“Kenapa kamu membawaku ke sini?”Ruby turun, berdiri tepat di halaman sebuah rumah mewah berlantai dua. Bangunan itu mengadopsi gaya Eropa modern, dengan sisi bangunan yang sepenuhnya berwarna putih. Louis menggenggam tangannya erat, lalu membawanya menaiki anak tangga.“Aku ingin menunjukkan ini padamu,” ujar Louis, lalu membuka pintu dan mempersilahkan Ruby masuk.Ruby tertegun dengan semua kemewahan yang ada dalam bangunan itu. Atap-atapnya dihiasi candelier dengan dominasi warna putih. Kabinet-kabinet disusun rapi dan menyatu dengan dinding, kusen tebal membingkai jendela, namun yang membuatnya terpana adalah lantai yang terbuat dari papan kayu.Penataan ruangan itu adalah yang terbaik yang pernah dilihat Ruby. Bahkan dia tidak tega menginjak hamparan karpet mewah yang membentang di beberapa titik.“Ini...”Mata Ruby mengerjap dan tak mampu mengucapkan apapun saat tiba-tiba Louis merengkuh bibirnya. Ciuman itu dipenuhi kerinduan dan Ruby bisa merasakannya. Dengan lembut dia membuk
Louis terkejut mendengar saran yang tidak pernah terbayang akan didengarnya sendiri dari mulut Ruby. “Maksudmu?”“Kamu bisa mengasuhnya di sini, bersamaku!”Louis bahkan sampai kehabisan kata-kata mendengar keputusan Ruby. Dia melemparkan tatapan yang dipenuhi rasa haru pada gadis itu. “Benarkah?”“Tapi tidak dengan Angela!” tegas Ruby. “Aku tidak mau dia tinggal bersama kita. Jika dia tinggal di sini, maka aku akan keluar.”“Ku rasa aku bisa mencoba membujuk Mary,” sahut Louis. “Bagaimana pun juga Angela sudah bersamanya setiap hari. Mungkin dia akan sedikit kesulitan ketika tidur tanpa Angela.”“Mary?” Ruby mengernyit.“Ya. Angela memberinya nama Mary.”Ruby mengangguk paham. “Baiklah. Kita bisa mencoba opsi itu.”Louis tersenyum, menarik Ruby dan mendekapnya sangat erat. “By, semua ini terasa sangat baru bagiku. Aku tidak berusaha menemuimu karena aku sedang mengatasi rasa shock-ku sendiri dan tidak ingin mempengaruhimu. Tetapi bersamamu di sini, sekarang aku merasa sedikit lebih b
Liv berdiri di balkon apartemen sambil memeluk selimut kecil yang membalut tubuhnya. Hujan sangat deras dan angin bertiup kencang. Bahkan jika dia melangkah sedikit mendekat ke tembok pembatas untuk melihat, dia pasti akan basah.Edd mengirimnya pesan, mengatakan jika dia menunggu Liv di bawah untuk bertemu. Dan waktu mengirim pesan hingga sekarang sudah berlalu beberapa jam. Tidak mungkin pria itu masih di sana, bukan?Sejak kembali dari penginapan Louis, Liv merasakan jika dirinya mulai sedikit luluh pada Edd. Cerita yang dia dapat dari Edd membuatnya memikirkan hal yang baru. Benarkah selama ini dia menyimpan versi yang salah?Ekspresi penuh luka di wajah Edd masih tergambar jelas di benak Liv. Tidak mungkin pria itu repot-repot berbohong hingga membuatnya mabuk. Dan Louis serta James juga bukan orang bodoh. Tidak mungkin Edd bisa menghasut keduanya dengan cerita yang mengada-ada.Ketika petir menyambar dan menciptakan terang yang menyala sepersekian detik, Liv memutuskan masuk ke
Liv tak berani masuk ke dalam ruangan di mana Edd di rawat. Malam ketika dia bicara dengan Edd, pria itu mengalami kecelakaan kecil namun sangat fatal seandainya James terlambat menemukannya.Karena tak bisa menghubungi Edd, James berpikir jima sesuatu yang buruk sudah terjadi. Dan benar saja. Ketika James tiba di apartemennya, Edd terkapar di lantai.Dokter mengatakan jika Edd mengalami overdosis obat-obatan. Setelah minum cukup banyak, dia menenggak obat tidur dalam jumlah yang berlebihan dan nyaris membuat nyawanya melayang."Kamu baik-baik saja?" Ruby mendekatinya.Liv menghela nafas, lalu menggeleng. "Tidak.""Kamu mengatakan sesuatu pada Edd, bukan?"Liv menunduk. "Benar."Ruby menghela nafas, menyandarkan tubuhnya di dinding. "Kondisinya sudah lebih baik, sudah sadar dan sudah banyak bicara.""Baguslah." Liv masih menunduk."Jika kamu ingin bertemu dia, kamu bisa masuk."Liv menggeleng. "Tidak perlu," ujarnya sambil memberi buket bunga yang dipegangnya pada Ruby. "Aku pulang du
Di tengah musik yang mengalir kencang di udara serta berkumandang di dinding-dinding ruangan bar, Ashley memperhatikan wajah Ruby yang mulai memerah. Dia mengecek arlojinya, mengumpat kesal saat Liv tak juga muncul meski mereka sudah berada di sana selama setengah jam.“Kamu terlihat menyedihkan,” gumam Ashley pelan ketika dia melihat Ruby lagi.Ruby menoleh ke arahnya, tersenyum seperti orang gila, lalu bergumam, “Aku memang menyedihkan.”“Pendengaranmu bagus juga.” Ashley tertawa kecil. Percakapan nyaris mustahil dilakukan ketika ada suara yang bergema di angka seratus dua puluh desibel. Yang ada gendang telinga akan rusak dan Ashley benar-benar tak paham kenapa banyak orang dewasa memilih menghabiskan waktunya di dalam bangunan ini.Pulang-pulang, mereka semua harus mengecek kondisi pendengaran mereka ke dokter.Ashley kembali berdecak saat Ruby mengisi lagi gelasnya dengan alkohol. Namun alih-alih melarang, Ashley malah membiarkan Ruby mabuk. Dia tahu Ruby mengalami banyak sekali
Antonio Winston duduk di kursi khusus di ruang tengah kediaman Winston. Di sisinya, Lorenza tak beranjak, sesekali menepuk pundak Antonio untuk menahan diri. Mary dan Angela duduk terpisah dari mereka, dan Louis terlihat berdiri di sisi sofa seakan enggan duduk bersama dengan Angela.Wajah Louis dingin, sorot matanya penuh kemarahan. Edd dan James menunggu di ruangan lain. Edd berjalan hilir mudik, mencoba mencari tahu pembicaraan keluarga Winston namun dia tidak bisa mendengar apapun.“Tenanglah.” James mengingatkan. “Louis akan berhasil memberi penjelasan pada Paman Antonio.”“Aku tidak menyangka jika Angela akan bersikap manipulatif seperti ini,” gumam Edd. “Aku nyaris lupa pada sifat aslinya dulu.”“Semua bisa berubah jika dihadapkan pada sesuatu yang mendesak seperti ini. Dia membutuhkan Louis untuk masa depannya, jadi dia bisa melakukan semuanya.”“Entah apa yang sedang dipikirkan Ruby. Terus terang, walau hubungan mereka masih sangat baru, aku lebih memilih Louis menghabiskan w
“Sial,” sungut Angela kesal di dalam mobilnya. Dia memutar kaca tengah, memperhatikan raut wajahnya yang sembab dan kemudian mengeluarkan perlengkapan make up dan merapikan penampilannya. “Jika bukan karena aku ingin merebutmu dari gadis sialan itu, aku tidak akan mau menumpahkan air mataku untuk hal yang tidak penting.” Dia kembali memberengut. “Bagus anak itu di sana. Jadi malam ini aku bisa bebas semalaman di bar,” sahutnya lagi diikuti tawa cekikikan lalu dia segera menekan pedal gas mobilnya.Malam sudah semakin larut, Louis melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah. Dia sudah menemani Mary tidur lebih dulu, menyempatkan diri menyapa Edd dan James yang masih belum pulang.Memang Louis yang meminta keduanya untuk tidak segera pulang. Setelah menyelesaikan masalah ini, dia mau menemui Ruby dan dia perlu keduanya untuk menemaninya.Televisi layar datar raksasa itu sedang menayangkan drama aksi komedi. Namun terlihat sekali kedua orang tuanya tak menaruh perhatian ke sana. T
Kemudian pikirannya kembali teralih pada malam gala dinner, membuat Ruby melepas pelukan Louis untuk bisa duduk. Louis mengamatinya, mengetahui perlakukan berbeda dari Ruby padanya.“Maafkan aku.” Louis buru-buru memeluk Ruby dari belakang sebelum gadis itu berdiri. “Aku benar-benar menyakitimu By. Maafkan aku.”“Aku harus mandi.” Ruby berusaha melepas pelukan Louis, namun pria itu tak mengijinkannya. Louis justru semakin menyurukkan kepalanya ke batang leher Ruby hingga tarikan nafasnya membuat Ruby merinding.“Kamu sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku. Kita sudah berjanji untuk tinggal bersama,” gumam Louis penuh nada memohon.“Kejadiannya sudah seperti ini dan kamu masih membahas untuk tinggal bersama? Apa kamu gila?” Ruby nyaris berteriak. “Ini tidak masuk akal.”“Apa yang tidak masuk akal?” Louis melepas pelukannya, membiarkan Ruby berdiri di hadapannya. “Kamu tidak berniat membatalkan rencana kita hanya karena kejadian tadi malam bukan?”“Tentu saja aku berubah pikiran.”“R
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob