"Jadi, kalian berkelahi hingga menjadi seperti ini memperebutkan aku?" tanya Diandra.Handoko mengangguk, tampak raut wajah marah juga terselip rasa sesal di hati Gadis itu."Kenapa kalian sembunyikan ini semua dariku? apa aku bukan manusia? apa aku tidak dianggap ada, hah!" marah Diandra.Handoko menundukkan kepalanya, mencari kalimat yang tepat agar gadis itu tidak semakin marah.Diandra menunggu jawaban dari lelaki yang kini berdiri di depannya dengan menyilangkan tangan di dadanya."Aku tidak mau kau kembali jatuh sakit karena mendengar berita ini, demi kesehatan dan kebaikanmu juga. Maafkan aku jika membuatmu tersinggung," sesal Handoko.Diandra menghela napas dan membuangnya kasar. Gadis itu merasa sangat marah karena dianggap sebagai beban bagi mereka. Sedih mulai menjalar di hatinya, matanya mulai menghangat, pertanda buliran bening akan turun membasahi pipinya.Benar saja, air mata pun jatuh menetes tanpa aba-aba. Kepalanya mendadak sakit dan dadanya terasa sangat sesak. Ber
"wa'alaikumussalam," jawab mereka bertiga.Tampak Fahri masuk ke dalam rumah, raut wajah tidak suka pun tergambar jelas di wajah kakaknya itu melihat Diandra."Kapan nyampe? Lagi ga bikin masalah kan?" tanya Fahri..Diandra pun mengatakan dirinya baru saja sampai. Fahri pun masuk ke dalam kamarnya tanpa berbicara apapun.Fikri dan keluarganya sangat mengenal Diandra, kedua orang tua Diandra juga mengenal mereka, hanya saja, tidak terlalu dekat. Biasanya Diandra datang dua Minggu sekali atau sebulan sekali mengunjungi mereka, namun sudah beberapa bulan ini gadis itu tidak mengunjungi mereka.Fikri adalah teman Diandra semasa SMA, bisa dibilang mereka saling suka di dalam diam. Keadaan sedikit kacau ketika Fahri juga menyukai Diandra dan memintanya untuk menjadi istrinya. kejadian itu enam bulan yang lalu, karena ditolak, Fahri marah kepada Diandra lalu enggan bersikap baik kepada gadis itu."Neng sudah makan? Umi masak banyak loh. Entah kenapa pengen masak banyak, ternyata gadis yang Um
Sisy mengumpulkan semua pekerja di rumahnya, setelah mendapat laporan dari Bi Munih bahwa Diandra tidak berada di dalam kamarnya. Raut panik tergambar jelas di wajahnya yang cantik. “Maaf, Nyonya. Saya tidak tahu kalau Non Diandra kabur, karena penampilannya seperti biasa, tidak mencurigakan,” ungkap petugas keamanan.Lelaki paruh baya itu tertunduk dan takut jika dipecat karena membiarkan Diandra keluar rumah.Sisy berjalan hilir mudik sambil menghubungi nomor ponsel Diandra, tak jua kunjung ada jawaban. Wanita itu kini menghubungi Handoko, siapa tahu lelaki itu bisa memberikan informasi yang di butuhkannya.“Apa! Diandra kabur lagi? Saya tidak tahu, Tante. Waktu saya pulang dia masih berada di rumah,” terang Handoko.Handoko juga menceritakan bahwa saat itu Diandra sangat marah dan merasa tidak dianggap sama sekali. Melihat emosi sedang meluap, maka dirinya membiarkan gadis itu menenangkan diri dengan pulang ke rumahnya.Kediaman Darwin kembali panik. Handoko berusaha melacak, nam
“Leofrand menantangku bertarung dengan Diandra sebagai taruhannya. Maksudku, siapa saja yang kalah, harus pergi dari hidup Diandra. Itu terjadi saat dia dirawat di rumah sakit. kami pun bertarung dengan berakhir lelaki jelek itu kalah. Aku menderita luka tusukan di perut dan bahu, sementara Leo aku tidak tau bagaimana keadaanya. Demi kesehatan Diandra, kami sepakat untuk menyembunyikan hal ini darinya dan berakhir dengan kemarahannya dan kabur,” beber Handoko.Wajah Dara merah padam lalu menampar Handoko. Lelaki itu terkejut karena tidak mengira bahwa gadis yang irit berbicara dan berwajah dingin itu akan melayangkan tangan ke pipinya.“Kalian keterlaluan mempertaruhkan Diandra, Kalian pikir dia piala dan bukan mahluk bernyawa? Pantas saja kalau dia mengamuk seperti ini!” bentak Dara.Handoko mengelus pipinya yang terasa pedas dan menundukkan kepalanya. Kalau di pikir, bagaimana mungkin lelaki kaya dan angkuh menundukkan kepala di depan gadis aneh ini. Akan tetapi ini menyangkut gadis
“Hei, kamu budeg, ya!” ujar seorang gadis.Tampak seorang gadis berlari ke arah Dara. Wajah gadis itu ayu, khas wanita desa, kulitnya putih dan berusia sekitar dua puluh satu tahun.“Kamu buta? Apakah kau lihat aku melakukan sesuatu kepadanya? Dasar gadis bodoh,” gerutu Dara.Gadis itu membelalakkan matanya, tidak terima dengan ucapan wanita asing yang baru di lihatnya itu.“Hei, gadis dungu! Ngapain melototin aku? Baru liat orang cantik? Ayo bawa lelaki menyusahkan ini ke dalam,” perintah Dara.Keduanya kini menggotong tubuh Leofrand ke dalam dan dibaringkan di ruang tamu.Gadis muda itu mengambil air dan kotak obat, kemudian menggosok hidung dan memijit pelipis lelaki itu dengan telaten, seolah istri bagi orang yang sedang tak sadarkan diri itu.Dara mendengar suara mobil menderu yang memasuki halaman rumah itu, gadis itu segera bangkit dan menuju ke luar, tetapi tangannya ditangkap oleh lekaki itu dan dengan mata terpejam memohon kepadanya.“Jangan pergi, ku mohon,” pinta lelaki it
“Melihat apa, Abah?” tanya Dara.Lelaki tua itu terdiam. Kemudian menggelengkan kepalanya.“Abah tidak bisa menembusnya, Non. Maaf,” jawab Abah Mamat.Kepala lelaki itu tertunduk dan tubuh Dara lemas seketika. Rintik hujan mulai membasahi mereka. Abah mengajak Dara untuk masuk dan menunggu hujan reda.Gadis itu mengikuti saran Abah dan duduk di ruang tamu. Satu jam kemudian, hujan semakin deras. Tubuh lelaki tampak menggeliat, Andini meminta Dara untuk mengembil selimut untuk lelaki itu di kamarnya.Dara diam dan tidak bereaksi apapun selain menatap tajam seolah akan menelannya hidup-hidup. Andini pun menundukkan kepalanya.“Memangnya kau siapa berani memerintah aku!” sergah Dara.Wajahnya tampak dingin dengan tatapan mata yang mengintimidasi, Andini seakan membeku melihat wajah dan sikap gadis yang berada di seberang sana.“Hei, mengapa aku memegang tanganmu, Andini?” tanya lelaki itu.Lelaki itu menghempaskan tangan gadis itu dan menatap Dara, kemudian berpindah ke sofa di mana gad
"Tuan Leo baik-baik saja, kenapa bisa jatuh dan terluka seperti itu?" tanya Andini.Dara menghembuskan napas lega. Dia tidak menjawab pertanyaan Andini."Tolong antarkan dia ke kamar, agar beristirahat," pinta Dara.Abah Mamat dan Andini memapah Leofrand menuju kamarnya. Dara duduk di ruang tamu.Lima menit kemudian, Abah Mamat dan Andini sudah berada di ruang tamu. Mereka berdua berdiri di hadapan Dara."Abah, Andini. Saya pamit dulu, hujan sudah reda," kata gadis itu.Abah Mamat mengantarkan hingga ke teras, sedangkan Andini, menuju kamarnya.Raut wajah serius terbingkai di wajah Dara. Selain itu rasa prihatin terselip di hatinya. Setelah berbasa-basi, dia melajukan mobilnya perlahan, meninggalkan rumah itu.'Apa Diandra sudah tau keadaan Leo?' batinnya.Satu jam berlalu, kini gadis itu sudah berada di cafe miliknya. Kemudian menuju ruangannya dan melepaskan penat dengan tidur di sofa.Tubuh yang lelah dan juga pikirannya membuatnya terlelap hingga pagi menjelang. Dara meraih ponsel
Dara mengambil kunci mobil dan tas, kemudian pergi setelah berpesan kepada penanggung jawab cafe agar mengirim laporan penjualan kepadanya.Satu jam kemudian, gadis itu sudah sampai di sebuah villa di mana dia pertama kali bertemu Leofrand.'Haih ... Konyol sekali aku sudah kembali ke sini,' batinnya.Abah Mamat melihat kedatangan Dara, segera berlari menuju kamar Leo dan menggedor pintunya."Tuan, keluarlah. Lihat siapa yang datang!" seru Abah Mamat.Mendengar ke gaduhan, Mahendra dan Agnes pun menuju teras melihat siapa yang datang.Agnes memeluk gadis itu dan mengucapkan terima kasih dalam isak tangisnya. Mahendra yang biasanya keras hati, entah mengapa kini hatinya hangat penuh haru dengan kebaikan hati orang asing."Dara, kamu sudah kembali!" pekik Leo.Agnes melepaskan pelukannya berganti dengan Leo yang memeluk dengan erat.Dara melepaskan pelukan itu dengan wajah memerah. Entah karena marah, atau malu."Sekali lagi kau memelukku, ku jahat habis-habisan!" ancam Dara.Leofrand mu
[Syarat? Apakah sulit? Apa itu?] tanya Diandra.[Tidak sulit, aku akan memberitahumu nanti jika sudah ku pikirkan,] jawab Jhon.Diandra tidak mengungkapkan isi pembicaraannya dengan Jhon beberapa waktu lalu. Dia khawatir jika nanti Dara dan kakaknya menolak untuk berbulan madu.Bosan berbincang, mereka kemudian membubarkan diri menuju kamar masing-masing. Diandra termenung seorang sendiri, dia memikirkan apa syarat yang akan diajukan oleh Jhon kepadanya.‘Kira-kira apa ya syaratnya? Kok aku jadi was-was, ya? Duh mana boleh aku berburuk sangka begini,’ pikir Diandra.Waktu berlalu, kini Diandra serta keluarga yang lainnya sudah berada di bandar udara. Mereka mengantar tiga pasang pengantin baru untuk berbulan madu.“Hati-hati selama di kampung orang. Jaga tata krama, patuh sama peraturan setempat,” pesan Darwin.Berbagai macam pesan pun mereka lontarkan untuk para pasangan yang akan berbulan madu. Pengumuman akan keberangkatan negara tujuan pun terdengar. Mereka berpelukan dan melepas
“Apaan sih teriak-teriak!’ sembur Sisy.Tampak Diandra berjalan kian kemari mencari sesuatu. Sesekali dia menggaruk kepalanyan lalu menarik rambutnya karena kesal sambil menggerutu.Keluarganya dan yang lain memperhatikan perangai Diandra yang terbilang ... ajaib. Bagaimana tidak, usai berteriak, dia hilir mudik sambil menggerutu. Berbagai pertanyaan juga diabaikan begitu saja tanpa menjawab.“Hei ... wajan ikan paus. Kamu ini kenapa sih? Duduk dulu coba, kepala kami pusing liat kamu mondar mandir gak karuan. Liat tuh Mama sama Papa lengkap sama keluarga inti melototin kamu dari tadi.” Dara mendudukkan Diandra di atas tempat tidur.“Anu ... cincin tunangan aku ilang. Kan mahal itu,” ungkap Diandra.Semua yang mendengar terkejut, bagaimana bisa Diandra seceroboh itu. Sisy menghampiri Diandra dan segera menjewer telinganya karena gemas.“Itu yang gantung di kalung kamu apa? Setan? Pagi-pagi bikin emosi jiwa aja deh. Bisa rusak perawatan mukaku gara-gara kelakuan edan kamu itu,” geram Si
“Entahlah, aku aja bingung sama perasaanku,” keluh Diandra.“Apa ... aku boleh memberi saran? Menurutku dia yang terbaik untukmu. Ini dari sudut pandangku sebagai lelaki, seandainya kau gagal dengannya aku bersedia menikahimu, hahaha,” ujar Jhon berseloroh.Diandra tergelak, di dalam hati dia menggerutu bagaimana bisa pernikahan dibuat gurauan. Baginya pernikahan sekali seumur hidup dan jangan sampai melakukan kesalahan.Usai makan siang, mereka kembali ke kantor Diandra. Tiba di kantor, dia mendapat kabar dari bagian produksi kalau pesanan pria asing itu sudah selesai. Mereka menuju ruang produksi, tampak empat buah busana sudah terpajang di sana. Jhon mengamati dengan rinci setiap jahitan dan juga polanya. Dia tersenyum puas dan mengagumi busana yang sudah dipesan tersebut. Lelaki itu merogoh saku dan mengambil benda pipih dari dalam, lalu menghubungi timnya agar mempersiapkan penerbang an kembali ke negara asalnya.“Aku sangat puas, rasanya tidak sabar untuk memamerkan karya ini d
Lelaki itu adalah Handoko. Dia menatap rumah Dara dengan tangan terkepal, wajah memerah menahan amarah. Dia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukan ke rumah Diandra.Sesampainya di sana, Mahendra dan keluarganya di sambut dengan hangat. Berbagai makan dan minuman sudah di sediakan dengan cepat, bahkan beberapa makanan ringan akan menyusul kemudian.Acara lamaran pun di mulai dengan sangat sederhana. Namun, terasa khidmat. Dara terharu dengan keluarga Diandra dan juga ketulusan dari Orangtua Leofrand. Tukar cincin pun usai, pernikahan akan di laksanakan tiga minggu kemudian.“Cieee, selamat ya. Udah laku aja nih,” seloroh Diandra.“Selamat untuk kalian berdua. Sebagai sahabat dari Diandra, aku akan memberikan hadiah berbulan madu di pulau pribadi milikku selama satu bulan,” ujar Jhon.Suasana terasa hangat. Beberapa kali Dara menyeka air mata yang selalu menetes, dan Leofrand perhatikan itu.Suguhan makanan ringan dan teh dengan kualitas terbaik pun di suguhkan, mereka sangat meni
Diandra menoleh ke arah sumber suara. Tampak olehnya lelaki asing tersebut berjalan ke arahnya.“Tuan Jhon? Saya kira Anda kembali ke hotel untuk beristirahat,” cakap Diandra dengan menggunakan bahasa asing.“Tidak, saya ingin tahu bagaimana pakaian yang luar biasa itu tercipta,” sahut Jhon.Diandra kemudian mengajak pria asing itu duduk di sebuah bangku panjang yang berada di sudut. Keduanya duduk di sana sambil mengamati pekerja yang sedang melaksakana tugasnya dengan serius.“Maaf jika aku lancang karena ini adalah ranah pribadi, apakah lelaki yang di rumah sakit tadi adalah tunanganmu?” tanya Jhon.Diandra menoleh sebentar, kemudian menatap lurus dan menceritakan kisah cintanya. Satu jam sudah Jhon menjadi pendengar setia tanpa menyela sepatah katapun.“Anda luar biasa. Di tengah drama hidup percintaan masih bersikap profesional, salut.” Jhon bertepuk tangan pelan.Senyum patah nan pahit terukir dari bibir Diandra.‘Orang bule ini aneh banget sih. Orang lagi galau begini malah di
“Apa aku boleh masuk? Enak bener makan sendirian ga ngajak-ngajak,” sapa Fikri.Diandra mengangguk sambil meneguk air karena batuk tersedak.“Aku duduk ya.” Fikri menutup pintu kemudian duduk di depan Diandra.Diandra segera membersihkan tangan dengan tisu, jantungnya berdebar dan suasana sedikit kaku karena kehadiran lelaki yang kini duduk di hadapannya.Fikri menatap lembut gadis yang diam-diam sangat di rindui selama beberapa bulan ini. Ingin rasanya dia memeluk tubuh Diandra, jika saja tidak melanggar peraturan agama yang di anut.Fikri segera menyadari kesalahannya. Duduk berdua dalam ruangan tertutup saja akan menimbulkan fitnah dan dosa. Dia kemudian mengajak Diandra duduk di sofa yang di peruntukkan bagi pelanggan.“Maaf aku tadi lancang. Kangen banget sama kamu, Di,” ungkap Fikri.Diandra diam saja. Hatinya memang berdebar saat lelaki yang pernah menjadi penghuni hati datang tiba-tiba. Dia juga tidak menampik jika bahagia datang begitu saja saat mendengar suara serta senyum t
“Diandra kenapa bisa pingsan begini?” tanya Meliana.“Doi pingsan begitu denger transferan 1M, Cin,” terang karyawan Diandra yang ... bertubuh pria berperangai wanita.Meliana tidak kuasa menahan tawa dan terbahak-bahak. Suara tawa itu membuat Diandra siuman.“Satu miliar, mana satu miliar,” ucap Diandra panik.“Hei ... tenang, Sayang. Ini kakak,” kata Meliana.Mata Diandra terbelalak dan memindai sekitar kemudian melompat dari tempat tidur dan berlari, dengan sigap Meliana menagkap tubuh adiknya tersebut.“Tamunya, kak. Aduh bisa gagal ini satu miliar,” cemas Diandra.“Di, di sana ada Mama. Sebentar lagi mereka sampai,” jelas Meliana.Mendengar itu, Diandra kembali ketempat tidur dan berbaring seolah-olang pingsan. Meliana melipat dahi karena bingung dengan apa yang di lakukan adiknya itu.Tak lama terdengar suara menggunakan bahasa asing, tampak pria asing tampan bermata biru bersama sang ibu.Sisy memperkenalkan Meliana kepada tamunya yang bernama Jhon tersebut.“Anda Ibu yang lua
Diandra kehilangan keseimbangan dan hampir saja menabrak pejalan kaki. Dia menepi sejenak guna menenangkan diri.“Sial emang si Domo. Pake acara hampir jatoh segala,” gerutu Diandra.Usai merasa tenang, Diandra kembali melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah, dia terkejut melihat mobil milik Handoko terparkir di sana.Diandra menarik napas kemudian masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam terlebih dahulu.“Di, kok kamu pulang telat, sibuk banget ya sekarang?” sapa Handoko.“Iya.” Diandra duduk di sisi Darwin dan menyandarkan kepala di bahu sang Ayah.Handoko tersenyum, melihat dan mendengar suara Diandra saja sudah cukup untuk melepas rasa rindunya selama ini. Dia memandang lekat gadis pujaan hati dan berusaha merekam semuanya untuk di kenang saat rindu menyapa jiwa.Puas memandang selama sepuluh menit, lelaki itu kemudian pamit untuk kembali.“Udah malem, Om, Tante. Saya pulang dulu, assalamualaikum,” pamit Handoko.“Kok buru-buru banget, sih? Waalaikumussalam,” kata Sisy.
Diandra sangat sibuk sekarang. Tidak ada yang berubah dari penampilannya, sikap yang semakin matang serta waspada dalam mengelola usaha yang menjadi pembeda. Selebihnya sama saja seperti yang sudah-sudah.Perlahan Fikiri dan Handoko sudah terkikis dari dalam pikiran dan hatinya, dia tak lagi mau di pusingkan dengan masalah asmara. Baginya masa lalu biarlah tetap berada di tempatnya dan tidak menganggu di kehidupan masa kini. Di kenang jika dia ingin.Sisy kini merasa kehilangan sikap konyol putri bungsunya, karena kini Diandra pulang dari butik langsung menuju kamar setelah berbasa basi sejenak.“Kangen sama anakku yang dulu, sering bikin sakit kepala sih tapi, aku suka,” keluh Sisy.“Berarti dia sekarang lagi belajar dewasa, Ma. Biarkan aja,” kata Darwin.“Papa ga khawatir? Siapa tau aja dia tiba-tiba minta nikah,” cetus Sisy.Darwin melipat kening, perkataan sang istri baru saja masuk akal. Bagaimana jika putri bungsunya tiba-tiba meminta untuk menikah? Hatinya belum siap melepas pu