Dara mengambil kunci mobil dan tas, kemudian pergi setelah berpesan kepada penanggung jawab cafe agar mengirim laporan penjualan kepadanya.Satu jam kemudian, gadis itu sudah sampai di sebuah villa di mana dia pertama kali bertemu Leofrand.'Haih ... Konyol sekali aku sudah kembali ke sini,' batinnya.Abah Mamat melihat kedatangan Dara, segera berlari menuju kamar Leo dan menggedor pintunya."Tuan, keluarlah. Lihat siapa yang datang!" seru Abah Mamat.Mendengar ke gaduhan, Mahendra dan Agnes pun menuju teras melihat siapa yang datang.Agnes memeluk gadis itu dan mengucapkan terima kasih dalam isak tangisnya. Mahendra yang biasanya keras hati, entah mengapa kini hatinya hangat penuh haru dengan kebaikan hati orang asing."Dara, kamu sudah kembali!" pekik Leo.Agnes melepaskan pelukannya berganti dengan Leo yang memeluk dengan erat.Dara melepaskan pelukan itu dengan wajah memerah. Entah karena marah, atau malu."Sekali lagi kau memelukku, ku jahat habis-habisan!" ancam Dara.Leofrand mu
Dara mematikan tombol rekaman pada ponselnya. Ternyata diam-diam saat Mahendra bercerita gadis itu merekam semua pembicaraan pada benda pipih canggih.Mahendra dan Dara diam membisu. Wajah lelaki yang berada di depan Dara menatap dengan penuh harap serta cemas.“Dara, kamu tidur di kamar sebelahku, ya,” pinta Leo.Gadis itu menoleh perlahan menatap Leo, lelaki muda itu bergidik ngeri karena gerakan kepala Dara mirip seperti di film horor.“Man ... Maman, tolong siapkan kamar Dara di samping kamar Leo,” ucap Mahendra.Maman menjelaskan jika kamar sudah di bersihkan, sebab dia tahu bahwa gadis itu akan kembali. Dara mengerutkan keningnya dan menatap tajam Abah Maman.Lelaki tua penjaga villa seperti mengetahui jika Dara meminta penjelasan dari tatapan mata untuknya. Setelah menghela napas, Abah Maman pun berbicara.“Maafkan saya, Nona. Sewaktu mengisi bensin dan membawa mobil kemari, saya melihat kartu nama dan mencurinya. Berbekal itu Tuan dan Nyonya bisa membawa kembali gadis yang di
“Kalian berdua, hentikan!” pekik Diandra.Para orang tua berlari menuju tempat terjadi pertikaian antara Fikri dan Handoko, Diandra bersusah payah memisahkan mereka yang masih saja bergulingan di tanah saling menendang dan memukul.Fikri dan Handoko, dua sosok pria yang sedang berkelahi tidak meyadari jika mereka berdua menjadi bahan tontonan, Fahri dan Kiai Sahrul segera membubarkan para santri.Akhirnya Diandra pun berada diantara keduanya dan memukuli kedua pemuda itu. Meski seorang gadis, ternyata dia mampu membuat dua lelaki itu tersungkur, kini penampilan ketiganya sangat berantakan. Tentu saja Diandra bisa menang karena tenaganya tidak terkuras sedari tadi.“Masuk dan bersihkan tubuh kalian!” perintah Sahrul.Suara tegas dan bersahaja itu tidak membuat satu pun dari mereka berani membantah. Sisy dan Willa mengekor di belakang Umi Hasanah.Tiga puluh menit kemudian, penampilan mereka sudah rapi dan bersih. Baru lah tampak memar di wajah keduanya. Ketiganya hanya menunduk. Handok
Humaira menahan tangis ketika mendengar Fikri menolak cintanya dengan halus. Dia tetap memasang senyum di tengah gempuran perasaan yang begitu hancur. Tetapi dia harus tetap berpura-pura kuat di depan orang tuanya.Humaira berbisik kepada ibunya untuk pulang.Meski bingung Rudi dan Sonya mengerti dan pamit untuk pulang."Loh, kok buru-buru? Makan dulu lah," ajak Umi Hasnah."Lain kali saja, Umi. Humairah gak enak badan, kami pamit ya, assalamualaikum," tolak Sonya halus.Dalam perjalanan pulang Humaira tidak dapat menahan air matanya lagi. Dia tersedu di bangku belakang.Rudi dan Sonya saling beradu pandang dengan tatapan penuh tanya."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Sonya.Ibu Humaira membalikkan tubuhnya sambil bertanya apa yang sudah terjadi pada putrinya itu.Humaira menceritakan Fikri sudah menolak cintanya. Bahkan dengan tegas mengatakan bahwa lelaki pujaan hatinya itu mencintai gadis lain.S
Wajah Fikri tampak panik. Diandra menahan tanya hingga lelaki itu usai dengan pembicaraan di ponselnya."Ada apa, Fik?" tanya Diandra."Di, ayo kita ke rumah sakit. Kata Om Rudi, Humaira semakin memburuk kesehatannya," ajak Fikri.Diandra diam matung saat Fikri sudah berlari menuju mobil bak terbuka dan duduk di dalam.Fikri mengeluarkan kepalanya dan memanggil Diandra. "Fik, pakaianku begini loh," tolak Diandra.Diandra melihat pakaiannya yang memakai celana jeans longgar dengan kaos lengan panjang, tetapi tidak menggunakan kerudung sebagai penutup kepala.Fikri keluar dari mobilnya dan menarik lengan Diandra untuk masuk ke dalam kendaraan itu dengan membuka pintunya."Maaf aku menyentuhmu," kata Fikri.Lelaki itu melajukan mobilnya dengan terlebih dahulu berpesan kepada tugas keamanan bahwa dia membawa Diandra ke rumah sakit untuk menjenguk Humaira.Setelah keluar dari rumah Diandra, Fikri m
Handoko masuk ke dalam ruangan itu dan meminta untuk berbicara empat mata dengan Fikri."Ada apa sampe ikutin aku?" tanya Fikri."Haih ... jangan judes begitu anak muda. Aku cuma minta kamu jauhi Diandra, caranya nikahi Humaira," tegas Handoko.Fikri menatap lekat lelaki yang berdiri di hadapannya. Tatapan mata tajam dan mengintimidasi pun sangat terasa saat mereka beradu pandang.Setelah menghela napas, Fikri mendekat ke arah Handoko."Maaf, aku sudah menentukan pilihan dan Anda sudah tau apa jawabannya. Jika berkenan, mari bersaing dengan sehat," tantang Fikri.Bola mata Handoko membulat, pupil matanya membesar karena marah. Tangan sudah terkepal namun dia menyadari bahwa tidak mungkin berbuat onar di rumah sakit.Lelaki itu menyunggingkan senyum, lalu menepuk bahu Fikri dan nenjnggalkannya.Sepeninggal Handoko, monitor yang memantau kondisi jantung Humaira mengeluarkan bunyi dan lambang hati berwarna merah b
"Ada apa? Yang jelas, dong," desak Diandra."Di, kesehatan Humaira sekarang semakin mengkhawatirkan. Jadi aku ambil keputusan untuk mengabulkan keinginannya menikahi dia, dan mengorbankan cinta kita demi menyelamatkan nyawa," beber Fikri.Tangan Diandra gemetar mendengar penjelasan Fikri. Hatinya sakit karena dikhianati dan memutuskan panggilan telepon sepihak.Diandra berlari ke kamar lalu menguncinya dari dalam. Sisy mengejar dan meminta agar membuka pintu kemudian menceritakan apa sebenarnya yang terjadi.Gadis itu tidak mau membuka kamar dan tetap mengurung diri."Sayang, kamu jangan berbuat nekad ya. Kalau kamu udah mendingan, cerita sama Mama, ya," ucap Sisy.Sisy segera menghubungi suami dan kedua anaknya tentang perilaku Diandara.Satu jam berselang, mereka bertiga sudah sampai di rumah dan Sisy menceritakan apa yang terjadi."Bentar, Ma. Mel telepon Han dulu, apa yang dia bilang sampe Diandra jadi begitu," cetus Meliana.Meliana menghubungi Handoko dan menanyakan apa yang terj
Handoko berkacak pinggang melihat Diandra dan Fikri yang sedang duduk di luar pagar."Domo, kamu apa-apaan!" sergah Diandra."Kamu yang apa-apaan, enak aja duduk sama laki-laki lain sementara sudah tunangan sama aku," balas Handoko.Mendengar kata tunangan, Fikri sontak berdiri dan meraih kerah baju Handoko."Apa kamu bilang? Jangan semena-mena dan ngatur aku untuk pernikahan yang gak ku inginkan. Apa buktinya dia tunanganmu?" tanya Fikri."Cih, begini cara lelaki yang paham agama? Kamu minta bukti? Tuh liat sendiri cincin di jari manis tangan kirinya," tunjuk Handoko.Handoko menepis tangan Fikri yang mulai mengendur. Diandra diam dan tertunduk sambil memperhatikan jari manis.Fikri yang sedang berdiri pun membalikkan tubuh ke arah Diandra untuk melihat jari manis kekasih hatinya.Benar saja, tersemat sebuah cincin indah di jari manis lentik milik Diandra. Mata Fikri terbelalak, hatinya sakit."Jadi ..
[Syarat? Apakah sulit? Apa itu?] tanya Diandra.[Tidak sulit, aku akan memberitahumu nanti jika sudah ku pikirkan,] jawab Jhon.Diandra tidak mengungkapkan isi pembicaraannya dengan Jhon beberapa waktu lalu. Dia khawatir jika nanti Dara dan kakaknya menolak untuk berbulan madu.Bosan berbincang, mereka kemudian membubarkan diri menuju kamar masing-masing. Diandra termenung seorang sendiri, dia memikirkan apa syarat yang akan diajukan oleh Jhon kepadanya.‘Kira-kira apa ya syaratnya? Kok aku jadi was-was, ya? Duh mana boleh aku berburuk sangka begini,’ pikir Diandra.Waktu berlalu, kini Diandra serta keluarga yang lainnya sudah berada di bandar udara. Mereka mengantar tiga pasang pengantin baru untuk berbulan madu.“Hati-hati selama di kampung orang. Jaga tata krama, patuh sama peraturan setempat,” pesan Darwin.Berbagai macam pesan pun mereka lontarkan untuk para pasangan yang akan berbulan madu. Pengumuman akan keberangkatan negara tujuan pun terdengar. Mereka berpelukan dan melepas
“Apaan sih teriak-teriak!’ sembur Sisy.Tampak Diandra berjalan kian kemari mencari sesuatu. Sesekali dia menggaruk kepalanyan lalu menarik rambutnya karena kesal sambil menggerutu.Keluarganya dan yang lain memperhatikan perangai Diandra yang terbilang ... ajaib. Bagaimana tidak, usai berteriak, dia hilir mudik sambil menggerutu. Berbagai pertanyaan juga diabaikan begitu saja tanpa menjawab.“Hei ... wajan ikan paus. Kamu ini kenapa sih? Duduk dulu coba, kepala kami pusing liat kamu mondar mandir gak karuan. Liat tuh Mama sama Papa lengkap sama keluarga inti melototin kamu dari tadi.” Dara mendudukkan Diandra di atas tempat tidur.“Anu ... cincin tunangan aku ilang. Kan mahal itu,” ungkap Diandra.Semua yang mendengar terkejut, bagaimana bisa Diandra seceroboh itu. Sisy menghampiri Diandra dan segera menjewer telinganya karena gemas.“Itu yang gantung di kalung kamu apa? Setan? Pagi-pagi bikin emosi jiwa aja deh. Bisa rusak perawatan mukaku gara-gara kelakuan edan kamu itu,” geram Si
“Entahlah, aku aja bingung sama perasaanku,” keluh Diandra.“Apa ... aku boleh memberi saran? Menurutku dia yang terbaik untukmu. Ini dari sudut pandangku sebagai lelaki, seandainya kau gagal dengannya aku bersedia menikahimu, hahaha,” ujar Jhon berseloroh.Diandra tergelak, di dalam hati dia menggerutu bagaimana bisa pernikahan dibuat gurauan. Baginya pernikahan sekali seumur hidup dan jangan sampai melakukan kesalahan.Usai makan siang, mereka kembali ke kantor Diandra. Tiba di kantor, dia mendapat kabar dari bagian produksi kalau pesanan pria asing itu sudah selesai. Mereka menuju ruang produksi, tampak empat buah busana sudah terpajang di sana. Jhon mengamati dengan rinci setiap jahitan dan juga polanya. Dia tersenyum puas dan mengagumi busana yang sudah dipesan tersebut. Lelaki itu merogoh saku dan mengambil benda pipih dari dalam, lalu menghubungi timnya agar mempersiapkan penerbang an kembali ke negara asalnya.“Aku sangat puas, rasanya tidak sabar untuk memamerkan karya ini d
Lelaki itu adalah Handoko. Dia menatap rumah Dara dengan tangan terkepal, wajah memerah menahan amarah. Dia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukan ke rumah Diandra.Sesampainya di sana, Mahendra dan keluarganya di sambut dengan hangat. Berbagai makan dan minuman sudah di sediakan dengan cepat, bahkan beberapa makanan ringan akan menyusul kemudian.Acara lamaran pun di mulai dengan sangat sederhana. Namun, terasa khidmat. Dara terharu dengan keluarga Diandra dan juga ketulusan dari Orangtua Leofrand. Tukar cincin pun usai, pernikahan akan di laksanakan tiga minggu kemudian.“Cieee, selamat ya. Udah laku aja nih,” seloroh Diandra.“Selamat untuk kalian berdua. Sebagai sahabat dari Diandra, aku akan memberikan hadiah berbulan madu di pulau pribadi milikku selama satu bulan,” ujar Jhon.Suasana terasa hangat. Beberapa kali Dara menyeka air mata yang selalu menetes, dan Leofrand perhatikan itu.Suguhan makanan ringan dan teh dengan kualitas terbaik pun di suguhkan, mereka sangat meni
Diandra menoleh ke arah sumber suara. Tampak olehnya lelaki asing tersebut berjalan ke arahnya.“Tuan Jhon? Saya kira Anda kembali ke hotel untuk beristirahat,” cakap Diandra dengan menggunakan bahasa asing.“Tidak, saya ingin tahu bagaimana pakaian yang luar biasa itu tercipta,” sahut Jhon.Diandra kemudian mengajak pria asing itu duduk di sebuah bangku panjang yang berada di sudut. Keduanya duduk di sana sambil mengamati pekerja yang sedang melaksakana tugasnya dengan serius.“Maaf jika aku lancang karena ini adalah ranah pribadi, apakah lelaki yang di rumah sakit tadi adalah tunanganmu?” tanya Jhon.Diandra menoleh sebentar, kemudian menatap lurus dan menceritakan kisah cintanya. Satu jam sudah Jhon menjadi pendengar setia tanpa menyela sepatah katapun.“Anda luar biasa. Di tengah drama hidup percintaan masih bersikap profesional, salut.” Jhon bertepuk tangan pelan.Senyum patah nan pahit terukir dari bibir Diandra.‘Orang bule ini aneh banget sih. Orang lagi galau begini malah di
“Apa aku boleh masuk? Enak bener makan sendirian ga ngajak-ngajak,” sapa Fikri.Diandra mengangguk sambil meneguk air karena batuk tersedak.“Aku duduk ya.” Fikri menutup pintu kemudian duduk di depan Diandra.Diandra segera membersihkan tangan dengan tisu, jantungnya berdebar dan suasana sedikit kaku karena kehadiran lelaki yang kini duduk di hadapannya.Fikri menatap lembut gadis yang diam-diam sangat di rindui selama beberapa bulan ini. Ingin rasanya dia memeluk tubuh Diandra, jika saja tidak melanggar peraturan agama yang di anut.Fikri segera menyadari kesalahannya. Duduk berdua dalam ruangan tertutup saja akan menimbulkan fitnah dan dosa. Dia kemudian mengajak Diandra duduk di sofa yang di peruntukkan bagi pelanggan.“Maaf aku tadi lancang. Kangen banget sama kamu, Di,” ungkap Fikri.Diandra diam saja. Hatinya memang berdebar saat lelaki yang pernah menjadi penghuni hati datang tiba-tiba. Dia juga tidak menampik jika bahagia datang begitu saja saat mendengar suara serta senyum t
“Diandra kenapa bisa pingsan begini?” tanya Meliana.“Doi pingsan begitu denger transferan 1M, Cin,” terang karyawan Diandra yang ... bertubuh pria berperangai wanita.Meliana tidak kuasa menahan tawa dan terbahak-bahak. Suara tawa itu membuat Diandra siuman.“Satu miliar, mana satu miliar,” ucap Diandra panik.“Hei ... tenang, Sayang. Ini kakak,” kata Meliana.Mata Diandra terbelalak dan memindai sekitar kemudian melompat dari tempat tidur dan berlari, dengan sigap Meliana menagkap tubuh adiknya tersebut.“Tamunya, kak. Aduh bisa gagal ini satu miliar,” cemas Diandra.“Di, di sana ada Mama. Sebentar lagi mereka sampai,” jelas Meliana.Mendengar itu, Diandra kembali ketempat tidur dan berbaring seolah-olang pingsan. Meliana melipat dahi karena bingung dengan apa yang di lakukan adiknya itu.Tak lama terdengar suara menggunakan bahasa asing, tampak pria asing tampan bermata biru bersama sang ibu.Sisy memperkenalkan Meliana kepada tamunya yang bernama Jhon tersebut.“Anda Ibu yang lua
Diandra kehilangan keseimbangan dan hampir saja menabrak pejalan kaki. Dia menepi sejenak guna menenangkan diri.“Sial emang si Domo. Pake acara hampir jatoh segala,” gerutu Diandra.Usai merasa tenang, Diandra kembali melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah, dia terkejut melihat mobil milik Handoko terparkir di sana.Diandra menarik napas kemudian masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam terlebih dahulu.“Di, kok kamu pulang telat, sibuk banget ya sekarang?” sapa Handoko.“Iya.” Diandra duduk di sisi Darwin dan menyandarkan kepala di bahu sang Ayah.Handoko tersenyum, melihat dan mendengar suara Diandra saja sudah cukup untuk melepas rasa rindunya selama ini. Dia memandang lekat gadis pujaan hati dan berusaha merekam semuanya untuk di kenang saat rindu menyapa jiwa.Puas memandang selama sepuluh menit, lelaki itu kemudian pamit untuk kembali.“Udah malem, Om, Tante. Saya pulang dulu, assalamualaikum,” pamit Handoko.“Kok buru-buru banget, sih? Waalaikumussalam,” kata Sisy.
Diandra sangat sibuk sekarang. Tidak ada yang berubah dari penampilannya, sikap yang semakin matang serta waspada dalam mengelola usaha yang menjadi pembeda. Selebihnya sama saja seperti yang sudah-sudah.Perlahan Fikiri dan Handoko sudah terkikis dari dalam pikiran dan hatinya, dia tak lagi mau di pusingkan dengan masalah asmara. Baginya masa lalu biarlah tetap berada di tempatnya dan tidak menganggu di kehidupan masa kini. Di kenang jika dia ingin.Sisy kini merasa kehilangan sikap konyol putri bungsunya, karena kini Diandra pulang dari butik langsung menuju kamar setelah berbasa basi sejenak.“Kangen sama anakku yang dulu, sering bikin sakit kepala sih tapi, aku suka,” keluh Sisy.“Berarti dia sekarang lagi belajar dewasa, Ma. Biarkan aja,” kata Darwin.“Papa ga khawatir? Siapa tau aja dia tiba-tiba minta nikah,” cetus Sisy.Darwin melipat kening, perkataan sang istri baru saja masuk akal. Bagaimana jika putri bungsunya tiba-tiba meminta untuk menikah? Hatinya belum siap melepas pu