“Dia mengatakan seperti itu?” wajah Liv memerah kala Ruby menceritakan kembali apa yang dikatakan oleh Louis.“Louis bilang Edd selama ini menderita depresi dan harus rutin mengunjungi dokter. Aku menyampaikannya padamu karena aku khawatir ada kesalahpahaman diantara kalian,” sahut Ruby harap-harap cemas.“Maksudmu aku berbohong?” Liv mengangkat alisnya, mendengkus kesal dan tatapannya tajam pada Ruby.“Tidak,” Ruby menggeleng. “Aku percaya padamu. Aku hanya mengatakan bagaimana jika ada kesalahpahaman...”“Mereka melecehkanku.” Liv tiba-tiba berdiri. Suaranya mendadak berubah parau dan bola matanya berkaca-kaca. “Aku tidak akan mengarang soal itu, By.”“Aku memang tidak mengatakan kamu mengarangnya, Liv. Sungguh.” Ruby mulai merasakan gelagat frustasi dari dirinya sendiri. Sudah ku duga pembicaraan ini tidak akan berjalan dengan baik, gumam Ruby. “Aku tahu kamu benar-benar menderita.”“Bagaimana jika dia menciptakan cerita versi dirinya sendiri agar seisi dunia ini tidak menyudutkann
“Katakan apa yang akan kamu lakukan. Kenapa membawaku ke sini?” tanya Ruby.“Bukankah sudah terlambat untuk menanyakannya, Nona Ruby?” Louis mengerling nakal.“Kamu...” “Selamat datang di tempat persembunyianku.” Louis menyela, tersenyum hangat dan membimbing Ruby masuk.Benar saja. Rumah ini sama halnya dengan penginapan di pulau. Memasukinya seakan dia memasuki toko barang-barang mewah. Ketika Louis memberi kode untuk meminta latopnya, Ruby memberinya dan melihat Louis meletakkannya di atas nakas.“Aku biasanya ke sini ketika aku sedikit kacau,” gumam Louis.Ruby tidak menyahut. Dia berjalan sambil menyapukan tangannya di sepanjang sofa dan mengamati ruangan yang tidak terlalu luas itu. Di atas nakas, tepat di samping laptop Ruby yang diletakkan Louis terdapat satu buah piringan hitam dan beberapa kotak vinnyl di atasnya.Di atas perapian portable, terdapat beberapa foto masa kecil Louis dan dua orang anak laki-laki sebayanya. Dia menduga-duga itu siapa, mungkin salah satunya Edd,
Louis mengangguk-anggukkan kepala, mengabaikan wajah Ruby yang memerah dan jantungnya yang berdetak cepat. “Dagingnya lumayan enak. Tidak sia-sia aku membumbuinya sebelum kamu datang.”“A-aku akan makan sendiri.” Ruby menggeser tubuhnya, menciptakan jarak diantara mereka demi kewarasannya yang masih tersisa. “Kamu boleh melepaskan rambutku.”“Tapi angin akan menerbangkannya lagi.”Ruby memeriksa sekitarnya. Begitu dia menemukan ranting pohon, dia beranjak lalu mematahkannya hingga ukurannya kira-kira sejengkalnya. Dia menggunakannya untuk menyanggul rambutnya, dan hal itu memukau Louis.Lehernya yang jenjang tersingkap dan Louis hanya bisa menelan ludahnya sendiri sambil mengagumi keterampilan Ruby. “Aku tidak tahu jika ranting bisa digunakan untuk menyanggul rambut,” gumam Louis, kembali pindah ke kursi awalnya.“Ini hanya diketahui oleh wanita saja,” sahut Ruby pelan.Mereka tak banyak bicara hingga selesai makan malam. Ruby sangat kenyang dan semua makanan ini sangat menggugah sele
Kata-kata Ruby sama sejuknya dengan embun di pagi hari. Louis menatap Ruby lekat-lekat, mencoba mencari tahu apakah gadis itu sadar mengucapkan kata-katanya atau tidak. Dia mengusap pipi Ruby dan bertanya, “Apa yang kamu katakan barusan?”“Aku bilang aku juga merasakan hal yang sama.”Louis tersentak, mencoba mengolah kembali dalam pikirannya. “Kamu juga mencintaiku?”Wajah Ruby merona merah, lalu mengangguk. “Ya.”“Kamu menerimaku sebagai kekasihmu?” Louis mulai bersemangat.“Ya,” Ruby menahan diri untuk tidak tersenyum.“Ruby, katakan ini bukan mimpi. Astaga, aku bisa gila.” Louis menggenggam erat tangan Ruby dan rona bahagia terpancar sangat jelas. Ruby berjinjit, mencari bibir Louis dan memberi kecupan lembut dan hangat. Itu adalah tanda yang diberikan Ruby jika semua yang baru saja dikatakannya adalah nyata. Ruby tak akan menampik lagi tentang perasaannya.Dia mencintai Louis, itu adalah kenyataan. “Tapi aku ingin mengatakan beberapa hal,” ujar Ruby, melepas pelukannya dari Lo
Saat terbangun pada keesokan harinya, Ruby membutuhkan beberapa detik untuk mengenali ruangan kecil tempatnya bangun. Tubuhnya yang nyaris tanpa pakaian masih dibalut selimut abu-abu yang terbuat dari bulu angsa yang hangat.Jendela kecil dari kayu sudah terbuka, namun tirainya tidak disibak. Ruby duduk, membalut selimut ke tubuhnya. Kicauan burung-burung bergema dan cahaya matahari yang hangat masuk melalui sedikit celah di jendela.Ruby menoleh dan mendapati tempat di sebelahnya kosong, Louis tak ada di sana. Dia pasti sudah bangun, gumam Ruby. Dia menyandarkan tubuhnya, mengingat kembali malam panjang yang dilalui mereka.Hawa panas seketika menjalar di tubuhnya. Gelombang getaran menyusuri setiap jengkal tubuhnya bak tersengat listrik dan membuat Ruby tersipu malu pada dirinya sendiri. Dia memegang pipinya yang hangat.Ruby mengayunkan kakinya, turun dari tempat tidur dan membungkus tubuhnya dengan selimut. Dia berjalan menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya. Ini pagi yang be
“Kamu yakin dia tidak ada?”Lorenza menurunkan kaca mata hitamnya ketika dia bicara pada petugas keamanan di apartemen Louis.“Benar, Nyonya Winston. Nona Ruby tidak ada.” Si petugas keamanan mengatakannya untuk ketiga kalinya. “Setelah diantar pulang oleh Tuan Louis, Nona Ruby keluar lagi dan belum kembali hingga sekarang.”“Padahal aku sudah susah payah datang ke sini diam-diam untuk mengunjunginya,” gumam Lorenza sedih.Dia melihat arlojinya, kecewa. Demi bertemu Ruby, Lorenza berbohong pada suaminya dan mengatakan dia akan mengikuti les yoga. Jika suaminya dan Louis tahu, maka dia tidak akan dipertemukan dengan Ruby.Lorenza sangat penasaran, siapa sosok Ruby yang begitu memukau seperti yang digambarkan Louis? Bagaimana rupanya sehingga dia bisa menolak Louis?“Ah, Nyonya. Sepertinya Nona Ruby sudah kembali.”Petugas keamanan itu menunjuk ke arah pintu masuk. Saat itu Lorenza melihat Ruby untuk pertama kalinya. Gadis itu menenteng dua plastik belanjaan dan sedang menempel kartu ag
Apa yang kamu lakukan? Mata Lorenza membulat –keduanya berbicara hanya lewat gestur dan telepati.Aku? Menemui menantuku. Lalu apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah kamu bilang kamu les yoga? Antonio bergidik.Aku juga menemui menantuku. Kamu mengacaukan rencanaku, mata Lorenza kini menyipit.Kamu...“Tuan, Bibi, apa kalian saling mengenal?” Ruby menatap keduanya bergantian ketika menyadari gestur keduanya sedikit mencurigakan.“Dia supirku.”“Dia temanku.”Lorenza dan Antonio bicara bersamaan. Ruby mengangkat alis, menatap keduanya bergantian. “Bisakah kalian bicara jujur?”“Baiklah. Dia suamiku,” gumam Lorenza pada akhirnya.Ruby mengangguk paham. “Apa kalian sedang bertengkar dan kabur ke apartemen anak kalian?” “Betul.” Lorenza mengangguk, pura-pura. “Tidak tahu dia malah mencariku hingga ke sini.”Ruby tersenyum. “Paman, duduklah. Aku akan menyeduh teh untukmu juga agar kalian bisa bicara sembari menunggu anak kalian pulang bekerja.”“Anak? Anak yang mana?” Antonio mengernyit
“Kamu tidak mau mengatakan apapun?”James menyandarkan tubuh, menumpukan pinggulnya pada sisi meja bar tempat keduanya bicara. Ketika James mengetahui jika Louis adalah kekasih Ruby, ada kelebat kekecewaan yang amat sangat dalam dirinya.Dia seolah dipermainkan oleh Louis. Jelas-jelas malam itu dia menunjukkan foto Ruby padanya dan mustahil Louis tidak mengenali foto itu jika itu adalah Ruby. Tapi kenapa dia diam saja? Kenapa dia tidak memberitahu James jika Louis adalah pria pelarian Ruby?James tertawa. Awalnya tawa itu pelan, lama kelamaan menggema dan air mata bahkan nyaris keluar dari kelopak matanya karena dia terpingkal-pingkal. Menyakitkan memang. Mereka bersahabat, menyukai gadis yang sama, dan yang paling mengecewakan adalah, Louis pura-pura tidak tahu jika gadis itu adalah Ruby.“Kamu menganggapku lelucon? tanya James lagi.Dengan wajah kaku, Louis menunduk. Dia menghela nafas dalam-dalam, lalu berkata, “Aku tidak berniat menyembunyikannya darimu.”“Tapi kenyataannya adalah
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob