Kembalinya Jane ke agensi dengan setumpuk jadwal membuat para senior dan junior yang ada di sana kembali merasa terasingkan. Semua pandangan mata dan pujian kembali pada wanita cantik yang kini tengah melenggang dengan langkah anggun. Lihatlah bagaimana ketika wanita dengan dres selutut warna putih, ujung dres terdapat lilitan renda dan bunga-bunga kecil di area dada. Mungkin akan terlihat sederhana, tapi kini nampak elegan ketika Jane yang mengenakan. Tas jinjing silver di tangan kanan sementara tangan kiri memegang paper bag berisi kopi untuknya dan Lucas. Pemuda yang lebih muda darinya itu memang sudah berada di agensi untuk mengurusi beberapa hal yang sudah ia rencanakan dua hari lalu. Jane bisa menghirup aroma khas agensi ketika ia berlenggang di koridor. Ini masih pagi–tapi Jane bisa merasakan berbagai macam tatapan yang diberikan orang-orang yang melihat kedatangannya. Namun, sudah biasa dirinya mendapat hal semacam itu. Jane tidak ingin ambil pusing. “Wah, nona Jane kemb
“Aku mungkin akan ke ibu kota minggu depan.” Ucapan itu membuat Vincent yang tadinya mencuci alat dapur bekas yang bekas dipakai terhenti. Pria itu tadinya memang sengaja memasak di rumahnya ketika sang ibu pergi ke rumah bibinya. Jeremy yang tengah ada di sana juga membantu menghabiskan makanan yang dimasak oleh pria tinggi tersebut. “Tak menyenangkan ketika harus terlalu lama berjauhan dengan Jasmine, terlebih disini sangat sulit menemukan sambungan internet,” keluhnya. Pria yang kini rambutnya berwarna hitam legam itu nampak galau sekali setelah kepergian sang kekasih. Vincent yang bisanya cukup peduli dengan Jeremy kini juga terlihat acuh tak acuh dan sudah bisa dipastikan kenapa ia begitu. “Naomi—dia memutuskan pindah dua hari lalu,” ucap Vincent mengalihkan pembicaraan pada sesuatu yang memang belum mereka bahas semenjak kepergian dua model yang membuat hati dua pria itu berdebar. Dentingan antara gelas membuat kesunyian sesaat itu terpecah ketika Vincent kembali melan
Ketika mendengar ancaman yang diberikan ayah Jane kemarin, seharusnya Lucas lebih peka dan menganggap hal itu adalah ancaman yang serius. Tapi sayangnya, pemuda itu malah menganggapnya hanyalah angin lalu dan kini semua terjadi begitu cepat dan diluar perkiraan dirinya. Ujung matanya berair lantaran terlalu lama melihat deretan tulisan dari berbagai situs online yang tengah ramai memperbincangkan Jane. Berita di situs online memang sangat mudah dijangkau dan oleh karena itu mudah pula dimanipulasi banyak pihak. “Jadi siapa yang melakukannya?” Entah sudah nomor berapa pertanyaan itu terlontar dari Jasmine, Lucas masih memilih bungkam. Ia juga tengah khusuk membaca deretan tulisan yang bermacam-macam, bukan hanya tentang apa yang terjadi di masa lalu Jane, namun kalimat-kalimat dalam berita itu terlampau berlebihan dan kelewat tak masuk akal. “Aku tidak tahu,” jawab Lucas, mematikan ponselnya. Banyak orang menghubunginya dan itu sungguh merepotkan. Pandangan dua orang itu bertemu
Entah sudah keberapa kali Vincent mengalami hal ini. Namun intinya, baru kali ini jantungnya terasa bertalu. Ia bisa saja mendobrak ruangan di depannya dan memaksa mereka mengizinkannya menemani Jane. Namun logikanya masih bermain dengan baik. Jangan sampai yang ia lakukan malah merusak segalanya. Tangannya meremas rambutnya menjadi lebih berantakan. Tepukan pelan di pundak membuatnya menoleh, mendapati Jeremy yang menatapnya prihatin. Temannya itu tak mengatakan apapun namun tatapannya sudah menunjukkan semuanya. Ujung mata Vincent melirik Jasmine yang dalam rengkuhan kekasihnya, wanita itu terlihat sangat lemas lantaran terlalu lama menangis. Dua jam lalu, saat Jeremy menghubungi Jasmine dan saat itu bertepatan dengan Jane yang tengah ada dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kedatangannya dan Jeremy ke rumah sakit, mereka langsung disambut tangisan Jasmine. Wajahnya terlihat sangat berantakan dan pakaiannya penuh dengan noda darah, sementara pria muda yang baru Vincent ketahu
Jane terbangun pada jam setengah satu siang. Dengan pandangan memburam, mengedar dan tatapannya hanya tertuju pada bola lampu yang ada di atas plafon. Tak terasa ujung matanya secara tiba-tiba basah ketika mengingat apa yang terjadi. Menghela nafas pelan ketika untuk yang kesekian kali, percobaan bunuh dirinya gagal kembali. Ya, Jane pernah melakukan hal semacam itu beberapa kali. Masa lalunya yang sudah getir, ia perjuangkan untuk untuk menjadi lebih baik dan layak tetap berpijak di bumi. Ketika semua sudah sempurna, kedua orang tuanya kembali seakan ingin membuatnya hancur. Jane tidak tahu sebenarnya apa niat orang tuanya menemui dirinya kembali setelah dibuang dan setelah semua luka yang dirinya terima selama ini. Jane sangat ingin bertanya, namun hanya dengan menatap mereka saja tubuhnya sangat lemas. Ia seperti kembali ditarik paksa ke masa lalu, masa kelamnya. ‘Apakah semua telah berakhir?’ batinnya dengan air mata yang masih mengalir. Ingatannya kemudi kembali pada berita se
“Seseorang bersembunyi di balik berita ini,” ucap Thomas ketika ia duduk di hadapan pria muda yang nampak sekali memiliki ambisi besar untuk memiliki modelnya. Ia sempat tersenyum kecil ketika melihat bagaimana pria itu sangat posesif dan defensif saat dirinya mencium kening Jane ketika wanita itu tidur. “Ini sesuau yang biasa sebenarnya karena kami dan Jane sering menangani hal semacam ini. Kau tahu dunia hiburan memang sangat beracun dan tidak pernah menutup kemungkinan semua orang akan kena imbasnya.” “Lalu?” “Aku ingin kali ini kau yang melakukan segalanya. Aku tahu kau memiliki banyak koneksi di kota. Banyak hal yang perlu dikerjakan dan kurasa waktuku untuk membantu Jane telah selesai.” Alis kanan Vincent bertaut, memandang pria yang lebih tua itu dengan agak bingung. Awalnya ia pikir Thomas adalah sugar daddy dari Jane, namun melihat bagaimana tutur kata yang disampaikan oleh Thomas, ia berpikir jika pria itu tidak sebrengsek yang dirinya kira. Jadi ketika Thomas secara te
Vincent terlihat sangat berbeda ketika mengenakan pakaian formal. Jeremy bahkan harus beberapa kali menarik kekasihnya kembali menghadap padanya, Jasmine nampak terpesona dengan ketampanan Vincent. Rahang tegas, rambut mulet dan hidungnya yang tinggi, jangan lupakan bagaimana lengannya yang berotot terlihat segar ketika menggulung kemeja putihnya ke siku. “Bisakah kau cepat pergi?” ucap Jeremy sembari mengenakan pakaian kerjanya. Hari ini adalah pertama kalinya ia akan masuk ke tempat kerjanya yang baru, dan ia sungguh merasa jengkel lantaran Jasmine malah perhatian pada Vincent ketimbang dirinya. Tidak!! itu hanya bualan belakang pria pencemburu. Jasmine juga sangat perhatian padanya, hanya saja wanita itu sesekali melirik Vincent yang memang ikut tinggal di apartemen yang dekat dengan milik Jane. Sementara Jane, wanita itu belum keluar kamar. Ia memilih mengasingkan dirinya di kamar ketimbang pergi kemanapun. Agensi, atau lebih tepatnya Thomas juga tidak pernah memaksa wanita it
Lilibet dan Jasmine sudah pulang ke rumah masing-masing ketika Vincent sampai kembali ke apartemen Jane. Pria itu sudah berganti pakaian dengan baju santai yang biasa digunakan, kaos besar dan celana pendek coklat. Rambutnya basah dan masih ada handung melingkar di lehernya ketika ia sampai di apartemen Jane. Lilibet sempat mencibirnya aneh sebelum berlenggang pergi, berbeda dengan Jasmine yang semat terpaku sejenak. Wanita muda itu seperti tengah menikmati pemandangan malam paling indah yang pernah ia lihat di dua puluh dua tahun hidupnya. Terlebih ketika dengan senyuman kecil,Vincent mengusap rambut basahnya. Nampak hot sekali. Sayangnya momen mari mengagumi ketampanan Vincent harus hancur ketiak pria itu mencium kening Jane dan Jeremy yang datang dengan tampang kasihan. Pria itu mengeluh jika pekerjaannya berjalan lancar namun sang bos lebih kejam ketimbang bosnya yang lama, membuat Jasmine yang kasihan pada sang kekasih memilih untuk ikut menginap di apartemen tempat tingga
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Na
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana.Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent.‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’“Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?”Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya.‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat.“Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang.Terdengar helaian nafas di seberang sana.‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara ru
Sore hari yang terik, tidak diduga pria yang baru diketahui Jane bernama Kevin itu benar-benar datang ke pesisir. Pakaiannya nampak rapi, Jane bisa melihat aura karismatik menguar dari pria itu. Namun, yang membedakan adalah struktur wajahnya yang memang lebih ke barat-baratan.Pria itu nampak kalem, bahkan lebih kalem dari pada apa yang Jane duga sebelumnya. Tak ada raut marah, yang ditemukan Jane adalah kerinduan pada sang putra yang barang kali telah lama tidak bertemu.Leo, anak kecil itu terlihat nyaman dipelukan ayahnya yang belum mengeluarkan suara apapun ketika datang. Anak kecil itu sepertinya juga tahu betul siapa orang tau aslinya. Sementara itu, Lusi nampak membuang muka, duduk di single sofa yang berada dekat dengannya.“Jadi—apakah kau akan tetap disini? Jika iya, aku akan membawa Leo bersamaku,” ucap pria matang itu dengan mantap.Pandangan mata Lusi nampak memicing, namun bibirnya tidak mengatakan apapun.“Kau tak keberatan jika anakmu dibawa ayahnya?” tanya Jane, men
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Nam
‘Lusi? Aku seperti tidak asing dengan nama itu,’ ucap Lilibet di seberang. Jane kini tengah berada di halaman belakang penginapan. Ia sudah cukup muak dengan apa yang dilakukan Lusi dengan anaknya. Yeah, Jane cukup paham memang jika ia tak seharunya cemburu dan jengkel dengan bayi kecil yang belum tahu apa-apa itu. Namun, wanita itu juga tak bisa membendung kekesalannya lantaran sang ibu dari bayi itu sangat mengganggu waktu liburannya dengan Vincent. “Bisakah kau tanya pada teman-temanmu di Inggris?” ‘Ya, tunggu sebentar. Memangnnya apa yang terjadi?’ Terdengar suara ketikan di seberang, sepertinya Lilibet benar-benar tengah menanyakan tentang siapa wanita asing itu. “Dia dan anaknya benar-benar mengganggu waktuku dan Vincent. Sejak kedatangannya kemari, wanita itu selalu membawa anaknya kemari dengan alasan jika anaknya tengah mencari Vincent,” keluh Jene. ‘Ah, sepertinya kau memang selalu memiliki banyak rintangan ketika ingin menjalani hubungan dengan Vincent secara biasa,’
“Aku sering melihat foto kakak,” ucap seorang anak yang Jane temui di dekat pantai hari ini. Sekitar satu jam semenjak Jane memilih untuk berdiam diri di gazebo yang ada di pinggir pantai. Suasana yang masih cukup suram untuk dirinya dan sekitar, membuatnya memilih untuk pergi lebih jauh. Ujung kakinya menyentuh pasir yang lembut, pasir yang terasa nyaman untuk kaki telanjangnya. Beberapa hewan kecil nampak berlarian dengan bebar, tanpa memikirkan tentang apa yang akan terjadi jika mereka keluar dari sarang. Suasan yang tadinya tenang bagi Jane yang masih dilanda kemarahan, harus dirusak dengan kedatangan seorang gadis kecil yang asing baginya. Bajunya kumal dengan beberapa jahitan tak rapi di sekitar lengan. Kancing bajunya juga taksama antara satu dengan lainnya. Jane masih terdiam, memperhatikan si bocah cilik yang kini tengah bercoleteh tentang dirinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan juga teman-temannya yang sering menjahili dirinya. “Apakah—kau takut ketika teman-t
“Kami mengenalnya dan kebetulan kafe ini miliknya,” ucap seorang wnaita berseragam yang nampak memandang secarik kertas di tangan. Suasa kafe tak terlalu ramai hari ini lantaran gerimis di pagi buta. Suasana masih cukup dingin untuk berkatifitas di luar. Meskipun demikian kafe wajib buka sesuai dengan jamnya, tak ada alasan untuk menunda meskipun sang bos tidak ada di tempat. Pandangan wanita yang tadi datang merambah sekitar. Beberapa orang nampak berlalu lalang di dalam kafe yang terlihat sangat menarik di mata. Di antara bangunan yang berjejer di tepian pantai yang tenang itu, bangunan kafe yang menurutnya memang sangat menarik. Ia tersenyum kecil ketika menyadari siapa yang mungkin mendekorasinya. Sementara itu, si pegawai kafe nampak melirik kecil pada wanita yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri, ia kemudian kembali memandang pada sebuah foto yang tentu saja baginya sangat tidak asing. Itu foto Vincent, pria yang tak lain adalah bosnya dan juga pemilik salah stau pengin
Pukul dua siang, mereka sampai di penginapan. Jane melihat sekitar, menghela nafas ketika suasana di ruangan itu tidak banyak berubah. Meskipun di beberapa bagian terdapat debu yang menempel. Lampu gantung di ruang makan, salah satu hal yang menarik perhatiannya lantaran benda itu pernah ia beli untuk hadiah ibu Vincent. Jane juga tidak melewatkan sebuah bunga hidup yang terlihat nampak terawatdi tralis jendela. Bunga-bunga yang kini sayangnya belum berbunga itu adalah tumbuhan kesayangan Maya. Jane masih ingat betul bagaimana perempuan baya itu sangat semangat menjelaskan jenis bunga dan cara menanamnya dengan media air. Pandangan Jane kini tertuju ke luar jendela dapur, di tangan kanannya segelas air putih yang telah berhasil menghalau dahaga sudah di tegak setengah. Grep Jane tersentak namun tak memberikan respon yang berarti. Hanya menyentuh kulit sang pria yang terasa kasar. “Kenapa diam saja, hmm? Ada masalah?” Jane memalingkan wajahnya, menadapati tatapan penasaran dari Vi
Tumpukan barang-barang sudah memenuhi ruang tamu apartemen Jane. Beberapa barang lain yang kemungkinan tidak akan dibawa juga sudah terbungkus lapisan plastik. Tak ada yang tersisa, dipastikan semuanya tetap rapi dan tidak berdebu karena Jane membencinya. Sejujurnya ia tengah memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan setelah liburan panjang, kembali bekerja di perusahaan agensi Thomas atau memilih untuk mencari pekerjaan lain yang mungkin sesuai dengan passionnya. Sebagai seseorang yang telah memiliki nama, wanita itu tak terlalu ambil pusing tentang pekerjaan. Menghela nafas pelan setelah selesai dengan acara berkemas, Jane merebahkan tubuhnya di pinggir karpet. Memiringkan tubuh dan menatap dua koper besar yang akan ia bawa yang kini teronggok di ujung ruangan. Tak Pandangan yang tadinya hanya tertuju pada benda mati kini teralihkan pada sosok pria yang selalu menemaninya. Selalu ada untuknya dan kini bahkan rela meminta izin untuk menyelesaikan tugas akhir dari jarak jauh. Se