Sabar, Ayah .... 🫣
"Uhuk ... Uhuk ...." Belinda terbatuk-batuk, lalu meraup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-parunya yang terasa panas.Rangga menunjuk wajah Belinda dengan geram. "Aku akan membiarkanmu kali ini karena anakku baik-baik saja. Jika kamu mengulangi perbuatanmu sekali lagi, aku akan membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri!" "Kamu bicara apa, Sayang?! Anakmu siapa? Jangan mengada-ada." Belinda pura-pura tak mengerti.Gelenyar ketakutan menjalar di sekujur tubuh Belinda. Bagaimana Rangga bisa tahu perbuatannya? Padahal, dia sudah merencanakan semua dengan sangat hati-hati."Aku sudah tahu, kamu yang menyuruh orang untuk mencelakai Rachel, bukan?!""Rachel? Rachel anaknya Vina? Kenapa aku harus mencelakai anak Vina? Dan kenapa kamu menyebut Rachel anakmu?" Belinda memasang tampang kebingungan."Jangan pura-pura bodoh, Belinda! Aku sudah tahu semua kebusukanmu. Dan, ya, Rachel itu anakku! Menjauhlah darinya mulai sekarang!" bentak Rangga."Apa?! Kamu sedang bercanda 'kan? Rachel tid
"Hah?" Vina terpana oleh ucapan dan tindakan Rangga. Wajah pria itu pun merona walau ekspresinya datar. Vina tak bisa menebak apa yang ada di pikiran Rangga sekarang. Mau bertanya pun sungkan.Apakah Vina salah mendengar atau Rangga yang keliru bicara?"Anda ... baru saja bertemu Belinda?"'Siapa lagi calon istri Pak Rangga kalau bukan Belinda?' lanjut Vina dalam hati.Vina buru-buru menarik tangannya. Vina menyangka, Rangga mencium tangannya sambil membicarakan wanita lain. Tampaknya, Rangga tahu apa yang ada dalam pikiran Vina. Dia menyentil dahi Vina pelan."Awww! Sakit!" pekik Vina."Kamu tambah bodoh. Aku mengatakannya padamu ... calon istriku." Rangga pergi begitu mengucapkannya.'Maksudnya ... aku calon istrinya? Seenaknya saja dia memutuskan!' geram Vina dalam hati, tapi bibirnya tersenyum-senyum sendiri.Vina merasa ada makhluk-makhluk kecil di dalam dadanya yang sedang berpesta pora sambil menyalakan kembang api yang begitu meriah. Vina tentunya tahu apa yang sedang dia ras
'Tinggalkan Rangga dan ... berkencan saja denganku.' Kata-kata Julian tadi masih mendengung di benak Belinda.Julian mengatakan itu supaya Belinda berhenti mengganggu Vina. Julian tak akan membiarkan siapa pun merusak kebahagiaan Rachel yang ingin selalu berada di dekat ayah kandungnya.Akan tetapi, Belinda mengartikan ucapan Julian dengan cara yang berbeda. Belinda mengira Julian telah jatuh cinta padanya.Siapa yang tak akan jatuh cinta padanya? Belinda tersenyum singkat. Dia merasa menang dari Vina. "Vina ... Vina ... kalau Julian saja bisa memilihku daripada kamu, Rangga pun akan melakukan hal yang sama. Kamu harus tahu di mana tempatmu yang seharusnya. Rangga akan meninggalkan kamu demi aku," gumam Belinda.Belinda juga merasa kasihan kepada Julian. Karena Belinda tak akan bisa menyerahkan hatinya untuk pria itu. Walaupun Julian juga memiliki paras rupawan, tetap saja, hanya Rangga yang dapat mengambil hati Belinda.Tak mau berlama-lama memikirkan perasaan Julian, Belinda segera
"Aku ingin kencan seharian denganmu, lalu makan malam berdua di apartemenku. Setelah itu, aku akan bilang kepada orang tuaku dan Kakek Mahendra kalau aku tidak ingin bertunangan denganmu lagi." Dion membacakan isi pesan Belinda dari ponselnya dengan nada yang dibuat-buat seperti wanita."Tidak. Aku hanya akan menemuinya saat Rachel sudah tidur. Katakan itu padanya," tegas Rangga.Dion membalas pesan Belinda sesuai apa yang dikatakan Rangga. Belinda dengan cepat merespon."Untuk terakhir kalinya, turuti permintaanku. Kalau tidak mau, aku juga tidak akan memutuskan hubungan kita."Gigi Rangga bergemeletuk mendengar permintaan Belinda. Ditambah lagi, Dion semakin menjadi-jadi mengubah suaranya."Turuti saja permintaan Nona Belinda-"Rangga menatap tajam Dion yang masih mendalami perannya sebagai wanita."Ehem ..." Dion mengetes pita suaranya. "Maksud saya, Anda mungkin bisa mendapatkan sesuatu seharian ini. Lebih banyak bukti lebih baik. Pak Mahendra bisa semakin yakin dengan Anda."Setel
BRAK!Rangga memukul pintu dengan sekuat tenaga untuk meredam gejolak nafsu yang membara. Namun, semua sia-sia, rasa itu masih ada."Sayang ... sentuh aku," desis Belinda.Gerakan sensual Belinda yang menyentuh dirinya sendiri, membuat Rangga sedikit terpancing. Belinda menarik tangan Rangga sampai ke sofa. Lalu, mendorong Rangga sampai terduduk pasrah sambil mendongakkan kepala.Sungguh, Rangga ingin menolak perlakuan menjijikkan itu. Tetapi, tubuh Rangga sulit untuk dikendalikan. Terlebih lagi, ketika Belinda mulai naik di atas pangkuannya."Minggir, Belinda!" bentak Rangga.Belinda membelai wajah Rangga, memeluk, dan mendesaknya. "Kamu boleh menyentuhku sampai puas, Sayang," rayunya.'Rachel.'Rangga berusaha kuat membayangkan putri kecilnya. Tawa Rachel dalam benak Rangga mulai menggantikan gejolak nafsu dalam dada. Dengan sedikit upaya, Rangga mendorong tubuh Belinda ke samping. Belinda yang berada dalam pengaruh alkohol dan obat itu menggelepar seperti ikan di daratan yang kekur
"Sadar, Pak!" Vina menampar keras wajah Rangga. "Belinda pasti sudah melakukan ini kepada Anda!"Mendapat tamparan tak lantas membuat Rangga marah. Hasratnya justru semakin terpacu.Rangga membopong Vina dengan gerakan cepat. Kedua kaki Vina mengepak-ngepak kuat, tangannya pun menjambak rambut Rangga."Urrghh!" Rangga mengerang kesakitan. "Berhenti! Kamu membuatku semakin ingin melakukan sesuatu, Vina!"Vina langsung terdiam. Rangga pun membaringkan Vina ke ranjang dengan perlahan.Vina gegas berguling ke samping untuk melarikan diri, tetapi Rangga dengan cepat mengungkung tubuhnya. Mengunci Vina agar tak bisa bergerak ke mana-mana."Saya tidak mau melakukan ini!" teriak Vina.Rangga mengambil segenggam rambut Vina yang beraroma memabukkan, lalu mengecupnya. "Kenapa?""Kita belum menikah! Saya tidak mau! Menyingkir dari atas saya!" Vina memukul-mukul dada Rangga sekuat tenaga.Pukulan ringan itu membuat darah Rangga berdesir. Gelombang gairah semakin meledak-ledak ingin segera disalurk
"Apa, sih!"Vina mendorong Rangga. Tubuh yang biasanya kokoh itu ambruk hanya karena gerakan pelan Vina."Haa ...." Rangga mendesah pelan sambil memegangi kepala. "Jangan kasar, Vina."Vina buru-buru mencari ponselnya karena kembali panik melihat Rangga lemah tak berdaya. Dia menelepon Dion untuk mencari kunci cadangan kamarnya. Lalu, menghubungi dokter Teddy agar cepat datang memeriksa Rangga."Kemarikan ponselmu!" Rangga mengulurkan tangan sembari memejamkan mata."Untuk apa?" Karena tak kunjung diberikan, Rangga merebut ponsel itu dari tangan Vina. "Kembalikan! Itu privasi saya!" Vina berusaha mengambil ponselnya kembali. Rangga sigap menarik tangan Vina sampai terjatuh ke dalam pelukannya.Sekujur tubuh Rangga masih terasa dingin. Vina bergidik dibuatnya. Dia menarik selimut untuk menghangatkan Rangga.Di saat yang sama, Rangga menghapus kontak dokter Teddy. Vina yang sempat melihatnya, langsung mengamuk dan merebut ponselnya."Kenapa dihapus?!" seru Vina tak terima."Tidak ingat
"Rangga melakukan itu?" Mahendra bertanya seolah tak percaya.Biar bagaimanapun, Mahendra tahu betul karakter cucunya. Apalagi, Rangga selalu menolak untuk dijodohkan dengan Belinda. 'Rangga bisa saja melakukannya jika Belinda yang menggoda lebih dulu," pikir Mahendra.Akan tetapi, melihat penampilan dan gerak-gerik Belinda, Mahendra jadi meragukan pikirannya sendiri. Rangga tetaplah pria normal yang memiliki kebutuhan biologis yang sama dengan pria lainnya."Kakek bisa menyuruh orang untuk melihat apartemenku jika Kakek tidak percaya. Hu hu hu ... Rangga melakukan itu dengan kasar dan juga memaksa aku, Kakek .... Aku sudah menolak, tetapi aku tidak cukup kuat melawan Rangga.""Kakek akan melihat sendiri ke sana." Mahendra memutuskan.Berangkatlah mereka ke apartemen Belinda. Mahendra tercengang melihat isi apartemen Belinda yang seperti habis diterjang badai.Asisten pribadi Belinda juga ada di sana untuk memberi kesaksian jika hanya Rangga yang masuk ke apartemen Belinda semalam. T
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto