Restoran The Northman berdiri di pusat kota, berada dalam komplek pergedungan elit yang terkenal mahal. Interiornya khas bangunan Eropa dengan didominasi warna putih. Sofa-sofa makannya empuk dan terasa nyaman.Ketika duduk berhadapan dengan James, Ruby tidak bisa menemukan kenyamanan dalam bangunan itu. Padahal sebelumnya, dia sudah makan beberapa kali bersama Liv dan suasananya sangat tenang. Penyebabnya adalah ini pertemuan pertama mereka setelah Ruby tahu perasaan James terhadapnya. Ruby sudah menjadi kekasih Louis dan dia tak akan memberi celah dalam hatinya untuk James. James hanya bisa menjadi sebatas sahabatnya, tidak lebih dari itu.Itu sebabnya Ruby ingin mengatakan semuanya pada James dengan jelas.“Aku tidak menyangka jika kita akan duduk dalam suasana canggung seperti ini,” gumam James memecah kesunyian diantara mereka.Ruby memaksa diri untuk tersenyum. “Memang agak canggung,” sahutnya pendek.Sejujurnya, Ruby tidak segan-segan memberitahu James apa yang dia inginkan, t
Ashley baru saja akan kembali pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya saat dia melihat seorang pria tergeletak di jalan. Dia menoleh ke sekitarnya, sepi. Ini memang sudah hampir tengah malam dan karena Bibinya ada di luar kota, Ashley menggantikannya untuk menjaga toko manisan milik Bibinya.Kehidupannya memang berbalik 180° setelah dia memutuskan meninggalkan rumah mewahnya. Ibunya tidak mau melepaskan pria selingkuhannya dan Ashley sudah mengetahui kabar perceraian orangtua Ruby.Gadis berusia sembilan belas tahun itu mengendap mendekati si pria. Begitu di dekatnya, dia langsung mencium aroma alkohol yang sangat kuat. Ashley menepis hidungnya, lalu berusaha membangunkan pria itu dengan menendang kakinya pelan.Tapi pria itu tak bergerak. Ashley menendang kakinya lagi, dan tetap tak ada hasil. Terpaksa Ashley menggunakan kedua tangannya untuk memutar tubuh pria itu agar dia bisa melihat wajahnya.Pria itu adalah James. Setelah berbicara panjang lebar dengan Ruby, James memutuskan m
“Aku tak tahu apa yang kamu sukai jadi aku memesan beberapa makanan.” Ashley sudah menyusun semua makanan yang dipesannya di atas meja sementara dia menyodorkan sebotol mineral pada James.Begitu dia menoleh, Ashley tak bisa mengedipkan matanya saat melihat betapa gagahnya James dalam balutan kaos hitam yang dibelinya. Tubuhnya tinggi hingga nyaris menyentuh candelier bodoh yang terus dipertahankan bibinya walau sudah usang.“Thanks.” James membuyarkan lamunan Ashley.Gadis itu menyentuh pipinya lalu buru-buru kembali duduk. Ashley tidak megerti apa yang terjadi pada dirinya. Dia sudah bertemu banyak pria tampan di sekolahnya, namun tak pernah ada seorang pun yang menimbulkan percikan hangat semacam ini.Apa yang sebenarnya terjadi?“Pukul berapa sekarang?” James duduk di samping Ashley karena di ruangan itu hanya ada satu buah sofa.Ashley menelan ludah sambil mengulurkan tangan, membiarkan James melihat sendiri. “Kamu tidur seharian penuh.”“Astaga, aku pasti sudah menyusahkanmu,” s
Waktu Ruby bangun keesokan harinya, Louis tidak ada di tempat tidur. Dia mengenakan kembali piyamanya kemudian berjalan menuju dapur. Tepat seperti dugaannya, di sana, Louis sudah sibuk. Ruby berdiri di pintu, cukup lama dia melihat dan mengagumi betapa piawainya Louis membolak-balik telur, atau ketika api menyambar penggorengannya saat dia memasukkan sesuatu ke dalam.Ruby bisa melihat Louis terlalu berkonsentrasi dan seluruh tubuhnya terlihat tegang. Dia pun akhirnya sadar jika Louis sedang membuat dirinya sendiri tetap sibuk.“Kamu baik-baik saja?” tanya Ruby dari ambang pintu.Louis melirik begitu menyadari kehadiran Ruby. “Jika maksudmu tentang masalahku dengan James_" Louis terlihat mencampur beberapa adonan lalu memasukkannya ke dalam teflon yang sudah dipanaskan,” _sepertinya aku baik-baik saja.”Louis kemudian mencuci sayuran. “Aku akan mengajakmu keluar nanti malam.”“Kemana?”“Penginapan waktu itu.”Ruby mengernyit. “Apa yang akan kita lakukan di sana?”“Kamu akan mengetah
“Dia benar-benar ibumu?” James menyodorkan sebotol minuman dingin pada Ashley.Gadis itu mengangguk, menempelkan botol ke pipinya yang merah.“Tapi kenapa kamu tidak melawan ketika disakiti seperti tadi?”“Dia sudah agak tidak waras karena diliputi obsesi pada pria yang dicintainya. Aku pikir berdebat dengannya tak akan membuahkan apapun. Sama saja aku berdebat dengan orang gila.”“Kamu baik-baik saja?” James menatap Ashley sungguh-sungguh.“Tidak juga.” Ashley menghela nafasnya dalam. “Tapi ini tidak terlalu buruk. Aku masih bisa hidup dan menikmati hari-hariku. Aku pikir aku baik-baik saja. Sebaliknya, untuk apa kamu menemuiku?”“Ingin mengucapkan terimakasih karena sudah merawatku waktu itu.”“Tidak perlu.” Ashley berdiri. “Aku sedang lelah dan ingin sendiri. Sampai nanti.”“Tunggu.”“Ada apa?” Ashley menoleh.“Jika tidak keberatan, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”“Kemana?”“Kamu akan tahu nanti. Aku jamin kamu akan baik-baik saja dan berterimakasih padaku karena sudah memba
Louis meringis kesakitan, sudut bibirnya pecah dan mengeluarkan tetesan darah segar. Namun alih-alih marah, dia malah tersenyum pada James seraya berkata, “Tinjumu lumayan juga.”Edd yang duduk di samping Louis pun tersenyum, lalu senyuman keduanya berubah menjadi tawa yang merekah. James tak bisa menahan diri lebih lama lagi. Dia kembali duduk setelah gagal untuk tidak tersenyum.Ketiganya tertawa terbahak-bahak, namun ringisan Louis berikutnya membuat tawa mereka menguap.“Aku yakin kekasihku akan memarahimu untuk ini.” Louis menunjuk lukanya. “Kamu memukulnya terlalu kencang.”“Dia tak akan memarahiku. Tidak akan pernah,” sahut James santai.Louis menarik nafasnya, menempel selembar tissue pada lukanya lalu menatap James dengan tenang. “Maaf, James. Apa yang ku lakukan sangat menyakitimu.”“Memang.” James mengangguk membenarkan. “Kalian berbohong padaku, itu yang tak bisa ku terima.”“Bukan karena wanita itu Ruby?” Louis menatapnya.James menoleh ke luar lewat jendela kaca, terliha
Desiran aneh mengalir dalam darah Liv saat mendengar teriakan Edd. Air mata pria itu seakan meluruhkan sekat dendam yang sudah tertanam bertahun-tahun. Liv tidak pandai menilai, namun dia tahu semua kata-kata itu adalah tulus. Dia mulai mendekap dadanya yang terasa sangat sakit dan sesak.Apa aku salah? Apa semua ini salah? “Bagaimana jika kamu tidak akan menemui Ginnymu?” Louis masih duduk di bawah. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu dan menselonjorkan kakinya.“Kamu selalu mengatakan seperti itu,” desis Edd. “Kalian berdua.” Dia menatap kedua sahabatnya bergantian.“Itu pertanyaan yang tepat.” James berdiri, mengisi kembali gelas Edd yang sudah kosong. “Bagaimana jika kamu tidak bisa menemui gadis itu?”“Bukankah sudah ku katakan pada kalian?” gerutu Edd. “Aku, Eddsen William tidak akan menikah seumur hidupku.”Wajah Liv semakin memerah, begitu pula kelopak matanya yang terus mengeluarkan air mata. Dia seperti memiliki banyak stok air mata di sana untuk menangisi apa yang dil
“Kamu baik-baik saja?” Ruby menemui Liv yang duduk sendirian. “Dimana Ashley dan James?”“Berjalan-jalan,” jawab Liv dengan tak bersemangat.“Aku tahu perasaanmu pasti kacau setelah mendengar pembicaraan mereka,” gumam Ruby. Di sampingnya Liv masih enggan bicara, seolah gadis itu butuh waktu untuk sendiri. Ini bukan sekedar kacau, tapi hancur. Perasaan Liv benar-benar hancur.“Kamu tidak mau membahasnya denganku?” Ruby kembali bertanya.Sepi.Liv masih tak bicara dan hanya diam menatap nyala api yang mulai habis. Ruby menghela nafasnya. Sepertinya dia bisa menunggu di dalam rumah saja. Berhubung James dan Ashley sedang berduaan, dia tak mungkin mengikuti keduanya.Ruby berdiri, bermaksud meninggalkan Liv. Namun begitu dia melangkah, dia mendengar suara Liv. “Menurutmu, siapa yang salah?”Ruby menoleh, mendapati Liv masih terpaku pada perapian.“Aku atau dia?” Liv mengangkat wajahnya menatap Ruby.“Aku tidak bisa mengatakan siapa yang salah,” ujar Ruby. “Karena kalian berdua memiliki
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob