Duo serigala Cakrawala
'Vina, kamu baik-baik saja 'kan? Maafkan aku ... karena kehadiranku, kamu jadi pingsan begitu.' Keesokan harinya, Julian mengirimi Vina pesan singkat. Vina langsung menunjukkan pesan itu kepada Rangga."Dibalas saja tidak apa-apa," ujar Rangga halus sambil membelai rambut Vina.Vina sejenak ragu. "Mas ... tidak cemburu?""Untuk apa cemburu? Justru Mas senang, kamu bisa akrab dengan sepupu terdekat Mas." Meskipun berkata begitu, Rangga mengumpati Julian tiada henti dalam hati."Tidak usah aku balas saja, Mas," ucap Vina.Vina memutuskan untuk menjaga hati suaminya. Biar bagaimanapun, Rangga pernah cemburu kepada Julian.Rangga meraih ponselnya sendiri dan membalas pesan Julian. "Mas saja yang membalas. Mas tidak ingin sepupu kesayangan Mas khawatir dan kepikiran sampai tidak bisa tidur," ucap Rangga sambil diam-diam menggerakkan gigi.Vina melihat Rangga mengetik pesan untuk Julian. Senyum wanita cantik itu mengembang lebar saat membacanya.'Istriku baik-baik saja, sepupuku. Terima kasi
"Aku turut prihatin, Julian. Semoga bayi itu tenang di surga." Vina menepuk-nepuk lengan Julian.Darah Rangga mendidih melihat itu. Tetapi, Rangga masih bisa mengendalikan diri.Siska turut duduk di sebelah Julian setelah Bima melepasnya. "Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, saya turut prihatin jika anak Nona Belinda tersebut adalah darah daging Anda."Julian meneteskan air mata tanpa suara. Jika Siska tak diberi tahu tentang Julian, mungkin Siska akan percaya dengan tangisan buaya itu."Walaupun Belinda hanya menjebakku, tapi mungkin anak itu adalah anakku." Suara Julian bergetar dan terdengar pilu."Saya tidak menyangka jika Nona Belinda juga menjebak Anda. Saya kagum pada Anda, Pak Julian. Anda masih bisa menerima kehadiran anak itu biarpun Anda sendiri belum yakin," kata Siska kaku. Siska tak pandai bersandiwara, kecuali untuk memenangkan pertarungan bisnis.Ponsel di saku jas Rangga berdering."Sayang, temani sepupu Mas sebentar. Mas angkat telepon dulu," pamit Rang
"Selamat datang kembali, Pak Rangga!" seru Direktur dengan antusias. Direktur itu sangat kecewa kepada Julian dan sengaja mengucap selamat dengan suara lantang.Semua yang ada di dalam ruang rapat pun memberi tepuk tangan meriah kepada Rangga. Mereka bersyukur, Rangga datang tepat waktu. Hampir saja mereka kehilangan pekerjaan karena Julian. Beruntung, orang yang mengambil alih perusahaan adalah Rangga Cakrawala, pria yang sudah terbukti kompeten dan selalu menjaga Cakrawala Group selama ini.Sambutan hangat itu tentu membuat Julian sangat marah. Dia sampai terbayang menembak kepala para mantan bawahannya satu persatu. Orang-orang yang pernah menjilat Julian, sekarang berbalik mendukung Rangga, musuh besarnya. Julian bersumpah dalam hati akan menjatuhkan semua orang yang ada di dalam ruang rapat.Hebatnya, wajah Julian masih terlihat sangat tenang. Dia bahkan ikut tersenyum dan memberi Rangga ucapan selamat."Terima kasih atas sambutannya. Saya akan menjelaskan beberapa hal agar Anda
"Kejutan! Apa kabar, semuanya?" Seorang pria yang lumayan tampan tersenyum canggung menyapa Vina."Om Dion! Aku kira, Om Dion sudah mati!" seru Nevan."Hus! Enak saja! Mau dicubit mulutnya sama Om?!" sergah Dion.Nevan memeluk kaki Dion. Rachel pun ikut-ikutan memeluk kaki Dion satunya dan menangis tak tahu sebabnya karena Nevan menangis lebih dulu.Tangan Dion dipeluk dua gadis cantik dengan posesif. Nana di sebelah kiri dan Melia di sebelah kanan. Kadang Dion diseret ke kiri, tak jarang ditarik ke kanan.'Melia? Ada apa ini?' Vina menatap curiga kepada Dion."Ya ampun, Dion! Kenapa kamu tidak bilang kalau mau pulang? Dan kenapa langsung ke sini? Kamu masih harus beristirahat. Di mana Pak Surya dan ibumu?" cecar Vina."Ayah dan Ibu sudah masuk ke dalam," terang Dion.Dion terlihat begitu gelisah. Dia memberikan isyarat mata kepada Vina agar dibantu melepaskan dua gadis di sebelahnya, tetapi Vina malah melotot padanya."Melia kenapa ada di sini?" tanya Vina basa-basi.Nana mencebik kes
"Kenapa mereka lama sekali?" Vina resah menunggu di luar ruang kerja Rangga. Dia mondar-mandir di depan bekas meja kerjanya yang dibiarkan kosong dan tak dipindah oleh Rangga.Rangga tak jadi mengantar Vina pulang karena Rangga tiba-tiba mendapat panggilan dari Rafael agar segera datang ke kantor. Siska dan Julian datang bersama untuk menemui Rangga.Mereka tengah mengadakan pertemuan darurat di dalam ruang kerja Rangga. Vina yang tadinya ingin ikut masuk, tak diperbolehkan suaminya.Seorang pria berpakaian lusuh, kontras dengan keadaan sekitar, datang bersama Rafael. Pria itu dibawa masuk ke ruangan Rangga.Ketika Rafael keluar, Vina buru-buru bertanya, "Siapa orang itu?""Oh, itu tukang bangunan dari proyek hunian," jawab Rafael."Ada masalah apa di dalam? Kenapa aku tidak boleh masuk?" desak Vina."Mereka sedang membahas masalah penting. Kamu saja tidak boleh ikut masuk, apalagi aku? Padahal, asisten pribadi Pak Julian dan Bu Siska ikut diskusi di dalam." Rafael terlihat sedih karen
"Tristan, ambilkan minuman," perintah Julian."Pak ... sebaiknya, Anda makan lebih dulu. Seharian ini, Anda hanya minum-minum saja," saran Tristan."Kamu juga tidak mau mendengar perintahku lagi?" tanya Julian sambil menatap nanar Tristan."Anda nanti bisa sakit kalau hanya minum alkohol," tegur Tristan halus.Julian mendengus kesal. Karena Tristan mengabaikan perintahnya, Julian berjalan gontai ke arah meja dan mengambil sisa minuman alkohol.Julian menenggak minuman itu dari botol langsung, seperti minum air putih. Cairan alkohol sampai menetes di bajunya."Sial! Sial!" Julian membanting botol yang telah habis ke lantai.PRANG!Rencana bertahun-tahun yang disusun rapi oleh Julian berakhir berantakan, seperti kaca botol yang pecah di depan kakinya. Padahal, Julian telah melakukan banyak upaya untuk menjatuhkan Rangga.Akan tetapi, Rangga hanya membutuhkan waktu enam bulan untuk mengambil semua pencapaian Julian. Julian pun tak punya waktu untuk menyerang Rangga karena tekanan dari par
"Julian kenapa tidak pernah membalas pesanku, ya, Mas? Apa dia baik-baik saja?" tanya Vina sambil mengotak-atik ponselnya.Rangga masih sibuk menempelkan telinga di perut Vina. Dia tak mengindahkan ucapan Vina karena fokus mendengar isi dalam perut Vina.Rangga senyum-senyum sendiri tatkala bayi di dalam perut Vina bergerak-gerak menendang pipinya. Ketika Rangga mengusap area yang sedang bergerak itu, perut Vina semakin menonjol."Lihat ini, Sayang. Adik bayi sedang tos sama Mas." Rangga menunjukkan benjolan di perut Vina sambil mengusap dengan telunjuknya. "Lucu sekali ...."Vina memutar bola mata. "Mas tidak mendengar aku bicara?""Dengar, Sayang," jawab Rangga asal-asalan.Sudut mulut Rangga terus-terusan terangkat sambil masih bermain dengan buah hatinya. Rangga sangat kagum oleh gerakan bayi yang selalu mengikuti arah tangan mengusap perut istrinya.Vina meletakkan ponsel di nakas, lalu menurunkan pakaiannya. Kesal karena tak diperhatikan Rangga. Setiap malam, Rangga selalu menga
Ada satu ayah yang sedang kebingungan di depan tempat tidur bayi. Kedua tangannya bergerak-gerak di atas tubuh bayi itu."Kamu sedang apa, Mas?" tanya Vina.Rangga ingin menggendong Ravi, tetapi tak tahu caranya. Alhasil, jemari Rangga hanya bergerak-gerak gemas.Rangga menghela napas panjang dan menyerah. Dia melemparkan badan di sofa sambil menyandarkan kepala dan memejamkan mata."Aku sudah menyuruh Dion untuk mengurus kepulanganmu malam ini. Biar dokter saja yang datang ke rumah. Kasihan Ravi kalau terlalu lama terpapar udara di tempat orang-orang sakit," kata Rangga khawatir."Jangan berlebihan, Mas," tegur Vina. "Lalu di mana Kakek? Kakek sudah pulang?"Rangga menegakkan badan. Dia benar-benar lupa akan keberadaan Mahendra. Dan lagi, Mahendra tak terlihat sejak persalinan Vina selesai."Sebentar, Sayang, aku cari Kakek dulu," pamit Rangga.Rangga kembali ke ruang persalinan. Mahendra rupanya masih ada di sana, duduk bersedekap dada sambil tertidur pulas."Kek." Rangga mengguncang
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto