Setelah menyakinkan Louis dan Edd jika mereka keluar untuk berbelanja kebutuhan wanita sebentar, akhirnya Ruby dan Liv mendapat izin untuk pergi. Kedua wanita itu mengendarai mobil Louis karena pria itu memaksa dan mereka tak punya pilihan lain.Tempat pertama yang mereka datangi adalah rumah sakit. Ruby khawatir kalau-kalau jatuhnya dia sore itu membuat janinnya terdampak. Ditemani oleh Liv, dia mengambil nomor pendaftaran dan menunggu dengan beberapa pasien lain.Ketika giliran Ruby tiba, dia menggenggam tangan Liv untuk masuk ke dalam ruangan. Dokter obgyn yang menanganinya adalah seorang pria yang sudah berumur, terlihat dari warna putih di rambutnya.Ruby merebahkan dirinya di atas ranjang periksa setelah dia berbicara sedikit dengan si dokter. Perawat menuang gel khusus di area perutnya sementara dokter menyiapkan monitor yang berada tepat di sisi Ruby.“Baiklah, Nyonya Ruby. Sudah siap melihat bayimu?”Ruby hanya tersenyum, jemarinya mencengkeram erat sprei ranjang periksa. Ini
Tepat sekali dugaanku, gumam Louis. Detektif itu pasti memiliki hubungan tertentu dengan Angela. Itu sebabnya dia menangani kasus ini sangat lamban, seolah-olah dia tidak bisa menemukan bukti apapun.Foto-foto itu adalah potret ketika Angela dan detektif Hudson sedang saling mencumbu, dugaan Louis mereka berada di rumah Angela karena Louis mengenal bentuk jendela itu. foto-foto berikutnya adalah ketika mereka berdua masuk ke dalam sebuah hotel, dan beberapa foto yang diambil di bar.“Dia yang melenyapkan semua bukti yang berkaitan dengan semua tindakan yang dilakukan Angela.” Jude juga menyerahkan beberapa lembar kertas. “Dia bekerja sama dengan Brenda untuk mengedit riwayat pesan dari ponselmu dan Ruby saat penculikan itu terjadi.”“Dia bekerja sama dengan Brenda?” Edd tak percaya.Jude mengangguk. “Dua wanita sinting, bukankah itu luar biasa?”“Astaga, mereka luar biasa. Jadi Angela hanya memanfaatkan Hudson?”“Ya.” Jude mengangguk. “Target utamanya adalah kamu, Louis. Jadi dia hany
“Maksudmu Brenda ibu Ashley?”Ruby terpaksa berhenti membantu Louis melepas penyangga tangannya saat pria itu kembali ke rumah. Dia menatap wajah Louis sungguh-sungguh, dan ya, pria itu tidak sedang membohonginya.“Aku pikir aku harus memberitahumu, bukan untuk menakutimu tapi agar kamu berhati-hati pada wanita itu,” sahut Louis.Ruby diam cukup lama, sedikit terkejut dan shock dengan fakta mencengangkan yang baru saja dibeberkan Louis. Tangannya memegang erat kain penyangga, lalu tiba-tiba dia menatap Louis lagi.“Ashley tahu?”Louis mengangguk. “Dia yang memberitahuku langsung.”“Karena itu dia menghindariku selama beberapa hari ini?”“Aku rasa begitu. Dan, James mengatakan dia terluka karena ibunya. Itu juga jadi salah satu alasan kenapa dia tidak menemui kita.”“Terluka?” Ruby terhenyak. “Apakah parah?”“Aku belum tahu. Aku belum bertemu dengan James karena aku memang memintanya fokus menjaga Ashley dulu.”“Anak itu,” gumam Ruby pelan. “Untuk apa dia menghindariku?”“Kamu akan mem
Ruby dibayang-bayangi luka lebam Mary ketika dia menyiram tanaman di halaman rumah. Setiap kali dia melakukan sesuatu, ekspresi ketakutan di wajah Mary selalu menghantuinya. Mungkin karena Ruby sedang hamil, jadi koneksinya terhadap seorang anak begitu kuat.Mary pasti disiksa dan diancam. Tak mungkin bekas luka lebam itu muncul tanpa alasan. Dan bagaimana Mary langsung melepas tangan Ruby begitu Ruby mengetahui lebam itu juga meyakinkan Ruby jika anak itu dalam bahaya.Apakah itu perbuatan Angela? Bukankah dia cukup protektif terhadap Mary?“Tidak, aku tidak bisa diam saja,” gumam Ruby.Ruby memutar keran untuk menghentikan aliran air. Dia masuk ke dalam rumah, mengganti pakaian dan menyambar tas selempangnya. Louis sedang tak di rumah. Akhir-akhir ini kekasihnya itu sibuk luar biasa bersama Edd dan James, entah apa yang dilakukan oleh ketiganya.Mengendarai Bentley maroon yang disediakan Louis, dia mengendarai kendaraannya membelah jalanan menuju rumah Angela. Butuh waktu hingga set
“Kamu pulang?” Liv mengguman pelan saat dia merasakan tempat tidurnya bergerak.Edd sudah memastikan dirinya merangkak naik dengan sangat pelan, namun tetap saja Liv bangun. Dengan lembut pria itu mencium kening Liv yang masih memejamkan matanya, dan senyum di wajah gadis itu langsung mengembang.“Aku mandi sebentar,” bisik Edd.Untuk mengelabui Brenda maupun Angela, Edd dan James memutuskan untuk membawa gadis mereka masing-masing ke apartemen milik mereka sendiri. Mereka ingin Brenda atau Angela menganggap jika mereka sudah melupakan penembakan itu.Tak lama kemudian Edd kembali dan sudah berganti menggunakan pakaian tidur. Dia merebahkan diri di sisi Liv dan gadis itu langsung menggeser tubuhnya memeluk Edd.“Kamu sangat wangi.” Liv kembali bergumam dengan mata terpejam.Edd tersenyum. Dia mengelus lengan Liv, mengamati wajah gadis itu lamat-lamat. Bisa bersama dengan Liv atau Ginny adalah mimpi terindahnya. Hal itu sama sekali tak pernah terlintas di benak Edd, tidak ketika gadis
“Kenapa aku tidak melihat Ruby akhir-akhir ini?” tanya James ketika dia dan Louis sedang minum di basement.Louis mengangkat gelasnya, keduanya bersulang. Wajah pria itu sedikit tegang dan kepalanya menggeleng. Entah apa yang dilakukan Ruby di luar sana, yang pasti dia memerintah Louis untuk tak mengikutinya.Ruby bahkan lebih sibuk dari dirinya. Louis menyesap alkoholnya, memicingkan mata karena rasanya yang kuat. “Bagaimana, apa yang kamu temukan?”“Sesuai dugaan kita. Bisnis wanita itu ilegal.” James meletakkan beberapa lembar kertas dan menyusunnya di hadapan Louis.“Bisnis awal yang dirintis suaminya memang legal dan sesuai aturan, namun setelah beliau meninggal, Brenda bekerja sama dengan beberapa pengusaha pertambangan di daerah itu. Dia memiliki setidaknya dua puluh perusahaan boneka untuk mengumpulkan nikel yang ditambang secara ilegal.”Louis membaca satu per satu data yang diberikan James dengan teliti, lalu dia mendengar James kembali bicara.“Dia juga bekerja sama dengan
“Angela mengatakan jika Mary sedang demam dan berada di rumah sakit.”Louis menemui Ruby yang sedang membaca buku di ruang tengah sambil buru-buru mengenakan jaketnya.“Demam?” Alis Ruby naik. Demam biasa atau karena efek penyiksaan Angela?“Ya. Aku akan mengabarimu apakah aku bisa pulang atau tidak nanti.” Louis mengelus kepalanya.“Bagaimana kalau aku ikut?” Ruby berdiri.“Ikut?”Ruby mengangguk. “Aku sudah lama tidak bertemu Mary.”“Tapi Angela...”“Aku datang untuk mengunjungi Mary, bukan Angela.” Ruby tersenyum.“Baiklah. Ayo, kita pergi.”Sedan hitam Louis membelah jalanan dengan mulus. Sesekali dia membunyikan klakson mobilnya sebelum mendahului. Ruby tahu Louis gugup setiap kali dia mendengar Mary sakit dan secara tidak sadar dia mengelus perutnya.Louis adalah pria yang bertanggung jawab. Dia begitu mencintai Mary, dan dia akan mencintai anak mereka juga kelak.Dan tiba-tiba saja terlintas di benak Ruby. Apakah aku harus memberitahu Louis soal kehamilanku sekarang? Apa ini wa
“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?” Angela menatap Mary tajam.Anak itu menunduk, takut-takut untuk mengangkat wajah Angela yang kejam. Jemarinya bertaut, keringat memenuhi dahinya.“Ingat untuk memberikan minuman ini pada Ruby,” bisik Angela lagi. “Kamu tahu apa yang bisa ku lakukan padamu dan pada ayahmu kalau kamu berusaha melawanku, bukan?”“Ta-tapi ini apa?” Mary memberanikan diri bertanya.Di dekatnya Angela meletakkan segelas jus jeruk. Kalau hanya melihat sekilas, jus itu sangat menyegarkan hingga membuat Mary ingin menenggaknya. Namun Angela tentu tak akan menyediakan jus seperti itu jika tanpa alasan.“Jangan banyak tanya. Kamu tidak dalam posisi bisa menanyakan banyak hal padaku. Ingat, jika kamu ingin ayahmu selamat, maka ikuti perintahku.”Mary terhenyak, pelan-pelan dia menganggukkan kepalanya dan melihat Angela menyeringai padanya. Louis dan Ruby sedang pergi mengurus administrasi Mary karena Angela berkeras merawat Mary di rumah saja.Namun sungguh. Mary sangat in
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob