Malam sudah semakin larut, tetapi Al masih belum bisa memejamkan mata. Dia terus saja meronta-ronta di atas kasurnya, mencoba mencari posisi yang paling nyaman. Sesekali Al melirik ke arah Patonah yang sudah tertidur pulas di atas sofa, dengkuran lembutnya terdengar jelas di sepanjang ruangan. Dalam hati Al, rasa bersalah mulai menyelimuti dirinya karena telah membiarkan istrinya tidur di atas sofa."Eh, tunggu dulu. Istri? Pew! Sejak kapan aku mengakui dia istri?" gumam Al, wajahnya langsung berkerut. Tetapi, gelisah kembali menyusupinya. "Aku juga tidak menyuruhnya tidur disitu? Itu keinginan dia sendiri. Inisiatif dirinya sendiri. Mungkin dia sadar diri." Sadar diri? Sadar diri kenapa? Karena aku tidak menginginkannya? Al merasa seperti menjadi orang yang sangat jahat. Di dalam pikirannya, kata penyesalan kembali berkumandang, terus menghantui hingga ia tak bisa tenang.Al, yang tadi sempat duduk di tepi ranjang, kembali membanting tubuhnya ke kasur sambil mendesah. 'Hanya tiga bul
Keesokan paginya, suasana di antara keduanya menjadi sangat canggung. Bahkan saat sarapan tiba, mereka tak mampu mengobrol sama sekali. Kali ini, bukan karena Al malas mengajak bicara Patonah seperti biasanya, melainkan karena rasa malu yang membuak akibat peristiwa tak terduga semalam."Permisi.. Aden! EnNon!" Suara Bi Ina menggema, disertai ketukan pintu yang mengejutkan Patonah dan Al yang tengah larut dalam lamunan. Patonah terperanjat, duduk di ujung tempat tidur, sedangkan Al duduk termenung di ujung sofa. Patonah bergegas meraih kerudungnya dan memakainya sebelum membuka pintu."Tuan Besar memanggil kalian untuk sarapan. Ayo turun! Tapi berdua ya, biar kelihatan akur. Itung-itung buat nyenengin Tuan besar saja. Jangan bertengkar lagi," pesan Bi Ina sambil melirik ke arah Al yang sudah mulai beranjak mendekat."Iya Bi, kami turun. Nggak usah bawel! Awas saja lapor yang aneh-aneh sama Kakek!" balas Al dengan nada setengah bercanda.Bi Ina mengangkat bahu, "Asal jangan melampaui b
'Gila, manis banget?' Al segera mengusai dirinya agar tidak terlihat terpesona oleh gadis desa ini.Mereka pun mulai menyantap sarapan mereka dengan tenang. Di hari pertama ini, Al merasa gugup satu meja makan bersama Patonah. Tangannya terlihat gemetaran saat mengambil sendok. Saat suasana sarapan hampir berakhir, tiba-tiba ponsel di saku Patonah berdering. Patonah segera merogoh saku untuk memeriksanya.Al dan Kakek tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran mereka, karena jarang ada yang menghubungi Patonah, apalagi di pagi hari seperti ini. "Siapa itu, Nak?" tanya Kakek penasaran."Kakekku, Kek," jawab Patonah singkat."Oh, angkat saja, Nak. Siapa tahu ada kepentingan penting," saran Kakek.Patonah mengangguk, segera mengambil jarak untuk menjawab panggilan tersebut.Dalam kesendirian mereka, Kakek segera bertanya kepada Al, "Al, gimana? Apakah kamu mulai merasa nyaman dengan Patonah?""Yah, sedikit sih, Kek. Tapi, masih perlu waktu untuk benar-benar dekat," jawab Al dengan jujur.K
"Oh, eh hehe iya iya. Hati-hati dijalan, jaga baik-baik istri kamu. Patonah itu kalau di sana bunga desa. Takutnya di embat orang kalau kamu gak pandai jaga."Al langsung melotot, "Enak saja, berani embat istriku, ku mampusin orangnya!" Jawab Al sambil melirik Patonah yang langsung tersenyum dan menunduk.Al menelan ludah, senyum gadis itu begitu manis dimatanya. Sungguh, dia baru menyadari hal ini. Kemarin aku kemana saja ya? Dia menepuk keningnya sendiri.“Kak Al, ayo! Katanya jangan sampai kesiangan." Ucap Patonah membuyarkan lamunan Al."Oke. Ayo." Al menyeret satu koper besar di tangan kanan. Menghampiri mobil yang sudah siap.Al membuka bagasi dan menyimpan koper di sana."Silahkan, Den Al." Sang sopir spesial yang akan mengantar mereka membukakan pintu untuk Mereka.Al mempersilahkan Patonah untuk masuk dahulu baru dia menyusul.Mobil mulai melaju, Al terlihat menyandarkan punggungnya ke jok, kaki diangkat sebelah ke atas paha. Sebentar-sebentar dia terdengar bersiul kecil, lal
Mata Al terasa sepet. Tapi sekuatnya dia menahan kantuk demi menjaga posisi Patonah agar terus nyaman.Bayangan tentang kampung Patonah sudah tergambar di otaknya. Rumah yang terbuat dari papan atau malah panggung. Yang kumel dan kumuh. Dengan rumput ilalang di mana mana.Tak begitu lama setelah Al mengerang lelah, mereka melewati sebuah perkampungan yang asri. Beberapa rumah penduduk yang terlihat sederhana namun apik. Bangunan dengan bata merah tapi terlihat rapi. Kanan kiri jalan terdapat pohon Cemara yang indah terawat.Juga beberapa lahan tanpa rumah, namun ditanami warga dengan berbagai palawija. Ada sayuran, dan jagung manis, juga buah buahan.“Kampung apa ini namanya, bagus banget.” Gumam Al dalam hati.Pak Wanto kemudian menghentikan mobilnya.“Kenapa pak? Mobilnya mogok ya?” Al langsung bertanya.“Hehe, enggak Den. Ini sudah sampai.”Hah! Al terperangah, mengintip keluar kaca. Mobil ini berhenti tepat di depan rumah dengan Pendopo besar. Rumah yang terlihat lebih mencolok di
“Tadi kak Al yang bawa aku ke kamar ya?” Tanya Patonah.“Ya tentu lah. Masa iya Pak Wanto. Apa mau minta ku sledang?”Mereka tertawa mendengar kelakar Al.Malam harinya setelah semua sudah mulai masuk ke dalam kamar masing-masing. Patonah berdiri ragu.“Lho, ngapain disitu? Sini. Kita tidur bareng saja malam ini. Tidak ada sofa soalnya di kamar kamu ini.”Seperti sang pemilik, Al justru yang menepuk kasur di sebelahnya.“Masa iya tidur bareng?” Patonah merengut.“Emangnya kenapa? Mau bilang bukan mahram? Lupa ya? Pura pura lupa lagi. Kita itu sudah ijab sah!” Ujar Al.“Tapi kan dengan perjanjian. Kal Al, lupa ya? Kan kita menikah cuma mau tiga bulan?”Al tertegun, menggaruk kepalanya. Sungguh merasa bodoh sudah membuat perjanjian seperti itu.“Iya tau. Inget! Nggak lupa! Cuma tidur aja kok, nggak bakal ngapa ngapain. Emang kamu pikiraku mau apa? Ge'er. Orang tinggal mejem, besok pagi tinggal melek. Beres kan? Repot amat.” Sewot Al.“Iya, tapi kan,”“Ya udah Sono tidur diluar. Kalau m
Al benar-benar kesal setengah mati. Andai saja pria itu saat ini ada di depannya, dia pasti sudah memukul pria itu tanpa ampun.Tapi setengah dipikir-pikir, dia membenarkan ucapan Patonah. Gadis itu tidak salah bicara. Yang dikatakan sesuai fakta. Faktanya, dirinya lah yang membuat perjanjian. Menikah hanya tiga bulan demi menuruti keinginan Kakek saja. Lalu mengajak Patonah untuk bercerai dengan alasan, tidak bisa cocok! Tidak berhasil jatuh hati, dan tidak bisa saling mencintai.Al termenung, lagi-lagi dia menyesal. Seharusnya dia mengenal dulu siapa Patonah, baru bicara.Gadis ini bukan hanya lembut dan baik. Tapi dia juga patuh dan yang paling penting, tidak malu-maluin kalau diajak kondangan.Al tersenyum dalam hati. Jika dipertahankan bagaimana ya?Apalagi kakek sangat menyukai Patonah. Padahal sudah lebih dari selusin perempuan dari macam tipe yang dia bawa ke hadapan Kakek Mahendra. Tapi tidak ada satupun dari Mereka yang disukai oleh Kakeknya.Ini tidak berkelas, itu tidak je
Di kampung.Ketika di pagi hari, Zahra sudah bangun terlebih dulu. Tentu saja, karena gadis Soleha ini harus menjalankan kewajibannya, untuk sholat Subuh.Memangnya Al? Yang tidak terbiasa dengan shalat lima waktunya.Gadis ini sempat melirik Al yang masih mendengkur. Al tidur meringkuk dengan mendekap tubuhnya sendiri. Sebab selimut, semalam memang dikuasai oleh Zahra seorang. Mungkin dia merasa kedinginan karena cuaca malam hari di kampung ini memang akan terasa lebih dingin.Zahra sedikit prihatin, sebelum turun dari tempat tidur dia mengalihkan selimutnya untuk Al. Menutup tubuh Al pakai selimut itu dengan lembut.Zahra sholat, lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kemudian menunggu Al keluar.Kakek Sanjaya meminta Zahra agar jangan membangunkan."Antar saja sarapan ke kamar. Mungkin suamimu sangat lelah. Atau belum terbiasa di rumah seperti ini. Kamu harus bisa menjaga perasaannya. Jangan terlalu memaksa. Harus paham suamimu itu berasal dari mana."Zahra terdiam, tetapi m
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s