Di kampung.Ketika di pagi hari, Zahra sudah bangun terlebih dulu. Tentu saja, karena gadis Soleha ini harus menjalankan kewajibannya, untuk sholat Subuh.Memangnya Al? Yang tidak terbiasa dengan shalat lima waktunya.Gadis ini sempat melirik Al yang masih mendengkur. Al tidur meringkuk dengan mendekap tubuhnya sendiri. Sebab selimut, semalam memang dikuasai oleh Zahra seorang. Mungkin dia merasa kedinginan karena cuaca malam hari di kampung ini memang akan terasa lebih dingin.Zahra sedikit prihatin, sebelum turun dari tempat tidur dia mengalihkan selimutnya untuk Al. Menutup tubuh Al pakai selimut itu dengan lembut.Zahra sholat, lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kemudian menunggu Al keluar.Kakek Sanjaya meminta Zahra agar jangan membangunkan."Antar saja sarapan ke kamar. Mungkin suamimu sangat lelah. Atau belum terbiasa di rumah seperti ini. Kamu harus bisa menjaga perasaannya. Jangan terlalu memaksa. Harus paham suamimu itu berasal dari mana."Zahra terdiam, tetapi m
"Oh, salam kenal ya mas Al. Senang bisa bertemu langsung dengan suami Zahra. Semoga rumah tangga kalian Samawa ya?" Ujar Ustadz Ilham, begitu sopan dan lembut."Tentu saja Mas ustadz. Lagian aku akan menjaga istriku dengan sangat baik. Berusaha agar rumah tangga kami selalu Samawa dan langgeng. Benarkan, sayang?" Al menoleh pada Zahra dengan senyuman lembut. Tentu saja Zahra mengangguk, dia paham jika Al hanya ingin sandiwaranya sempurna di depan semua orang."Amin, Allahuma amin. Memang begitu tugas seorang suami. Menjaga dan bertanggung jawab dengan baik istrinya." Jawab Ustadz Ilham."Hem.. baiklah. Jadi saya tadi kesini hanya ingin mengetahui kabar Kakek Sanjaya yang katanya sakit, kemarin. Alhamdulillah.. ternyata beliau sudah sehat. Dan kebetulan malah bertemu dengan Zahra, jadi saya sekalian bertanya tentang kabarnya, sekalian ingin kenal dengan suaminya yang katanya orang kota."Beh! Al melengos. 'Ngomong aja mau ngintip istriku! Pakek banyak alasan.!'"Ah iya, Mas Ustadz, sen
Tiga orang itu sudah melangkah pergi meninggalkan rumah kakek Sanjaya untuk menuju sawah yang dimaksud oleh Zahra tadi.Mereka kesana dengan berjalan kaki saja. Tadi Zahra menolak saat Al mengajaknya untuk naik mobil saja."Kita ini mau pergi ke sawah, bukan untuk jalan-jalan piknik. Mau melewati jalan sempit dan becek. Bagaimana mungkin memakai mobil? Lagian orang-orang akan menertawakan kita. Mereka akan berpikir, kita ini mau ke sawah apa kemping?" Zahra menerocos."Ya baiklah. Ayo kita jalan kaki. Anggap saja sedang jalan sehat." Jawab Al, patuh Karena sedang tidak mood untuk berdebat.Al ngikut saja, berjalan di belakang Zahra dan Bu Nani dengan memakai Caping bambu di kepalanya.Benar saja, mereka berjalan kaki menyusuri jalanan sempit. Jalan trabasan yang berada di samping rumah Seorang warga setempat.Sepanjang perjalanan Al bersungut-sungut Dia sudah membayangkan sawah yang kotor penuh dengan ilalang dan semak belukar. Apalagi ketika berjalan, jalanan ini hampir semua becek.
Mereka pun tiba ke sebuah salah satu gubuk yang mirip dengan gubuk gubuk lainnya.Zahra mengajak Al untuk naik ke atas panggung, karena gubuk itu memang berdiri di atas sawah.Mereka duduk di atas panggung sambil melihat sekeliling. Dari sini sampai ujung sana itu adalah sawah kakek. Kakek tidak pernah menyewakan atau menggadaikan sawahnya ini. Kakek menggarap dan menanam padi sendiri." Zahra bercerita."Hah, apa?" Al terkejut."Jadi kakek menanam sendiri seluruh padi-padi ini?" Al menunjuk padi yang sebagian sudah mulai menguning dan sebagian sudah mulai dipanen oleh berapa orang."Ya bukan begitu juga tapi. Kakek bukan berarti turun kesawah untuk menanaminya sendiri, maksudnya kakek mempekerjakan orang dari mulai tahapan pertama sampai memanen, kakek mempekerjakan orang, dan hasil panennya nanti kakek jual begitu. Maksudnya kakek menggarap sawah sendiri meskipun dengan mempekerjakan orang, kalau sebagian warga sini kan kebanyakan bila sawah mereka sangat lebar, mereka akan menyewaka
Zahra kembali tersenyum, dia mengangguk. "Kalau begitu, nanti siang setelah kita makan siang, kita akan belajar. Baiklah, sekarang aku akan siapkan makan siang ya?""Tunggu Zahra, aku ikut." Dan tanpa menunggu persetujuan, Al ikut melangkah ke dapur.Sampai di dapur Zahra menarik kursi, menyuruh Al untuk duduk menunggu. Tapi Al tidak mau, dia mengikuti apapun yang dikerjakan oleh Zahra. Dia membantu Zahra memotong sayuran, mencuci sayuran dan memperhatikan cara-cara memasak Zahra. Gadis itu juga tidak mau melarangnya. Dia membiarkan saja Al senyamannya saja.Al menumpahkan air saat Zahra meminta air bersih."Biarkan saja kak, nanti di pel setelah semua selesai." Ujar Zahra saat Al bertanya kain pel padanya.Hingga ketika Zahra tak sengaja menginjak lantai yang basah itu dia terpeleset, namun sebelum tubuhnya menyentuh lantai Al sudah tepat waktu menangkapnya.Posisi Zahra sekarang ada di pelukan Al. Mereka berdua tertegun sejenak. Beberapa saat kemudian terasa dan langsung saling mele
"Kak Al, sudah cukup! Itu pekerjaan perempuan. Bisa Bu Nani atau aku nanti yang kerjain.""Tidak mengapa, demi istriku tercinta. Mencuci piring tidak mengeluarkan tenaga banyak ini. Lagian aku mau ngapain juga di sini? Tidak ada pekerjaan yang bisa ku kerjakan."Hati Zahra kembali seperti terbang ketika akan menyebutnya sebagai istri tercinta. Zahra kembali hampir lupa jika kebersamaan mereka ini hanyalah sandiwara belaka.Zahra hanya bisa mendengus pasrah.Selesai dengan urusan makan siang dan urusan tak beres-beres dapur, mereka kembali ke kamar.Pada saat inilah Al mengingatkan Zahra untuk mengajarkan dia cara shalat lima waktu beserta dengan surah yang harus dibaca.Tentu saja dengan senang hati Zahra mulai mengajari Al sedikit demi sedikit. Ada beberapa yang masih diingat oleh Al, dan ada beberapa yang sudah dilupakan oleh Al. Bahkan ada bagian yang sama sekali tidak diingatnya lagi. Zahra dengan telaten terus mengajarinya."Kak Al, aku senang sekali kamu mau berhijrah." Di sela
"Menceraikan? Jadi, jadi yang di impikan Zahra?"Al melotot sekarang. "Oh ya Allah ya Robbi! Ternyata gadis ini? Istriku ternyata dia,"Aaaa… Rasanya Al ingin berteriak.Pagi hari, Al bangun terlebih dahulu. Sebenarnya bukan seperti itu. Karena semalaman Al tidak bisa tidur dengan nyenyak dan hampir terjaga sepanjang malam karena gelisah memikirkan igauan Zahra. Mungkin hanya satu jam saja dia terlelap.Meskipun kepalanya terasa pusing dan pandangan sedikit kabur karena kurang tidur, tapi Al menginjakkan kakinya di lantai dengan penuh semangat. Lalu menyiapkan air hangat untuk sang istri yang baru dicintainya setengah mati itu.“Den Al, mau ngapain?” Bu Nina terkejut melihat Al subuh-subuh ada di dapur dan terlihat menenteng-nenteng air dalam ember.“Eh, ini. Mau rebus air, Bu Nina.”“Mau mandi air hangat ya? Sini Bu Nina saja.”“Eh, gak usah. Ini buat Zahra kok Bu,”Bu Nina terbengong, ternyata Den Al ini sangat perhatian sekali. Sampai rela bangun subuh hanya untuk menyiapkan air ha
Mendengar jawaban Al, Zahra langsung bersiap siap. Setelah Zahra mengajak Al lari dan pagi sekitar kampung itu saja sambil menyapa orang-orang yang sudah mulai keluar dari rumah mereka masing-masing untuk berangkat ke kebun dan sawah sesuai aktivitas mereka."Kak Al, kita kesana!" Zahra mengajak Al ke arah kebun karet yang mempunyai jalanan yang lumayan nyaman tanpa becek.Mereka berlari kecil, melompat juga bergandengan tangan. Sungguh terlihat seperti pasangan yang bahagia.Nafas Zahra ngos-ngosan, "Istirahat dulu. Huh! Capek." Dia duduk di sebuah gubuk milik orang diikuti Al yang juga ngos-ngosan. Zahra membuka bekal air minum, mengulurkan pada Al dahulu."Minum kak Al,""Iya, terima kasih."Setelah Al minum, Zahra baru minum. Al menatap Zahra, kulit wajahnya yang putih terlihat memerah, ada keringat yang mengalir di dahi gadis itu. Al merogoh sapu tangan dari sakunya dan mengelap keringat di dahi Zahra. Gadis itu mendongak, menatap wajah Al yang begitu dekat dengannya. Hatinya ber
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s