus membiarkan mereka berdua tetap bersama. Akan tetapi, dia juga harus melakukan hal yang sama.“Aku tidak akan mengambilnya darimu.”Risa tersentak dan melebarkan mata setelah mendengar perkataan Danu barusan. Dia bahkan menatap pria itu dengan pandangan bergetar, terkejut dan tidak percaya jika dia benar-benar mendengar sesuatu yang rasanya tidak mungkin.“Aku tidak akan mengambilnya darimu, tapi jangan berani-beraninya kau mencoba kabur dariku!”Detik itu juga, kedua mata Risa yang terbelalak bertambah lebar. Apa yang baru saja Danu katakan adalah sebuah ancaman sekaligus kesempatan agar dia tidak bisa be
Laras benar-benar putus asa menunggu kedatangan Danu atau sekadar panggilan telepon pria itu. Bahkan ketika ini adalah hari pernikahannya dengan Alex, tak sekali pun telepon atau pesan masuk ke ponselnya.Digenggamnya ponsel lipat tersebut dengan kuat, sebagaimana rasa jengkel Laras kepada Danu yang bertingkah seolah-olah tidak terganggu dengan pernikahannya. Jika memang pria itu tidak peduli, Laras harus melakukan sesuatu karena itu membuat perasaannya tersakiti.Hari pernikahan yang seharusnya dilakukan pada pukul sepuluh nanti resmi ditunda dan akan dilaksanakan di waktu lain, entah kapan. Rencananya Laras akan mendatangi Danu di rumahnya untuk mengundang pria itu secara langsung agar bisa melihat seperti apa reaksinya.Setibanya di rumah Danu, wanita itu justru bertemu dengan Rendi, kepala perawat sanatorium, keluar dari rumah itu membawa dua satu koper besar yang diketahui milik Danu yang dibeli di Swiss bersama Laras beberapa tahun silam saat berlibur.“Itu milik Danu, apa yang
“Mama! cepat! Nanti ketinggalan pesawat!”Nathan melambai-lampai pada Risa yang sedang mengunci pintu pagar. Hari ini sampai dua minggu kedepan, rumah itu akan kosong karena mereka akan pergi ke Prancis, sementara Lastri memilih untuk cuti dan pulang sekalipun Risa sudah memintanya untuk ikut ke City of Love tersebut.Selain libur panjang kenaikan kelas, perjalanan Nathan serta ayah dan ibunya ke Prancis bukan hanya untuk berlibur, tetapi juga menghadiri pernikahan Margareth yang telah hamil dua bulan ini.Risa masuk ke mobil dan menatap sang anak melalui spion di atasnya. “Pesawat tidak akan meninggalkan kita, Sayang. Masih ada satu jam untukmu berlarian di bandara.”“Nathan boleh bermain di sana, Ma?”“Tentu saja tidak,” sahut pria yang baru saja menginjak pedal gas itu. Danu terkekeh mendengar dengkusan Nathan. “Nathan suka bisa bertemu Tante Margareth?”“Ehm! Nathan suka sekali! Nathan juga ingin bertemu adik kecil!”Risa tertawa kecil lalu menoleh ke belakang. “Belum bisa, Nath.
Beberapa minggu berlalu, hari kelahiran Nathan tiba dan pesta ulang tahun ke tujuh dimeriahkan dengan tamu-tamu undangan teman sekelas dan juga teman masa TK-nya. Meski hanya berupa pesta kecil-kecilan, anak laki-laki itu benar-benar bahagia mendapat banyak hadiah, terutama dari ayah dan ibunya yang berupa robot-robotan kesukaannya. Selain robot-robotan, Nathan juga mendapat sepatu, bola kaki, juga beberapa benda lain yang bisa dipajang di dalam kamar. Ini adalah kali pertama Risa merayakan ulang tahun sang anak. Bukan karena tidak mampu, tetapi merayakan hari kelahiran Nathan saat anak itu masih berusia di bawah lima tahun menurutnya sia-sia. Nathan bisa lupa kapan saja, berbeda dengan sekarang yang sudah bisa mengingat banyak hal, termasuk pesta ulang tahun pertama di usia tujuh tahun. Orang-orang mungkin menganggap Risa perhitungan, tetapi wanita itu memang memperhitungkan banyak hal sebelum memutuskan sesuatu. Sekitar pukul delapan malam Danu baru pulang ke rumah karena siang ta
Sudah hampir satu minggu ini Risa berada di rumah setelah mengajukan surat pengunduran diri. Selain hanya bersantai di rumah, wanita itu kini bisa mengantar jemput Nathan menggunakan mobil yang Danu beli khusus untuknya dan karena tidak bisa menyetir, mereka kini punya sopir pribadi yang tempat tinggalnya dekat dengan komplek perumahan.Untuk mengisi hari-harinya yang panjang, Risa juga banyak membuat kue atau pergi ke spa dan salon untuk memanjakan diri. Setelah mendapat perhatian penuh dari Danu, sekarang wanita itu merasa telah menjadi ratu. Seorang ratu yang melewati banyak rintangan untuk bisa duduk di takhta.“Hari ini kau akan kemana?”Risa menolehkan kepala saat mendengar pertanyaan Danu yang sedang memakai baju. “Aku pergi ke perkumpulan wali murid siang ini,” jawabnya sambil beranjak mendekat. “Mereka baru mengundangku ke grup setelah hampir tiga bulan Nathan masuk sekolah dasar.”Danu yang hendak memakai dasi, kembali urung dan membiarkan sang istri yang melakukannya. “Kau
“Nathan mau juga!”Anak laki-laki itu berlari ke arah ayah dan ibunya, lalu mencium pipi keduanya dan tersenyum lebar setelahnya. Sementara Danu dan Risa hanya tersenyum sambil membalas tatapan satu sama lain, merasakan debaran membuncah yang tidak bisa disembunyikan.Setelah menikmati pemandangan malam yang indah di Monumen Nasional, mereka bertiga memutuskan untuk pulang sekitar pukul sembilan. Apalagi Nathan sudah kelihatan tidak berdaya saat berada dalam gendongan Danu meski anak itu kini menjadi lebih tinggi dari pertama mereka bertemu.Dulu saat Danu datang, Nathan masih di bawah pinggulnya, tetapi sekarang anak itu sudah mencapai pinggang dan terus tumbuh hari demi hari. Hal itu membuat Danu sadar jika waktu yang mereka lalui bersama sudah terbilang lama, tidak lagi hanya seperti kemarin.Sekitar setengah jam perjalanan, mereka tiba di rumah. Danu menggendong Nathan dan menidukannya di kamar, sementara Risa membawa beberapa jenis makanan ringan yang tidak disentuh, lalu meletak
Nathan heran sekali melihat sang ibu beberapa hari ini terlalu banyak mengurung diri di kamar. Bahkan ketika anak itu mendekat masuk dan berbicara pun, tanggapan yang dia terima tidak begitu memuaskan sampai-sampai menimbulkan pertanyaan, apakah dirinya melakukan sesuatu yang salah.Tidak hanya sang ibu, ayahnya pun terlihat tidak semangat setiap hendak pergi bekerja, atau ketika pria itu pulang dari kantor. Bertanya kepada Lastri pun tidak cukup membuat Nathan tenang dan mengerti.“Tidak ada apa-apa. Papa dan mama Nathan cuma kelelahan karena sibuk bekerja. Jadi, jangan terlalu khawatir ya, Sayang?”Nathan mengangguk lesu mendengar jawaban Lastri yang selalu sama sejak tiga hari lalu. “Pasti Nathan jajannya kebanyakan sampai mama dan papa kecapekan begitu.”Lastri hanya tersenyum sambil mengelus kepala Nathan, lalu membawa anak itu ke kamar untuk menemaninya belajar sampai selesai. Sama seperti Nathan, Lastri juga merasa iba kepada Risa yang kehilangan anak sebelum tahu jika ada ja
Risa keluar dari kamar sambil mengikat rambut. Wanita itu sudah terlihat siap untuk pergi ke kantor meski sejak pagi dia merasa tidak nyaman pada perut hingga punggung. Rasanya nyeri dan itu sudah sering dirasakan setiap satu hingga dua bulan sekali.Setelah lebih dari dua bulan tidak datang bulan, Risa pikir dia berhasil hamil, tetapi pagi tadi ada bercak merah di celana dalamnya dan itu tanda bahwa tamu bulannya datang, serta harapan bisa hamil tentu masih belum tercapai.Duduk di sebelah Nathan, Risa mengecup kening anak laki-laki itu seperti biasa. “Kamu yakin sudah memasukkan semua buku yang harus dibawa hari ini?”“Sudah, Ma. Nathan sudah memeriksanya dua kali!” balas anak itu dengan nada tinggi, agak kesal karena sang ibu terus menerus bertanya hal yang sama setiap pagi.“Bagus. Kamu sudah besar sekarang, jadi mama tidak akan membantumu melakukan tugas harianmu. Mengerti?“Iya ….”“Omong-omong, apa kau merasa kurang sehat?”Risa mengalihkan pandangan kepada pria yang duduk di d
Derit ranjang berbunyi memenuhi kamar, bersahutan dengan desah serta erangan dari dua insan yang tengah memuaskan hasrat satu sama lain di siang bolong seperti ini saat sinar matahari bisa dengan mudah menerangi ruangan dari jendela yang terbuka.Ini terjadi begitu saja setelah tiba di rumah. Perasaan emosional yang Risa rasakan membuat Danu sedikit lebih perhatian dan berakhir pada pergulatan panas di ranjang yang membuat sprei berantakan, juga pakaian berserakan di lantai.Embun keringat muncul di punggung Danu yang terus bergerak mengeluar masukkan miliknya pada kewanitaan Risa yang telanjang bulat, sementara lidahnya tak berhenti memberi rangsangan pada payudara istrinya yang terus meracau tak jelas.“Aku bilang pada Laras kalau kau sangat perhatian padaku,” ucap Risa di tengah-tengah perasaan membuncah, “dan itu membuatnya sangat marah.”Danu tak merespon meski sempat terganggu karena tiba-tiba Risa membawa nama Laras saat mereka sedang bercinta. “Jangan bicara lagi. Aku tak mau
“Apa yang kau lakukan dengan duduk seperti orang bodoh di mobilnya?” Danu bertanya dengan perasaan yang masih kesal meski sudah hampir setengah jam Risa duduk di sebelahnya.“Dia hanya meminta maaf,” ujar Risa ketus.“Minta maaf untuk apa?” Danu mengernyitkan kening tanpa mengalihkan pandangan dari jalur mobil di depan.“Kakiku.”Danu menoleh ke kiri dan menepikan mobilnya. “Dia yang menyebabkan semua ini?”“Ya, tapi tidak perlu cemas. Aku sudah membalasnya dengan sesuatu yang lebih menyakitkan hatinya.” Risa tertawa kecil setelahnya dan meminta Danu untuk melanjutkan perjalanan meski ucapannya membuat pria itu penasaran.Danu sama sekali tidak percaya jika Laras tega melakukan hal buruk itu karena dirinya memutuskan untuk pergi dan datang kepada Risa demi Nathan. Jika dipikir-pikir kembali, dia sadar betul semua ini terjadi karena dirinya yang membuat Laras sakit hati, sementara Risa yang menerima akibatnya.“Aku minta maaf. Semua ini karena diriku,” ucap pria itu kemudian.“Semua su
Hari ketiga setelah Nathan libur panjang, Margareth tiba-tiba muncul di bandara dan meminta Risa menjemputnya. Wanita itu memakai celana panjang dan blus simpel warna biru muda, sementara rambutnya dibiarkan tergerai saat menemui sahabatnya yang datang tanpa kabar.“Aku ambil cuti tahunan dan dapat jatah dua minggu. Lumayan, bukan?” Margareth menaik turunkan kedua alisnya sambil tersenyum lebar.“Kalau begitu, selamat!” Risa membalas dengan senang. “Tapi, kenapa kau malah ke Indonesia, bukannya ke tempat lain yang belum pernah kau datangi?”“Loh, Nathan tidak bilang?” Margareth tampak heran, sementara Risa kebingungan. “Aku mau berlibur ke Lombok bersama Nathan selama satu minggu!”“Apa?” Risa melotot dan membuat orang-orang terperanjat mendengar suaranya yang lantang. “Kapan? Dia tidak bilang apa pun padaku!”“Besok pagi kami berangkat.”Risa berkacak pinggang setelah itu san menghela napas panjang. Menurutnya, Nathan mulai menjadi lebih dewasa hari demi hari. Anak itu bahkan sering