Pemikiranku mengenai sepasang dua sejoli itu berhenti dikarenakan ada notifikasi masuk dari benda pipih yang masih ku pegang ini. Aku membaca judul yang terpampang di layar smartphoneku."Laura Chyntia akan kembali ke dunia entertainment setelah beberapa tahun vakum"."Apa?". Aku terlonjak kaget. Laura Chyntia mantan tunangan Yoga ada di Indonesia? Lalu, apakah benar dia wanita yang menculikku hari ini?. Aku sungguh yakin, itu pasti dia.Aku pun langsung mengklik tautan yang masih terpampang di depanku itu. Ada sebuah video wawancara yang diambil satu jam yang lalu. Aku langsung menonton video tersebut."Hai, saya Laura Chyntia. Saya akan kembali mengisi layar kaca anda dengan wajah saya. Gak sabar menunggu kan?".Klik.Aku langsung mematikan video tersebut. Jantungku berpacu cepat. Benar, suara di video itu sama persis dengan suara wanita yang menculikku. Aku yakin.Trut.. Trut...Aku menerima sebuah pesan dari sebuah nomor tak dikenal. Aku mengernyitkan dahiku, penasaran siapa dan
"Apa yang ingin kau bicarakan?". Yoga kini membuka suaranya."Tapi, pak Yoga harus mengatakan hal yang sebenarnya". Clara mengajukan syarat."Kau mengajukan syarat kepadaku?". Yoga mengkerutkan dahinya."Iya, perkataanku sangat jelas". Clara masih tetap tak bergeming dengan pendiriannya."Baiklah, aku setuju. Lalu, apa yang ingin kau ketahui?"."Laura Chyntia, siapa dia sebenarnya?". Aku langsung mengajukan pertanyaanku kepada Yoga.Alih-alih menjawab pertanyaanku, wajah Yoga malah meregang seperti menahan kemarahan. Aku sontak merasa sedikit takut akan aura Yoga sekarang. Apakah Yoga menbenci Laura karena pengkhianatannya dulu."Duduklah, aku akan ceritakan". Yoga berusaha bersikap normal saat ini walaupun hatinya kacau.Aku dengan sedikit ragu melangkahkan kaki ke sofa di depan Yoga. Apakah aku harus duduk atau berjalan ke arah pintu?. Aku sedikit menimbang apa yang harus sebaiknya aku lakukan sekarang."Duduklah. Aku tidak akan memakanmu". Yoga berkata lagi."Eh, iya". Aku lantas m
Lima Tahun yang Lalu.Sepasang Pria dan Wanita sedang bercumbu mesra di hadapan Yoga. Yoga tak sengaja melihat mereka ketika telpon seluler Yoga berbunyi dan Yoga harus mencari tempat untuk menjawab panggilan tersebut. Wanita itu seperti Yoga kenal, kemudian detak jantung Yoga seperti terpacu kuat, alam bawah sadar yoga memberi sinyal kepada otaknya."Itu Laura". Bahkan Yoga kini tak lagi menghiraukan bunyi panggilan yang sudah kedua kalinya itu. Matanya masih tertuju pada dua sejoli yang sedang asyik memadu cinta itu. Ingin sekali Yoga melabrak mereka berdua, tetapi keinginan itu Yoga batalkan. Tring.... Tring... Bunyi ketiga panggilan itulah yang menghentikan langkah Yoga. "Oma" Nama yang tertera di layar telpon itu harus Yoga jawab, sehingga Yoga harus meninggalkan mereka. Keasyikan bercumbu membuat Laura tidak menyadari bahwa kekasih hatinya itu melihat langsung bukti pengkhianatannya."Halo, Yoga. Kamu dimana?". Suara Oma bergetar saat panggilan itu baru saja tersambung."Lagi
"Katakan kepadaku apa yang kau lakukan sebelum datang kesini?". Yoga bertanya dengan serius."Aku dari pemotretan, sayang". Laura kembali berbohong untuk menutupi pengkhianatannya."Jangan berbohong kepadaku, aku melihat semuanya, kau dan lelaki itu". Yoga mencoba berkata dengan pelan untuk menahan emosinya."A-apa?". Laura memundurkan kakinya ke belakang.Laura tidak menyangka bahwa Yoga mengetahui apa yang telah ia lakukan di cafe "Flower" bersama selingkuhannya, pak Kevin. Niat Laura yang hanya bermain-main itu ternyata berbuah pahit sekarang."Aku bisa jelasin, Yoga". Laura kembali maju mendekati Yoga dan berusaha meraih tangan Yoga."Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu yang sudah dipegang oleh lelaki lain, Laura". Yoga berjalan menjauh, tak sudi untuk disentuh."Yoga, tunggu aku. Aku bisa jelasin, aku hanya bermain-main dengan kevin". Laura berusaha mengejar Yoga."Oh, jadi nama laki-laki itu, Kevin?"."Yoga...". Suara Laura memelas."Apa kamu bilang tadi? Kamu hanya bermain-
"Apa aku menemui gadis kecil itu saja ya? Tapi dengan alasan apa?". Yoga berpikir lama.Belum selesai memikirkan alasan, pintu ruangan Yoga diketuk dan tak lama masuklah Frengky. Sahabatnya itu berjalan tergesa ke arah meja dimana Yoga berada di baliknya. Yoga yang melihatnya penasaran hingga mengernyitkan dahi, "Masalah apa yang terjadi sepagi ini". Batin Yoga."Ada kabar buruk, Yoga"."Katakan dengan benar, Frengky. Kabar buruk apa yang datang sepagi ini?". "Laura datang kemari dan sedang menuju kesini". "Siapa yang mengizinkan wanita itu untuk masuk ke area kantorku?". Amarah Yoga muncul."Mungkin karena dulu Laura sering mondar mandir di kantor ini. Pegawaimu mempersilahkan ia untuk masuk". "Jangan asal bicara. Cepat hentikan dia, aku sedang tak mau bertemu dengannya"."Iya, Yoga".Frengky yang mendapatkan perintah untuk mengusir Laura segera membalikkan badan ke arah pintu. Namun, ketika pintu terbuka, kabar buruk yang dikatakan Frengky malah sudah berada di depan mata. Frengk
"Baiklah Clara karena kau telah jujur mengenai pernikahan kalian yang terpaksa. Sekarang aku akan menyampaikan alasanku menemuimu disini". Laura berkata serius."Apa alasanmu yang sebenarnya". "Maukah kau membuat kesepakatan denganku?"."Kesepakatan? denganmu?". Aku malah balik bertanya seolah tak percaya."Iya, kesepakatan yang akan menguntungkan untukmu, dan pastinya untukku juga". Senyum terukir di wajah Laura.Tiba-tiba wanita di depanku ini menawarkan sebuah kesepakatan kepadaku. Aku bersikap lebih waspada sekarang. Dan menerka tentang kesepakatan apa yang menguntungkan bagiku."Lalu apa kesepakatan itu?". "Batalkan pernikahanmu dengan Yoga. Aku akan membantu kamu untuk melunasi semua hutang keluarga kalian". "Apa maksudmu?". Aku berpura-pura tidak tahu."Aku sudah tahu semuanya, Clara. Kau tidak perlu menutupinya?". Kali ini senyum sinis yang terukir di wajahnya.Aku hanya diam."Bagaimana?". Laura menatapku seolah mendesakku untuk memberi jawaban.Ada sedikit keterkejutan di
"Apakah Laura menemuimu?". Yoga bertanya tanpa basa basi."Iya". Kataku ketus. Aku kesal sepagi ini sudah melihat wajah tampan Yoga."Apa katanya?". Yoga penasaran terlihat dari sikapnya saat ini."Dia memintaku membatalkan pernikahan denganmu". Jawabku jujur."Ap-apa?". Yoga tak percaya Laura meminta hal tersebut."Lalu apa jawabanmu?". Yoga bertanya lagi."Menurutmu aku harus menjawab apa". Aku mencoba mempermainkan laki-laki yang arogan ini. Aku tersenyum kecil saat melihat reaksinya. Dia nampak sedikit kesal dengan pertanyaan yang sengaja aku ajukan. "Ayolah, Clara". "Apakah aku harus memilih membatalkan pernikahan kita atau kau saja yang membatalkannya?". Aku menyuruhnya untuk memilih.Lelaki berhidung mancung itu mendongakkan kepalanya ke arahku, nampaknya sekarang dia kesal. Permainanku berhasil. "Kau tahu Clara kau tak bisa membatalkan pernikahan ini begitu saja?"."Kenapa tak bisa?. Pak Yoga juga tahu sendiri kan alasan aku menikah denganmu. Pak Yoga juga terpaksa menikah
"Aku sudah mengetahui perasaanmu terhadap Clara". Aku berkata dengan sangat yakin."Perasaanku?. Jangan sok tahu, Frengky". Aku menepis perkataan sahabatku ini."Apakah kau sudah mulai mencintai Clara, Yoga?". Bukannya mendapat jawaban dari Yoga, aku malah menangkap satu dokumen yang dilempar ke arahku. "Jangan bicara sembarangan". Aku sengaja melemparkan satu dokumen kepada Frengky karena berkata omong kosong."Baiklah, aku akan menutup mulutku". Aku langsung berjalan ke arah meja untuk menaruh dokumen penting itu.Yoga hanya melirikku sebentar dan kembali berkutat dengan seabrek dokumen di atas mejanya. Aku bernafas lega, pertanyaanku tadi tak berbuntut panjang.-------Aku kembali ke kamar dengan membawa manekin berisi gaun pengantin yang dibawa Yoga, "Berat sekali". Kataku pelan.Aku lantas memandangi gaun putih yang berada di kamarku sekarang. Memang benar-benar indah, batinku.-----Satu hari sebelum acara pernikahan.Tidak terasa, empat hari telah berlalu, begitu cepat waktu b
"Aww... ". Gumamku pelan. Aku terbangun dan merasa seluruh badanku pegal, aku sedikit menggeliat pelan. Deg, aku seperti menyentuh tubuh seseorang, aku pun menoleh ke samping.Aku kaget, karena yang kulihat adalah seseorang. Dan itu adalah Yoga. Kejadian seperti ini mengingatkan aku pada malam pertamaku bersama Yoga juga, dan ini malam keduaku. Aku kini menyadari apa yang telah terjadi dan apa yang sudah kami lakukan tadi malam."Apa karena aktifitas kami tadi malam yang membuat badanku pegal seperti ini". Aku berkata pelan takut mengganggu tidur Yoga. Ditambah dengan perpindahan kami ke rumah hari ini membuat tubuhku terasa begitu lelah. Sama seperti sebelumnya, aku tersenyum dan rasanya tidak mau bangun dari tempat tidur ini. Aku ingin lebih lama berada di samping suamiku ini. Dulu, pagi hari itu adalah hari yang sudah lama berlalu, dan hari ini harus aku tunggu dengan begitu lamanya. Lalu, aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Aku mengamati tiap guratan wajah tampan Yoga, p
"Janji yang mana? ".''Memeluk mama. Tapi papa ingin melakukannya tidak di dapur seperti yang tadi, tapi ditempat yang mama suka". Yoga membuat aku kembali menerka dan membuat aku kembali penasaran. "Mama suka lagi? Tempat yang mana? "'Makanya cepat selesaikan makannya. Biar mama juga tahu?!".Aku melihat Yoga kini mengerling dengan nakal, ia menggodaku. Detak jantungku berbunyi dengan kuat, kenapa aku malah menjadi gugup seperti ini. Untuk memasukkan satu sendok nasi ke mulut pun rasanya urung aku lakukan. Pikiranku pun sudah traveling kemana-mana. "Aish, apalah yang aku pikirkan ini". "Aku akan setia menunggu". Sambung Yoga yang membuat aku semakin menelan ludahku sendiri. Lima menit kemudian. Aku melirik dengan ekor mataku bahwa Yoga yang masih setia menungguku dengan duduk di meja makan. Aku baru saja menyelesaikan makanku dan kini sedang mencuci piring kami berdua dan peralatan memasak tadi. Aku sengaja melambatkannya karena gugup dengan apa yang akan Yoga lakukan setelah i
"Kalau mau dimaafkan harus ada syaratnya? ". Yoga memberiku satu syarat entah apa itu. "Apa syaratnya? ". Tanyaku dengan penasaran. Awas saja jika syaratnya aneh-aneh, aku tidak mau melakukannya. "Syaratnya sangat gampang kok, pasti mama suka"."Mama suka? A-apa, pa? "."Iya mama pasti suka dengan syarat yang akan papa ajukan". Yoga kembali mengulangi perkataanya dengan intonasi pelan agar aku mengerti apa maksud dan tujuannya. Aku kembali memutar otakku menerka apa syarat yang dimaksud oleh suami tuaku itu. Aku jadi ingin tertawa, sudah lama aku tak mengatai Yoga pria tua. Awal pernikahan dulu, aku sering memanggilnya sebagai pria tua. Hal itu aku lakukan karena membenci Yoga. Siapa juga yang tidak akan membenci seseorang yang tiba-tiba hadir didalam kehidupan kita dengan mendadak. Lagipula dulu aku merasa kehadirannya tidak menyenangkan bagiku. Aku yang masih remaja harus menikah dengan seorang pria berumur empat puluh tahun. "Kenapa kamu malah tertawa? ".Sontak pertanyaan dar
"Mau kemana, mama Revan? ".Aku melototkan mata terkejut karena Yoga ternyata tidak tidur. "Eh, ka-kamu tidak tidur?". Tanyaku dengan suara terbata karena terkejut."Mana bisa aku tidur jika kamu tidak ada di sampingku, Clara". Mendengarkan gombalan Yoga pipiku terasa bersemu merah. Aku menjadi salah tingkah saat ini. "Kapan Revan tidur? ". Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan."Baru saja, tadi kami asyik bermain namun sepertinya dia mengantuk. Aku bawa saja ke kamar dan tak lama setelah minum susu, revan tertidur"."Oh, pasti kecapekan". Ucapku mengiyakan. "Kamu juga tidak capek? ". Yoga bertanya kepadaku.Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan dari Yoga. Aku bahkan seperti merenggangkan otot tangan dan pinggangku agar lebih nyaman. "Sini aku pijitin, biar agak enakan badannya". Tawar Yoga kepadaku seraya menarik tubuhku biar berdekatan dengannya. Yoga pun bangun dari tidurnya dan duduk disampingku. Jantungku berdebar kencang saat ini karena jarak kami yang begitu dekat. Aku m
"Maafkan saya pak Rakha. Sepertinya saya harus berhenti bekerja". Ucapku pada akhirnya. Hufft.... Aku bisa menghembuskan nafas lega karena sudah berhasil mengeluarkan kata-kata yang tersangkut berat di tenggorokanku. "A-apa? Aku tidak salah dengar kan Clara? ". Ucap Yoga seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan. "Namun, saya akan tetap bekerja hingga satu bulan ke depan". Sambungku lagi. "Apa?"."Iya pak Rakha saya akan berhenti bekerja. Saya akan memberikan surat pengunduran diri saya satu bulan kemudian". Ucapku menjelaskan keinginanku. "Kenapa tiba-tiba seperti ini Clara? Apakah ada yang salah? ". Jawab Rakha seolah tidak percaya. Rakha pun meletakkan sendoknya di atas piring dan memilih tidak melanjutkan suapan selanjutnya. Kabar mengenai pengunduran diri Clara masih teringat di pikirannya. Kini ia sendiri di meja makan ini, Clara sudah meninggalkan dirinya beberapa menit yang lalu. Rakha teringat kembali dengan perkataan Clara yang menjelaskan kenapa ia harus berhent
"Kamu yakin Clara sudah mempertimbangkan semuanya dan mau memberikan aku jawabannya? ". Ucapku kembali bertanya untuk menyakinkan dengan lebih lagi kepada Clara. "Iya, aku yakin. Seratus persen yakin dengan keputusan yang akan aku ambil"."Baiklah, apapun itu aku harap semua untuk kebahagiaan dan kebaikan untuk aku, kamu dab baby Revan". Ucapku dengan penuh penekanan.Clara mengangguk dan mantap akan menjawabnya. Aku malah gugup dan berharap dengan cemas. Sungguh aku takut dan tak bisa memprediksi dengan jelas apa jawaban yang akan Clara katakan. "Aku akan berhenti bekerja dan mulai menjalani hidup sepenuhnya menjadi istrimu dan ibu dari anak kita". Aku menatap Clara dengan binar penuh kebahagiaan karena mendengar jawaban yang memang sesuai dengan harapanku. "Tapi aku punya satu syarat? ". Lanjut Clara memyambung lagi. "Apapun syaratnya jika tidak bertentangan dengan kebaikan kita akan aku penuhi". Ucapku dengan serius dan penuh keyakinan."Syaratnya cuma ada satu, Yoga. Aku hara
"Aku akan menunggu".Aku pun mengetikkan pesan itu dan mengirimkannya kepada Clara. Aku sudah bertekad untuk menunggu dan menanti disini. Rindu yang aku rasakan terlalu berat untuk aku pikul dan aku bawa kembali kerumah. Aku harus menuntaskan rindu ini malam ini juga. Cukup lama aku menunggu dan akhirnya aku berhasil bertemu dengan Clara. Rasa senang dan bahagia sungguh sangat indah saat ini. Namun, ada satu hal yang mengganjal di dalam hatiku saat ini. Akankah bakal ada lagi hari-hari yang akan Clara lewatkan sampai larut malam seperti ini. Meninggalkan baby Revan seharian dirumah bersama seorang pengasuh. "Apakah kamu bisa berhenti bekerja? ". Tanyaku kepada Clara. Sontak sejak saat aku mengajukan pertanyaan tersebut suasana menjadi kaku dan hening. Aku tak bisa menahan untuk tidak mengatakan hal tersebut kepada Clara. Aku ingin dia menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Sepertinya Clara tidak menyukai sikapku. Mungkin sekarang ia berpikir aku mulai mengekang dunianya. Baru saja ka
Aku tak menyangka bahwa wanita yang sedang memegang lenganku adalah Clara. Aku terjatuh saat berusaha melatih otot kakiku untuk bisa berjalan. Sudah dua puluh menit berlalu mungkin itu yang menyebabkan kekuatanku semakin melemah. "Kau disini? ". Itulah kalimat yang aku ucapkan saat aku terkejut melihat ia memegangi tubuhku d n kini berada di depanku. Aku lihat netra mata Clara yang berembun dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Clara juga tak menjawab pertanyaanku. Alih-alih menjawab, Clara malah langsung memeluk tubuh lemahku yang sedang terjatuh. Saat memelukku itulah, aku merasakan ada buliran air hangat jatuh ke lenganku. Aku pun melihat sudah begitu banyak air mata yang mengalir di kedua pipi Clara."Kenapa semuanya kamu tanggung sendiri, Yoga? "."Kenapa selama ini kamu menghilang dan menyembunyikan ini semua dariku? "."Kenapa? Kenapa Yoga? ".Pertanyaan demi pertanyaan Clara lontarkan kepadaku dengan tanpa melepaskan pelukanku lagi. Clara bahkan menangis semakin menjadi
Penasaran mengenai tentang apa itu, aku memutuskan untuk mengikuti arahan tangannya yang menyuruh aku untuk duduk di dekatnya. "Apakah ini mengenai masalah pekerjaan, kamu masih ingin menyuruhku untuk berhenti bekerja?". Tanyaku langsung kepada Yoga saat aku telah duduk di kursi. "Bukan. Bukan hal itu yang ingin aku bicarakan kepadamu, Clara? "."Lalu? ""Kembalilah kerumah kita, mari kita tinggal bersama seperti dahulu".Aku mengarahkan tatapan mataku ke wajah Yoga. Dari ekspresi yang ia berikan, aku tahu dia mengatakannya dengan sangat serius. Aku cukup terkejut akan pembahasan pembicaraan mengenai ini dan tidak menyangka."Bagaimana, kamu setuju kan Clara? "."A-apa? ". Ucapku terbata, aku belum mengetahui jawaban apa yang harus aku katakan. "Kamu bisa mempertimbangkan nanti. Sekarang baby Revan sudah tidur, sebaiknya aku juga pulang".Aku juga tampak bingung dan tak tahu harus mengatakan apa. Diam kembali menyelimuti beberapa saat di antara kami. "Kamu tidak mau makan dulu, bi