Leroy melihat ekspresi wajah lawannya tegang dan ketakutan. Leroy bersandar, jari-jari tertuju, dan mengamati ketiga lawannya: Logan, gemetar; Iko, tidak pasif; dan Matteo, menghitung."Opsi satu," Leroy tersenyum tipis, "sederhana aja, sih. Serahin semua bukti tentang fitnahan uang Rp 3 triliun itu! Sebagai imbalannya, aku akan mengampuni hidup kamu, Pak Logan. Gimana? Kesepakatan yang adil, kan?"Leroy tidak akan pernah lupa. Enam tahun lalu, dia diusir karena Rindy Buana memfitnahnya telah menggelapkan uang perusahaan sebanyak Rp 3 triliun. Ternyata itu adalah uang PT Sagari Ivomas Tbk yang berhasil dirampas Matteo dan anak buahnya, termasuk Finn dan Rindy. Dan selama 3 tahun terakhir pula, tim edit perusahaan pusat gagal menemukan bukti-buktinya.Tatapan Logan melesat di antara Leroy dan Matteo. Kesetiaannya kepada Matteo goyah, tetapi dia adalah pria yang sudah berkeluarga. Maka, istri dan anaknya selalu menjadi bahan pertimbangan. Baginya, menyerahkan semua bukti adalah hal yan
Leroy keluar dari kantor PT Sagari Ivomas Tbk bersama Jay. Di belakangnya, Kim berjalan dengan cepat menyeimbangi langkah Leroy. Mobil sudah menunggu Leroy di depan lobi. Adrianus selaku sopir pribadi membukakan pintu mobil untuk Leroy. "Silakan, Tuan Muda!" sapa Adrianus sopan, tetapi tanpa senyum. Saat ingin masuk, Leroy teringat Derra yang berada di belakang mobilnya. Leroy menghentikan gerakannya. Lalu menoleh ke arah Adrianus. "Tunggu sebentar!"Adrianus mengangguk. Kemudian, Leroy berjalan menuju mobil Derra bersama Jay yang setia. Leroy mengetuk kaca mobil. Tidak lama, kaca itu terbuka. Terlihat Derra sedang tersenyum ke arahnya.Leroy membungkuk. "Nyonya, apakah Anda ingin pulang bersama di pesawat jetku?" tanyanya dengan kerendahan hati."Nggak usah, Roy," tolak Derra, suaranya begitu lembut. "Suami saya udah kirim pesawat jet pribadi. Ketika nanti sampai di kota Moco, saya akan atur perjamuan makan malam. Sempatkan diri untuk dateng, oke!""Makasih, Nyonya. Kalo gitu, h
Jum'at pagi di ruang Komisaris Utama Sagari Tower, kota Moco. Pukul 09:00 pagi, Leroy sudah sampai di ruang kantornya. Setelah membuka jas, dia berjalan ke bawah jendela yang terbuka sambil menghisap rokoknya seorang diri. Dia memperhatikan pemandangan jalanan yang mulai ramai dari lantai 7. Tok! Tok! Tok!Seseorang mengetuk pintu. Ketika pintu terbuka, Leroy segera membalikkan badan. Dia melihat Jay datang bersama dua pria dan empat wanita. Leroy berjalan menuju meja kerjanya. Pembawaannya tenang membuat semua orang menjadi segan padanya. Jay berdiri di sisi kiri Leroy. Dia melihat Leroy memadamkan rokok di asbak. "Tuan, mereka adalah tim Anda yang baru saya bentuk." Jay memberitahu.Leroy mengangguk tanpa senyum. Dia duduk di kursi kebanggaannya, menatap semua orang baru di hadapannya. Furnitur mahoni menambah kesan elegan dekorasi ruang kerja Leroy. Bayangan mereka menari di atas lantai keramik putih mengkilap, dan mencerminkan kesetiaan yang berubah-ubah. Keheningan memperkua
Matteo menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Mereka saling pandang, menyadari bahwa Leroy tidak akan mundur. “Hemm, oke. Nggak masalah." Matteo angguk-angguk. "Jika itu keputusan kamu, kita liat aja, gimana kamu menghadapi semuanya! Tapi ingat, ini belum berakhir!"Rindy menatap Leroy dengan campuran perasaan antara kecewa dan prihatin. “Kami cuma mau bantu kamu aja, Roy. Tapi, kalo kamu pilih jalan ini, yaa ... kami nggak punya pilihan lain.”Leroy menatap Matteo dan Rindy dengan tatapan tegas. “Kalian udah cukup buang waktuku. Sekarang, keluar dari ruangan ini!" serunya dengan suara dingin.Matteo sakit hati. Dia berteriak, "Begitukah caramu memperlakukan Papa, Roy?!"Seakan tidak peduli, Leroy berkata tanpa mengalihkan pandangannya dari Matteo dan Rindy. “Jay, pastikan mereka keluar dari gedung ini! Karena mereka udah nggak diterima di sini.” Jay mengangguk. "Mari, Tuan dan Nyonya!" Mau tidak mau, Matteo dan Rindy hanya bisa pasrah dengan tindakan Leroy. Setel
Leroy sudah berada di ruang kerjanya. Dia kembali berdiri di bawah jendela yang terbuka. Dia masih gusar dengan sikap para karyawan tadi. Jay yang sudah bekerja selama bertahun-tahun dengannya pun mengerti. Dia akan mencoba menghibur tuannya. Jay berdiri di belakang Leroy. "Tuan, sebetulnya Anda bisa skip para karyawan tadi." Jay memulai percakapan . "Tapi, kenapa Anda justru berhenti dan dengerin omongan mereka yang nggak masuk akal?"Leroy membakar rokok. Dia menjepit rokok di sela-sela jarinya."Jay, siapa arsitek Sagari Tower?"Jay sedikit terkejut. Karena dia menduga, Leroy sedang memikirkan sikap karyawan yang telah meragukannya tadi. Jay akhirnya tahu kalau ternyata dia sudah salah.Jay menghela napas, mencoba mengingat. “Arsitek Sagari Tower? Itu pasti Armand Delacroix dari Gensler, Tuan."Leroy mencoba mengingat nama yang disebutkan asistennya. "Gensler?" Leroy kembali menikmati rokoknya. "Betul, Tuan. Gensler merupakan sebuah firma arsitektur internasional yang terkenal
Jay, sebagai asisten Leroy, berusaha keras untuk menjaga semangat tim tetap tinggi dan memastikan bahwa semua orang tetap fokus pada pekerjaan mereka. Kemudian, Jay kembali bicara. "Saya akan mengadakan pertemuan rutin setiap seminggu sekali. Saya akan ngasih pembaruan dan dengerin keluhan kalian. Kita akan cari solusi sama-sama di setiap permasalahan."Ajeng, Sinta, Henna, dan Jessy saling bertukar pandang, sementara Benny dan Rangga tampak serius mendengarkan Jay. Leroy, yang duduk di kursi depan, mengarahkan pandangannya ke Jay yang kini berdiri di sisi kiri. “Kita harus cepet-cepet lurusin berita negatif itu,” kata Leroy dengan tegas, suaranya menggema di ruangan. Semua mata fokus pada Leroy, menunggu arahan lebih lanjut."Saya paham, Tuan Muda," kata Jay, dia mengangguk. Kemudian, dia menatap Ajeng. "Sekretaris Ajeng, siapa yang handle grup chat karyawan? Sosialisasi ke mereka untuk menekan berita!"Ajeng mengangguk. "Baik, Pak."Ketika Jay ingin berbicara, Leroy sudah berbica
Leroy mengakhiri teleponnya dengan Ezra. Lalu saat itu juga, dia menghubungi Assad Mamahit. Setelah nada terhubung, terdengar suara Assad di ujung telepon. "Astaga, Tuan Muda! Syukurlah Anda masih inget sama orang tua bau tanah ini. Saya pikir, Anda menderita amnesia akut."Nada suara Assad terdengar menyedihkan sekaligus khawatir. Pria tua itu benar-benar mengkhawatirkan kondisi Leroy. Tanpa sepengetahuan Assad, Leroy sedang tersenyum. Hatinya selalu menghangat setiap kali berinteraksi dengan Assad. "Apa Kakek selalu doain aku yang jelek-jelek kayak gitu?" tanya Leroy dengan nada meledek.Saking kesalnya, Assad tidak bisa mengontrol emosi. "Kamu nggak sadar udah pergi ke kota Moco berapa lama, hah?! Tanpa ngabarin sama sekali. Apa itu yang disebut profesional?!"Ini bukan kali pertama Leroy mendapatkan omelan dari Assad. Setelah menikah dan tinggal di rumah keluarga Donsu, Leroy selalu mendapatkan kata makian dari Assad. Namun dia tahu, semua itu adalah bentuk perhatian dari Assad
Sabtu malam di Bay Hills.Pukul 07:00 malam waktu kota Moco. Leroy telah sampai di rumah dinas Jaksa Agung Mahendratta. Dia pergi bersama Jay. Jika dilihat dari area parkir, tidak banyak tamu yang datang ke acara makan malam keluarga Mahendratta.Leroy diam-diam mengagumi sebuah bangunan bercat putih yang megah dan elegan. Rumah ini dirancang dengan gaya arsitektur modern yang menggabungkan elemen tradisional sehingga menciptakan suasana yang nyaman dan mewah. Di bagian eksteriornya, terdapat taman luas dengan berbagai tanaman hias dan pohon-pohon besar yang memberikan kesan asri dan sejuk.Rumah dinas Jaksa Agung Mahendratta memiliki berbagai fasilitas yang dirancang untuk mendukung tugas resmi dan memberikan kenyamanan maksimal.Leroy sedang duduk di ruang tamu yang luas dengan perabotan mewah dan dekorasi artistik."Roy, kenalin!" seru Derra begitu melihat Leroy sudah datang. "Dia ini Suamiku yang gagah. Namanya Guarin Mahendratta." Derra tersenyum dengan bangga saat memperkenalk