Tidurku semalam tak nyenyak, bunyi-bunyi aneh terdengar di telingaku, membuatku gelisah dan tak tenang. Ku lirik jam dinding, jarum kecil sudah menunjuk angka 4 pagi, akun terbangun dan tak bisa tidur lagi. Televisi ku nyalakan dari semalam sampai pagi ini, untuk menghalau rasa takutku.
Tanganku sibuk mencari-cari ponselku yang entah terselip dimana, ahh ... Ini dia, ternyata di bawah bantal yang biasa di pakai suamiku. Tak ada notifikasi apapun.
Aku berharap mentari cepat muncul, ingin segera pagi dan mendapat kabar dari suamiku. Aku beranjak ke kamar mandi, mencuci muka, lalu menuju dapur. Ku buka kulkas, ku keluarkan beberapa bahan untuk ku masak.
Sayur sop, juga daging ayam yang sudah di potongan-potongkan suami sebelum dia berangkat kemarin. Andai saja, mungkin aku takkan sesibuk ini. Pengen nangis rasanya.
Setelau semua selesai, dari masak dan bersih-bersih rumah, aku bergeg
Hari berganti, rasa kesal merasuki jiwaku, bisa-bisanya suamiku ga ngabarin sama sekali, apa dia ga sayang? Kalau memang benar sayang bukan seperti ini. Oke, liat aja nanti, kalau telpon atau chat, akupun bisa acuhkan.Hari ini rasa malas merasuki ragaku, aku memilih untuk memesan makanan matang saja. Ku rebahkan diriku yang terasa sedikit lemah, mungkin efek hamil muda. Tiba-tiba aku ingin rujak, tapi disini ga ada yang jual rujak.Setelah sarapan aku bergegas mengambil uang di laci meja, uang yang memang di siapkan suamiku untukku. Aku pergi ke warung ibu Queensy."Bu, ada buah?" tanyaku."Ada apel sama semangka bu, mau? Atau mau salad buah? Bisa saya buatkan," ucapnya."Boleh deh bu, saya mau salad buah aja." Aku duduk menunggu pesanananku jadi, seraya menunggu ku periksa ponselku. Ahh, akhirnya suamiku mengirim pesan padaku.[Bunda, maaf ya,
"Ueeekkkk ... Ueeekkkk ... " Pagi ini kembali merasakan ngidam yang sudah sekian lama tak ku rasakan, dadaku sampai sesak karena memaksakan muntah.Ku ambil minya angin dan ku hirup-hirup, aku sudah tidak peduli lagi dengan suami yang tak berkabar. Cukuplah aku mengejar dia yang seakan-akan mengemis cinta. Aku kelah harus meminta perhatian terus, sedang diapun tak mau peduli.Hari ini aku memilih tidak memasak, keadaan sedang tidak baik, rasanya lemas sekali. Rumah ku biarkan kotor, hanya badan yang ku bersihkan, untuk dandanpun aku mulai malas. Rambut hanya ku sisir seadanya.[Bu, pesan gado-gado ya bu, bisa antar? Sekalian sama camilan, apapun, bawakan saja yang banyak ya bu. Nanti aku bayar sekalian.] aku mengirim pesan kepada ibu Queensy.[Baik bu, sabar ya, sebentar suami saya yang antarkan kesana.] balasnya.Setiap pesan makanan apapun, selalu suaminya yang an
Pagi ini suasana hatiku sedang tidak baik, ada rasa kecewa yang masih mendesak memenuhi ubhn-ubun. Curiga dengan tingkah laku suami yang seakan-akan menghindariku dari semalam."Bunda, masak apa?" tanyanya padaku yang sedsng sibuk mengaduk isi dalam wajanku. Aku terdiam tak menjawab dengan sepatah katapun."Kok diam, sayang? Ayah salah apa lagi?" tanyanya tanpa rasa berdosa sedikitpun. Aku masih diam saja."Ngambek kenapa lagi, sayanf?" lagi-lagi ia melemparkan pertanyaan padaku dengan rasa tanpa bersalahnya itu.Dipeluknya tubuhku dari belakang, di ciuminya leher jenjangku, aku berusaha menepisnya. Sedikitku senggol dia mencoba melepaskan pelukannya."Jangan ganggu, masih masak," gerutuku."Kenapa sih, sayang? Seneng sekali istrinya ayah ngambek, apa apa? Coba bilang sama ayah." Ia mencoba membujukku. Aku masih saja diam tak mau menjawab.
Libur TerakhirAku mendengus kesal pada situasi, kenapa suamiku harus jauh sih? Kenapa juga suamiku tidak inisiatif mengajakku tinggal bareng di tempatnya nugas sih? Sebagai seorang suami, kalau memang sayang kan harusnya akan sulit pisah dari istri. Ini kok malah santai aja.Pagi ini aku masak sedikit nasih, dan lauk seadanya, toh suami mau pergi juga."Bunda kok cemberut gitu?" tanyanya, ia baru saja habis mandi setelah membantuku menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah tangga yang sekiranya tak sempat aku ambil."Ga apa-apa kok, sayang," jawabku berbohong, padahal hatiku sakit, sedih, tau ah."Bener?" tanyanya lagi."Bener, emang kenapa juga? Bunda ga apa-apa kok." Lagi-lagi aku berkilah, harusnya ia bisa membaca perasaanku, masak orang sayang separah itu engga pekanya.Setelah selesai masak, aku beberea perabotan dapur, k
Aduhh ... Ini perutku kenapa ya? Kok sakit banget, bahkan untuk berjalan rasanya susah sekali. Aku baru saja bangun dari tidur siangku. Perutku seakan melilit dan nyeri, aku berjalan perlahan menuju kamar mandi hendak buang air kecil.Astaga, ini kenapa, ada bercak darah di celanaku. Aku panik, aku mulai gelisah, apa yang harus aku lakukan? Suamiku tidak ada, bahkan ia tak ada memberi kabar sedikitpun padaku hari ini.Tak terasa, usia kandunganku sudah memasuki bulan ke 5, aku berharap semua baik-baik saja, begitu pula dengan janinku, aku berharap ia selalu sehat sampai nanti ia melihat dunia.Ku baringkan tubuhku, perutku masih terasaa nyeri, ku oleha minyak telon perlahan, berharap rasa nyeri itu hilang, tapi sayang, harapanku sia-sia. Aku ingat, aku memiliki seorang teman yang berprofesi sebagai seorang bidan. Bergegas ku ambil ponselku dan mengirimkan pesan padanya.[Selamat sore, s
Ponselku berdering nyaring, tertera nama suamiku disana. Aku bergegas mengangkatnya, walau sesungguhnya aku begitu jengkel padanya."Halo," jawabku singkat."Kamu dimana, sayang? Masih di klinik?" tanyanya, nada suaranya terdengar panik."Uda mati," jawabku masih dengan jawaban ketus."Sayang, ayah pulang sekarang, jangan ngomong gitu, ya?" bujuknya padaku."Ga ada nyuruh pulang kok, ga usah pulang sekalian juga ga apa-apa kok." Aku masih dengan egoku, aku tutup panggilan dari suamiku.Citra mematung melihatku yang sedang bicara dengan suamiku di telpon, entah apa yang ada di dalam fikirannya."Kamu kenapa sih, Ana? Kok ngomel-ngomel suami kamu?" tanya Citra."Habisnya, dia jadi laki-laki kok susah sekali mau hubungi istri, kayak kemarin, ada kejadian kayak gini kan. Apa dia ga takut istrinya kenap
Tidak terasa, 8 bulan sudah usia kandunganku, ahh ... Sesuai dengan rencana awal aku dan suami memilih untuk melahirkan di Rumah Sakit Merauke. Aku dan suami memutuskan segera ke klinik untuk meminta rujukan.Suami juga memutuskan untuk mengambil libur demi mendampingi aku. Pernah ada niat melahirkan di Bali, agar lebih aman karena ada keluarga, tapi sayang semua tidak memungkinkan."Jadi baiknya kapan kita berangkat sayang?" tanyaku pada suami setelah aku mendapatkan surat rujukan."Apakah Berangkat lebih awal itu tidak terburu-buru?" tanya suamiku balik."Aku ikut saja sayang ... Yang penting aku dan bayiku selamat nantinya," jawabku."Ya sudah ... nanti kita berangkat tanggal 10 saja ya Bun?"Hari yang ditunggu tiba, akhirnya aku dan suami bersiap untuk berangkat ke Merauke. Perjalanan menuju ke Merauke cukup jauh, kurang lebih menempuh
Selamat pagi MeraukeTidak ada bangun pagi, tidak ada acara suami ke pasar, tidak ada masak sarapan, bebas, hanya bersenang-senang menikmati hari menunggu waktunya si dede keluar."Bun, ayah beli sarapan dulu ya," pamit suamiku, ia bergegas keluar dari kamar kos kamu yang lumayan berukuran besar, ada 2 ruang kamar tidur, ruang tamu ruang tengah, juga kamar mandi."Iya, kalau ada nasi kuning ya, sayang?" pintaku."Oke, baik." Suamiku bergegas pergi dan menutup pintu kos.Aku kembali berbaring dengan santai sambil memainkan ponselku, ku lirik sesaat di tempat charger, ternyata suamiku tidak membawa ponselnya. Bergegas ku ambil lalu ku jelajahi semua aplikasi di dalamnya.Tak lupa ku periksa inbox yang masuk di laman facebooknya, juga memeriksa chat yang masuk ke aplikasi whatsappnya. Tidak ada yang mencurigakan, semua aman-aman saja. Aku kembali m
Desember 2021Desember ke 3 di tanah Papua. Harapan tinggal harapan. Entah sampai kapan lagi kami harus menunggu untuk hasil pindah sang suami. Aku merasa kosong, sepertinya harapan itu sia-sia. Biarlah, kita sudah berusaha, untuk hasilnya aku kembalikan kepada Tuhan."Bunda ... Bunda ...." teriak suamiku dari depan, kebetulan hari ini piket."Ada apa sih, Yah? Kok teriak-teriak jangan ribut, Ara lagi tidur, nanti dia terganggu." Aku menghampiri suamiku."Bunda, baca ini, Bun, baca, Bun!!" Ia menyodorkan ponsel yang telah terbuka 1 buah pesan Whatsapp di sana.Aku mengambil alih ponselnya, kemudian membaca baik-baik. Apa isinya, entahlah tanganku tiba-tiba gemetar, dadaku bergemuruh, aku terdiam sejenak. Aku terpaku. Aku tak tahu harus berbicara apa lagi kali ini. Air mata sudah mulai menetes membasahi kedua pipiku."Ayah, ini bener kan? Ini tidak b
2 Tahun kemudianHappy Birth Day Ara, 2 Tahun.Tak terasa, kini usia putriku sudah menginjak angka 2 tahun. Ah, tak pernah terbayang sama sekali kalau perayaan ulang tahunnya masih berada di tanah Papua.Sama seperti 1 tahunnya, tak ada yang spesial. Hanya perayaan kecil yang kami rayakan bertiga saja. Kue tar bertemakan doraemon yang ia sukai. Di tambah buket snack yang di hiasi balon. Itu saja Ara kecilku sudah sangat bahagia."Selamat ulang tahun, Ara," ucapku dan suami menatap gadis kecilku yang begitu bahagia.Ahh, kesederhanaan ini yang memang kami tanamkan sejak kecil padanya. Aku tidak ingin kelak ia menjadi gadis yang penuh dengan keegoisan juga menang sendiri."Bunda, Ala suka balon. Kue Ala ada dolaemon, ada obita, ada suka, ada suneo, ada jayen." Ia sebutkan satu persatu tokoh doraemon yang terpasang di kue kecilnya itu.
Tepat pukul 08.00 malam, terdengar suara mobil di depan mes. Aku tak bergegas membuka pintu. Aku memilih mengintip terlebih dahulu dari celah jendela depan. Masih teringat jelas pesan dari tetangga juga pesan dari suamiku. Jangan buru-buru membuka pintu saat orang datang. Lihat dulu dari jendela, takutnya orang mabuk.Yah, begitulah, suami tugas di sini sangat rawan. Orang mabuknya di sini sangat beda jauh dengan d Bali. Kalau di sini mabuk bisa bertindak kekerasan, bahkan sampai memb***h. Kalau di Bali, mabuknya macam orang-orang Korea, mengeluarkan isi hati, muntah lalu tidur.Oke, aku intip dari jendela, ternyata memang suami yang datang. Ia turun dari sebelah kursi kemudi. Ku bukakan pintu rumah seraya menggendong si kecil."Lihat sayang, siapa yang pulang? Ayah!" ucapku pada si kecil.Suami menenteng beberapa tas plastik, besar dan kecil. Ahh, memang suami idaman. Masih berpaka
Hari ini aku duduk santai di depan mes, tepatnya di pospol yang kebetulan memang menjadi 1 dengan mes. Menemani si kecilku yang sudah pandai merangkak dan bermain. Andai saja ada jaringan, aku sudah pasti menghubungi keluarga di Bali. Aku sungguh rindu dengan mereka. Terutama dengan orang tuaku juga mertuaku.Andai saja ada keajaiban suami mutasi semudah membalikkan telapak tangan, sudah pasti suami tak menunggu lama lagi.Aku sering kali berselancar dengan pikiranku sendiri, mengkhayal kalau nanti sudah pindah ke Bali, aku akan jalan-jalan. Yang paling kuharapkan adalah melihat orang tua juga mertuaku menemani cucunya bermain.Betapa bahagianya jika waktu itu tiba. Aku rindu dengan makanan di Bali. Begitu jauh berbeda di bandingkan di sini. Jika di Bali berbagai macam dagang makanan tersedia, jika di sini, bahkan mencari sayur mayurpun susah.Bali, oh Bali. Kapan aku bisa kemBali. Ku seruput kopi panas yang menemani siangku sekalian nemenin
Beberapa hari aku berada di sini, aku mulai akrab dengan beberapa tetangga. Aku bersyukur tinggal di sini. Para tetangga sangat ramah dan bersahabat. Kami sering bertukar makanan.Walau jaringan telepon begitu sulit bagiku itu bukanlah hal yang terlalu penting. Ada suami di sampingku adalah yang paling membuatku bahagia dan nyaman."Bunda, kita pergi ke market yuk?" Seorang ibu yang biasa ku panggil mama fitrah, memanggilku dari depan pintu.Aku panggil mama Fitrah, karena anaknya bernama fitrah. Ini pengalaman baru bagiku. Di Bali rasanya tidak ada yang seperti ini. Ah, jadi ingat Bali lagi. Entah kapan suami akan pindah tugas ke Bali agar kami bisa berkumpul dengan keluarga."Boleh Mama Fitrah, tunggu, saya ambil uang dulu." Aku bergegas masuk kembali ke dalam rumah. Mengambil 1 lembar uang berwarna merah kemudian menggendong putriku, Ara."Mama Fitrah, mau beli apa?" tanyaku sembari barjalan menuju arah market."Lihat-lihat
Matahari mulai menelisik dari jendela kamarku. Aku terbangun setelah semalaman suntuk tidak bisa memejamkan mataku. Mungkin hanya beberala jam aku terlelap, itupun tidak nyenyak.Ku raih ponselku yang tak jauh dari posisiku. Sama sekali tidak ada pesan ataupun telepon dari suamiku. Aku menghela napas sesaat. Bisa-bisanya suamiku seperti ini.Hari ini aku memilih untuk memesan makanan jadi, posisi Ara suka tidur tak tenang yang tiba-tiba terbangun membuatku enggan meninggalkannya yang masih tertidur.Menghilangkan penat setelah aku sarapan, mandi dan mendanani Ara, aku memilih untuk menghibur diri. Ngobrol dengan beberapa tetangga sebelah rumah."Om Andra sudah nugas lagi ya bu?" tanya Bu Lucas."Sudah bu," jawabku singkat."Kok ibu ga ikut sih ke sana? Kalau saya jadi ibu, sudah minta ikut ke sana. Ga takut nanti suaminya kepincut ladis?" ujarnya."Saya percaya suami saya, bu." jawabku setenang mungkin. Walau pada
4 Bulan kemudianTing, sebuah pesan whatsapp masuk ke ponsel suamiku yang memang sedang aku pegang. Ada pesan group dari kantornya. Aku bergegas membuka pesan itu. Sebuah surat perintah yang isinya adalah perihal penugasan. Jelas ku baca nama suami tertera disana. Ia di pindahkan lagi ke tempat sebelumnya."Ayah, gimana ini? Maksudnya apa? Kok ayah bisa dipindahkan lagi?" pekikku, aku mendelik menatap suamiku, aku percaya pasti dia sengaja minta pindah lagi."Eh, apa, Bun? Maksud Bunda apa? Siapa yang pindah?""Ini, baca, apa maksudnya?" Aku menyodorkan ponselnya. Memintanya membaca pesan group yang baru saja aku baca."Kok bisa ayah dipindahkan lagi? Padahal udah enak di sini, ya kan, Bun?" tanyanya beralasan.Ya! Aku yakin itu hanya alibi, pasti suamiku yang minta pindah sendiri. Ia memang maunya tugas di sana. Ga paham apa yang membuatnya betah di sana. Bikin jengkel.Itu yang bikin aku ga yakin dia
Suami mulai bertugas lagi di Polsek. Aku bersyukur, karena kita dekat. Dan aku nyaman ada yang membantuku mengurus Ara. Tap sepertinya perasaan yang berbeda dirasakan oleh suamiku. Ia seakan-akan tidak suka di pindahkan lagi ke Polsek. Aku sebagai istri jelas bisa membaca sedikit raut ekspresi di wajahnya.Pagi inix sebelum bayiku terbangun, aku bergegas masuk ke dapur. Membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan untuk aku masak.Aku dan suami sama-sama terdiam. Aku masih dengan emosiku sendiri, begitupun dengan suamiku.Tak butuh waku lama, setelah hidangan tersaji aku bergegas menuju kamar mandi. Aku membersihksn diriku, kemudian gegas berganti pakaian. Takut si kecil keburu bangun.Rambut masih acak-acakkan, tak sempat sisir rambut. Aku memberikan asi pada si kecil yang sudah mulai menggeliat dan menangis."Ayah ke kantor dulu," celetuk suami sesaat membuka pi
Suamiku langsung ngelayap ke rumah tetangga setelah kami sampai di rumah, padahal belum juga masuk rumah, bahkan pintu rumah juga belom di buka. Ihh, ngeselin banget ga sih? Ke mana sih? Coba bukain pintu dulu deh, ga paham banget kalau istri capek."Ayah ke mana sih? Baru sampai bukannya buka pintu malah ke tetangga," gerutuku."Ya Tuhan, ayah ambil kunci, Sayang. Ini kunci kan di titip ke pak Robi, kemarin," jawabnya seraya membuka kunci gembok yang gedenya segenggaman tangannya."Hehehheh kirain ke mana," ucapku terkekeh malu.Ya Tuhan, aku masih ga percaya, di tanganku ada boneka hidup yang lahir dari rahimku. Ya ampun, yang lebih bikin aku ga percaya lagi. Aku yang melahirkan dia, tapi wajahnya 90 persen mirip ayahnya. Astaga, gadis kecilku yang lucu.Suami membuka pintu, baru saja hendak masuk, para tetangga sudah berhambur menghampiriku dan bayiku."Aduh, Bu Andra, sini saya gendong dulu si kecil, ayo ajak ke rumah dulu, biar Pak Andra bersih-bersih rumah dulu," ucap tetangga ya