"Sayang, kamu yakin nggak mau hadir dalam acara lamaran Amira?" Zaydan bertanya kepada Qiara saat dia sedang memakai pakaian untuk berangkat ke kampus.Qiara hanya menggeleng perlahan. Perempuan itu tersenyum kecut mendengar perkataan Zaydan. Sejujurnya dia sendiri juga ingin melihat Bagaimana Amar yang hendak melamar Amira dengan cara yang unik, tapi dia tidak ingin jika nanti tiba-tiba hormon kehamilannya yang sering tidak terkontrol meminta Zaydan untuk memberi kejutan yang sama kepadanya."Nggak deh Mas. Aku di rumah saja lah," sahut Qiara Seraya membaringkan tubuhnya di atas ranjang.Mereka masih di rumah Pak Bustomi. Zaydan dan Qiara dilarang pulang oleh Pak Bustomi dengan alasan mengajak mereka untuk mendatangi acara lamaran Amira di rumah Pak Subhan besok hari."Tapi Mas nggak enak banget kalau pergi sendirian, Sayang. Masa nanti mas jadi obat nyamuk sih?" Zaydan duduk di samping Qiara sambil meraih kepala istrinya itu ke dalam pelukan.Qiara berpikir sejenak. Sejujurnya dia p
"Aku ... maukah kamu menikah denganku?" Ammar yang sejak tadi kebingungan akhirnya mengucapkan kata yang sejak tadi malam berusaha dia hafal seorang diri.Amira menutup mulutnya saat mendengar kata-kata itu dari Ammar.Sayyidah yang melihat pemandangan berbahagia di depannya langsung bertepuk tangan dan meriaki Amira agar sahabatnya itu menerima lamaran dari Ammar."Terima terima terima." Sayyidah bersorak dengan penuh kegirangan membuat wajah Amira seketika merona.Amira tersenyum di hadapan Ammar disaksikan oleh Sayyidah dan Zaydan. Ketika Ammar hendak memasangkan cincin Di jari manis Amira, tiba-tiba Zaydan langsung menahan pergerakan sahabatnya itu dengan mata yang melotot tajam."Belum mahram. Ngapain pegang-pegang tangan segala." Zaydan berkata kepada Ammar membuat Ammar langsung menggaruk kepalanya dan dia pun memasukkan kembali cincin itu ke dalam kotak cincin yang berada di dalam saku jaketnya."Nanti sore cincin ini akan berada di tanganmu yang akan disematkan oleh ibuku."
Qiara segera merogoh ponselnya di dalam saku gamis yang dikenakannya. Dia hendak segera menghubungi Zaydan dan mempertanyakan Apakah Zaydan akan segera pulang karena dia tidak ingin jika sampai suaminya itu menunggunya terlalu lama. Perempuan itu pun langsung mematikan telepon mendengar ucapan Zaydan."Kayaknya Mas baru bisa pulang setelah salat isya. Nggak apa-apa kan sayang?" Pertanyaan Zaydan di seberang telepon langsung membuat Qiara semakin jengkel dan kesal.Qiara pun akhirnya memutuskan masuk ke dalam kamar Amira dan melihat cincin yang melingkar di jari manis Amira."Kamu nggak masalah dikasih cincin belah rotan seperti ini? Bukannya kamu nggak suka cincin belah rotan?" Qiara bertanya kepada Amira yang langsung disambut anggukan oleh sahabatnya itu."Siapa bilang aku nggak suka cincin belah rotan?""Bukannya dulu kamu pernah menolak cincin belah rotan yang diberikan oleh ibumu?""Itu beda perkara dong, Qi. Cincin yang waktu itu 'kan dibeli sama ibuku. Kalau ini dibeli oleh ora
"Maaf ya, Bu. Hari ini kayaknya Mas Zaydan nggak pergi ke kampus lagi. Ada hal penting yang ingin dikerjakannya di rumah." Qiara mengirimkan pesan kepada Bu Jamilah dengan harapan Bu Jamilah mengerti bahwa dia dan Zaydan sedang ingin melewati waktu bersama.Bu Jamilah yang membaca pesan dari Qiara sedikit mengernyitkan keningnya. Perempuan paruh baya itu sudah teramat sangat merindukan Zaydan karena selama 3 hari, Qiara mengatakan ingin bepergian dengan Zaydan sehingga mereka tidak berada di rumah."Apa mungkin Qiara sekarang sudah mulai menyadari bahwa kehadiranku hanya akan membuat kasih sayang Zaydan terbagi dua?" Bu Jamilah bergumam di dalam hati.Perempuan paruh baya itu terus-terusan memikirkan Zaydan yang begitu dirindukannya. Namun dia sendiri tidak mungkin mendatangi rumah Zaydan seorang diri tanpa persetujuan dari Qiara dan Zaydan karena dia tidak ingin jika sampai anak mantunya itu merasa tidak nyaman dengan kehadirannya."Mbok hari ini nggak ke Pemayung?" Rangga bertanya k
"Makasih, ya. Kamu bersedia datang ke sini. Aku kesepian banget loh." Qiara menggandeng Sayyidah masuk ke rumahnya. Perempuan itu merasa senang karena sahabatnya Sayyidah bersedia menemaninya di rumah.Hari itu Qiara mengajak Sayyidah untuk membuat rujak jambu air dan mangga muda. "Sebenarnya aku pengen banget curhat sama Pak Zaydan. Tapi malu takut ditertawakan sama beliau." Sayyidah berkata sambil mencocol mangga muda ke dalam bumbu rujak yang cukup pedas.Qiara sedikit mengernyitkan keningnya mendengar ucapan Sayyidah. Dia yang memang sudah lama tidak berkomunikasi dengan sahabatnya itu tidak tahu jika sahabatnya ternyata menanggung beban yang cukup berat sehingga ingin menceritakan apa yang terjadi kepadanya dengan Zaydan."Emangnya kamu mau curhat apa?" Tanya Qiara penuh selidik."Akhir-akhir ini aku cukup dekat dengan Mas Azzam. Aku ngerasa kalau Mas Azzam memiliki rasa kepadaku. Tapi aku takut salah mengartikan perasaannya itu." Sayyidah memutar-mutar irisan jambu di dalam ado
Bu Jamilah menepis tangan Qiara yang hendak menjelaskan duduk persoalannya. Perempuan paruh baya itu pergi meninggalkan Qiara begitu saja tanpa peduli Qiara yang terus mengejarnya.Sementara itu, Sayyidah yang berada di dalam rumah seketika mengejar Qiara yang berlari mengejar Bu Jamilah di halaman rumah."Ada apa, Qi? Kenapa kamu kayak ketakutan seperti itu?" Sayyidah yang tidak tahu apa-apa langsung bertanya kepada Qiara dengan tatapan penuh selidik."Aku harus segera menemui Bu Jamilah. Aku harus bicara padanya karena aku tidak mau ada kesalahpahaman antara kami." Qiara berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Sayyidah.Sayyidah benar-benar ketakutan melihat Qiara yang berlari membawa perutnya yang buncit. Perempuan itu pun menahan pergerakan Qiara dan memeluk sahabatnya itu dari belakang."Aku nggak tahu masalah kamu dan Bu Jamilah apaan. Tapi yang harus kamu ketahui, kamu harus menjaga bayi yang berada di dalam kandunganmu." Sayyidah berkata sambil menuntun tangan Qiara untuk
"Hhhh ...." Qiara semakin merasa gelisah menanti kepulangan Zaydan. Bagaimanapun juga, Qiara tidak ingin jika sampai kesalahpahaman antara dia dan Bu Jamilah terus-terusan berkepanjangan."Kamu harus tenang, Qi. Kamu nggak boleh terus-terusan gelisah seperti ini." Sayyidah menghibur Qiara agar sahabatnya itu tidak begitu gelisah.Namun Qiara tidak bisa menampik perasaannya yang benar-benar terasa kacau karena memikirkan Zaydan yang tidak tahu bahwa Bu Jamilah adalah ibu kandungnya.Qiara berjalan mondar-mandir di depan pintu rumahnya. Dia tidak berani menghubungi Zaydan dan meminta suaminya itu pulang cepat karena khawatir Nanti Zaydan akan mempertanyakan Apa yang terjadi dan Qiara takut keceplosan menceritakan kebenaran yang selama ini dia sembunyikan dari suaminya."Aku sudah berjanji pada Bu Jamilah untuk tidak menceritakan kepada Mas Zaydan tentang statusnya sebagai orang tua kandung Mas Zaydan. Aku khawatir semua ini akan menjadi kacau jika aku menceritakannya." Qiara kembali dud
"Sayang."Qiara sedikit terkejut ketika dia yang tengah membawa semangkuk buah anggur dipeluk oleh Zaydan dari belakang. "Kamu tuh kebiasaan banget deh Mas." Qiara menepuk lengan Zaydan yang melingkar di perutnya."Kamu lagi ngapain sih?""Aku mau cuci buah anggur ini. Kebetulan sejak dibeli kemarin belum dicuci sama sekali." "Mas temenin ya?" Zaydan mengangkat tubuh Qiara tinggi-tinggi sehingga perempuan itu berada tepat di atas dadanya."Kamu apa-apaan sih Mas? Turunin aku dong." Qiara memukul bahu Zaydan yang saat itu sejajar dengan perutnya.Zaydan terkekeh melihat sikap Qiara yang malu tapi mau. Mereka memang sudah cukup lama tidak melewati momen mesra seperti itu di pagi hari ini dikarenakan biasanya setiap pagi Bu Jamilah sudah datang ke rumah mereka."Pokoknya kita harus sama-sama melakukan apapun di rumah ini." Zaydan menurunkan Qiara dari gendongannya dan dia pun meminta Qiara untuk menginjak kakinya."Aku tuh berat Mas. Nanti kamu pasti capek kalau aku berjalan dengan men
2 tahun kemudian. "Jangan peluk Abinya Zahwa." Zahwa mendorong tangan Qiara yang melingkar di perut Zaydan saat mereka berbaring di saung samping rumah. "Abinya Zahwa kan kesayangan Umi." Qiara tetap memeluk Zaydan. "Lepasin! Abinya Zahwa!" "Sayangnya Abi dan sayangnya Mas kok berantem gitu sih? Sini-sini, peluk Abi sama-sama." Zaydan meletakkan Zahwa di atas perutnya dan membaringkan kepala Qiara di atas bahunya. Setiap hari selalu ada keributan karena memperebutkan perhatian Zaydan dari Qiara dan Zahwa. "Sayang, kita mandi yuk. Udah sore nih." Qiara membujuk Zahwa agar mandi. "Nggak mau." "Tapi ini udah sore." "Nggak mau!" "Zahwa, jangan lari-lari gitu. Umi capek." Qiara menyeka dahinya yang berkeringat karena mengejar Zahwa di halaman rumah. "Sayang, kamu aja deh yang bujuk Zahwa. Aku capek banget." Qiara akhirnya pasrah. Ia duduk di tepi kolam ikan sambil melipat tangan di dada. "Ya udah, Mas bujuk dia dulu. Kamu mandi duluan gih." "Oke." "Tunggu." "Apa lagi, Mas?"
"Ayah harus mencicipi tumis kangkung buatan Mas Zaydan. Kali ini tumis kangkungnya pakai cumi loh." Qiara meletakkan satu sendok tumis kangkung ke dalam piring ayahnya."Kalau Zaydan yang masak, tentu saja ayah tidak meragukannya lagi. Tapi kalau kamu yang masak, ayah masih agak sedikit ragu.""Iihhhh. Ayah kok gitu sih? Di sini kan Qiara yang anaknya ayah."Suasana makan malam begitu hangat karena Pak Bustomi yang sudah merindukan masakan Zaydan hari itu terbalaskan sudah kerinduannya.Zahwa selalu terkekeh setiap kali digoda oleh Pak Bustomi. Bayi mungil itu merasa teramat sangat senang karena bertemu dengan seorang lelaki yang sangat mirip dengan ibunya."Ayah sangat setuju dengan ide Zaydan memakaikan Zahwa hijab sejak bayi. Jangan sampai kesalahan ayah dan ibumu akan terulang kembali pada cucu ayah ini." Pak Bustomi membantu Zaydan memasangkan hijab untuk Zahwa karena bayi itu baru saja selesai gumoh.Ponsel Pak Bustomi berdering dengan kencang ketika mereka masih asyik berbincan
"Saya tidak pernah menimpakan kesalahan Zaydan di bahu saya. Justru Zaydan lah yang sudah mengemban dosa saya sehingga perseteruan ini bisa terjadi. Kalau saja saya tidak mendorong Qiara dengan keras. Kalau saja saya menuruti permintaan Qiara untuk menceritakan tentang jati diri saya. Kalau saja saya tidak memiliki pemikiran buruk pada Qiara, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi." Air mata meleleh membanjiri pipi Bu Jamilah.Pak Budi dan istrinya yang berada di dalam mobil tidak tahan melihat perdebatan antara Pak Bustomi dan Bu Jamilah yang tak kunjung usai. Sepasang suami istri itu pun menghampiri Pak Bustomi yang masih berdebat dengan Bu Jamilah."Budi?""Apa Anda percaya jika saya yang menceritakan kejadian sebenarnya?"Pak Bustomi menatap sepasang suami istri yang wajahnya begitu tegang. Hubungan baik sebagai sesama donatur di yayasan kasih ibu membuat Pak Bustomi mempersilakan sahabatnya itu masuk ke dalam rumah.Pak Budi pun menceritakan semua yang terjadi antara Bu Jami
"Harganya 150 juta?" Zaydan terbelalak ketika cincin itu sudah diletakkannya di toko berlian terbesar di kota Jambi."Benar sekali, Pak. Berlian ini penuh dengan permata dan hanya gagangnya saja yang kecil. Sehingga harganya memang relatif tinggi.""Sebentar. Saya tanya istri saya dulu." Zaydan segera menghubungi Qiara dan mengabarkan bahwa harga berlian itu dibeli dengan nilai 150 juta."Alhamdulillah. Berarti tidak terlalu banyak mengalami penyusutan. Mas minta pihak toko berlian mentransfer ke rekening Mas saja supaya lebih aman.""Oke, Sayang."Zaydan merasa lega karena satu permasalahan telah selesai di rumah tangganya. Kemarin setelah berdebat dengan Qiara, Zaydan akhirnya memenuhi keinginan istrinya itu untuk menjual cincin berlian tersebut dan segera mengambil program S2.Pak Rektor kampus IAI Nusantara merasa bersyukur karena akhirnya Zaydan memutuskan mengambil program S2. Pihak kampus memang teramat sangat menyayangi Zaydan karena kedisiplinannya di kampus dan beberapa pres
"Bukan begitu, Sayang." Zaydan menarik Qiara ke dalam pelukannya dan mencium pipi istrinya itu Dengan mesra."Aku tahu, Mas, tapi aku tetap sependapat dengan kamu. Aku tidak ingin jika nanti calon menantuku memiliki nasib yang sama dengan suamiku. Aku tidak ingin Zahwa seperti ibunya yang sangat membangkang soal memakai hijab karena tidak dibiasakan dari kecil." Qiara mengecup telapak tangan Zahwa dengan lembut."Dia cantik sekali. Kulitnya putih bersih dan wajahnya ....""Fotocopy Mas Zaydan. Sepertinya aku hanya tempat penampungan benih saja.""Bukankah lebih baik seperti itu, Nak? Hari-hari kamu akan ditemani oleh dua Zaydan yang generasi dan versinya berbeda."Qiara hanya terkekeh mendengar ucapan Bu Jamilah. Dia sendiri sebenarnya merasa bangga melihat kemiripan Zaydan dan Zahwa. Dari raut wajah Zahwa yang menandakan bahwa Qiara memiliki cinta yang begitu teramat sangat besar kepada Zaydan. Sehingga sedikitpun tak ada celah wajahnya di tubuh bayi mungil itu.***"Ibu mau ke mana?
Pak Bustomi mengusap kasar wajahnya. Menyesal karena sudah mendatangi rumah anak menantunya yang akan berdampak pada kekecewaan di hatinya sendiri."Terserah bagaimana kemauanmu. Ayah tidak akan pernah peduli lagi apapun yang terjadi padamu." Pak Bustomi pergi meninggalkan kediaman Qiara dan Zaydan."Sayang, Mas tahu Mas bukanlah suami yang baik untukmu. Mas mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang baik seperti ayahmu. Tapi Mas berjanji tidak akan pernah membiarkan kalian tidak makan seperti yang ditakutkan oleh Ayah." Zaydan merangkul bahu Qiara dan mengecup kening istrinya itu dengan mesra.***"Kamu keberatan nggak kalau ibu pulang ke rumah kita?" Zaydan menggulung lengan baju sambil menatap Qiara yang tengah menyusui Zahwa."Mas kok nanya sama aku sih? Mas kepala keluarga yang wajib mengambil keputusan di rumah ini.""Tapi kamu adalah istri Mas. Keputusannya Mas ambil harus sesuai dengan persetujuan darimu.""Masalahnya, apa ibu juga setuju untuk tinggal di sini?"Zaydan mengh
"Mas, mobil kita ke mana? Selama pulang dari rumah sakit, aku tidak melihat keberadaan mobil kita." Qiara yang tengah menjemur Zahwa di halaman rumah menoleh ke arah garasi mobil yang kosong."Nanti Mas ceritakan sama kamu. Sekarang kamu fokus aja menjemur Zahwa dan mengajaknya berbicara."Zaydan segera masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Qiara yang menjemur Zahwa di bawah sinar matahari pagi.Bu Jamilah masih dirawat di rumah sakit di kota Jambi. Dokter belum mengizinkan Bu Jamilah pulang sebelum perempuan paruh baya itu sembuh total. Zaydan pun sepakat dengan ucapan Dokter karena dia khawatir jika sampai terjadi hal yang buruk pada ibunya.Satu minggu sudah berlalu. Qiara sudah pulang dari rumah sakit dan mulai belajar menjaga bayinya melalui arahan-arahan yang disampaikan oleh Dokter kandungan.Zaydan pun dengan begitu cekatan membantu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh Qiara. Mulai dari membantu memandikan, sampai menyiapkan pakaian bayi tersebut."Sayang, air hangat untukmu su
"Apa maksud ibu? Meminta Zaydan memilih antara Qiara atau ibu? Itu artinya ibu tidak ingin tinggal satu atap dengan Qiara?" Zaydan melepas genggaman tangannya dan berdiri sambil melipat tangan di dada."Dari sini sudah bisa membuktikan kalau kamu pasti tidak akan memilih ibu. Kamu pasti akan memilih Qiara," sahut Bu Jamilah sambil menyunggingkan senyumnya."Tentu saja, Bu. Qiara adalah perempuan yang aku nikahi dan Aku bersumpah di hadapan Tuhan dan orang tuanya bahwa aku akan menjaga dan merawat dia dengan baik. Bahkan sekarang Qiara sedang melahirkan benih yang sudah aku tanam. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Qiara demi memenuhi permintaan ibu.""Tapi aku adalah ibu kandungmu.""Lalu apa salahnya kalau ibu kandung dan istriku bisa bersama-sama? Toh selama ini Qiara teramat sangat menyayangi ibu. Bahkan ibu selalu memuji kebaikan Qiara.""Itu dulu. Sebelum ibu tahu bagaimana karakter Qiara yang sebenarnya. Setelah ibu tahu bahwa Qiara ingin menguasai mu sepenuhnya, sedikit pun tak
"Ibu kenapa, Mas? Kritis?" Qiara yang ikut mendengar keterkejutan Zaydan menoleh ke arah suaminya itu."Iya. Pak Budi meminta Mas untuk segera berangkat ke rumah sakit." Zaydan mengusap kasar wajahnya. Ia tidak mungkin meninggalkan Qiara dan Zahwa di rumah berdua saja dengan kondisi Qiara yang baru saja melahirkan.Rumah mereka yang terletak di pinggiran kota tentu saja membuat Zaydan khawatir jika anak dan istrinya ditinggal berdua saja di rumah."Ya sudah. Kalau begitu Mas langsung saja pergi ke sana. Aku nggak papa kok berdua saja sama Zahwa.""Nggak bisa gitu dong, Sayang. Mas nggak mau meninggalkan kalian berdua di sini. Itu sangat berbahaya." Zaydan menggeleng sambil memikirkan langkah apa yang harus dia ambil."Apa begini saja. Kalian ikut Mas aja ke kota Jambi. Mas akan booking sebuah hotel untuk kalian tempati. Hotel yang letaknya dekat dengan rumah sakit." "Tapi, Mas ...."Zaydan langsung membereskan barang-barang Zahwa dan Qiara. Lelaki itu segera memasukkan barang-barang