"Yoga, ini aku, Laura. Apakah kau sudah memutuskan untuk menyepakati kesepakatan itu. Aku tunggu di kantormu siang ini, bye". Begitulah isi pesan yang dikirim Laura ke suamiku tadi malam. "Kesepakatan?". Apa maksud Laura?. Kini aku menerka-nerka.Suara gemericik air di kamar mandi tidak terdengar lagi, buru-buru aku meletakkan benda pipih itu di atas meja. Pak Yoga pasti telah selesai membersihkan diri. Aku tak mau ketahuan sudah mengutak-atik ponselnya.Sambil berbaring, aku kembali memikirkan kembali isi pesan Laura. Kesepakatan apa yang sedang ia tawarkan kepada Yoga?.Pintu kamar mandi pun terbuka, pak Yoga keluar dengan hanya menggunakan handuk. Mataku tak sengaja melihat dada bidang suamiku itu. Pak Yoga yang melihat aku menatap bagian itu, terkekeh pelan. Aku kembali ketangkap basah olehnya."Mau lagi?". Yoga berkata menggodaku."Tidak". jawabku singkat.Lantas aku memalingkan pandanganku seketika dan berbaring membalik arah dan menutupi tubuhku. Aku malu sekali saat ini. Kena
Ada apa, pak Dodi?". Suara khas Yoga terdengar di ujung telepon."Halo, pak Yoga. Maaf pak, bisa bapak ke rumah sakit sekarang, non Clara jatuh dari tangga"."A-apa?". Suara yoga agak keras terdengar hingga mengejutkan bi Siti.-----Dua jam yang lalu"Kau mulai lagi". Frengky menyapaku pagi ini dengan kiasan kembali."Mulai apa?". Kataku cuek.Kemudian aku berjalan pelan untuk memasuki ruangan kerjaku yang berada di lantai paling atas gedung ini. Frengky mulai ikut berjalan dan berada di belakangku. "Apa yang membuatmu senang, aku sudah mulai mendengar suara siulanmu lagi". Frengky mulai mensejajarkan langkahnya."Ah, kau bisa saja". Yoga kini tersenyum."Aku yakin kau telah jatuh cinta". Kata Frengky yakin."Tebak sajalah, kau penasaran rupanya". Yoga mempermainkan kata agar tidak ketahuan."Baiklah, aku yakin dengan pendapatku, Yoga". "Terserah kau saja.""Ada kabar buruk untukmu". "Kabar buruk apa, katakan jangan berbelit". "Ada Laura di ruanganmu". Kini Frengky serius berbicar
Aku yang baru saja sampai rumah sakit langsung berlari menuju arah ruang gawat darurat. Terlihat di ujung lorong, pak Dodi dan bi Siti sedang mondar mandir. Mungkin mereka sepertiku yang merasakan gelisah dan kekhawatiran atas keadaan Clara."Bagaimana pak Dodi, bi Siti?". Aku mengajukan pertanyaan kepada dua orang paruh baya di depanku."Maafkan kami pak, kami telah lalai. Non Clara masih di dalam". Bi Siti yang menjawabku sambil menunjukkan ruangan di depanku.Aku menggusarkan rambutku kasar. Aku tak bisa menyalahkan mereka. Aku juga tidak tahu apa yang telah terjadi di rumahku saat Clara terjatuh. "Pak...". Suara bi Siti menghentikan frustasiku sejenak."Hmmm, anu pak". Bi Siti terbata-bata ingin mengatakan sesuatu seperti ragu."Ada apa bi?"."Tadi sebelum non Clara jatuh, dia menyuruh bibi untuk memanggil pak Dodi kayaknya mau pergi pak, tergesa-gesa"."Pergi?". Aku mengernyitkan dahiku."Mau pergi kemana Clara, bi?". Kataku mulai menginterogasi mereka."Tidak tahu, pak. Saat sa
"Kau siapa?".Suara pertama yang keluar dari mulut Clara seperti petir yang menyambar gendang telingaku. "A-apa, apa katamu Clara?". Suaraku tersendat menanggapi pertanyaan yang dilontarkan oleh Clara barusan."Kau siapa?". Ia mengatakan itu lagi.Clara memang berkata pelan namun seolah bagaikan suara petir yang kembali menggelegar di ruangan ini."Aku suamimu, Yoga". Mulutku pun berpihak padaku seperti ingin memberikan pembenaran.Clara menggeleng pelan dan melihat sekeliling. "Aku dimana?".Pertanyaan Clara selanjutnya kembali menamparku dengan sebuah kenyataan."Apa maksudnya semua ini?". Jiwaku memberontak mencari jawaban.Seolah menyadari apa yang sedang terjadi pada Clara, dokter segera memeriksa kembali kondisi istriku, "Permisi pak, boleh saya cek kembali ibu Clara?".Aku mundur beberapa langkah memberi ruang pada dokter tanpa suara yang keluar dari mulutku. Manik mataku hanya menatap wajah Clara yang penuh dengan raut kebingungan."Kau sudah sadar, Clara?".Suara mama Clara
Setelah beberapa saat aku lepaskan pelukanku dan mencium dahinya sebentar, kutatap manik matanya yang melotot atas aksiku barusan. Aku tak perduli Clara, kita bahkan pernah melakukan yang lebih dari itu. Setidaknya, pemikiran itulah yang membuat keberanianku muncul untuk melakukannya."Dia siapa ma, kok berani sekali memeluk dan menciumku?".Aku tersenyum dalam tangis, mendengar pertanyaan Clara kepada mamanya. Tersenyum karena bahagia sudah memberikan salam perpisahan kepada Clara, dan sedih karena telah dilupakan oleh istri sendiri."Dia bukan siapa-siapa". Suara pak Dedi sedikit membuat kakiku perlahan melangkah.Aku tahu pak Dedi mengatakan itu untuk kebaikan Clara. Namun, betapa menyedihkan yang kurasakan. Aku segera meninggalkan rumah sakit membawa hati yang porak poranda.-----"Kau siapa?". Suaraku begitu pelan tapi sepertinya laki-laki didepanku seolah begitu tertampar dengan pertanyaanku."Aku suamimu, Clara?". Begitulah jawabannya. Aku merasa lucu kapan aku menikah, kenapa
Ah, Yoga menggusar rambutnya kasar. Kini ia malah merosotkan badannya dan menyandarkan tubuhnya di tiang koridor. "Apa yang harus aku lakukan sekarang, Clara. Sungguh aku tak tahu".Lama menjadi perhatian pengunjung rumah sakit ini, Yoga mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Lalu kembali melanjutkan niat setengah hatinya untuk meninggalkan Clara.Sementara itu, Clara yang baru saja minum obat telah membaringkan tubuhnya di ranjang yang baru ia tempati dua hari itu. Sambil menunggu terlelap, Clara kembali memikirkan pria itu lagi."Iya, aku sangat yakin, dokter tadi memanggilnya pak Yoga. Lantas apakah itu adalah namanya "Yoga". Gumamku pelan.Mama yang mendengarku berkomat-kamit, kemudian datang menghampiriku, "Apakah ada yang ingin kau butuhkan, Clara?"."Eh, tidak ada ma". Agak ragu aku ingin mencoba menanyakan siapa pria itu pada mama. "Ma, apakah mama mengenal pria yang tadi?"Mama yang kembali duduk di sofa, seperti tidak kaget aku akan menanyakan hal tersebut. "Kan sudah papa kamu
"Maaf anda siapa?".Mendengar pertanyaanku barusan, pria di depanku ini menghentikan senyumannya dan tiba-tiba bertingkah kaku. Apakah aku sudah salah bicara dan kenapa juga reaksinya sama persis dengan reaksi pria yang menemuiku di rumah sakit.Apakah sudah banyak orang yang tidak aku kenal? Atau aku yang melupakan mereka?, batinku."Anda mengenal saya?". Hati-hati aku menggunakan kata-kata untuk bertanya."Hmm.. Saya adalah dosen kamu. Rakha". Pria yang memperkenalkan dirinya itu sebagai Rakha kini bersikap formal padaku."Maaf pak, saya lupa". Buru-buru aku berbohong. Kini aku tahu siapa laki-laki ini."Oh tidak apa-apa. Saya dengar kamu masuk rumah sakit?". Kini pak Rakha mengajakku mengobrol sambil berjalan memasuki gedung perkuliahan."Iya pak". Aku lantas juga mengiringi langkahnya karena merasa tak enak mengacuhkan dosen."Sekarang sudah sehat?". Nampak raut khawatir di wajah tampannya."Eh, sudah pak". Aku garuk-garuk kepala yang tak gatal."Oke, silahkan lanjutkan aktifitasm
"Pak Yoga?". Aku kembali mengulang perkataan Wita. Apakah laki-laki yang di rumah sakit itu adalah pak Yoga? Orang yang sama yang sedang dibicarakan oleh Wita sekarang? Pertanyaan itu terlintas di pikiranku sekarang. Untuk mengetahui jawabannya, pasti semua temanku ini mengetahuinya, mustahil mereka tidak tahu."Jadi, apakah aku benar-benar sudah menikah dan suamiku itu adalah pak Yoga?". Kataku dengan penuh penekanan.Mendengar pertanyaanku mereka hanya kembali melirik satu sama lain. Melihat itu aku menjadi geram, "Benar kan?". Kataku lagi.Mereka masih diam, kini aku tahu diamnya mereka jawabannya adalah iya. "Baiklah, aku sudah menemukan apa yang ingin aku ketahui"."Clara, bukan maksud kami mau menyembunyikan semuanya darimu". Tya mulai bersuara.Aku menetralkan emosiku, "Beri aku alasan kenapa kalian harus menyembunyikannya dariku?"."Apakah karena kalian mengkhawatirkan kesehatanku?". Kataku lagi."Iya, Clara"."Kau tak boleh terlalu memaksa untuk mengetahui semuanya untuk se
"Aww... ". Gumamku pelan. Aku terbangun dan merasa seluruh badanku pegal, aku sedikit menggeliat pelan. Deg, aku seperti menyentuh tubuh seseorang, aku pun menoleh ke samping.Aku kaget, karena yang kulihat adalah seseorang. Dan itu adalah Yoga. Kejadian seperti ini mengingatkan aku pada malam pertamaku bersama Yoga juga, dan ini malam keduaku. Aku kini menyadari apa yang telah terjadi dan apa yang sudah kami lakukan tadi malam."Apa karena aktifitas kami tadi malam yang membuat badanku pegal seperti ini". Aku berkata pelan takut mengganggu tidur Yoga. Ditambah dengan perpindahan kami ke rumah hari ini membuat tubuhku terasa begitu lelah. Sama seperti sebelumnya, aku tersenyum dan rasanya tidak mau bangun dari tempat tidur ini. Aku ingin lebih lama berada di samping suamiku ini. Dulu, pagi hari itu adalah hari yang sudah lama berlalu, dan hari ini harus aku tunggu dengan begitu lamanya. Lalu, aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Aku mengamati tiap guratan wajah tampan Yoga, p
"Janji yang mana? ".''Memeluk mama. Tapi papa ingin melakukannya tidak di dapur seperti yang tadi, tapi ditempat yang mama suka". Yoga membuat aku kembali menerka dan membuat aku kembali penasaran. "Mama suka lagi? Tempat yang mana? "'Makanya cepat selesaikan makannya. Biar mama juga tahu?!".Aku melihat Yoga kini mengerling dengan nakal, ia menggodaku. Detak jantungku berbunyi dengan kuat, kenapa aku malah menjadi gugup seperti ini. Untuk memasukkan satu sendok nasi ke mulut pun rasanya urung aku lakukan. Pikiranku pun sudah traveling kemana-mana. "Aish, apalah yang aku pikirkan ini". "Aku akan setia menunggu". Sambung Yoga yang membuat aku semakin menelan ludahku sendiri. Lima menit kemudian. Aku melirik dengan ekor mataku bahwa Yoga yang masih setia menungguku dengan duduk di meja makan. Aku baru saja menyelesaikan makanku dan kini sedang mencuci piring kami berdua dan peralatan memasak tadi. Aku sengaja melambatkannya karena gugup dengan apa yang akan Yoga lakukan setelah i
"Kalau mau dimaafkan harus ada syaratnya? ". Yoga memberiku satu syarat entah apa itu. "Apa syaratnya? ". Tanyaku dengan penasaran. Awas saja jika syaratnya aneh-aneh, aku tidak mau melakukannya. "Syaratnya sangat gampang kok, pasti mama suka"."Mama suka? A-apa, pa? "."Iya mama pasti suka dengan syarat yang akan papa ajukan". Yoga kembali mengulangi perkataanya dengan intonasi pelan agar aku mengerti apa maksud dan tujuannya. Aku kembali memutar otakku menerka apa syarat yang dimaksud oleh suami tuaku itu. Aku jadi ingin tertawa, sudah lama aku tak mengatai Yoga pria tua. Awal pernikahan dulu, aku sering memanggilnya sebagai pria tua. Hal itu aku lakukan karena membenci Yoga. Siapa juga yang tidak akan membenci seseorang yang tiba-tiba hadir didalam kehidupan kita dengan mendadak. Lagipula dulu aku merasa kehadirannya tidak menyenangkan bagiku. Aku yang masih remaja harus menikah dengan seorang pria berumur empat puluh tahun. "Kenapa kamu malah tertawa? ".Sontak pertanyaan dar
"Mau kemana, mama Revan? ".Aku melototkan mata terkejut karena Yoga ternyata tidak tidur. "Eh, ka-kamu tidak tidur?". Tanyaku dengan suara terbata karena terkejut."Mana bisa aku tidur jika kamu tidak ada di sampingku, Clara". Mendengarkan gombalan Yoga pipiku terasa bersemu merah. Aku menjadi salah tingkah saat ini. "Kapan Revan tidur? ". Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan."Baru saja, tadi kami asyik bermain namun sepertinya dia mengantuk. Aku bawa saja ke kamar dan tak lama setelah minum susu, revan tertidur"."Oh, pasti kecapekan". Ucapku mengiyakan. "Kamu juga tidak capek? ". Yoga bertanya kepadaku.Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan dari Yoga. Aku bahkan seperti merenggangkan otot tangan dan pinggangku agar lebih nyaman. "Sini aku pijitin, biar agak enakan badannya". Tawar Yoga kepadaku seraya menarik tubuhku biar berdekatan dengannya. Yoga pun bangun dari tidurnya dan duduk disampingku. Jantungku berdebar kencang saat ini karena jarak kami yang begitu dekat. Aku m
"Maafkan saya pak Rakha. Sepertinya saya harus berhenti bekerja". Ucapku pada akhirnya. Hufft.... Aku bisa menghembuskan nafas lega karena sudah berhasil mengeluarkan kata-kata yang tersangkut berat di tenggorokanku. "A-apa? Aku tidak salah dengar kan Clara? ". Ucap Yoga seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan. "Namun, saya akan tetap bekerja hingga satu bulan ke depan". Sambungku lagi. "Apa?"."Iya pak Rakha saya akan berhenti bekerja. Saya akan memberikan surat pengunduran diri saya satu bulan kemudian". Ucapku menjelaskan keinginanku. "Kenapa tiba-tiba seperti ini Clara? Apakah ada yang salah? ". Jawab Rakha seolah tidak percaya. Rakha pun meletakkan sendoknya di atas piring dan memilih tidak melanjutkan suapan selanjutnya. Kabar mengenai pengunduran diri Clara masih teringat di pikirannya. Kini ia sendiri di meja makan ini, Clara sudah meninggalkan dirinya beberapa menit yang lalu. Rakha teringat kembali dengan perkataan Clara yang menjelaskan kenapa ia harus berhent
"Kamu yakin Clara sudah mempertimbangkan semuanya dan mau memberikan aku jawabannya? ". Ucapku kembali bertanya untuk menyakinkan dengan lebih lagi kepada Clara. "Iya, aku yakin. Seratus persen yakin dengan keputusan yang akan aku ambil"."Baiklah, apapun itu aku harap semua untuk kebahagiaan dan kebaikan untuk aku, kamu dab baby Revan". Ucapku dengan penuh penekanan.Clara mengangguk dan mantap akan menjawabnya. Aku malah gugup dan berharap dengan cemas. Sungguh aku takut dan tak bisa memprediksi dengan jelas apa jawaban yang akan Clara katakan. "Aku akan berhenti bekerja dan mulai menjalani hidup sepenuhnya menjadi istrimu dan ibu dari anak kita". Aku menatap Clara dengan binar penuh kebahagiaan karena mendengar jawaban yang memang sesuai dengan harapanku. "Tapi aku punya satu syarat? ". Lanjut Clara memyambung lagi. "Apapun syaratnya jika tidak bertentangan dengan kebaikan kita akan aku penuhi". Ucapku dengan serius dan penuh keyakinan."Syaratnya cuma ada satu, Yoga. Aku hara
"Aku akan menunggu".Aku pun mengetikkan pesan itu dan mengirimkannya kepada Clara. Aku sudah bertekad untuk menunggu dan menanti disini. Rindu yang aku rasakan terlalu berat untuk aku pikul dan aku bawa kembali kerumah. Aku harus menuntaskan rindu ini malam ini juga. Cukup lama aku menunggu dan akhirnya aku berhasil bertemu dengan Clara. Rasa senang dan bahagia sungguh sangat indah saat ini. Namun, ada satu hal yang mengganjal di dalam hatiku saat ini. Akankah bakal ada lagi hari-hari yang akan Clara lewatkan sampai larut malam seperti ini. Meninggalkan baby Revan seharian dirumah bersama seorang pengasuh. "Apakah kamu bisa berhenti bekerja? ". Tanyaku kepada Clara. Sontak sejak saat aku mengajukan pertanyaan tersebut suasana menjadi kaku dan hening. Aku tak bisa menahan untuk tidak mengatakan hal tersebut kepada Clara. Aku ingin dia menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Sepertinya Clara tidak menyukai sikapku. Mungkin sekarang ia berpikir aku mulai mengekang dunianya. Baru saja ka
Aku tak menyangka bahwa wanita yang sedang memegang lenganku adalah Clara. Aku terjatuh saat berusaha melatih otot kakiku untuk bisa berjalan. Sudah dua puluh menit berlalu mungkin itu yang menyebabkan kekuatanku semakin melemah. "Kau disini? ". Itulah kalimat yang aku ucapkan saat aku terkejut melihat ia memegangi tubuhku d n kini berada di depanku. Aku lihat netra mata Clara yang berembun dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Clara juga tak menjawab pertanyaanku. Alih-alih menjawab, Clara malah langsung memeluk tubuh lemahku yang sedang terjatuh. Saat memelukku itulah, aku merasakan ada buliran air hangat jatuh ke lenganku. Aku pun melihat sudah begitu banyak air mata yang mengalir di kedua pipi Clara."Kenapa semuanya kamu tanggung sendiri, Yoga? "."Kenapa selama ini kamu menghilang dan menyembunyikan ini semua dariku? "."Kenapa? Kenapa Yoga? ".Pertanyaan demi pertanyaan Clara lontarkan kepadaku dengan tanpa melepaskan pelukanku lagi. Clara bahkan menangis semakin menjadi
Penasaran mengenai tentang apa itu, aku memutuskan untuk mengikuti arahan tangannya yang menyuruh aku untuk duduk di dekatnya. "Apakah ini mengenai masalah pekerjaan, kamu masih ingin menyuruhku untuk berhenti bekerja?". Tanyaku langsung kepada Yoga saat aku telah duduk di kursi. "Bukan. Bukan hal itu yang ingin aku bicarakan kepadamu, Clara? "."Lalu? ""Kembalilah kerumah kita, mari kita tinggal bersama seperti dahulu".Aku mengarahkan tatapan mataku ke wajah Yoga. Dari ekspresi yang ia berikan, aku tahu dia mengatakannya dengan sangat serius. Aku cukup terkejut akan pembahasan pembicaraan mengenai ini dan tidak menyangka."Bagaimana, kamu setuju kan Clara? "."A-apa? ". Ucapku terbata, aku belum mengetahui jawaban apa yang harus aku katakan. "Kamu bisa mempertimbangkan nanti. Sekarang baby Revan sudah tidur, sebaiknya aku juga pulang".Aku juga tampak bingung dan tak tahu harus mengatakan apa. Diam kembali menyelimuti beberapa saat di antara kami. "Kamu tidak mau makan dulu, bi