"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanya Tania begitu pelan, berusaha agar tidak meneriaki Ray saat ini juga.
"Apakah tidak cukup dengan mengalungkan sebuah rantai di leherku?" batin Tania. Ingin rasanya Tania membatalkan semua ini. Membatalkan pernikahannya, dan menghilang dari dunia ini. Mungkin itu jalan terbaik yang seharusnya ia pilih. "Kembali pada perjanjian, jika kau membawa orang lain untuk ikut bersamamu, maka peraturan baru harus dibuat." Tania mendengus, "apa kau ingin menjadikan anak kecil sebagai budakmu juga?" teriak Tania, akhirnya ia benar-benar lepas kendali. "Apa kau tidak benar-benar membaca peraturannya? Kau bahkan dilarang meninggikan suaramu di depanku, dan beraninya kau berteriak!" Ray berdecak marah, untuk pertama kalinya ada orang yang berani berteriak di depannya. Ia benar-benar benci hal itu. "Kau tau 'kan apa yang harus kau lakukan, setelah kau melanggar aturan yang aku buat." Tania mencengkram gaun pernikahan yang masih melekat di tubuhnya. Wajahnya berubah merah, rasa marah membuatnya menitihkan air mata. "Berlutut, dan minta maaf!" "Aku bahkan belum menanda tangani surat perjanjian ini." Tania melempar surat perjanjian tersebut. Demi mempertahankan harga dirinya, Tania tidak akan berlutut. Tidak akan pernah! Melihat perlawanan Tania, Ray tertawa terbahak-bahak. Ia sampai memegang perutnya, seolah apa yang dilakukan Tania hanyalah sebuah lelucon. Melihat Ray yang tertawa terbahak-bahak, membuat rasa takut dalam diri Tania tiba-tiba muncul. Namun, semuanya sudah terlanjur, Tania tidak akan menyerah pada Ray. "Sepertinya kau memiliki keberanian lebih," ujar Ray setelah selesai tertawa. Kini ia kembali dengan wajah datarnya, berjalan mendekati Tania yang masih menatapnya marah. "Kau tidak pernah tahu apa saja yang bisa aku lakukan." "Apa kau pikir aku tidak tahu mengenai keluargamu, hm?" Jemari Ray bergerak menyentuh wajah Tania, "aku bisa menghancurkannya hingga tak tersisa!" ucapnya kemudian sembari mencengkram rahang Tania. Tania tak bisa berbicara, kedua tangannya memegang tangan Ray, berusaha melepaskan cengkraman di rahangnya. "Minta maaflah dengan benar!" Ray melepaskan cengkraman tangannya, membuat Tania jatuh tersungkur ke lantai. "Kecuali jika kau ingin melihat ayahmu harus mendekam dibalik jeruji. Kau tahu 'kan, dia menghilangkan nyawa seseorang." Tania terdiam. Ia bahkan seolah kehilangan akal sehatnya. Ia jelas tahu hal itu. "Aku mohon, jangan lakukan itu." Tania berlutut, memohon di hadapan Ray. "Aku akan melakukan apa pun, aku akan patuh dan tidak membantah. Aku tidak akan melanggar aturan yang ada, aku janji!" Kedua tangan Tania saling bertaut, memohon, berharap balas kasih Ray. "Aku tidak yakin, apa perkataanmu itu bisa dipercaya atau tidak!" Tania mengigit bibir bawahnya. Ia masih tetap pada posisinya, berlutut dan memohon. Air matanya menjadi saksi, bahwa ia benar-benar telah kehilangan harga dirinya. "Mama!" Tangisan Tania pecah saat ia mendengar suara lembut nan serak itu menyapanya. Tania tak bisa seperti ini, ia tidak akan mengorbankan Rose dan juga Ayahnya. "Mama, kenapa Mama menangis? Rose juga jadi sedih," ucap Rose dengan nada cadelnya, ia ikut berlinang air mata saat melihat Tania yang menangis sesenggukan. Rose, anak perempuan yang baru berusia tiga tahun itu, memeluk Tania erat. Membuat Tania menangis meraung-raung, hingga beberapa orang yang tadinya berada di luar, kini mengelilingi mereka dengan tatapan iba. "Sudahlah nak, Ayah yakin dan percaya. Nak Ray adalah orang yang baik, dia pasti akan menjagamu." Ayah Tania berusaha menenangkan putrinya, melontarkan pernyataan yang ia yakini benar adanya. “Ayah tidak mengenalnya, dan Ayah tidak pernah tahu apa yang bisa dia lakukan padaku!” batin Tania dalam hati. "Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja. Nak Ray adalah orang yang baik." Cukup lama mereka berpelukan, berusaha mengalirkan kekuatan satu sama lain. Semua itu tak lepas dari pandangan Ray. "Tidak perlu membawa Rose, Ayah bisa menjaganya," pinta ayah Tania. "Rose biar bersama ayah saja. Kau bisa ikut dengan suamimu dan memulai kehidupan baru, Ayah akan menjaga Rose dengan baik, Ayah janji!" "Tidak Ayah, apa pun yang terjadi Rose harus bersamaku. Rose adalah putriku,” lirih Tania. "Mama, kita akan pergi kemana? Apakah kakek tidak ikut?" tanya Rose yang ikut menyahut dalam percakapan ibu dan kakeknya. Ayah Tania menatap Rose yang begitu menggemaskan, mengusap rambutnya yang sedikit berantakan. "Mama harus pergi, tapi tenang saja, Mama tidak meninggalkan Rose. jadi, sekarang Rose harus tinggal bersama kakek saja dulu," ujar Ayah Tania, berusaha membuat Rose mengerti. "Mengapa Rose tidak bisa ikut? Apakah karena Rose tidak memiliki ayah?" Tiba-tiba Rose menyahut, menatap Tania yang kembali berlinang air mata. Tidak! Tania tidak mungkin meninggalkan Rose, meski itu dengan ayahnya. Rose bisa diurus dengan baik oleh sang ayah, namun bagaimana dengan Tania? Ia tidak bisa tanpa kehadiran Rose di sisinya. "Ayah, Rose akan ikut denganku!" putus Tania, ia tidak akan meninggalkan Rose. Mereka akan selalu bersama, Rose adalah milik Tania. Tania menatap Ray yang juga menatapnya. Tania telah memantapkan hatinya. Ia akan menanggung semuanya, karena ia tidak akan mengorbankan Rose ataupun Ayahnya. "Tania, jangan keras kepala Nak!" Ayah Tania membantah dengan tegas, tidak setuju dengan keinginan Tania. Ayah Tania memiliki alasan tersendiri, dan semua itu demi kebaikan semua orang, bukan hanya Tania ataupun Rose. "Apa ayah tega memisahkan aku dengan Rose?" lirih Tania berucap, berusaha mengambil simpati ayahnya. "Tapi, Tania!" "Mengapa Ayah melarang aku membawa Rose?""Mengapa Ayah melarang aku membawa Rose? Dia putriku, aku akan membawanya kemana pun aku pergi!"Ayah Tania tampak frustasi, harus bagaimana lagi ia menjelaskan pada Tania.“Tania! Kau bisa bertemu dengan Rose kapan pun itu, tapi membawanya bersamamu, Ayah tidak setuju!” tegas Ayah Tania, menolak mentah-mentah keinginan Tania.“Ayah, Rose akan ikut bersamaku. Ayah tidak berhak untuk memisahkan aku dengan Rose.”Suasana di dalam ruangan bernuansa putih itu semakin memanas. Seorang ayah yang selalu menatap putrinya dengan mata berbinar, berubah jadi menakutkan untuk dipandang.“Kau tidak berhak, Tania! Kau tidak memiliki hak atas Rose!”“Kau akan ikut dengan suamimu, tapi tidak dengan Rose. Rose akan tetap bersama ayah.”Keputusan akhir oleh ayah Tania, tidak dapat lagi diganggu gugat. "Dia-" Ray tiba-tiba menyahut, menunjuk Rose, "akan ikut bersama kami."Saat Ray mengatakan itu, tidak ada seorang pun yang boleh membantah, termasuk ayah Tania. Ia sangat sadar akan posisinya.Meski san
"Bunda!" bentak Ray, tak suka dengan apa yang diucapkan ibunya "Kenapa, Ray! Karena perempuan ini, sekarang kamu berani membentak Bunda?""Ingat Ray, Bunda hanya menerima satu perempuan sebagai menantu di rumah ini. Tidak dengan yang lainnya."Nyonya besar membanting pintu, menimbulkan suara nyaring. Ia segera mengunci pintu rumah utama, menunjukkan penolakan bagi siapa pun yang hendak masuk."Mama, mengapa nenek tua itu marah-marah? Dia seperti penyihir, rambutnya juga putih." Ucapan Rose baru saja memecah keheningan yang sempat tercipta, membuat Ray menatap Tania kasihan. Dia tampak lelah dengan wajahnya yang lesu."Rose, Mama tidak pernah mengajarkan Rose untuk berbicara seperti itu 'kan," tegur Tania."Maaf, Mama," ucap Rose tampak menyesal.Tania tersenyum, mengusap rambut Rose. Hingga, garis lengkung di wajahnya itu berubah datar, saat tatapan matanya tanpa sengaja bertemu dengan netra gelap Ray, yang se
Tania terbangun dari tidurnya. Kedua tangannya berada di depan dada, seolah ingin menenangkan detak jantungnya yang berdetak begitu cepat, seakan hendak meloncat keluar dari tubuhnya.Matanya tampak was-was menatap sekeliling, mengusap keringat yang membasahi keningnya."Hanya sebuah mimpi," gumam Tania, masih mengatur napasnya yang terasa memburu. Mimpi yang ia alami terasa sangat nyata, seolah Ray benar-benar ada di sana.Sepertinya, Tania terlalu memikirkan tentang Ray dan segala aturan-aturannya, membuat Tania merasa takut. Hingga, ketakutan itu merangkak masuk ke alam bawa sadarnya.Karena mimpi itu, Tania jadi tidak bisa lagi tidur. Hanya duduk di atas ranjang, menatap kosong ke depan, menanti matahari naik dan memancarkan cahaya kemerahannya."Non Tania, anda sudah bangun?" Tania tersadar dari lamunannya, saat ia mendengar suara ketukan pintu. Itu adalah suara asisten kepala. "Iya, saya sudah bangun."Setelah mengatakan itu, pintu kamar terbuka, memperlihatkan seorang wanita
"Sepertinya, kau tidur dengan nyenyak." Tania mematung di tempatnya, saat sebuah suara menginterupsi tepat di belakangnya."Mati aku," batin Tania dalam hati. "Aku tidak membuatnya menunggu 'kan? Aku yang lebih dulu masuk ke ruang makan, sebelum dia." Tania terus berperan dengan pikirannya, takut jika dia kembali melakukan kesalahan dan melanggar aturan.Tania masih berdiri di tempatnya, hingga tidak menyadari bahwa Ray telah duduk di kursi meja makan. Menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat, seulas senyuman terbit di ujung bibirnya."Sampai kapan kau akan berdiri di situ? Apakah kau benar-benar ingin aku memberimu hukuman?""Tidak!" Tania sontak berteriak, lalu menutup mulutnya saat menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Ray tampak terkejut dan menatapnya tajam.Untung saja otak Tania bekerja dengan cepat untuk menyelamatkan diri. Segera menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Ray.Tania benar-benar sudah kehilangan keberanian di hadapan Ray. Apalagi saat Ray menatapnya de
"Harus berapa kali aku katakan! Ikuti aturan, kau bahkan baru saja menandatangi perjanjian, dan sudah akan melanggar lagi?""Maaf, aku hanya merasa tidak nyaman harus menerima semua pemberianmu." Tania mengusap tangannya, menunduk dalam."Kau membayar untuk itu? Kenapa kau tidak nyaman, aku tidak memberikan semua itu secara cuma-cuma."Tania melotot, menatap Ray dengan tampang terkejutnya. "Benar 'kan, semuanya tidak gratis. Dia benar-benar menyeramkan dengan tabiatnya itu," maki Tania dalam hati.Ray menyandarkan tubuhnya ke kursi. Melihat ekspresi terkejut Tania, selalu menyenangkan untuknya. Apalagi jika Tania harus menahan amarahnya, itu seperti pertunjukan yang selalu dinantikan Ray."Kenapa menatapku seperti itu?""Maaf." Tania kembali menunduk."Kau sudah membayarnya dengan tanda tanganmu di sini, nikmati fasilitas yang aku berikan. Atau, kau akan menerima hukuman jika menolak apa yang aku berikan.""Sekarang, kau bisa keluar!"Meski masih tidak menyangka dengan apa yang baru
"Rose? Apakah anda benar-benar tidak mengetahuinya, Non? Bukankah Tuan Ray sudah mengatakannya pada Non Tania?""Tidak, Ray tidak mengatakan apa pun padaku. Dimana putriku?"Tania mulai panik. Ia kembali mengingat-ingat isi surat perjanjian yang membahas tentang Rose. Namun, Tania merasa tidak ada yang aneh."Non Tania, tenang dulu." Ma Cee berusaha menenangkan Tania yang sudah berlari menaiki tangga. "Nona Kecil baik-baik saja, hari ini dia mengikuti kelas pertamanya."Tania mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud Ma Cee. Pikiran Tania masih berkelana, takut sesuatu terjadi pada Rose. Tania bahkan sudah hampir menerobos masuk ke ruang kerja Ray."Maksudnya? Kelas pertama?" tanya Tania, sangat jelas bahwa ia masih panik."Tuan Ray mengatakan bahwa Nona Kecil harus mengikuti pendidikan dasar. Jadi hari ini Nona Kecil mengikuti kelas pertamanya. Anda tidak perlu khawatir, Nona Kecil memiliki dua asisten pribadi yang
Karena tidak tahan dengan perlakuan orang-orang kepadanya, akhirnya Tania memberanikan diri untuk menanyakan langsung pada Ma Cee. Dia adalah asisten kepala di rumah ini, jelas dia mengetahui semuanya. "Tuan Ray membuat batasan. Tidak ada seseorang pun yang boleh berhadapan langsung dengan Taun rumah, apalagi menatap matanya, bagi Taun Ray itu sangat lancang. Mereka harus selalu menghindar, dan berusaha tidak terlihat. Tidak boleh ada interaksi yang berlebihan, kecuali perintah," jelas Ma Cee. "Tapi, itukan berlaku untuk Ray saja, tidak denganku," ucap Tania. "Nona Tania adalah istri Tuan Ray, Tuan rumah di sini, itu artinya aturan itu berlaku untuk menghormati Nona Tania." Rasanya Tania kehabisan kata. Bagaimana bisa seseorang memperlakukan aturan seperti itu, apakah mereka bukan manusia? Mereka manusia, dan tidak ada salahnya berinteraksi dengan mereka. "Aturan itu tidak berlaku untukku, aku bisa berinteraksi dengan siapa pun. Ma Cee, aku bukanlah siapa-siapa tanpa embel-em
"Aku tidak meminumnya, manusia sampah itu tidak sengaja menumpahkannya ke pakaianku," decak Ray geram.Aroma alkohol yang menyengat terasa menusuk ke dalam hidung. Aromanya jelas bersumber dari Ray.Tania sempat terdiam beberapa saat, menatap Ray yang mulai berjalan masuk ke dalam rumah. Memastikan bahwa Ray benar-benar tidak sedang dibawa pengaruh alkohol."Kau mau tidur di luar!"Tania buru-buru mengikuti Ray, saat mendengar suara berat Ray yang penuh ancaman. "Sangat jelas, dia tidak mabuk," batin Tania, berjalan mengekori Ray hingga masuk ke dalam kamar."Mungkinkah dia bisa tetap kejam meski dalam keadaan mabuk?" Tania masih terus menduga-duga. Ia bahkan terdiam di depan pintu, merasa ragu masuk untuk sekedar melewati batas pemisah antara kamar dan ruangan luar. "Apa dia tidur di sini?" batin Tania bergejolak, pikirannya mulai terusik."Mengapa kau hanya berdiri di situ?" tanya Ray, ia memperbaiki cara duduknya dengan menyilangkan kaki. Menunjukkan sepatu pantofel hitam yang m
“Tania,” tegur Ray saat Tania tidak memperhatikannya.“Iya, ada apa sayang?” tanya Tania. Ia keasikan bertukar pesan dengan Maudy, membuat Tania tidak memperhatikan apa yang dikatakan Ray.“Kamu dengar tidak apa yang aku katakan?”Tania kebingungan, ia bahkan tidak ingat kalau Ray berbicara sesuatu padanya. Namun untuk menyelamatkan dirinya, Tania hanya mengangguk pelan, tampak jelas kalau ia sendiri ragu.“Coba jelaskan ulang apa yang aku katakan tadi.”Tania jadi diam seribu bahasa, ia tidak tahu harus mengatakan apa. Ia bahkan tidak tahu apa saja yang dikatakan Ray.“Kau tidak tahu ‘kan.” Ray menyentil dahi Tania, membuat Tania meringis.“Sayang,” rengeknya, mengusap dahinya.“Makanya kalau aku bicara itu dengarkan. Jangan hanya fokus pada ponselmu. Jika kau terus seperti ini, aku akan mematahkan ponselmu.”Tania langsung meletakkan ponselnya di meja. Ia tersenyum menatap Ray, seolah bersikap manis. Menunjukkan bahwa dirinya akan berperilaku baik.“Apa yang tadi kamu katakan, sayan
Tania merasa aneh, Juan tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Juan seolah menghilang begitu saja. Ray juga tidak pernah membahas tentang Juan, bahkan saat Tania bertanya, tidak ada yang memberikan jawaban.“Sayang, aku tidak pernah lagi melihat Juan. Apakah dia sakit?” tanya Tania pada suaminya, Ray.“Tania, sudah berapa kali aku katakan. Jangan pernah membahas tentang laki-laki lain. Aku tidak suka,” jawab Ray, mendengus kesal. Iya bahkan melepaskan pelukannya dan menatap Tania tajam.“Aku ‘kan hanya bertanya karena khawatir, lagipula dia sahabat kamu ‘kan.”Tania bergumam pelan, namun masih bisa didengarkan oleh Ray. Hal itu membuat Ray semakin kesal.“Sayang, kamu marah?” Melihat Ray yang langsung memutar tubuhnya, berbaring membelakangi Tania, membuat Tania menyadari kalau Ray benar-benar kesal. Tania lalu memeluk Ray dari belakang. Tania tidak bisa membiarkan Ray kesal, karena itu bisa berdampak pada hal lainnya juga. Jadi kunci segalanya berjalan baik adalah membuat
“Sayang, lihat bukankah ini sangat lucu.” Tania yang antusias, jadi terkejut saat melihat bukan Ray yang ada di sebelahnya.“Iya, itu menggemaskan, cocok untuk Rose,” jawab Juan dengan senyuman tulus yang ia tunjukkan.“Di mana, Ray?” tanya Tania yang langsung menyadari ketidakhadiran Ray di dekatnya.Tania mengedarkan pandangan matanya, mencari keberadaan Ray. Namun, Ray tidak ada di mana pun. Saat ini hanya ada Tania dan juga Juan.“Mau ke mana? Bukankah kau ingin melihat pakaian untuk Rose?” Juan menarik tangan Tania yang hendak pergi. Hal itu membuat Tania menatap Juan heran, ini kali pertama Juan bersikap seperti ini.“Lepaskan.” Tania menarik tangannya yang digenggam oleh Juan.Tania benar-benar merasa tidak nyaman di dekat Juan. Tania merasa ada yang mengganjal dari sikap Juan. Dia tidak seperti biasanya.“Ray harus kembali ke kantor, karena itulah aku yang menemani kamu di sini,” jelas Juan.“Mengapa dia tidak mengatakannya padaku?” protes Tania, seharusnya Ray mengatakannya p
Tani duduk dengan gelisah di atas tempat tidur, ia tidak bisa turun atau bahkan meninggalkan tempat tidur tanpa izin Ray. Kecuali jika Tania sanggup menerima hukuman dua kali lipat, maka ia bisa bebas membangkang.“Dia kemana sih,” gerutu Tania, kesal. Ray sudah pergi sejak tadi dan belum kembali juga. Padahal Ray mengatakan kalau ia tidak akan lama.Karena penasaran, Tania akhirnya memberanikan diri untuk membangkang. Ia harus turun ke bawah dan melihat apa yang terjadi.Tania merasa tidak bisa tenang. Ia sangat yakin kalau Ray dan Juan akan menghukum pengawal dan mungkin juga asisten rumah. Padahal ini tidak ada hubungannya dengan mereka, semua ini murni kesalahan Tania. “Jangan sampai mereka menghukum orang yang tidak bersalah,” gumam Tania pelan.Dan seperti dugaan Tania, saat ia sampai di bawah. Juan sedang mendisiplinkan para pengawal dan seluruh asisten rumah, termasuk Ma Cee. Tania segera menghampirinya, meskipun harus dengan tertatih-tatih karena kakinya yang sedang sakit.
Rapat sedang berlangsung saat telepon Juan terus berdering, sehingga ia terpaksa meninggalkan rapat.Juan mulai curiga saat melihat banyak panggilan tidak terjawab dari telepon rumah, pengawal dan sekarang telpon dari Ma Cee menggunakan nomor pribadinya. Biasanya Ma Cee tidak menggunakan nomor pribadinya untuk menelpon.“Ada apa Ma Cee?” tanya Juan.“Nona Tania … Nona Tania tidak sadarkan diri, Nona Tania terluka, kakinya terluka dan mengeluarkan banyak darah.”Jantung Juan terasa berhenti berdetak mendengar suara ketakutan Ma Cee. Dalam keadaan darurat apa pun itu, Ma Cee biasanya selalu tenang. Namun, sekarang terdengar jelas suara Ma Cee yang bergetar disertai napasnya yang memburu, menunjukkan dengan jelas betapa takut dan khawatirnya Ma Cee.Juan memutar tubuhnya menatap pintu ruang rapat. Jika ia memberitahukan pada Ray sekarang, maka rapat akan terhenti dan semuanya harus ia susun kembali dari awal. Namun jika Juan tidak memberitahukan pada Ray sekarang, maka Juan tidak bisa me
“Apakah kamu ingin ikut ke kantor?” tanya Ray. Tania yang baru bangun dibuat terkejut dengan pertanyaan Ray. Yang benar saja, bagaimana mungkin Tania tiba-tiba muncul di kantor setelah semua yang terjadi. “Tidak, aku di rumah saja,” jawab Tania cepat.“Aku takut jika kau akan bosan di rumah,” ujar Ray, berjalan mendekati Tania yang masih duduk di tempat tidur.“Sudah tidak ada Rose yang akan mengganggumu,” ujar Ray lagi, mengusap wajah Tania yang memerah.Rose kembali ke luar negeri untuk melanjutkan akademik. Sebelumnya Rose memang tidak dikeluarkan, sehingga ia masih terdaftar sebagai siswa di sana. Meskipun berat, Tania tidak punya pilihan lain selain melepas Rose. Lagipula itu juga permintaan Rose yang ingin kembali belajar dan bermain bersama teman-temanya.“Aku bisa pergi ke pantai yang di depan rumah, apakah boleh?” tanya Tania.“Boleh, pergilah bersama asisten rumah dan beberapa pengawal.”“Ray,” ujar Tania memelas. Tania tahu, hubungannya dengan Ray sudah berubah, bukan l
“Ray, apa yang kamu lakukan? Aku tidak membutuhkan semua ini.” Tania menatap Ray yang seolah tidak merasa bersalah. Padahal Ray sudah benar-benar kelewatan. Bagaimana tidak, Ray membeli semua barang yang di sentuh Tania.Bukan hanya barang yang disentuhnya, Ray bahkan membeli setiap barang yang dilirim Tania. “Kamu tidak akan membeli seluruh isi mall ini ‘kan?”“Mall ini milik aku. Kamu ingin memilikinya? Aku bisa menggunakan namamu sebagai pemilik mall ini, juga menggunakan namamu sebagai nama baru mall ini.”“Sepertinya mall ini memang perlu pembaruan.”Tania sampai terdiam mendengar apa yang dikatakan Ray. Yang benar saja. Bagaimana bisa Ray dengan mudahnya mengatakan itu.“Apalagi yang kamu inginkan?” tanya Ray, sedangkan Tania masih bungkam dan hanya menatap Ray dengan kedua matanya yang berkedip-kedip.“Seharusnya Rose ikut bersama kita. Dia pasti ingin membeli banyak mainan,” ujar Ray lagi.Rose memang tidak ikut bersama mereka. Ia pulang dengan asistennya setelah Rose tertid
“Ray,” panggil Tania.“Hm,” jawab Ray.“Aku benar-benar tidak terbiasa dengan semua ini. Bisa lepaskan aku?”Tania berusaha melepaskan lilitan tangan Ray di tubuhnya. Ia masih tidak terbiasa dengan perubahan secepat ini. Sekarang mereka akan benar-benar menjalani kehidupan sebagai pasangan suami istri. Bukankah itu melegakan. Tania tidak perlu lagi merasa takut dengan segala kemungkinan yang tidak pasti.“Aku merindukanmu, Tania,” bisik Ray lirih. Suaranya begitu pelan hingga membuat Tania merinding mendengarnya.“Tapi, ini sudah siang, Ray. Kita harus menjemput Rose, dia pasti sudah mencari aku.”Ray tidak menjawab, ia masih nyaman dalam posisinya. Mencari kehangatan dari tubuh Tania. Terus merapatkan tubuhnya, membuat kulit mereka saling menempel tanpa penghalang.“Ray. Kau tidak lupa dengan Rose ‘kan?”“Tidak, sayang.” Ray segera bangun. “Dia putri aku, bagaimana bisa aku melupakannya.”Ray segera bangun, ia harus membersihkan diri sekarang. Ini kali pertama ia bangun telat. Sekar
Tania duduk termenung, mendengar semua perkataan Raka membuat Tania semakin bimbang. Apakah keputusannya untuk berpisah sudah benar atau tidak.Tania menatap kosong ke depan, ia tidak menyangka kalau Ray akan seserius ini. “Ayah, apakah Rose sudah tidur?” tanya Tania. Ia menelpon Ayahnya, berharap bisa mendapatkan solusi setelah berbicara dengan Ayahnya.“Dia sudah tidur sejak tadi, sepertinya dia kelelahan.” “Bagaimana denganmu, Nak? Apakah kau akan menginap di sana?”Tania diam. Sekarang sudah pukul sembilan malam. Hanya Tania sendirian di sini. Raka dan Ali sudah pergi. Ma Cee dan para asisten rumah sudah berisitirahat sembari menunggu Ray kembali.“Ayah, bagaimana ini?” “Nak, tetapkan pilihanmu. Ayah akan selalu mendukung kamu apa pun pilihan yang kamu putuskan. Namun, kamu harus ingat. Terkadang kita terlalu sering mencari kesalahan pasangan kita, hingga kita tidak menyadari segala kebaikannya.”“Meskipun Ayah mengatakan kalau Ayah mendukung kamu apa pun itu keputusan kamu, na