"Elsa." Raffaele melihat kekhawatiran Elsa. Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara, "Kenapa ragu? Bukankah kamu selalu berkeinginan untuk membuat cabang perusahaan lagi?" Mendengar Raffaele berbicara, Elsa merasa sedikit tidak nyaman."Ya, setidaknya itu akan berhasil, karena aku belum terlalu mengenal pemilik NexGen Innovations. Meskipun, menjadi manajer proyek resor itu kesempatan yang bagus, tetapi siapa yang menjaga anak-anak?" "Aku akan mengaturnya, kamu tak perlu cemas tentang itu, aku tahu kamu mengkhawatirkan mereka. Tenang saja, selama kamu menerima proyek ini, perusahaan akan mengatur perpindahan sekolah mereka ke sekolah yang bagus di sana. Bagaimana menurutmu?""Kamu tentu saja tahu, proyek ini sangat penting bagi perusahaan." Raffaelle melanjutkan.'Jadi perusahaan sudah menyiapkan semuanya?' Meski mengatasnamakan perusahaan, tapi Elsa jelas tahu bahwa Raffaele telah mengurusnya, setelah diam beberapa detik, akhirnya ia mengangguk. "Baik."Elsa masih gugup, b
"Mommy, sebenarnya ini bukan salah kami." Sorot mata mereka berkaca-kaca, Elsa sudah menduga, semuanya pasti terbongkar.Elsa mencubit wajah kecil keduanya. "Kalau begitu ceritakan apa yang terjadi?"Arlan maupun Arkan menunduk menunjukkan ekspresi sedih. "Sebenarnya, Erik bilang kami anak haram karena nggak punya papa." "Apa?" Elsa kaget, yang lebih menusuk hati, ketika kedua matamereka memerah dan hampir menangis. "Mommy, kenapa tidak menikah dengan om Raffaele saja?"Dukk! Seketika mobil yang di kendarai Raffaele berhenti mendadak. Meski Raffaele terkejut, namun dia benar-benar ingin mendengar jawaban Elsa.Namun Elsa buru-buru menutup mulut putranya. "Arlan, kamu bicara apa?"Elsa tak menyangka putranya akan berkata demikian, ia melirik sosok yang masih senyap di bangku setir. "Maaf, mereka berkata tidak sopan." "Tak apa, lagipula aku juga ingin tahu jawabanmu...""Ayolah mom, aku dan Arkan nggak mau di ejek nggak punya Papa lagi..."Mendengar itu, Elsa merasa hatinya tumpul. "
"Tunggu! Nama ini..." Keningnya mengernyit ketika melihat berkas yang ditandatangani kliennya. "Bukannya Elsa sudah meninggal?"Seketika Simon membuka browsing dan mencari berita tentang kejadian enam tahun lalu. "Padahal jasadnya belum ditemukan, kenapa...?" Berkas tadi kembali menjadi pusat perhatiannya, Namun tiba-tiba seisi kantor terdengar riuh, hal itu cukup menganggu pikiran Simon. Bagaimanapun, ia belum selesai menelusuri berita tentang Elsa. Saat itu Alessa, sekretaris andalannya muncul. "Pak Simon, seorang ibu-ibu datang dan mengamuk di lobi kantor." Simon memantau dari dinding kaca tembus pandang dari lantai atas, suara jeritan dan makian, cukup menarik perhatian, semua karyawan bahkan juga berhamburan meninggalkan meja mereka. "Siapa wanita itu?"Alessa menggeleng, "Kami juga tak tau, tapi, Ibu itu datang tiba-tiba dan membuat kerusuhan disini." Pandangannya beralih pada para satpam yang mulai menelpon. Namun suara pekikan tadi kembali terdengar, diiringi dengan suara
Simon membeku menatap bayi perempuannya yang cantik kini sudah ditutup dengan kain jarik, sementara Nyonya Leslie tak berhenti menangis, matanya sembab kecewa dan tak bisa berkata apapun, padahal sejak dulu dia selalu berharap punya sepasang cucu laki-laki dan perempuan. Alessa tiba sepuluh menit setelah mendengar kabar itu. “Pak Simon, ini …” Hanya ada respon berupa isak tangis, bahkan Sean, anak laki-laki hasil pernikahan ulangnya Simon dengan Elsa, bersembunyi di balik punggung Alessa. Saat melihat tempat tidur, tatapan Alessa berubah sayu begitu melihat anak Sandra. Meski dia pernah kecewa pada Sandra dan menerima kenyataan menyakitkan bahwa akhirnya setelah mengungkap semua masalah pada enam tahun lalu, Simon dan Sandra berbaikan, hingga mereka kembali menikah, tapi Sandra tetap sahabatnya. Untuk apa pergi menjauh?Toh, lebih baik tetap bertahan daripada kabur tanpa bisa melihat sosok yang di sukainya. Alessa berpikir simpel, dia ikut berduka dengan kabar ini. Alessa mengusap-
"Mommy, aku lapar, kita makan dulu yuk!" Elsa tertawa melihat wajah polos putranya yang memelas. "Baiklah, kita makan akan makan di sana." Elsa menunjuk sebuah restoran kelas menengah yang kebetulan berada tak jauh dari sana. "Oke, kita segera ke sana." Untung ada Raffaelle yang setia mengantar kemana pun yang mereka mau, CEO satu ini terlalu santai dan hampir setiap hari selalu menempel menemani Elsa.Setelah mobil terparkir, mereka turun, lalu masuk ke dalam restoran tersebut. Sementara Arlan maupun Arkan terus melihat sekeliling dengan rasa penasaran."Di dalam, nanti jangan ada yang berliaran ya. Mengerti?" Elsa menasihati mereka. Dia bocah itu mengangguk paham. "Karena mommy juga sudah beri tahu ini sebelumnya." Arkan melanjutkan. "Aku takut di culik orang jahat. Jadi jangan khawatir, kami akan sangat patuh!"Mendengar itu, Elsa mengusap kepala kecil keduanya.'Kalian memang paling pengertian.'Mereka bertiga duduk, Raffaele sedang memesan makanan. Sementara Arlan dan Arkan m
"Apa maksudmu dengan identitas palsu?" Elsa menatap Simon dengan bengis."Yah, bisa saja kalian membuat laporan palsu ke perusahaan, untuk sebuah rencana licik mengatasnamakan orang yang sudah mati!" Perkataan Simon bahkan tak kalah sengit saat berbicara."Pak Simon, anda jangan keterlaluan! Aku tidak seperti yang anda kira, karena Elsa memang namaku."Gelak tawa sumbang terdengar mengejek, "Kamu mengarang? Tapi kamu salah tempat, jika kamu masih mengeras, urusan ini akan kita serahkan pada polisi." "Mommy, kenapa bertengkar, paman ini baik, dia membelikanku susu coklat!" Mendengar itu, Elsa jadi terpikir sesuatu. "Kamu pasti memberinya sesuatu dan ingin menculik anakku bukan?""Apa?" Simon mendengus, dia tak menyangka bertemu dengan wanita yang tau berterima kbenar-benar kehabisan kesabaran. "Dasar wanita yang tidak tahu berterima kasih, jadi kamu kira aku psikopat anak?" "Lalu, untuk apa kamu memperdaya anak kecil? Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan!"Simon menghembus nafas k
"Selidiki wanita itu!"***Lagi-lagi kantor kembali heboh dengan gosip yang entah bocor darimana, topik hangat yang jadi perbincangan di kantor, kembalinya sosok wanita yang sudah mati!"Benarkah? Bagaimana tanggapan Bu Sandra, bukankah kabar skandal pak Simon dengan Bu Elsa akan kembali muncul?" "Apa tanggapan pak Simon?" Beberapa karyawan tampak tak sabar mendengar kabar selanjutnya. "Ssttt! Kamu jangan ngomong terlalu keras, bisa-bisa Bu Sandra mendengarnya." Semua staff dan karyawan itu lalu berbisik, mereka saling merapatkan kursi, agar lebih mudah mengobrol."Ehmm... suami saya memberi kalian kelonggaran, jika begini haruskah gaji bulanan kalian kupotong 50 persen?" Kata-kata yang sangat tak berperasaan ini, terdengar sangat tak asing. Mereka melihat seorang wanita berpakaian blazer tengah berdiri sambil melipat kedua tangannya dengan sorot mata tajam. "Bu Sandra... " Ini entah beberapa kali, mereka tertangkap basah bergosip ria di jam kerja. Saat itu, Alessa baru saja ingi
"Siapa kamu...?"Nyonya Clarissa melihat sosok wanita yang tak di kenalnya memasuki ruangan. Saat ini, wanita paruh baya itu dipanggil oleh seseorang. "Kenapa kamu mencariku?"Mendengar kata-kata yang begitu dingin, suasana hening sejenak. Lalu wanita itu menatapnya dalam-dalam. "Ibu..." Matanya berkaca-kaca, menampakkan kesedihan yang amat luar biasa ketika melihat kondisi wanita yang melahirkannya kini sudah sangat tak terkendali. "Kamu tak ingat aku lagi ibu?"Sayangnya wanita paruh baya itu mengacuhkannya. "Buat apa buang-buang waktu menemuiku, jika ingin gaji, silakan cabut apapun yang ada di rumahku, kamu bebas ambil!" Seketika itu tangis Elsa pecah, dia segera memeluk wanita yang masih diakui sebagai orang yang melahirkannya. "Ibu, ini aku Elsa, ibu sudah lupakah dengan suaraku?" Nyonya Clarissa melihat sosok wajah yang berbeda, lebih dewasa dan berwibawa. "Kamu... Elsa?"Dia mengangguk disela-sela tangis sesenggukan yang di jeda. Clarissa menatapnya ragu-ragu, namun beber