"Bagaimana keadaan Bu Jamilah? Apa dia baik-baik saja?" Pak Bustomi langsung memberondong Qiara dengan pertanyaan.Qiara duduk di sofa sambil memegangi perutnya yang sakit. Sejak tadi sebenarnya perutnya terasa teramat sangat sakit karena didorong oleh Bu Jamilah, tapi berusaha dia tahan karena dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Zaydan yang saat ini terlihat seperti sedang galau."Mas Zaydan tadi sudah mendonorkan darahnya pada Bu Jamilah. Mudah-mudahan Bu Jamilah bisa diselamatkan. Qiara merasa sangat bersalah karena tidak bisa membantu menyelamatkan Bu Jamilah." Qiara termenung sambil memikirkan nasib Bu Jamilah saat ini yang sedang kritis di rumah sakit.Pak Bustomi mengusap punggung putrinya dengan lembut. Dia yang tidak tahu menahu tentang hubungan Zaydan dan Qiara hanya mampu memberi support kepada putrinya itu sambil sedikit melirik ke arah Qiara yang terus mengusap perutnya."Perut kamu kenapa?""Nggak tahu, Yah. Sejak tadi tuh sakit banget. Qiara juga nggak tahu kenapa
"Kamu mau ke mana, Mas? Kenapa kamu bawa pakaian kamu?" Qiara terkejut ketika melihat Zaydan yang mengemasi semua pakaiannya.Zaydan tidak memperdulikan permohonan Qiara. Hatinya benar-benar sudah terasa sakit ketika tahu bahwa Qiara merahasiakan tentang ibu kandungnya dari Zaydan. Padahal Qiara tahu jika selama ini Zaydan teramat sangat merindukan ibunya."Apa peduli kamu? Apa kamu pernah peduli dengan perasaanku saat ini?""Tentu saja aku peduli, Mas. Kamu adalah belahan jiwaku dan kamu adalah cintaku.""Jangan pernah ucapkan kata cinta itu jika pada kenyataannya kamu sendiri tidak bisa menjaga cintaku dengan baik. Kamu sudah menghianati kepercayaanku kepadamu." Zaydan sedikit menepis tangan Qiara sambil menutup tas ransel yang di bawahnya.Qiara yang melihat Zaydan hendak pergi dari kamar segera menahan pergerakan suaminya itu dengan cepat. Dipeluknya Zaydan dari belakang dengan begitu erat agar Zaydan tidak lepas dari pelukannya."Aku mohon jangan pergi, Mas. Kita bisa bicarakan i
Sebuah ruangan operasi yang dipenuhi dengan peralatan medis begitu mencekam. Seorang Dokter ditemani beberapa orang perawat begitu serius menangani Qiara yang saat itu harus dioperasi secepatnya."Dokter, detak jantungnya melemah." Ujar salah seorang Perawat."Kita harus segera mengambil tindakan.""Pilihannya ada dua. Bayi atau ibunya yang harus kita selamatkan.""Apa kita harus berbicara dengan keluarganya, Dokter?""Tidak ada waktu. Bu Qiara yang harus kita selamatkan. Dia kritis.""Tapi bagaimanapun juga. Keluarganya harus kita beritahu tentang keadaan ini. Kita tidak boleh mengambil keputusan secara sepihak." Dokter menoleh ke arah beberapa perawat yang tengah membantunya."Beberapa orang coba lanjutkan pekerjaan ini. Usahakan kondisi Bu Qiara tidak kritis dan stabil. Saya akan berbicara dengan keluarga pasien untuk mengambil tindakan." Dokter berkata dengan wajah serius sambil mengajak salah satu perawat keluar ruangan.Pak Bustomi mengikuti langkah Dokter tersebut ketika diperi
"Sejak tadi Qiara terus-terusan bingung melihat sikap kamu yang tiba-tiba berubah. Dia merasa kalau kamu tengah menyimpan dendam kesumat kepadanya." Bu Budi menoleh ke arah Zaydan dan suaminya dengan tatapan cemas."Apa benar kamu menyimpan dendam kesumat pada Qiara?" Bu Budi terus menatap tajam pada Zaydan meminta jawaban pada lelaki itu."Jika setiap orang yang berada di posisi saya pasti akan mengambil sikap yang sama. Bagaimana mungkin saya bisa memaafkan Qiara, sementara dia sudah menutupi tentang jati diri Bu Jamilah selama ini." Zaydan menyahut sambil mengusap kasar wajahnya."Jadi kamu tahu tentang Bu Jamilah?" Pak Budi dan istrinya bertanya kepada Zaydan secara bersamaan. Hal itu tentu saja membuat Zaydan terbelalak dan menatap keduanya tidak percaya."Maksud kalian? Kalian tahu kalau selama ini Bu Jamilah adalah ibu kandung saya?" "Tentu saja kami tahu. Bahkan kami sudah lama memaksa Bu Jamilah untuk memberitahukan kepadamu tentang jati dirinya, tapi Bu Jamilah tidak ingin
"Maaf Pak, apakah kalian sudah mendapatkan donor darah untuk Nyonya Qiara? Saat ini Nyonya Qiara sedang kritis dan benar-benar membutuhkan donor darah secepatnya." Perawat tersebut menatap Pak Bustomi dan Zaydan dengan wajah sendu.Zaydan yang baru saja meminta bantuan kepada pihak kampus untuk mencarikan donor darah kepada ibunya, akhirnya memilih untuk meminta kembali bantuan kepada pihak kampus agar mencarikan donor darah yang sesuai dengan Qiara.Tangan lelaki berwajah Tampan itu begitu gemetar mengetik huruf demi huruf di layar ponselnya. Terlebih Dokter mengatakan bahwa Qiara saat ini sedang kritis dan benar-benar tengah berjuang melawan maut."Maafin aku, Sayang. Maafin aku karena terlalu gegabah mengambil keputusan tanpa mendengarkan perkataanmu." Zaydan berkata sambil menghubungi setiap orang yang dia yakini bisa mendonorkan darah untuknya.Pesan demi pesan permintaan donor darah Zaydan kirimkan ke beberapa grup dan beberapa temannya. Beruntungnya Ahmad dan Ammar juga ikut me
Tubuh Zaydan seketika menggigil membayangkan Qiara yang saat ini tidak bisa diselamatkan. Lelaki itu berhambur menerobos pintu ruang operasi meskipun ditahan oleh dua orang perawat jaga.Hancur hati Zaydan karena dia akan kehilangan Qiara untuk selamanya. Qiara yang sangat dicintainya dan belahan jiwanya yang selama ini telah banyak memberikan kebahagiaan. Namun kebahagiaan itu hanya perlahan saja berjalan karena Zaydan terlalu egois memikirkan tentang Bu Jamilah."Anda tidak boleh masuk, Pak. Dokter sedang menangani Nyonya Qiara." Perawat terus menahan Zaydan yang hendak menerobos masuk ke dalam ruangan."Istri saya tidak boleh pergi. Biarkan cinta saya membawanya kembali." Zaydan terus memberontak agar Dokter mengizinkannya masuk ke dalam ruang operasi.Namun ia tidak berhasil karena beberapa orang perawat dari dalam ikut mencegah keinginan Zaydan. Sedangkan Pak Bustomi terus memukuli kepalanya karena membayangkan hidup tanpa Putri kesayangannya."Bawa Nyonya Qiara ke ruang ICU. Det
"Saya mengakui melakukan kesalahan kali ini. Tapi itu karena saya tidak tahu cerita yang sebenarnya." Ucap Zaydan lirih."Dan itu adalah kesalahanmu yang paling terbesar. Gara-gara kamu tidak mau mendengarkan penjelasan Qiara, kondisi Qiara jadi sekarat seperti ini." Pak Bustomi menatap tajam pada Zaydan dengan wajah yang begitu marah."Yah, saya sudah terpisah dengan ibu saya selama puluhan tahun. Selama ini saya selalu bercerita kepada Qiara tentang kerinduan saya pada ibu. Bagaimana saya tidak merasa sakit hati setelah tahu bahwa Qiara menyimpan rahasia besar ini dari saya?""Ini semua karena kesalahan ibumu. Ibumu yang sudah membawa musibah dalam keluarga kalian. Kalau saja ibumu tidak memaksa Qiara untuk menyimpan rahasia ini, maka Qiara pasti sudah membeberkan semuanya." Darah Zaydan mendidih mendengar Pak Bustomi yang mengatakan bahwa ibunya membawa musibah dalam keluarganya. Lelaki itu mengepalkan tangannya dengan begitu kuat hingga buku-buku tangannya memutih."Ayah tidak be
Buya Rahman menghela napas panjang. Dia memang sangat jarang berkomunikasi dengan Qiara karena hanya beberapa kali saja Qiara ikut serta datang ke pondok pesantren. Itupun dia tidak sempat berbincang-bincang dengan Qiara karena sepertinya Qiara lebih tertarik untuk berbincang-bincang dengan para santriwati atau para ustadzah di pondok pesantren.Namun Buya Rahman sangat yakin bahwa Qiara adalah seorang gadis yang baik yang tentu saja bisa berpikir jernih."Kamu pasti mengenal Qiara dengan baik. Kamu pasti tahu sebesar apa kadar cintanya padamu. Kamu juga pasti sudah menanamkan moral moral dan segala pendidikan tentang agama pada Qiara. Jadi jangan pernah mencemaskan hal-hal yang seperti itu sehingga membuat kamu dan Pak Bustomi ribut seperti tadi," tambah Buya Rahman lagi.Zaydan menatap lekat-lekat manik mata Buya Rahman. Lelaki yang memiliki pengetahuan serta wawasan tentang ilmu agama yang teramat sangat luas itu selalu memiliki sorot mata yang teduh dan bisa menenangkan hati Zayda
2 tahun kemudian. "Jangan peluk Abinya Zahwa." Zahwa mendorong tangan Qiara yang melingkar di perut Zaydan saat mereka berbaring di saung samping rumah. "Abinya Zahwa kan kesayangan Umi." Qiara tetap memeluk Zaydan. "Lepasin! Abinya Zahwa!" "Sayangnya Abi dan sayangnya Mas kok berantem gitu sih? Sini-sini, peluk Abi sama-sama." Zaydan meletakkan Zahwa di atas perutnya dan membaringkan kepala Qiara di atas bahunya. Setiap hari selalu ada keributan karena memperebutkan perhatian Zaydan dari Qiara dan Zahwa. "Sayang, kita mandi yuk. Udah sore nih." Qiara membujuk Zahwa agar mandi. "Nggak mau." "Tapi ini udah sore." "Nggak mau!" "Zahwa, jangan lari-lari gitu. Umi capek." Qiara menyeka dahinya yang berkeringat karena mengejar Zahwa di halaman rumah. "Sayang, kamu aja deh yang bujuk Zahwa. Aku capek banget." Qiara akhirnya pasrah. Ia duduk di tepi kolam ikan sambil melipat tangan di dada. "Ya udah, Mas bujuk dia dulu. Kamu mandi duluan gih." "Oke." "Tunggu." "Apa lagi, Mas?"
"Ayah harus mencicipi tumis kangkung buatan Mas Zaydan. Kali ini tumis kangkungnya pakai cumi loh." Qiara meletakkan satu sendok tumis kangkung ke dalam piring ayahnya."Kalau Zaydan yang masak, tentu saja ayah tidak meragukannya lagi. Tapi kalau kamu yang masak, ayah masih agak sedikit ragu.""Iihhhh. Ayah kok gitu sih? Di sini kan Qiara yang anaknya ayah."Suasana makan malam begitu hangat karena Pak Bustomi yang sudah merindukan masakan Zaydan hari itu terbalaskan sudah kerinduannya.Zahwa selalu terkekeh setiap kali digoda oleh Pak Bustomi. Bayi mungil itu merasa teramat sangat senang karena bertemu dengan seorang lelaki yang sangat mirip dengan ibunya."Ayah sangat setuju dengan ide Zaydan memakaikan Zahwa hijab sejak bayi. Jangan sampai kesalahan ayah dan ibumu akan terulang kembali pada cucu ayah ini." Pak Bustomi membantu Zaydan memasangkan hijab untuk Zahwa karena bayi itu baru saja selesai gumoh.Ponsel Pak Bustomi berdering dengan kencang ketika mereka masih asyik berbincan
"Saya tidak pernah menimpakan kesalahan Zaydan di bahu saya. Justru Zaydan lah yang sudah mengemban dosa saya sehingga perseteruan ini bisa terjadi. Kalau saja saya tidak mendorong Qiara dengan keras. Kalau saja saya menuruti permintaan Qiara untuk menceritakan tentang jati diri saya. Kalau saja saya tidak memiliki pemikiran buruk pada Qiara, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi." Air mata meleleh membanjiri pipi Bu Jamilah.Pak Budi dan istrinya yang berada di dalam mobil tidak tahan melihat perdebatan antara Pak Bustomi dan Bu Jamilah yang tak kunjung usai. Sepasang suami istri itu pun menghampiri Pak Bustomi yang masih berdebat dengan Bu Jamilah."Budi?""Apa Anda percaya jika saya yang menceritakan kejadian sebenarnya?"Pak Bustomi menatap sepasang suami istri yang wajahnya begitu tegang. Hubungan baik sebagai sesama donatur di yayasan kasih ibu membuat Pak Bustomi mempersilakan sahabatnya itu masuk ke dalam rumah.Pak Budi pun menceritakan semua yang terjadi antara Bu Jami
"Harganya 150 juta?" Zaydan terbelalak ketika cincin itu sudah diletakkannya di toko berlian terbesar di kota Jambi."Benar sekali, Pak. Berlian ini penuh dengan permata dan hanya gagangnya saja yang kecil. Sehingga harganya memang relatif tinggi.""Sebentar. Saya tanya istri saya dulu." Zaydan segera menghubungi Qiara dan mengabarkan bahwa harga berlian itu dibeli dengan nilai 150 juta."Alhamdulillah. Berarti tidak terlalu banyak mengalami penyusutan. Mas minta pihak toko berlian mentransfer ke rekening Mas saja supaya lebih aman.""Oke, Sayang."Zaydan merasa lega karena satu permasalahan telah selesai di rumah tangganya. Kemarin setelah berdebat dengan Qiara, Zaydan akhirnya memenuhi keinginan istrinya itu untuk menjual cincin berlian tersebut dan segera mengambil program S2.Pak Rektor kampus IAI Nusantara merasa bersyukur karena akhirnya Zaydan memutuskan mengambil program S2. Pihak kampus memang teramat sangat menyayangi Zaydan karena kedisiplinannya di kampus dan beberapa pres
"Bukan begitu, Sayang." Zaydan menarik Qiara ke dalam pelukannya dan mencium pipi istrinya itu Dengan mesra."Aku tahu, Mas, tapi aku tetap sependapat dengan kamu. Aku tidak ingin jika nanti calon menantuku memiliki nasib yang sama dengan suamiku. Aku tidak ingin Zahwa seperti ibunya yang sangat membangkang soal memakai hijab karena tidak dibiasakan dari kecil." Qiara mengecup telapak tangan Zahwa dengan lembut."Dia cantik sekali. Kulitnya putih bersih dan wajahnya ....""Fotocopy Mas Zaydan. Sepertinya aku hanya tempat penampungan benih saja.""Bukankah lebih baik seperti itu, Nak? Hari-hari kamu akan ditemani oleh dua Zaydan yang generasi dan versinya berbeda."Qiara hanya terkekeh mendengar ucapan Bu Jamilah. Dia sendiri sebenarnya merasa bangga melihat kemiripan Zaydan dan Zahwa. Dari raut wajah Zahwa yang menandakan bahwa Qiara memiliki cinta yang begitu teramat sangat besar kepada Zaydan. Sehingga sedikitpun tak ada celah wajahnya di tubuh bayi mungil itu.***"Ibu mau ke mana?
Pak Bustomi mengusap kasar wajahnya. Menyesal karena sudah mendatangi rumah anak menantunya yang akan berdampak pada kekecewaan di hatinya sendiri."Terserah bagaimana kemauanmu. Ayah tidak akan pernah peduli lagi apapun yang terjadi padamu." Pak Bustomi pergi meninggalkan kediaman Qiara dan Zaydan."Sayang, Mas tahu Mas bukanlah suami yang baik untukmu. Mas mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang baik seperti ayahmu. Tapi Mas berjanji tidak akan pernah membiarkan kalian tidak makan seperti yang ditakutkan oleh Ayah." Zaydan merangkul bahu Qiara dan mengecup kening istrinya itu dengan mesra.***"Kamu keberatan nggak kalau ibu pulang ke rumah kita?" Zaydan menggulung lengan baju sambil menatap Qiara yang tengah menyusui Zahwa."Mas kok nanya sama aku sih? Mas kepala keluarga yang wajib mengambil keputusan di rumah ini.""Tapi kamu adalah istri Mas. Keputusannya Mas ambil harus sesuai dengan persetujuan darimu.""Masalahnya, apa ibu juga setuju untuk tinggal di sini?"Zaydan mengh
"Mas, mobil kita ke mana? Selama pulang dari rumah sakit, aku tidak melihat keberadaan mobil kita." Qiara yang tengah menjemur Zahwa di halaman rumah menoleh ke arah garasi mobil yang kosong."Nanti Mas ceritakan sama kamu. Sekarang kamu fokus aja menjemur Zahwa dan mengajaknya berbicara."Zaydan segera masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Qiara yang menjemur Zahwa di bawah sinar matahari pagi.Bu Jamilah masih dirawat di rumah sakit di kota Jambi. Dokter belum mengizinkan Bu Jamilah pulang sebelum perempuan paruh baya itu sembuh total. Zaydan pun sepakat dengan ucapan Dokter karena dia khawatir jika sampai terjadi hal yang buruk pada ibunya.Satu minggu sudah berlalu. Qiara sudah pulang dari rumah sakit dan mulai belajar menjaga bayinya melalui arahan-arahan yang disampaikan oleh Dokter kandungan.Zaydan pun dengan begitu cekatan membantu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh Qiara. Mulai dari membantu memandikan, sampai menyiapkan pakaian bayi tersebut."Sayang, air hangat untukmu su
"Apa maksud ibu? Meminta Zaydan memilih antara Qiara atau ibu? Itu artinya ibu tidak ingin tinggal satu atap dengan Qiara?" Zaydan melepas genggaman tangannya dan berdiri sambil melipat tangan di dada."Dari sini sudah bisa membuktikan kalau kamu pasti tidak akan memilih ibu. Kamu pasti akan memilih Qiara," sahut Bu Jamilah sambil menyunggingkan senyumnya."Tentu saja, Bu. Qiara adalah perempuan yang aku nikahi dan Aku bersumpah di hadapan Tuhan dan orang tuanya bahwa aku akan menjaga dan merawat dia dengan baik. Bahkan sekarang Qiara sedang melahirkan benih yang sudah aku tanam. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Qiara demi memenuhi permintaan ibu.""Tapi aku adalah ibu kandungmu.""Lalu apa salahnya kalau ibu kandung dan istriku bisa bersama-sama? Toh selama ini Qiara teramat sangat menyayangi ibu. Bahkan ibu selalu memuji kebaikan Qiara.""Itu dulu. Sebelum ibu tahu bagaimana karakter Qiara yang sebenarnya. Setelah ibu tahu bahwa Qiara ingin menguasai mu sepenuhnya, sedikit pun tak
"Ibu kenapa, Mas? Kritis?" Qiara yang ikut mendengar keterkejutan Zaydan menoleh ke arah suaminya itu."Iya. Pak Budi meminta Mas untuk segera berangkat ke rumah sakit." Zaydan mengusap kasar wajahnya. Ia tidak mungkin meninggalkan Qiara dan Zahwa di rumah berdua saja dengan kondisi Qiara yang baru saja melahirkan.Rumah mereka yang terletak di pinggiran kota tentu saja membuat Zaydan khawatir jika anak dan istrinya ditinggal berdua saja di rumah."Ya sudah. Kalau begitu Mas langsung saja pergi ke sana. Aku nggak papa kok berdua saja sama Zahwa.""Nggak bisa gitu dong, Sayang. Mas nggak mau meninggalkan kalian berdua di sini. Itu sangat berbahaya." Zaydan menggeleng sambil memikirkan langkah apa yang harus dia ambil."Apa begini saja. Kalian ikut Mas aja ke kota Jambi. Mas akan booking sebuah hotel untuk kalian tempati. Hotel yang letaknya dekat dengan rumah sakit." "Tapi, Mas ...."Zaydan langsung membereskan barang-barang Zahwa dan Qiara. Lelaki itu segera memasukkan barang-barang