Kalau udah ada 1.000 komentar di penilaian 🌟🌟🌟🌟🌟 bolehlah update sehari 3 kali 🤭
'Sayang, kenapa kamu tidak datang ke sini? Aku sudah mengundang banyak orang dan berkata kepada mereka kalau calon suamiku akan datang.'Rangga memijat keningnya, lelah mendengar rengekan Belinda. Baru juga duduk di kursi kerjanya, Belinda sudah menelepon berkali-kali. Jika bukan karena ancaman Mahendra, Rangga tak akan mau mengangkat telepon Belinda. Rangga pun hanya setengah mendengar suara Belinda yang terus menyalahkan dirinya karena tak mau menuruti kemauannya. Sementara fokus Rangga malah tertuju pada dokumen-dokumen di atas meja.'Apa kamu tidak bisa bersikap baik padaku barang sehari saja? Kamu sudah membuatku kecewa, Sayang.'"Kamu juga tahu, aku tidak pernah setuju menikah denganmu. Apa yang kamu harapkan dariku?" Belinda cukup lama terdiam. Rangga menjauhkan ponsel dari telinga dan melihat panggilan masih tersambung. Entah apa yang dipikirkan atau dirasakan Belinda sekarang, Rangga tak peduli.'Kamu bahkan tidak mengucapkan selamat ulang tahun padaku,' kata Belinda dengan
"Minggir!" bentak Rangga.Belinda tak merasa telah berbuat kesalahan karena dia berhak melakukan apa pun kepada Rangga. Dia justru semakin mempererat pelukan."Sayang? Kenapa marah-marah? Kenapa kamu kelihatannya tidak suka aku pulang lebih cepat?" Suara Belinda mendayu-dayu manja.Belinda membelai punggung Rangga dengan gerakan sensual. Kemudian, dia membenamkan kepala dan memberikan kecupan di leher Rangga, berharap Rangga akan tergoda.Setelah melihat foto Rangga bersama wanita, Belinda tak akan menahan diri lagi. Belinda akan terus menggoda Rangga lebih agresif supaya Rangga jatuh ke dalam pelukannya.Rangga dengan cepat mendorong Belinda sampai terhuyung-huyung ke belakang. Mata Rangga berkilat-kilat penuh amarah. Rangga mengusap wajah dan lehernya dengan kasar menggunakan sapu tangan, lalu membuang kain putih persegi kecil itu ke lantai. Tak cukup sampai di situ, Rangga melepas jas dan membuangnya ke tempat sampah.Belinda sangat sakit hati melihat semua itu. Dia merasa terhina
"Aku tidak tahu kalau ini acara ulang tahunmu, Belinda. Selamat ulang tahun dan terima kasih sudah memesan katering kami."Vina mengambil amplop yang diserahkan Belinda, kemudian tersenyum ramah kepada sejoli itu. "Selamat bersenang-senang."Dia berbalik dan senyuman di bibirnya menghilang seiring dengan langkah yang kian menjauh.Sayup-sayup masih terdengar suara lembut Belinda berbicara dengan Rangga, "kamu tidak mau melanjutkan lagi, Sayang?"'Tidak akan menikah dengan Belinda, katanya? Omong kosong!'Siapa yang bisa menyalahkan Rangga? Pria mana yang akan menolak saat dihadapkan perempuan cantik menawan dengan tubuh semolek Belinda? Bahkan, Rangga pun tak akan bisa tahan.Lagi pula, apa hak Vina merasa cemburu kepadanya?Cemburu ... kata itu tiba-tiba muncul dalam benak Vina. Tidak ... Vina tak akan mengaku jika dirinya sedang merasa cemburu. Dirinya hanya lengah mempertahankan hati untuk sesaat.Perasaan yang datang secara singkat akan segera berlalu pergi secepat kilat, bersama d
"Bapak jangan lancang!" Vina memekik tertahan."Aku cuma menuruti permintaan Rachel. Ada yang salah?"Vina ternganga tak percaya. Bisa-bisanya Rangga menjawab semudah itu. Dia melemparkan tatapan sinis sambil menyapu keningnya dengan punggung tangan, lalu pelan-pelan turun dari tempat tidur."Mau ke mana?" tanya Rangga.Vina pergi dari kamar tanpa menjawab. Dia tidak mau lagi berdekatan dengan Rangga. Sungguh berbahaya tinggal sekamar dengan Rangga meskipun ada Rachel di antara mereka.Dan seseorang yang ditinggalkan itu juga tak bisa tidur dengan tenang. Cara Vina menatapnya kembali seperti sebelumnya. Penuh luka dan kebencian.Rangga menerka-nerka, apa yang dia lakukan seharian ini sampai membuat Vina marah padanya? Sikapnya pun biasa saja seperti sebelumnya.Hingga hari berganti, Rangga tak dapat menemukan jawabannya. Dan Vina masih tetap mendiamkan dirinya.Sampai di kantor, Dion telah menanti Rangga dengan wajah serius. Jarang-jarang Dion bersikap seperti itu kalau tak ada sesuatu
"Kenapa saya harus cemburu?" Mata Vina jelalatan tak bisa fokus mengarah depan. Rangga terlalu dekat dengannya. Vina sampai bisa mencium aroma maskulin dari parfum yang selama bertahun-tahun masih digunakan pria itu.Dan ... tubuh Vina tiba-tiba gemetaran. Sorot mata yang tadinya malu sekaligus gugup, berubah menjadi ketakutan.Rangga memundurkan wajah, melihat gelagat aneh dari Vina. Secuil memori dalam benaknya muncul, Vina menampakkan wajah ketakutan yang sama di malam panas tiga tahun lalu."Kamu ... takut denganku?" "T-tidak." Vina menunduk, kedua tangannya yang berkeringat dan terasa dingin saling meremas-remas.Rangga mengendurkan tangannya. Dia segera tersadar jika Vina mungkin saja masih trauma disentuh oleh pria, seperti kata Martha.Rasa bersalah yang dulu terpendam menyusup ke permukaan kalbu. Namun, pria yang tak pernah sekali pun menunduk pada orang lain itu, tak akan mampu mengucap satu kata yang sebenarnya ingin diucapkan sejak dulu."S-saya lelah, permisi ...." Vina
"Ayah kenapa tidak datang, Bunda?" rengek Rachel."Ayahmu masih sibuk."Sejak dua hari yang lalu, Rangga tak mengunjungi mereka, tak juga mengantar-jemput Rachel. Sejak ditelepon Belinda waktu itu, Rangga seperti hilang ditelan bumi.Vina pernah beberapa kali menghubungi Rangga, tetapi ponsel Rangga selalu mati. Seakan-akan, Rangga sengaja menghindari dirinya.Satu hal yang amat ditakutkan Vina sebelumnya pun terjadi. Rangga hanya datang membawa kebahagiaan palsu untuk Rachel. Dan akhirnya, Rangga lebih memilih kehidupannya sendiri. Meninggalkan luka bagi putri kecilnya.Belinda juga telah kembali. Pernikahan mereka pasti akan segera terlaksana cepat atau lambat.'Atau mungkin ... Belinda mengandung anak Pak Rangga setelah mereka menghabiskan malam berdua di hotel waktu itu?'Membayangkan Rangga menyentuh Belinda saja, dada Vina terasa sesak. Dia tak tahu mengapa harus merasa marah dan sedih karenanya.Jika Belinda benar-benar memiliki seorang anak dengan Rangga, bagaimana dengan nasi
"Kakek ... kenapa Kakek berkata seperti itu?" Belinda halus bertanya, wajahnya menyiratkan keprihatinan."Apa ucapan Kakek ada yang salah? Perempuan itu hamil di luar nikah, kalau bukan hina, lalu apa sebutannya?" Mahendra balik bertanya dengan nada menyindir.Vina sangat sakit hati mendengarnya. Pria yang membuat dirinya jadi wanita hina, tak lain adalah cucu Mahendra sendiri. Ingin sekali Vina mengatakannya. Tetapi, Vina tak ingin membuat masalah jadi lebih runyam. Vina juga yang pasti akan disangka menggoda cucunya."Memang susah bicara dengan orang yang menganggap dirinya sebagai Dewa," gumam Julian."Apa katamu?!" Mahendra kembali meninggikan suara. "Kamu pikir, Kakek tidak dengar ucapanmu barusan? Tidak perlu jadi pahlawan kesiangan, Julian! Putuskan perempuan itu! Kakek tidak mau, suatu hari nanti, pria yang menghamili perempuan itu memerasmu."Ekor mata Vina sempat melihat reaksi Rangga. Wajah Rangga benar-benar merah, seperti matanya. Tetapi, Rangga diam saja.Apa yang Vina h
"Mau apa kamu ke sini?" Julian tak mau kalah. Dia mencengkeram pergelangan tangan Rangga dengan kuat, lalu menyentaknya sampai Rangga melepas Vina."Jangan ikut campur urusanku!" Rangga menatap nyalang Julian."Tentu saja ini urusanku! Vina datang bersamaku. Apa Belinda dan Kakek tahu kalau kamu ke sini mau mencari perhatian perempuan lain?!""Ikut denganku, Vina. Urusan kita belum selesai," geram Rangga sambil menarik sisi lain tangan Vina."Urusi saja calon istrimu yang sekarat karena ulahmu itu!" hardik Julian."Sudah, cukup!" sergah Vina seraya mengentakkan kedua lengannya. Kedua pria itu pun melepaskan Vina.Vina menautkan tangan ke lengan Julian. Dia melemparkan tatapan sinis kepada Rangga."Ayo, pergi, Julian.""Berhenti, Vina," kecam Rangga.Vina semakin mempercepat ayunan langkah kaki menjauhi Rangga, menarik Julian yang masih ingin berdebat dengan Rangga. Julian menoleh ke belakang dengan seringai penuh kemenangan, lalu menyamakan langkah dengan Vina.Rangga berdiri mematung.
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto