“Kenapa aku tidak melihat Ruby akhir-akhir ini?” tanya James ketika dia dan Louis sedang minum di basement.Louis mengangkat gelasnya, keduanya bersulang. Wajah pria itu sedikit tegang dan kepalanya menggeleng. Entah apa yang dilakukan Ruby di luar sana, yang pasti dia memerintah Louis untuk tak mengikutinya.Ruby bahkan lebih sibuk dari dirinya. Louis menyesap alkoholnya, memicingkan mata karena rasanya yang kuat. “Bagaimana, apa yang kamu temukan?”“Sesuai dugaan kita. Bisnis wanita itu ilegal.” James meletakkan beberapa lembar kertas dan menyusunnya di hadapan Louis.“Bisnis awal yang dirintis suaminya memang legal dan sesuai aturan, namun setelah beliau meninggal, Brenda bekerja sama dengan beberapa pengusaha pertambangan di daerah itu. Dia memiliki setidaknya dua puluh perusahaan boneka untuk mengumpulkan nikel yang ditambang secara ilegal.”Louis membaca satu per satu data yang diberikan James dengan teliti, lalu dia mendengar James kembali bicara.“Dia juga bekerja sama dengan
“Angela mengatakan jika Mary sedang demam dan berada di rumah sakit.”Louis menemui Ruby yang sedang membaca buku di ruang tengah sambil buru-buru mengenakan jaketnya.“Demam?” Alis Ruby naik. Demam biasa atau karena efek penyiksaan Angela?“Ya. Aku akan mengabarimu apakah aku bisa pulang atau tidak nanti.” Louis mengelus kepalanya.“Bagaimana kalau aku ikut?” Ruby berdiri.“Ikut?”Ruby mengangguk. “Aku sudah lama tidak bertemu Mary.”“Tapi Angela...”“Aku datang untuk mengunjungi Mary, bukan Angela.” Ruby tersenyum.“Baiklah. Ayo, kita pergi.”Sedan hitam Louis membelah jalanan dengan mulus. Sesekali dia membunyikan klakson mobilnya sebelum mendahului. Ruby tahu Louis gugup setiap kali dia mendengar Mary sakit dan secara tidak sadar dia mengelus perutnya.Louis adalah pria yang bertanggung jawab. Dia begitu mencintai Mary, dan dia akan mencintai anak mereka juga kelak.Dan tiba-tiba saja terlintas di benak Ruby. Apakah aku harus memberitahu Louis soal kehamilanku sekarang? Apa ini wa
“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?” Angela menatap Mary tajam.Anak itu menunduk, takut-takut untuk mengangkat wajah Angela yang kejam. Jemarinya bertaut, keringat memenuhi dahinya.“Ingat untuk memberikan minuman ini pada Ruby,” bisik Angela lagi. “Kamu tahu apa yang bisa ku lakukan padamu dan pada ayahmu kalau kamu berusaha melawanku, bukan?”“Ta-tapi ini apa?” Mary memberanikan diri bertanya.Di dekatnya Angela meletakkan segelas jus jeruk. Kalau hanya melihat sekilas, jus itu sangat menyegarkan hingga membuat Mary ingin menenggaknya. Namun Angela tentu tak akan menyediakan jus seperti itu jika tanpa alasan.“Jangan banyak tanya. Kamu tidak dalam posisi bisa menanyakan banyak hal padaku. Ingat, jika kamu ingin ayahmu selamat, maka ikuti perintahku.”Mary terhenyak, pelan-pelan dia menganggukkan kepalanya dan melihat Angela menyeringai padanya. Louis dan Ruby sedang pergi mengurus administrasi Mary karena Angela berkeras merawat Mary di rumah saja.Namun sungguh. Mary sangat in
Tubuh Louis mendadak kaku bak mendapat sengatan listrik yang membuat nafasnya ikut berhenti. Dia diam dan mendengarkan perkataan dokter, sama sekali tidak bereaksi layaknya patung.“A-apa?”Akhirnya, setelah mengalami pergolakan emosi yang luar biasa, Louis menemukan kekuatan untuk membuka mulutnya kembali.“Ruby hamil?”“Ya, Tuan. Namun sayang sekali, janinnya tidak selamat.”“Dia hamil?” tanya Louis sekali lagi, memastikan.“Ya.” Kali ini giliran dokter yang memberi reaksi aneh mendapati Louis menanyakannya pertanyaan yang sama berkali-kali. Dia berpikir, pria ini yang mengantar gadis itu, Seharusnya dia adalah kekasih atau suaminya. Mustahil dia tidak mengetahui kehamilan pasangannya.“Kita bisa bicara di ruanganku, Tuan. Nanti setelah selesai, pasien akan dipindahkan segera menuju ruang perawatan biasa.”Louis menghabiskan sepanjang hari di sisi Ruby, tak beranjak sedikit pun dari sisi gadis itu. Dengan erat tangannya menggenggam tangan Ruby yang lemah. wajah Ruby seputih kapas da
Seolah tubuhnya dibakar diatas api yang menyala-nyala, Liv merasakan aliran panas memenuhi sekujur tubuhnya. Bahkan emosi yang meledak-ledak ini membuatnya tak bisa bernafas dengan leluasa hingga dia berjalan lebih dekat ke jendela, namun secepat kilat dia kembali.“Kamu ingin menyudahi hubungan kalian?” teriak Liv. “Setelah apa yang dilalui Ruby?”“Lou, bisakah kita bicara dengan kepala dingin? Tolong jangan buat keputusan saat marah seperti ini. Jangan, aku mohon.” James mendekati Louis, kemudian saat berbalik dia baru menyadari jika Ashley tidak ada di sana.Kemana gadis itu pergi?“James benar. Jangan buat keputusan saat putus asa, mengerti? Keputusan itu akan merugikanmu,” imbuh Edd.“Tidak. Aku sudah memikirkannya.” Louis berdiri. “Ini adalah keputusan terbaik yang bisa ku lakukan. Demi kebaikan Ruby...” Louis mendengar Liv mencibir, lalu dia melanjutkan pembicaraannya. “Demi kebaikan Ruby, aku pikir sebaiknya aku meninggalkannya.”“Kamu tidak boleh lari dari masalah.” Edd menat
Ruby memaksa pulang hari itu juga walau dokter mengatakan mereka masih ingin memantau kondisi Ruby. Gadis itu tak ingin berlama-lama di rumah sakit yang membuatnya tak bisa lupa pada janin yang tidak menghuni rahimnya lagi.Di dalam sedan Liv, Ruby meringkuk, Pandangannya terarah ke jalanan, pada pohon-pohon yang seolah berlari mengejarnya. Sekali lagi buliran air matanya mengalir dan Ruby tidak bisa menghentikannya.Hubungannya baru saja selesai dengan Louis dan bayinya lenyap.Seberat inikah pengorbanan untuk menjadi pendamping Louis?Helaian berat nafas Ruby membuat Liv meliriknya. Ingin sekali Liv menjangkau Ruby, mengulurkan tangan untuk menenangkannya. Namun Ruby tak mudah ditenangkan. Apa yang dialaminya ini memang cukup sakit dan membayangkannya saja membuat Liv meringis.Ketika mereka tiba di apartemen Liv, Ashley sudah menunggu. Dengan berurai air mata Ashley mendekap Ruby. Gadis itu menumpahkan semua kesedihannya di pelukan Ruby dan air mata Ruby mengalir lebih deras.Liv m
“Kita kemana?”Angela tak henti-hentinya tersenyum ketika dua hari setelah Mary pulang dari rumah sakit, Louis mengajaknya berlibur.“Aku pikir Mary sering sakit karena aku tidak pernah mengajaknya berjalan-jalan,” gumam Louis pelan. “Aku ingin menebus kesalahanku.”“Oke, sebentar. Aku akan berkemas.”Angela masuk ke kamar. Mary sedari tadi tidak mendekat pada Louis dan malah memilih duduk memainkan boneka kelincinya di depan televisi. Louis berjongkok, mengelus rambut Mary dengan lembut sambil tersenyum.“Mary, apa kamu mau berjalan-jalan bersamaku?”Mary menengok Louis dengan takut-takut. Di pelukannya, boneka kelinci itu nyaris terlipat saking kuatnya Mary memeluknya. Louis mengernyit. Gestur ketakutan dan tertekan yang ditunjukkan Mary baru disadarinya sejak gadis ini masuk rumah sakit.“Mary, apa kamu tidak nyaman, Nak? Masih merasa sakit?”“Dia baik-baik saja.”Angela menyahut dari ambang pintu kamar, membuat Mary bersingsut sedikit dan kepalanya masih menunduk. “Sebentar. Aku a
“Mana Mary?” Angela mengernyit setelah Louis kembali seorang diri.“Dia gadis kecil. Dia memintaku kembali ke sini,” sahut Louis santai.“Ini hutan, Lou. Bagaimana kamu meninggalkannya di sana sendirian?”Seolah kamu sangat peduli, Louis menyeringai.“Duduklah. Ada yang ingin ku bicarakan padamu.”Angela menaikkan alisnya. “Bicara denganku? Apa?”Angela berharap mereka membicarakan pernikahan segera. Atau kalau itu terlalu mendadak, dia berharap Louis berlutut padanya sekarang dan mengucapkan 'Angela, kembalilah padaku.'Dan Angela pasti akan mengangguk.Louis berusaha tersenyum tapi tak bisa. Dia menatap Angela tajam. “Bagaimana Mary mendapatkan bekas luka di lehernya?”Angan Angela lenyap. Jadi Louis tidak sedang memikirkan apa yang ku pikirkan? Dia memikirkan anak sialan itu? Tapi dia mulai takut.Angela tidak sanggup menyembunyikan kekagetannya. Dia berucap, “Bekas luka?”“Ya. Bekas luka yang melingkar di leher itu seakan leher Mary dijerat sesuatu.”“Me-melingkar?” Angela mulai g
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob