Setelah Louis pergi, Ruby menemukan dirinya tidak bisa makan dengan baik. Dia terus teringat dengan pelukan Louis yang sarat emosi, persis ketika dia memeluknya saat mabuk waktu itu.“Dia menyembunyikan sesuatu,” gumam Ruby pada dirinya sendiri. “Dia tidak mencoba menciumku, ketika dia mabuk dia juga melakukan hal yang sama. Apa yang sebenarnya dia alami? Apa yang dia sembunyikan dariku?”Tiba-tiba ponselnya bergetar beberapa kali.Ruby meletakkan gelasnya kembali ke atas meja lalu meraih ponselnya. Ketika Ruby melihat ada banyak pesan yang masuk, dia membelalak kaget.“Dad?” gumamnya pelan.Ruby nyaris menjatuhkan ponselnya. Wajahnya memerah, jantungnya berdetak lebih cepat, dan kedua bola matanya dipenuhi bongkahan air mata yang siap meluncur.“Tidak. Tidak mungkin."Kembali diamatinya puluhan gambar yang diambil dari sudut tersembunyi, dugaan Ruby foto itu diambil diam-diam tanpa sepengetahuan ayahnya.Ayahnya sedang bersama seorang wanita yang bukan ibunya. Dia memeluk wanita yan
“Mom, apa yang sebenarnya terjadi?”Ruby langsung menghambur ketika dia tiba di rumah kedua orang tuanya. Rumah itu sepi. Paloma Estella, wanita berusia pertengahan empat puluhan itu duduk sendiri di tepi tempat tidurnya. Begitu mengetahui puterinya kembali, dia buru-buru menghapus air matanya.Namun dia tidak bisa membohongi Ruby seperti yang dia lakukan puluhan tahun silam. Ruby bukan anak berusia tujuh tahun lagi.“Dimana dia? Dimana pria itu?” Ruby berteriak, seluruh persendiannya remuk ketika melihat air mata Paloma. Dan tatapan kosong Mom-nya itu membuat perasaannya tercabik-cabik sangat parah.“Tenanglah. Tenanglah.” Paloma meraih tubuh Ruby dan memeluknya erat. “Ruby, tenanglah, Nak.”“Bagaimana aku bisa tenang?” Ruby menangis sesenggukan. “Bagaimana dia bisa melakukannya setelah aku dewasa? Kenapa dia melakukannya lagi?”“Ruby...”“Aku tahu dia sudah pernah melakukannya dulu. Mom, kamu tak perlu menutupinya lagi dariku,” seru Ruby.Paloma menghela nafas, lalu memeluk Ruby lag
“Kamu baik-baik saja? Terluka di mana?”Ruby mengerjap menatap Louis. Dia tidak percaya jika pria itu ternyata menyusulnya. Sentuhan hangat kulitnya, tatapan penuh kekhawatiran itu menggoda batin Ruby dan dia tidak akan menampik jika kemunculan Louis memberinya rasa aman.“Ayo, aku bantu berdiri.” Suara Louis yang berat menyadarkan angan Ruby. Dia berusaha berdiri dan Louis seperti biasa selalu menempatkannya di balik punggungnya. Ruby menggenggam tangan Paloma yang sama takutnya seperti dia.“Pergi atau aku akan membuat perhitungan pada kalian!” sergah Louis.Pria yang mendorong Ruby sontak tertawa. “Kamu? Apa yang bisa kamu lakukan?”“Kamu bertanya apa yang bisa ku lakukan?” Louis balas tertawa, namun sedetik kemudian tawanya menghilang. “Kamu yakin menunggu apa yang akan ku lakukan?”“Bo-bos,” seseorang dari gerombolan itu mendekati si pria besar. “Dia penerus hotel Winston, orang kaya nomor satu di negeri ini. Dengar-dengar dia sangat berpengaruh. Sepertinya kita harus pergi.”Pr
“Kamu tahu alasan kenapa aku menggunakan nama belakang Mom di belakang namaku, dan bukan nama belakang Dad?” tanya Ruby tiba-tiba.Louis menggeleng.“Karena hal ini sudah pernah terjadi sebelumnya saat aku masih anak-anak. Aku tak ingin membawa nama Dad karena aku pikir hal itu akan mempengaruhi kehidupanku. Tak ku sangka, walau tak membawa namanya, aku masih saja tak bisa menghindar dari karma itu. Kacau, bukan?”Setiap kata yang keluar dari mulut Ruby mengungkapkan hal baru bagi Louis. Defenisi ‘kacau’ yang dikatakan Ruby mulai terdengar masuk akal walau itu bukan hal yang biasa. Memang tak jarang ada anak yang membawa nama belakang ibunya. Namun dalam kasus Ruby, dia memiliki alasan yang sedikit menyakitkan.“By...”“Rasanya benar-benar sakit dan ini memalukan.”Louis menarik nafas dalam-dalam, berusaha berpikir rasional saat keinginannya merengkuh Ruby semakin menyala. “Kamu akan melaluinya bersamaku. Jangan khawatir.”Ruby menunduk setelah mendesah panjang. Tak digubrisnya perk
“Tidak!”“Ide yang bagus!”Ruby dan Liv bicara di waktu yang bersamaan. Ruby menatap Liv tak percaya, lalu menggeleng pertanda dia tidak setuju.“Kamu tidak punya pilihan lain. Agen properti akan memberimu harga yang mencekik leher jika mereka tahu kamu butuh hunian secepatnya.” Liv menegaskan. “Penawaran Louis cukup masuk akal.”“Aku tidak bisa memanfaatkanmu seperti ini.” Ruby menatap Louis. “Terimakasih, tapi aku benar-benar tidak bisa.”“Aku malah berharap kamu memanfaatkanku.” Louis berdehem pelan, diikuti lengkungan senyum di bibirnya yang membuat Liv juga tak bisa menahan tawanya.“Jangan bercanda,” sungut Ruby. “Ini bukan waktu yang tepat.”“Aku tidak bercanda. Aku memang serius menawarkan apartemen itu padamu. Dengar, jika kalian tidak bergegas, mungkin kalian akan menerima sanksi dari pengurus apartemen.”“Tidak ada hal seperti itu,” gumam Ruby. “Kamu membodohiku.”“Kamu pintar. Tak ada yang bisa membodohimu,” sahut Louis.“Kecuali Arden!” Liv mengerling.“Ha-ha. Lucu.” Ruby
Ketika mereka tiba, Louis mempersilahkan Ruby, Paloma dan Liv masuk.Mereka –kecuali Ruby, berjalan mengitari apartemen Louis yang berbanding terbalik dengan apartemen Ruby. Ruby tak banyak mengisi apartemen kecilnya dengan furniture dan barang-barang mewah lainnya.Namun dalam setiap jengkal ruangan di apartemen Louis, mereka dengan mudah menemukan barang-barang branded, lukisan-lukisan mahal, barang elektronik terbaru dan apartemennya bisa dikatakan lebih mirip toko alih-alih hunian.“Jadi seperti ini rumah para old money.” Liv berdecak kagum. Walau dia juga berasal dari keluarga kaya raya, namun apa yang keluarganya miliki belum ada apa-apanya dibanding yang dia temui di apartemen Louis.“Mom yang mengisinya ketika aku tidak ada di apartemen. Jadi, aku tak bisa menolaknya,” terang Louis.“Aku akan membawa Bibi naik ke lantai dua,” Liv mengerling, memberi kode menunjuk Ruby yang duduk di sofa. “Kamu dan Ruby bisa bicara tentang sewanya.”“Sewa?”Louis diam saat mata Liv melotot. Set
“Tumben kamu pulang. Ada apa?” Lorenza dan Antonio tengah duduk berdua sambil menikmati acara dansa di televisi ketika Louis pulang ke kediaman utama milik keluarga Winston. Louis tersenyum, duduk di depan keduanya llau berkata, “Dad, Mom. Ada yang ingin ku katakan.”“Ada apa? Kenapa kamu terlihat sangat serius? Apa terjadi sesuatu di perusahaan?” Antonio mendadak gelisah.Louis menggeleng. “Tidak Dad. Semuanya baik-baik saja. Ini bukan tentang perusahaan,” jawab Louis.“Jangan bilang tentang Angela lagi,” sungut Lorenza. “Aku keberatan jika kamu membicarakannya. Lebih baik aku tidur.”“Bukan tentang Angela, Mom,” Louis nyaris tertawa. “Tapi, ya, ini memang tentang wanita.”“Kamu menyukai seseorang?” Binar di mata Lorenza seketika memancar.Louis mengangguk. “Tapi keluarganya sedikit bermasalah. Maksudku, ini tidak ada hubungan dengannya dan aku bisa menjamin karakternya pada kalian.”“Aku dan Lory tidak pernah mempermasalahkan apakah dia miskin atau tidak Nak. Selama kamu menyukainy
“Lalu bagiamana sekarang?”Liv menggenggam gelas berisi kopi miliknya. Karena Ruby meneleponnya untuk memberitahu isi surat Paloma, Liv langsung bergegas menemui sahabatnya itu. Liv tidak mau Ruby sendirian karena dia pasti sangat sedih.“Aku tahu karakter Mom. Jika dia bersikukuh untuk tidak ditemui, dia memang benar-benar tidak mau ditemui,” gumam Ruby sembari menunduk.“Bibi Paloma benar. Mungkin dia juga butuh waktu untuk sendiri.” Liv menatap Ruby. “Dia pun sama seperti kita. Ada waktu dimana dia butuh menyendiri untuk menyembuhkan lukanya dengan caranya sendiri.”“Tapi aku ingin berada di sisinya,” sahut Ruby lemah. “Aku ingin mendampinginya.”“Biarkan saja dulu. Jika Bibi Paloma sudah memutuskan seperti itu, kamu harus menghargainya.”“Aku tahu.” Ruby menghela nafas, terdengar sedikit lebih tenang dan jelas. Dia meluruskan bahunya dan duduk dengan tegak. “Lalu, bagaimana sekarang?”“Apanya yang bagaimana?” Liv mengernyit bingung.“Tentang apartemen ini.”“Ada masalah pada apar
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob