"Pelan-pelan". Ucapku di saat aku merasakan bahwa Yoga melakukan gerakan untuk bangun. Yoga tersenyum lantas aku menyambut tangannya agar ia bisa kembali berdiri lagi. Ia dengan semangat berkata kepadaku, "Aku akan latihan kembali, kamu bisa melihatku dengan duduk manis disana"."Kamu bisa istirahat jangan terlalu dipaksa". Balasku merasa khawatir akan kondisinya. Yoga menggeleng merespon permintaanku. Kini tangannya menunjuk sebuah kursi tunggu di sebelah kanan ruangan ini, "Duduklah disana sebentar".Aku melihat arah telunjuk Yoga dan melihat disana memang ada sebuah kursi tunggu yang berwarna putih. Mungkin memang diperuntukkan untuk orang-orang yang sedang menunggu seperti aku sekarang."Baiklah, jangan terlalu dipaksa". Ucapku sambil menatap netra Yoga yang juga sedang menatapku. "Iya". Jawab Yoga dilanjutkan dengan anggukkan kepalanya. Aku lantas berjalan ke kursi tunggu dan duduk disana memperhatikan Yoga yang kini sedang berlatih berjalan kembali. Ada satu instruktur yang
"Baiklah. Jika aku sudah sembuh nanti, biarkan aku memakan semua makanan pedas itu". Pinta Yoga dengan syarat seperti itu padaku. "Deal". "Deal".Aku lantas tersenyum ketika kesepakatan di antara kami selesai. Masa bodoh jika dia harus memakan makanan pedas itu saat ia sembuh nanti. Lagipula yang terpenting adalah saat ini, di masa kritis ia harus memulihkan kesehatan tubuhnya terlebih dahulu. "Apakah kamu begitu mencintaiku?".Pertanyaan Yoga membuat aku terkejut. "A-apa? ". Ucapku kaget tak menyangka lelaki di hadapanku ini mengatakan hal tersebut. "Apakah kamu begitu mencintaiku? ". Ucap Yoga lagi. Aku tak menyangka jika Yoga mengulangi lagi pertanyaannya kepadaku, aku menjadi salah tingkah dan bingung mau mengatakan apa. Untuk berkata jujur aku begitu malu mengatakannya, namun untuk berbohong itu juga tidak mungkin. Aku lantas mengambil gelas minumanku dan menyeruput jus mangga untuk mengalihkan topik yang dibicarakan oleh Yoga. Kini ia masih menatap dan menunggu jawabanku.
Kita rapat sebentar lagi". Ucapnya mengatakan maksud dan tujuannya masuk ke ruangan kerjaku. Aku langsung menaikkan alisku ketika mendengar akan ada rapat setelah bekerja. Dan itu artinya akan pulang terlambat hari ini. "Kenapa? ". Tanya pak Rakha seolah mengerti raut wajahku. "Ah tidak, pak Rakha". Jawabku. Rapat malam ini akan membuat Yoga menunggu lama. Begitulah pemikiran yang terlintas di benakku saat ini. "Baiklah, sepuluh menit lagi kita mulai rapatnya". Setelah mengatakan itu pak Rakha pun keluar dari ruanganku. Aku menarik nafas dan menghembuskan kembali dengan pelan. Mungkin ini yang namanya rintangan dalam sebuah hubungan. Baiklah, tidak mengapa. "Masih ada waktu sembilan menit lagi". Gumam Clara. Clara sedang berpikir untuk menelepon atau mengirim pesan singkat saja kepada Yoga. Jika menelepon, Clara masih merasa canggung dan bisa saja mati kutu untuk berbicara dengan Yoga. "Sebaiknya aku mengirim pesan saja".Setelah bergulat dengan pemikiran sendiri kini Clara l
"Apakah maksudmu aku harus berhenti bekerja?". Pertanyaan Clara memang hal itulah yang aku inginkan. Ia berhenti bekerja dan full menjadi ibu rumah tangga yang mengurusi baby Revan, aku dan rumah kami. Namun, jika aku menjawab "Iya" itu juga tak mungkin. Namun untuk mengatakan "tidak" aku juga tak bisa mengatakannya. Keinginanku juga memang begitu, Clara tetap di rumah saja. "Jika mauku iya kamu berhenti tetapi aku juga tak mau memaksakan kehendakku kepadamu. Semua aku serahkan kepadamu". Ucapku pada akhirnya. "Nanti kita bicarakan kembali mengenai hal ini". Setelah pembicaraan topik tersebut, tidak ada lagi topik yang kami bicarakan selanjutnya. Aku diam membisu dan nampaknya Yoga juga begitu, entah apa yang sedang dia pikirkan.Lama hening di dalam mobil hanya suara bising dari macetnya lalu lintas yang terdengar di indra pendengaran kami. Tak lama kemudian, mobil pun berhenti tepat di depan rumahku. "Aku pulang, terima kasih sudah mengantarku". Ucapku memulai pembicaraan yang
Penasaran mengenai tentang apa itu, aku memutuskan untuk mengikuti arahan tangannya yang menyuruh aku untuk duduk di dekatnya. "Apakah ini mengenai masalah pekerjaan, kamu masih ingin menyuruhku untuk berhenti bekerja?". Tanyaku langsung kepada Yoga saat aku telah duduk di kursi. "Bukan. Bukan hal itu yang ingin aku bicarakan kepadamu, Clara? "."Lalu? ""Kembalilah kerumah kita, mari kita tinggal bersama seperti dahulu".Aku mengarahkan tatapan mataku ke wajah Yoga. Dari ekspresi yang ia berikan, aku tahu dia mengatakannya dengan sangat serius. Aku cukup terkejut akan pembahasan pembicaraan mengenai ini dan tidak menyangka."Bagaimana, kamu setuju kan Clara? "."A-apa? ". Ucapku terbata, aku belum mengetahui jawaban apa yang harus aku katakan. "Kamu bisa mempertimbangkan nanti. Sekarang baby Revan sudah tidur, sebaiknya aku juga pulang".Aku juga tampak bingung dan tak tahu harus mengatakan apa. Diam kembali menyelimuti beberapa saat di antara kami. "Kamu tidak mau makan dulu, bi
Aku tak menyangka bahwa wanita yang sedang memegang lenganku adalah Clara. Aku terjatuh saat berusaha melatih otot kakiku untuk bisa berjalan. Sudah dua puluh menit berlalu mungkin itu yang menyebabkan kekuatanku semakin melemah. "Kau disini? ". Itulah kalimat yang aku ucapkan saat aku terkejut melihat ia memegangi tubuhku d n kini berada di depanku. Aku lihat netra mata Clara yang berembun dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Clara juga tak menjawab pertanyaanku. Alih-alih menjawab, Clara malah langsung memeluk tubuh lemahku yang sedang terjatuh. Saat memelukku itulah, aku merasakan ada buliran air hangat jatuh ke lenganku. Aku pun melihat sudah begitu banyak air mata yang mengalir di kedua pipi Clara."Kenapa semuanya kamu tanggung sendiri, Yoga? "."Kenapa selama ini kamu menghilang dan menyembunyikan ini semua dariku? "."Kenapa? Kenapa Yoga? ".Pertanyaan demi pertanyaan Clara lontarkan kepadaku dengan tanpa melepaskan pelukanku lagi. Clara bahkan menangis semakin menjadi
"Aku akan menunggu".Aku pun mengetikkan pesan itu dan mengirimkannya kepada Clara. Aku sudah bertekad untuk menunggu dan menanti disini. Rindu yang aku rasakan terlalu berat untuk aku pikul dan aku bawa kembali kerumah. Aku harus menuntaskan rindu ini malam ini juga. Cukup lama aku menunggu dan akhirnya aku berhasil bertemu dengan Clara. Rasa senang dan bahagia sungguh sangat indah saat ini. Namun, ada satu hal yang mengganjal di dalam hatiku saat ini. Akankah bakal ada lagi hari-hari yang akan Clara lewatkan sampai larut malam seperti ini. Meninggalkan baby Revan seharian dirumah bersama seorang pengasuh. "Apakah kamu bisa berhenti bekerja? ". Tanyaku kepada Clara. Sontak sejak saat aku mengajukan pertanyaan tersebut suasana menjadi kaku dan hening. Aku tak bisa menahan untuk tidak mengatakan hal tersebut kepada Clara. Aku ingin dia menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Sepertinya Clara tidak menyukai sikapku. Mungkin sekarang ia berpikir aku mulai mengekang dunianya. Baru saja ka
"Kamu yakin Clara sudah mempertimbangkan semuanya dan mau memberikan aku jawabannya? ". Ucapku kembali bertanya untuk menyakinkan dengan lebih lagi kepada Clara. "Iya, aku yakin. Seratus persen yakin dengan keputusan yang akan aku ambil"."Baiklah, apapun itu aku harap semua untuk kebahagiaan dan kebaikan untuk aku, kamu dab baby Revan". Ucapku dengan penuh penekanan.Clara mengangguk dan mantap akan menjawabnya. Aku malah gugup dan berharap dengan cemas. Sungguh aku takut dan tak bisa memprediksi dengan jelas apa jawaban yang akan Clara katakan. "Aku akan berhenti bekerja dan mulai menjalani hidup sepenuhnya menjadi istrimu dan ibu dari anak kita". Aku menatap Clara dengan binar penuh kebahagiaan karena mendengar jawaban yang memang sesuai dengan harapanku. "Tapi aku punya satu syarat? ". Lanjut Clara memyambung lagi. "Apapun syaratnya jika tidak bertentangan dengan kebaikan kita akan aku penuhi". Ucapku dengan serius dan penuh keyakinan."Syaratnya cuma ada satu, Yoga. Aku hara