Jane sampai ketika rumah duka itu sudah banyak orang. Beberapa orang yang memang mengenalnya sempat menyapa. Jane menanggapinya dengan baik, sebelum kemudian dirinya memasuki area dalam rumah. Beberapa karangan bunga nampak menghiasi ruangan. Pandangan Jane mengedar, mencoba menemukan Vincent. Namun, yang ia temukan justru Jeremy yang nampak berdiri di dekat pintu masuk lain, menyapa beberapa tamu, mempersilahkan mereka menyantap hidangan khas yang memang sudah dipersiapkan sebelum duduk kembali dan saat itulah pandangan mereka bertemu. Jeremy nampak terkejut, sebelum kemudian berdiri dan menghampiri Jane yang masih terdiam di tempat. “Kau baru datang? sendiri?" Pandangan Jane yang tadi melihat sekitar, kini kembali pada Jeremy. “Ya, aku sendiri. Jasmine—” Ucapan Jane terhenti ketika melihat seorang wanita keluar dari salah satu ruangan. Pandangan mereka bertemu, namun tak berlangsung lama. Wanita yang tak lain adalah Naomi memilih untuk berlalu dan menyapa beberapa bibi-bi
Hari-hari berjalan seperti biasa. Jane kembali dengan aktifitas yang menyita waktu kembali. Meskipun tidak terlalu aktif sebagai seorang model, ia tetaplah orang yang penting di agensi. Perekrutan calon model membuat Jane harus benar-benar fokus. Terlebih hari ini dirinya ditunjuk sebagai seorang juri. Bukan hal baru memang, namun ia benci ketika ada drama membosankan. "Kenapa saya tidak diterima, Miss?" Tanya seorang calon model dengan dres merah yang dibenarkan. Wanita itu masih umur delapan belas tahun, memiliki bakat, dan wajah cantik. Sayangnya para juri termasuk Jane tidak memilihnya. Nae, kawan Jane yang menjadi juri tetap sekaligus pelatih menghela nafas ketika mendengarkan pertanyaan itu. Ia menunjukkan data nilai milik sang calon model sebelum memaparkan apa kekurangan dari sang calon model. "Sebagai seorang model, selain wajah, kau juga harus pandai mengubah raut muka yang kau miliki dan lihat, kami memiliki penilaian yang sama kalau kau belum bisa menguasainya pad
Pertemuan Jane dengan ibu dan ayahnya di penjara sore itu membuat Jane pulang dengan wajah yang terlihat berantakan. Rambutnya agak acak-acakan dan kepalanya pusing luar bisa. Wanita itu pikir dirinya sudah berhasil menghadapi traumanya selama ini, namun lihat kini—bahkan ia harus menyelesaikan acara muntahnya ketika melihat ayahnya melempar senyuman. Jika orang lain yang melihatnya, kemungkinan akan menilai Jane aneh lantaran reaksi yang ditunjukkan pada trauma masa lalunya benar-benar sudah tahap yang parah. Namun, kata LIlibet hal itu banyak terjadi ketika ingatan masa kecil yang menyeruak masuk tiba-tiba dan tak terkendali. Terlebih ketika Jane menghadapi orang tuanya sendiri secara langsung, dua orang yang menanamkan trauma permanen pada dirinya. Tubuhnya tadi sempat gemetar meskipun dapat dikendalikan sebentar, setelahnya perutnya bergejolak membuat tak bisa menahannya lebih lama, alhasil berlari pergi meninggalkan ayah dan ibunya yang terus merancaukan namanya. “Jane?” Jane
Setelah apa yang dikatakan oleh pria itu, intensitas kedatangan Vincent di apartemen Jane menjadi lebih sering. Ini mungkin terdengar sangat biasa mengingat jika mereka bahkan sering saling berkunjung ketika masih bersama, masalahnya di sini adalah tidak ada hubungan yang resmi terjadi di antara mereka. Jane belum sempat menanyakan kapan pria itu kembali ke ibu kota setelah kematian ibunya. Jane kira, Vincent akan tinggal di pesisir untuk beberapa waktu kedepan dengan kerabatnya, menghabiskan masa berkabung di tempat yang semestinya. Pria itu menjinjing dua botol minuman dan ditunjukkannya pada Jane, sudah pasti Jane tahu apa niat mantannya itu membawa minuman beralkohol ke apartemennya. Ia tidak terlalu menyukai ide tersebut. Namun, lantaran terlanjur datang tak akan mungkin ia menyuruh Vincent kembali. “Masuklah,” ucap Jane sembari membuka pintunya lebih lebar, membiarkan Vincent masuk setelah beberapa kali menggosok tubuhnya dengan telapak tangan. Udara hari ini memang cukup ding
Waktu berjalan dengan lambat, namun terasa sangat menyebalkan lantaran beberapa hal tidak berjalan sesuai rencana. Begitu pula dengan apa yang Vincent rasakan saat ini. Kedua hal yang sudah ia siapkan matang-matang harus sia-sia lantaran Jane yang memilih untuk terus menjaga jarak dengannya. Kenapa wanita itu sangat sulit kembali di dekati? Suatu pertanyaan besar yang mungkin akan menjadi bahan lelucon garing Jeremy. Sejujurnya, dengan otak cerdasnya Vincent bisa menjawabnya. Kenapa Jane tidak mau dengannya lagi atau paling parah akan benar-benar tidak menganggap kehadirannya di hidup wanita itu. Trauma, kesedihan ketika ditinggalkan. Pernyataan yang pernah Vincent dengar, Jane tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Apa yang ia miliki selalu dijaga dengan baik dan kadang kala terlalu posesif, terlihat bagaimana ia melakukan itu pada Jasmine, sahabat satu-satunya. Itu prinsip yang dipegang Jane dan ketika ia sudah melepaskannya, artinya hal itu memang pantas dilepas. V
Gerakan sepeda yang berderik membuat setiap orang yang mendengarnya mengernyitkan dahi. Memilih menjauh ketimbang harus berdekatan dengan bau besi karatan yang nampak sekali tak pernah diperhatikan. Siapa yang mau memperhatikan sepeda tua tersebut, pemiliknya pun memilih meletakkannya tanpa tahu diri dan membuat si sepeda tak lebih dari hanya benda mati tak berharga yang mengganggu kenyamanan banyak orang. Namun, sepertinya tidak bagi Jane. Wanita cantik yang sudah berdiri di dekat besi berkarat itu tak mengindahkan apapun, kecuali pandangannya yang terus mengedar. Mencari satu sosok yang tadinya mengatakan akan bertemu dengannya. Namun lihat, ia bahkan rela berdiri seperti orang bodoh di samping kafe dan juga dekat dengan besi berkarat yang ketika angin menyentuhnya sebentar akan meninggalkan bunyi aneh. “Kemana anak ini,” gumam Jane sembari menarik ponsel dari tas kecil yang ia bawa. Melihat kontak pesan dan panggulan beberapa kali, mengira kemungkinan Jasmine mengirimkan pesan
Mobil putih itu terparkir di sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elit ibu kota. Jasmine kembali diseret masuk ke rumah yang bagianya hanya sebagai neraka. “Ibu—kenapa kau melakukan ini padaku?!” “Karena kau membangkang. Aku hanya memilikimu dan karena kekasihmu yang tak berguna juga temanmu yang kurang ajar itu, kau semakin jauh dengan ibumu sendiri yang seharusnya paling kau pedulikan.” “Ibu, bukan Jeremy dan Jane yang salah, tapi ibu. Ibu tidak penrah menganggapku sebagai seorang anak,” ucap Jasmue. Tidak ada air mata di mata wanita muda itu, lantaran air matanya sudah terlalau kering. Sudah terlalu banyak yang keluar. Ia tidak mungkin kembali menangisi sikap ibunya yang memang sejak dulu tidak pernah berubah. Wanita itu—sejak dulu selalu menjadikannya sebagai objek. Tidak pernah sekalipun sang ibu menghargai kerja kerasnya sebagai seorang model ataupun pemilik bisnis. Di mata ibunya, ia tak lain dan bukan hanyalah seonggok daging yang bisa diperjual belikan hanya untuk me
“Ibunya tidak menyukaiku.” “Itu terihat jelas.” “Jasmine akan dijodohkan dengan pria yang memiliki kasta dengannya.” “Dan kau akan menyerah?” Jeremy terdiam. Tubuhnya bersandar ke sofa. Pandangannya hanya tertuju pada lampu temaram ruang tamu apartemen miliknya. “Jadi kau akan menyerah atau tidak?" cecar Jane yang terlihat tidak sabar dengan jawaban yang akan diberikan oleh Jeremy. Pria memperbaiki posisi duduknya dan menatap serius pada Jane. “Menurutmu apa yang harus kau lakukan? Bisa gila jika Jasmine benar-benar lepas dariku,” ucapnya. Jane yang kini terdiam. Sementara Vincent yang memang tidak ingin ikut campur kini juga memiliki sebuah pemikiran lain. “Apakah ibu Jasmine seorang desainer?” tanyanya pada Jane. Jane menganggukkan kepalanya dan menatap Vincent setengah heran. Sangat jarang Vincent mengungkapakan apa yang tengah ia pikirkan dan sepertinya pria itu tengah memiliki sesuatu dalam kepalanya. “Hmm, apa dia memiliki obsesi tertentu yang masih berkaitan denga